Qotadah Si Buta Si Pengumpul Banyak Hadits

Qotadah Si Buta Si Pengumpul Banyak Hadits 


Ali Al-Madini (234 H) berkata: “Aku meneliti ternyata sanad hadits berporos pada enam orang, yaitu:

Dari Madinah: Ibnu Syihab Az-Zuhri (124 H).

Dari Makkah: Amr bin Dinar (126 H).

Dari Bashroh: Qotadah (117 H) dan Yahya bin Abi Katsir (132 H).

Dari Kufah: Abu Ishaq As-Sabi’i (129 H) dan Al-A’masy (148 H).” (Al-Ilal, hal. 17-40)

Yakni enam orang yang mengumpulkan semua riwayat hadits berasal dari tiga tempat: dua di Hijaz, dua di Bashroh, dua di Kufah, yaitu: di Hijaz (Makkah dan Madinah) adalah Az-Zuhri dan Amr bin Dinar, di Bashroh adalah Qotadah dan Yahya bin Abi Katsir, di Kufah adalah Abu Ishaq As-Sabii dan Al-A’masy.

Pada kesempatan ini, kita akan lebih mengenal Qotadah Rohimahullah.


 

Nasab Qotadah

Qotadah (قَتَادَة) bin Di’amah bin Qotadah bin Aziz, Abul Khoth-thob, As-Sadusi Al-Bashri, Al-Iroqi, Al-A’ma (si buta), Al-Hafizh (puncak dalam hafalan).

Lahir pada 60 H dan wafat pada 117 H di Wasith (daerah Iroq/Irak).

Adz-Dzahabi menjulukinya al-hafizh (حافظ), yaitu orang  menghimpung banyak hafalan di atas rata-rata ulama. Ibnu Hajar menjulukinya tsiqoh tsabat (ثقة ثبت). Ungkapan tsiqoh tsabat maupun hafizh bermakna Qotadah berada di level tertinggi dalam level rowi.

Kepakarannya selain hadits adalah ahli tafsir, ahli fiqih, ahli sejarah, ahli bahasa.


 

Tahun Lahir

Yahya bin Main (233 H) berkata: “Qotadah lahir tahun 60 H berasal dari Sadus.”

Ahmad bin Hanbal (241 H) berkata: “Waktu lahirnya Qotadah (117 H) dengan Al-A’masy  (148 H) adalah sama.” (Siyar Alamin Nubala, 5/271, Adz-Dzahabi)


 

Guru-Gurunya

Gurunya dari kalangan Shohabat adalah Anas bin Malik[1] Rodhiyallahu ‘Anhu sebagai guru utama dan banyak meriwayatkan darinya. Juga Abdullah bin Sarjis, Abu Thufail Al-Kinani (Shohabat yang terakhir wafat) Rodhiyallahu ‘Anhuma. Selain mereka bertiga, Qotadah tidak mendengar langsung sehingga an-anah (silsilah عَنْ dalam sanad) dihukumi mursal (terputus).

Dari kalangan Tabiin senior: Said bin Al-Musayyib (Tabiin terbaik), Abul Aliyah Rufai’ Ar-Riyahi, Abu Utsman An-Nahdi, Hasan Al-Bashri (Tabiin terbanyak yang diambil riwayatnya  oleh Qotadah), Ikrimah maula Ibnu Abbas, Shofwan bin Muhriz[2], Zuroroh bin Aufa[3], An-Nadhor bin Anas, Abul Malih bin Usamah, Bakr bin Abdillah Al-Muzani, Abu Hassan Al-A’roj, Hilal bin Yazid, Atho bin Abi Robah, Mu’adzah Al-Adawiyah, Bisyr bin Aidz Al-Minqori, Bisyr bin Al-Muhtafir, Busyair bin Ka’ab, Abu Asy-Sya’sya’ Jabir bin Zaid, Juroi bin Kulaib As-Sadusi, Habib bin Salim, Hassan bin Bilal, Humaid bin Abdurrohman bin Auf, Kholid bin Urfuthoh, Khilas Al-Hajari, Khoitsamah bin Abdirrohman, Abdullah bin Syaqiq, Uqbah bin Subhan, Muthorrif bin Syikh-khir, Muhammad bin Sirin, Nashr bin Ashim Al-Laitsi, Abu Mijlaz, Abu Ayyub Al-Maroghi, Abul Jauza Ar-Rib’i.

