Tokoh Besar Asya’iroh: Al-Baqillani (403 H)
Tokoh Besar Asya’iroh: Al-Baqillani
(403 H)
Ia adalah Al-Qodhi
Abu Bakr, Muhammad bin Ath-Thoyyib yang dikenal dengan Ibnu Al-Baqillani (w.
403 H)
Al-Khothib Al-Baghdadi berkata:
“Muhammad bin Ath-Thoyyib bin Muhammad, Abu Bakr Al-Qodhi
yang dikenal dengan Ibnu Al-Baqillani, seorang mutakallim di atas madzhab
Asy’ari dari penduduk Bashroh, kemudian tinggal di Baghdad dan mendengar hadits
di sana. Ia adalah orang yang tsiqoh (terpercaya). Adapun dalam Ilmu
kalam, maka ia adalah orang yang paling tahu, paling tajam pemikiran, paling
fasih lidahnya, paling jelas penjelasannya, dan paling benar
ungkapan-ungkapannya. Ia memiliki banyak karya tulis yang tersebar dalam
membantah kelompok-kelompok yang menyelisihi kebenaran seperti: Rafidhoh,
Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khowarij, dan selain mereka.
Aku mendengar Abu Al-Faroj Muhammad bin ‘Imron Al-Khollal
berkata: “Wirid Al-Qodhi Abu Bakr Muhammad bin Ath-Thoyyib setiap malam adalah
dua puluh rokaat tarwihah (sholat malam setelah ‘Isya), yang tidak
pernah ia tinggalkan baik dalam keadaan mukim maupun safar.” Ia berkata:
“Setiap malam, setelah sholat ‘Isya dan selesai dari wiridnya, ia meletakkan
tinta di hadapannya, lalu menulis 35 lembar karya tulis dari hafalannya. Setelah sholat Subuh, ia
menyerahkan hasil tulisannya di malam itu kepada salah seorang muridnya,
menyuruhnya membacakannya, dan ia mendiktekan tambahan-tambahan di dalamnya.”
Abu Al-Faroj berkata: Aku mendengar Abu Bakr Al-Khowarizmi
berkata: “Semua penulis di Baghdad hanyalah menyalin dari kitab-kitab orang
lain ke dalam karya tulis mereka, kecuali Al-Qodhi Abu Bakr; sesungguhnya
dadanya memuat ilmunya sendiri dan ilmu orang lain!”
‘Ali bin Muhammad bin Al-Hasan Al-Harbi Al-Maliki berkata:
“Al-Qodhi Abu Bakr Al-Asy’ari ingin meringkas tulisannya, namun ia tidak mampu
karena luasnya ilmunya dan banyaknya hafalannya.” Ia berkata: “Tidak ada
seorang pun yang menulis bantahan kecuali ia butuh membaca kitab-kitab lawan
pendapatnya, kecuali Al-Qodhi Abu Bakr; semua hal yang ia sebutkan tentang
pendapat orang lain, ia tulis dari hafalannya.” (Tarikh Baghdad, 3/ 364)
Ibnu Barhan An-Nahwi berkata:
“Barangsiapa yang pernah mendengar debat Al-Qodhi Abu Bakr,
maka ia tidak lagi bisa menikmati ucapan siapa pun setelahnya—baik dari para
mutakallim, fuqoha, khothib, penulis surat, bahkan juga lagu-lagu!—karena
indahnya ucapannya, kefasihannya, bagusnya susunan kata, dan isyaratnya. Ia
memiliki banyak karya tulis dan bantahan terhadap lawan-lawan seperti:
Mu’tazilah, Rafidhoh, Khowarij, Murji’ah, Musyabbihah, dan Hasyawiyyah.” (Tabyin
Kadzbi Muftari, hal. 219)
Adz-Dzahabi (748 H) berkata:
“Ia adalah pemilik karya tulis dalam Ilmu kalam. Ia tinggal
di Baghdad dan dalam bidangnya, ia adalah yang paling menonjol di zamannya. Ia
tsiqoh, ahli dalam Ilmu kalam, menulis bantahan terhadap Rafidhoh, Mu’tazilah,
Khawarij, dan Jahmiyyah. Al-Qodhi ‘Iyadh menyebutkannya dalam Thobaqot Fuqoha
Malikiyyah, ia berkata: “Ia dijuluki sebagai Pedang Sunnah (Saifus Sunnah),
dan Lisan Umat (Lisanul Ummah), juru bicara atas nama Ahlul Hadits dan
jalan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Kepadanya berakhir kepemimpinan kaum Malikiyyah
di masanya. Ia memiliki halaqoh besar di Masjid Al-Manshur.”