Juga dari Muslim bin Yasar, Qoza’ah bin Yahya, Amir Asy-Sya’bi, dan banyak sekali yang lain.

Qotadah juga meriwayatkan dari Imron bin Hushoin, Safinah maula Rosulullah , Abu Huroiroh, tetapi mursal (ada rowi yang tidak disebut).

Hadits Qotadah dinilai shohih jika mengatakan “mengabarkan kepada kami” atau “saya mendengar”, karena ia dikenal tadlis (menyembunyikan rowi). 


 

Murid-Muridnya

Para imam yang meriwayatkan darinya: Ayyub As-Sikhtiyani, Sa’id bin Abi Arubah, Ma’mar bin Rosyid, Al-Auza’i, Mis’ar bin Kidam, Amr bin Harits Al-Mishri, Syu’bah, Jarir bin Hazim, Syaiban An-Nahwi, Hammam bin Yahya, Hammad bin Salamah, Aban Al-Ath-thor, Sa’id bin Basyir, Salam bin Abi Muthi’, Syihab bin Khirosy, Husam bin Mishok, Khulaid bin Da’laj, Sa’id bin Zarba, As-Soiq bin Hazn, Ufair bin Ma’dan, Musa bin Kholaf, Yazid bin Ibrohim At-Tusturi, Abu Awanah Al-Wadh-dhoh, dan lain-lain.

Yahya bin Main (233 H) berkata: Rowi yang paling akurat pada Qotadah adalah Said bin Abi Arubah, Hisyam (Ad-Dustuwai), Syubah. Jika ada orang yang menyampaikan dari mereka maka tidak perlu kamu mendengarnya dari orang lain. Syu’bah berkata: “Hisyam Ad-Dustuwai lebih berilmu dan lebih lama bermajlis Qotadah daripada aku.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi, mertua Ibnu Katsir)


 

Jumlah Haditsnya dalam Shohihain

Jumlah hadits Qotadah dalam Shohih Bukhori 271 dan dalam Shohih Muslim 276.

Qotadah banyak meriwayatkan dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu, sekitar 800 riwayat, sementara gurunya dari tabiin yang terbayak riwayatnya adalah Hasan Bahsri lebih dari 200 riwayat.


 

Rujukan Di Zamannya

Abu Qilabah ditanya seseorang: “Kepada siapa aku bertanya? Apakah kepada Qotadah?” Jawabnya: “Ya. Bertanyalah kepada Qotadah.” (Tahdzibut Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar Al-Asqolani)[4]


 

Rowi yang Ditetapkan Mendengar

Al-Marrudzi berkata: aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal (241 H): “Orang-orang berkata bahwa Qotadah tidak mendengar dari Ikrimah (maula Ibnu Abbas).” Ia menjawab: “Mereka tidak tahu ilmunya.” Lalu Ahmad meminta dikeluarkan kitabnya yang berisi beberapa hadits yang menetapkan Qotadah mendengar dari Ikrimah. Ternyata jumlahnya 6 hadits.” (Tuhfatut Tahshil, 1/417, Ibnul Iroqi)


 

Beberapa Sanad Mursal

Ahmad bin Hanbal (241 H) berkata: Qotadah tidak mendengar dari Abdullah bin Al-Harits, Sulaiman bin Yasar, Mujahid, Abu Qilabah, Said bin Jubair, Thowus, Al-Qosim, Salim, Urwah, Abdullah bin Mughoffal, Qobishoh bin Dzuaib, Abul Aliyah. (Tuhfatut Tahshil, 1/417)

Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak mengetahui Qotadah meriwayatkan dari seorang pun dari Sohabat kecuali Anas bin Malik.” Ada yang bertanya: “Abdullah bin Sarjas Rodhiyallahu ‘Anhu?” Ahmad memandang tidak mendengar darinya. (Tuhfatut Tahshil, 1/417)

Pendapat yang dikuatkan Abu Hatim Ar-Rozi, Abu Zur’ah Ar-Rozi, Ali Al-Madini, dan Adz-Dzahabi, Qotadah mendengar dari Abdullah bin Sarjas Rodhiyallahu ‘Anhu dan Abut Thufail Rodhiyallahu ‘Anhu.

Dari Ali Al-Madini (234 H), dari Yahya Al-Qoth-thon (198 H), dari Syu’bah (160 H), ia berkata: “Qotadah tidak mendengar dari Abul Aliyah kecuali tiga hadits.” Aku berkata kepada Yahya: “Tolong sebutkan!” Ia menjawab: “Yaitu hadits Ali tentang tiga hakim, hadits tidak ada sholat setelah Ashar dan hadits Yunus bin Matta.” (Tuhfah At-Tahshil, 1/417, Ibnul Iroqi)

Syu’bah (160 H) berkata: “Aku tahu hadits Qotadah (117 H) yang bersambung dengan yang tidak (mursal). Jika ia menyampaikan hadits yang ia dengar maka ia berkata: Anas bin Malik menceritakan kepada kami, atau Hasan menceritakan kepada kami, atau Muthorrif menceritakan kepada kami, atau Sa’id bin Musayyib menceritakan kepada kami. Jika tidak mendengar maka ia berkata: Said bin Jubair berkata atau Abu Qilabah berkata.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)


 

Pujian Ulama

Abu Hatim Ar-Rozi (277 H) berkata: aku mendengar Ahmad bin Hanbal (241 H) menyebut Qotadah (117 H) dengan pujian dan ia menyebarkan ilmunya, fiqihnya, ilmunya tentang perselisihan ulama, tafsir, disifati dengan hafalan dan fiqih dan ia berkata:

قلما تجد من يتقدمه أما المثل فلعل

“Kamu hampir tidak akan menjumpai orang yang lebih unggul darinya. Adapun yang seperti dirinya mungkin ada.” (Al-Jarhu wat Ta’dil, 7/133, Ibnu Abi Hatim)


 

Keluasan Ilmunya

Ibnu Hibban berkata: “Qotadah buta, ia termasuk ulama di bidang Quran dan fiqih. Ia termasuk hafizh di zamannya. Ia duduk di majlis Sa’id bin Al-Musayyib beberapa hari lalu Said berkata kepadanya: ‘Hai si buta, kamu telah mengambil semua ilmuku tanpa tersisa.’ Ia duduk di majlis Hasan Bashri selama 12 tahun.” (At-Tsiqot, 5/321, Ibnu Hibban)

Ma’mar (154 H) bertanya kepada Az-Zuhri (124 H): “Wahai Abu Bakr (Az-Zuhri), siapakah yang lebih berilmu: Qotadah ataukah Mak-hul?” Jawabnya: “Qotadah. Mak-hul hanya memiliki sedikit.” (Al-Jarhu, 7/133, Ibnu Abi Hatim)[5]

 


 

Murid Hasan Al-Bashri Paling Besar

Abu Hatim Ar-Rozi berkata: “Murid Hasan Al-Bashri paling besar adalah Qotadah. Murid Anas bin Malik paling tsabat (akurat) adalah Az-Zuhri lalu Qotadah.” (Al-Jarhu wat Ta’dil, 7/133, Ibnu Abi Hatim)

Abu Zur’ah Ar-Rozi (264 H) berkata: “Qotadah (117 H) adalah murid Hasan Bashri (110 H) tertinggi.” Ada yang bertanya kepadanya: “Yunus bin Ubaid?” Dia menjawab: “Lalu Yunus.” (Al-Jarhu, 7/133)

Aku bertanya kepada ayahku: “Qotadah dari Mu’adzah lebih engkau sukai atau Ayyub (As-Sikhtiyani) dari Mu’adzah?” Jawabnya: “Qotadah, asal menyebutkan mengabarkan (bukan tadlis). Qotadah lebih aku sukai dari Yazid Ar-Risyki.” (Al-Jarhu, 7/133, Ibnu Abi Hatim)


 

Kekuatan Hafalannya

Abdurrohman bin Mahdi (198 H) berkata:

قتادة أحفظ من خمسين مثل حميد الطويل

“Qotadah lebih hafal dari 50 orang seperti Humaid Ath-Thowil.” Abu Hatim berkata: Ibnu Mahdi benar. (Tahdzib At-Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar)

Bakr bin Abdullah Al-Muzani berkata:

من سره أن ينظر إلى أحفظ من أدركنا في زمانه، وأجدر أن يؤدي الحديث كما سمعه فلينظر إلى قتادة ما رأيت الذي هو أحفظ منه، ولا أجدر أن يؤدي الحديث كما سمعه

“Siapa yang ingin melihat orang yang paling hafal dari orang yang pernah kutemui di zamannya dan lebih tepat dalam menyampaikan hadits seperti yang didengarnya maka lihatlah Qotadah. Aku tidak melihat orang yang lebih hafal darinya dan tidak lebih tepat dalam menyampaikan hadits seperti yang didengar.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Sa’id bin Al-Musayyid (90 H) berkata:

ما أتاني عراقي أحفظ من قتادة

“Tidak ada orang Iroq yang mendatangiku yang lebih hafal selain Qotadah.” (Al-Jarhu, 7/133)

Ketika Qotadah mendatangi Said bin Al-Musayyib, ia banyak bertanya kepadanya hingga Said berkata: “Apakah semua yang kamu tanyakan kamu hafal?” Jawabnya: “Ya. Aku bertanya kepadamu tentang sesuatu dan Anda menjawabnya demikian dan demikian.” Qotadah menyebutkan banyak hadits. Said berkata: “Aku tidak menyangka Allah menciptakan orang sepertimu.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Sufyan Ats-Tsauri (161 H) menyebutkan hadits Qotadah kepada Syu’bah (160 H) lalu Sufyan berkata:

وكان في الدنيا مثل قتادة؟

“Apakah di dunia ini ada yang seperti Qotadah?” (Al-Jarhu, 7/133)

Qotadah (117 H) berkata kepada Said bin Abi Arubah (158 H): “Hai Abu An-Nadhr (Said bin Abi Arubah), ambillah mushaf!” Maka Qotadah membaca surat Al-Baqoroh dan tidak salah sama sekali. Dia berkata: “Hai Abu An-Nadhr, apakah benar hafalanku?” Jawabnya: “Ya.” Qotadah berkata: “Hafalanku pada lembaran Jabir bin Abdillah lebih kuat dari surat Al-Baqoroh.” Lembaran itu pernah dibacakan kepadanya. (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Qotadah (117 H) berkata:

ما قلت لمحدث قط: أعد علي وما سمعت أذناي شيئا قط إلا وعاه قلبي

“Aku tidak pernah berkata kepada ahli hadits: ‘Ulangi untukku.’ Dua telingaku tidaklah mendengar apapun kecuali dihafal hatiku.” (Tahdzib At-Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar)

Ma’mar (154 H) berkata: ada orang mendatangi Ibnu Sirin (110 H) dan berkata: “Aku bermimpi melihat seekor burung menelan mutiara lalu keluar darinya mutiara yang lebih besar. Aku melihat burung lain menelan mutiara lalu keluar darinya yang lebih kecil. Lalu aku melihat burung lain menelan mutiara lalu keluar darinya mutiara yang sama seperti yang ditelan.” Ibnu Sirin menjawab: “Adapun mutiara yang lebih besar, ia adalah Hasan Al-Bashri (110 H) yang mendengar hadits yang diambil dengan baik lalu sampai kepada manusia dengan nasihatnya. Adapun mutiara yang lebih kecil, ia adalah Muhammad bin Sirin yang mengurangi hadits dan ragu (kurang akurat). Adapun yang mutiaranya sama maka ia adalah Qotadah, ia manusia yang paling hafal.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Yahya bin Said Al-Qoth-thon (198 H) berkata:

قتادة حافظ، كان إذا سمع الشيء علقه

“Qotadah adalah hafizh. Jika ia mendengar sesuatu langsung hafal.” (Al-Jarhu, 7/133, Ibnu Abi Hatim)[6]

Ma’mar (154 H) berkata: aku mendengar Qotadah berkata:

مَا سَمِعْتُ شَيْئاً إِلاَّ وَحَفِظتُه

“Aku tidak mendengar apapun kecuali aku hafal.” (Siyar, 5/271, Adz-Dzahabi)

Hammad bin Salamah (167 H) berkata: Qotadah menyampaikan hadits Amr bin Dinar (126 H) tentang wasiat. Lalu aku tanyakan hadits itu ke Amr lalu Amr menyampaikan haditsnya berbeda dengan Qotadah. Aku berkata: “Qotadah meriwayatkan darimu dengan lafazh berbeda.” Amr berkata: “Aku keliru pada hari menyampaikan itu kepada Qotadah.” (As-Siyar, 5/273, Adz-Dzahabi)

Ibnu Syaudzab berkata: seorang penduduk Bashroh berkata:

إِنْ لَمْ تَجدْ إِلاَّ مِثْلَ عِبَادَةِ ثَابِتٍ، وَحِفظِ قَتَادَةَ، وَوَرَعِ ابْنِ سِيْرِيْنَ، وَعِلْمِ الحَسَنِ، وَزُهْدِ مَالِكِ بنِ دِيْنَارٍ لاَ تَطلُبِ العِلْم

“Jika kamu tidak mendapati guru seperti ibadahnya Tsabit, hafalannya Qotadah, waronya Ibnu Sirin, ilmunya Hasan, zuhudnya Malik bin Dinar, maka jangan menuntut ilmu.” (As-Siyar, 5/274)

Ma’mar (154 H) berkata: Qotadah berkata:

مَا سَمِعَتْ أُذُنَايَ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ وَعَاهُ قَلْبِي

“Dua telingaku tidaklah mendengar apapun kecuali direkam hatiku.” (As-Siyar, 5/276)


 

Kehati-Hatian dalam Berfatwa

Qotadah (117 H) berkata:

ما أفتيت بشيء من رأيي منذ عشرين سنة

“Aku tidak pernah berfatwa dengan pendapatku semenjak 20 tahun.” (Al-Jarhu, 7/133)[7]

Abu Hilal bertanya kepada Qotadah tentang sebuah masalah lalu dijawab tidak tahu. Abu Hilal berkata: “Jawablah dengan pendapatmu.” Katanya: “Aku tidak berfatwa dengan akalku semenjak 40 tahun.” Ada yang bertanya kepada Abu Hilal: “Saat itu usianya berapa?” Jawabnya: “50 tahun.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Adz-Dzahabi berkata: “Ini menunjukkan ia tidak berkata ilmu dari akalnya.” (As-Siyar, 7/273)


 

Ahli Tafsir

Qotadah (117 H) berkata:

ما في القرآن آية إلا قد سمعت فيها بشيء

“Tidak ada satu pun ayat Quran melainkan aku mendengar sesuatu tentangnya.” (Al-Jarhu, 7/133)[8]

Abu Awanah (175 H) berkata:

شَهِدتُ قَتَادَةَ يُدرِّسُ القُرْآنَ فِي رَمَضَانَ

“Aku menyaksikan Qotadah mengajar Al-Qur’an pada Romadhon.” (As-Siyar, 5/273)

Salah satu tafsir Qotadah yang merujuk tafsir Sohabat dan Tabiin adalah saat menafsirkan firman Allah (وَهُوَ أَلَدُّ الخِصَامِ), ia berkata: (جَدَلٌ بَاطِلٌ) yakni gemar berdebat dengan kebatilan. (As-Siyar, 5/279)


 

Semangat Menuntut Ilmu

Mathor bin Thohman Al-Warroq berkata:

ما زال قتادة متعلما حتى مات

“Qotadah selalu belajar sampai wafat.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)


 

Ahli Fiqih

Ma’mar bin Rosyid (154 H) berkata:

لم أر من هؤلاء أفقه من الزهري وحماد وقتادة

“Aku tidak tahu ada yang lebih faqih dari mereka selain Az-Zuhri (124 H), Hammad, Qotadah (117 H).” (Al-Jarhu, 7/133)[9]


 

Ahli Ibadah

Salam bin Abi Mu’ith berkata:

كَانَ قَتَادَةُ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي سَبْعٍ، وَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ، خَتمَ فِي كُلِّ ثَلاَثٍ، فَإِذَا جَاءَ العَشرُ، خَتَمَ كُلَّ لَيْلَةٍ

“Qotadah menghatamkan Quran setiap sepekan. Jika tiba Romadhon, menghatamkan tiap tiga hari. Jika tiba 10 akhir Romadhon, menghatamkan tiap hari.” (As-Siyar, 5/276, Adz-Dzahabi)


 

Ahli Bahasa dan Fasih

Adz-Dzahabi (748 H) berkata: Qotadah pemuka dalam bahasa, ghorib (kosa kata asing), sejarah Arob, nasab Arob, hingga Abul Ala bin Amr berkata: “Qotadah termasuk orang yang paling mengetahui nasab Arob.” (As-Siyar, 5/278)

Hammam bin Yahya bin Dinar berkata:

لم يكن قتادة يلحن

“Qotadah tidak mengalami lahn (kesalahan bahasa).” (Tahdzib At-Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar)

Hammam berkata kepada Affan:

كُلُّ شَيْءٍ أَقُوْلُ لَكُم: قَالَ قَتَادَةُ، فَأَنَا سَمِعْتُه مِنْهُ، فَإِذَا كَانَ فِيْهِ لَحنٌ، فَأَعْرِبُوْهُ، فَإِنَّ قَتَادَةَ كَانَ لاَ يَلحَنُ

“Setiap yang aku ucapkan kepada kalian Qotadah berkata berarti aku mendengar darinya. Jika ada lahn di dalamnya, perbaikilah i’robnya karena Qotadah tidak mengalami lahn.” (As-Siyar, 5/274)


 

Kata Mutiara

Qotadah (117 H) berkata:

لَقَدْ كَانَ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ تُقْرَأَ الأَحَادِيْثُ الَّتِي عَنْ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ

“Dianjurkan tidak membaca hadits Rosulullah kecuali dalam keadaan suci.” (As-Siyar, 5/274)

Abu Hilal berkata: Qotadah berkata:

الحِفظُ فِي الصِّغَرِ كَالنَّقشِ فِي الحَجَرِ.

“Menghafal ketika kecil seperti memahat di batu.” (As-Siyar, 5/275)

Dhiror bin Amr berkata: Qotadah berkata:

بَابٌ مِنَ العِلْمِ يَحفَظُه الرَّجُلُ لِصَلاَحِ نَفْسِه وَصَلاَحِ مَنْ بَعْدَهُ، أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ حَوْلٍ

“Satu bab ilmu yang dihafal seseorang untuk memperbaiki dirinya dan memperbaiki orang setelahnya, lebih utama dari ibadah satu tahun.” (As-Siyar, 5/275)

Hammam berkata: Qotadah berkata:

كَانَ يُقَالُ: قَلَّمَا سَاهَرَ اللَّيْلَ مُنَافِقٌ

“Ada yang mengatakan bahwa orang munafik jarang begadang di malam hari (untuk ilmu dan ibadah).” (As-Siyar, 5/275)


 

Paham Qodariyah

Waki bin Jarroh (197 H) berkata: Said bin Abi Arubah (158 H), Hisyam Ad-Dustuwai, dan selain keduanya berkata: Qotadah berkata:

كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ إِلاَّ المَعَاصِي

“Segala sesuatu dengan takdir kecuali maksiat.” (As-Siyar, 5/277)

Hanzholah bin Abi Sufyan berkata: “Aku melihat Thowus jika didatangi Qotadah untuk bertanya, pergi meninggalkannya. Qotadah berpaham qodariyah.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Qotadah termasuk Ahlus Sunnah, tetapi terjatuh pada paham qodariyah yaitu meyakini semua hal ditakdirkan Allah kecuali maksiat. Ini menyelisihi aqidah Salaf yang menyatakan semua peristiwa terjadi dengan takdir Allah, perbuatan baik maupun maksiat.

Adz-Dzahabi (748 H) berkata:

وَمعَ هَذَا، فَمَا تَوقَّفَ أَحَدٌ فِي صِدقِه، وَعَدَالَتِه، وَحِفظِه، وَلَعَلَّ اللهَ يَعْذُرُ أَمْثَالَه مِمَّنْ تَلبَّسَ بِبدعَةٍ يُرِيْدُ بِهَا تَعْظِيْمَ البَارِي وَتَنزِيهَه، وَبَذَلَ وِسْعَهُ، وَاللهُ حَكَمٌ عَدلٌ لَطِيْفٌ بِعِبَادِه، وَلاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ.

Bersamaan dengan aqidah qodari ini, tidak ada seorang pun yang meragukan kejujuran Qotadah, kebagusan agamanya, hafalannya. Boleh jadi Allah memberi uzur kepada orang-orang sepertinya yang terjatuh pada bid’ah karena ingin mengagungkan Allah dan mensucikan-Nya dan berusaha mencari kebenaran. Allah Mahabijaksana dan Mahalembut kepada hamba-hamba-Nya. Dia tidak ditanya atas perbuatan-Nya.

ثُمَّ إِنَّ الكَبِيْرَ مِنْ أَئِمَّةِ العِلْمِ إِذَا كَثُرَ صَوَابُه، وَعُلِمَ تَحَرِّيهِ لِلْحقِّ، وَاتَّسَعَ عِلْمُه، وَظَهَرَ ذَكَاؤُهُ، وَعُرِفَ صَلاَحُه وَوَرَعُه وَاتِّبَاعُه، يُغْفَرُ لَهُ زَلَلُهُ، وَلاَ نُضِلِّلْهُ وَنَطرْحُهُ وَنَنسَى مَحَاسِنَه.

Lalu, imam besar apabila banyak benarnya dan diketahui ia mencari kebenaran, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, dikenal kebaikannya dan waro’nya serta ittiba’nya (mengikuti Sunnah) maka kesalahannya dimaafkan. Kami tidak menyesatkannya dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya.

نَعَم، وَلاَ نَقتَدِي بِهِ فِي بِدعَتِه وَخَطَئِه، وَنَرجُو لَهُ التَّوبَةَ مِنْ ذَلِكَ.

Ya, kita tidak mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kami berharap ia bertaubat darinya. (As-Syiar, 5/271)

Qotadah (117 H) mencintai Ali (40 H) Rodhiyallahu ‘Anhu. Affan berkata: Ar-Robi bin Qois berkata kepadaku: Qotadah mendatangi Kufah dan orang-orang mengatakan bahwa ia membenci Ali, maka aku tidak menghadiri majlisnya. Lalu belakangan orang-orang mengatakan bahwa Qotadah sangat jauh dari membenci Ali, maka aku mengambil riwayatnya dari orang lain.” (As-Siyar, 7/272, Adz-Dzahabi)

Ali bin Al-Madini (234 H) berkata kepada Yahya bin Sa’id Al-Qoth-thon (198 H):

إن عبد الرحمن يقول: اترك كل من كان رأسا في بدعة يدعو إليها. قال: كيف تصنع بقتادة وابن أبي رواد وعمر بن ذر وذكر قوما، ثم قال يحيى: إن تركت هذا الضرب تركت ناسا كثيرا

“Abdurrohman bin Mahdi (198 H) berkata: ‘Tinggalkan setiap rowi yang menjadi tokoh bid’ah dan menyeru kepadanya.” Apa tanggapanmu dengan Qotadah, Ibnu Abi Rowwad, Umar bin Dzar, dan lain-lain? Yahya menjawab: “Jika kamu meninggalkan orang-orang semacam ini maka kamu meninggalkan banyak orang.” (Tahdzib At-Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar)


 

Kritik Ulama Atasnya

Disamping Qotadah dikritik karena tadlis (menyembunyikan rowi) sehingga sering kali melakukan irsal (tanpa menyebut perantara), juga aqidah Qodariyah, ia dikritik apa yang dihafal olehnya.

Asy-Sya’bi (103 H) berkata: “Qotadah (حاطب ليل) pengumpul kayu di malam hari.”

Abdul Karim Al-Jazari berkata kepada Sufyan bin Uyainah (198 H): “Apakah kamu tahu apa itu hathibul lail?” Jawab Sufyan: “Aku tidak tahu kecuali jika kamu memberitahu.” Dia menjawab: “Yaitu orang yang keluar di malam hari mengumpulkan kayu lalu tangannya mengambil ular berbisa hingga membunuhnya. Ini perumpamaan penuntut ilmu yang tidak mampu memikul ilmunya, ia dibunuh oleh ilmunya sendiri sebagaimana ular berbisa membunuh hathibul lail.” (Tahdzibul Kamal, 23/498, Al-Mizzi)

Abu Amr bin Al-Ala berkata: “Qotadah dan Amr bin Syuaib tidak puas dengan yang sedikit. Mereka berdua mengambil dari siapapun.” (Tahdzib At-Tahdzib, 3/428, Ibnu Hajar)


 

Perselisihannya dengan Yahya

Qotadah (117 H) berselisih dengan Yahya bin Abi Katsir (132 H), keduanya pembesar riwayat di Bashroh, sebagaimana Ibnu Syihab (124 H) di Madinah, Amr bin Dinar (126 H) di Makkah, Abu Ishaq As-Sabii (129 H) dan Al-A’masy (148 H) di Kufah. Demikian pendapat Ali Al-Madini (234 H).

Aban Al-Ath-thor berkata: Yahya bin Abi Katsir disebut di sisi Qotadah lalu ia berkata:

مَتَى كَانَ العِلْمُ فِي السَّمَّاكِيْنَ؟!

“Kapan ilmu bersama tukang ikan?!”

Disebut nama Qotadah di sisi Yahya bin Abi Katsir dan ia berkata:

لاَ يَزَالُ أَهْلُ البَصْرَةِ بِشَرٍّ مَا كَانَ فِيْهِم قَتَادَةُ

“Penduduk Bashroh senantiasa dalam keburukan selama bersama mereka ada Qotadah.”

Adz-Dzahabi (748 H) mengomentari dengan kaidah yang bagus sekali untuk menengahi:

كَلاَمُ الأَقْرَانِ يُطْوَى وَلاَ يُرْوَى

“Ucapan temen sejawat (sezaman) dilipat dan tidak perlu diriwayatkan.” (As-Siyar, 5/279, Adz-Dzahabi)

Yakni perselisihan aqron (teman sejawat) biasanya tidak didasari ilmu tetapi hasad, sementara mereka ahli ilmu dan banyak kebaikannya kepada umat, maka ucapan mereka yang saling menjatuhkan tidak dianggap.


 

Wafatnya

Qotadah wafat tahun 117 H dan ini yang terkenal dari para rowi sezamannya. Pendapat lainnya 118 H dan ini pendapat Ibnu Ulaiyyah dan ia berkata: Qotadah wafat pada tahun 118 H.

Kholifah bin Khoyyath berkata: “Qotadah wafat tahun 117 H.”

Ibnu Syaidzab berkata: “Ia berwasiat (untuk mengurus jenazahnya) kepada Mathor.” (As-Siyar, 5/282)

Semoga Allah mengampuninya, merohmatinya, dan memasukkannya ke Firdaus tertinggi.[]

 

 

 

 



[1] Pelayan Rosulullah , lahir tahun ke-4 kenabian dan melayani Nabi sampai wafatnya selama 10 tahun di Madinah, wafat tahun 90 H.

[2] Tsiqoh (jujur dan akurat), ahli ibadah, banyak menangis, pemberi nasihat. Meriwayatkan dari Abu Musa, Ibnu Umar, dll.

[3] Tsiqoh, ahli ibadah. Telah shohih bahwa dia sholat Subuh membaca (فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُوْرِ) “Apabila sangkakala ditiup” lalu ia mati tersungkur.

[4] Shohih: dari Ali Al-Madini, dari Abdurrohman Al-Mahdi, dari Hammad bin Zaid, dari Abu Salamah Sa’id bin Yazid, dari Abu Qilabah.

[5] Shohih: dari Ahmad bin Hanbal, dari Abdurrozzaq, dari Ma’mar.

[6] Shohih: dari Ahmad bin Sinan dari Yahya bin Said.

[7] Shohih: dari Yazid bin Sinan, dari Sa’id bin Amr, dari Hammam, dari Qotadah.

[8] Shohih: dari Ahmad bin Hanbal, dari Abdurrozzaq, dari Ma’mar, dari Qotadah.

[9] Shohih: dari Sholih bin Imam Ahmad, dari Ali Al-Madini, dari Sufyan bin Uyainah, dari Ma’mar.

Komentar

Artikel Terpopuler

Al-Quran Obat Rohani dan Jasmani

Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

Doa Naik Kendaraan dan Safar

Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)

Duduk Istirahat dalam Sholat Menurut 4 Madzhab