Saya (Adz-Dzahabi) berkata: “Ibnu Al-Baqillani mengambil
ilmu nazhor (analogi, kalam) dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin
Mujahid Ath-Tho’i, murid dari Al-Asy’ari.” (Tarikh Islam, 9/ 63)
Ibnu Khaldun berkata:
“Banyak para pengikut Syaikh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan
yang mengikuti jalan beliau setelahnya adalah murid-murid beliau, seperti Ibnu
Mujahid dan yang lainnya. Dan dari mereka Al-Qodhi Abu Bakr Al-Baqillani
mengambil (ilmu), lalu ia tampil sebagai pemimpin dalam jalan mereka, ia
menyusunnya, dan meletakkan muqoddimah-muqoddimah aqliyah
(pendahuluan-pendahuluan logis) yang menjadi landasan bagi dalil dan pemikiran.
Ia menjadikan kaidah-kaidah tersebut sebagai bagian dari aqidah keimanan yang
wajib diyakini, karena dalil-dalil itu bergantung padanya. Dan rusaknya dalil
menandakan rusaknya kesimpulan (yang dibangun darinya).” (Tarikh Ibni Kholdun, 1/ 589)
Dari kitab-kitab Al-Baqillani terlihat bahwa ia menetapkan
shifat-shifat bagi Allah Ta’ala dan tidak membedakan antara shifat ‘aqliyah
dan shifat khobariyyah. Ia seperti Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, tidak hanya menetapkan
7 shifat saja seperti
yang dikenal dari kalangan Asya’iroh belakangan. Ia mengikuti Al-Asy’ari dalam takwil terhadap
shifat ghadlob (marah) dan
ridho, bahwa yang dimaksud adalah keinginan untuk memberi pahala atau memberi
siksa. Namun ia menyelisihi Al-Asy’ari dalam hal menetapkan shifat baqo’
bagi Allah Subhanahu, dan ia berpendapat bahwa Kalam Allah adalah makna
yang berdiri pada Dzat-Nya, bukan berupa huruf maupun suara (yakni kalam
nafsi, ajaran Kullabiyah).
Al-Baqillani menafikan adanya ta’lil (pemberian
alasan sebab) dalam perbuatan Allah, sebagaimana pendapat Asyo’irah, dan ia
berpandangan menolak adanya sebab-akibat; maka pembakaran menurutnya bukan
terjadi karena api, tetapi bersamaan dengan keberadaan api, bukan disebabkan
olehnya. Dan ini adalah dasar dari teori penolakan sebab-akibat yang terkenal
dari kalangan Asya’iroh.
Al-Baqillani dianggap sebagai pendiri kedua mazhab Asy’ari.
Ia mengambil ilmu kalam
dari murid-murid Al-Asy’ari. Dan meskipun murid-murid Al-Asy’ari memiliki
pengaruh besar, tidak ada satu pun dari mereka yang mencapai kedudukan seperti
yang diraih oleh Al-Baqillani dalam mengabdikan dirinya untuk membela mazhab
Abu Al-Hasan Al-Asy’ari.
Sumbangsih Al-Baqillani
Terhadap Madzhab Asy’ari
Hal itu terwujud dalam beberapa cara, yang paling penting di
antaranya:
1. Al-Baqillani mengaitkan namanya dengan Asy’ari, sehingga
menjadi identitas yang disematkan dalam nasabnya. Maka dikatakan: Abu Bakr bin
Ath-Thoyyib Al-Baqillani Al-Asy’ari. Ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab yang
memuat biografinya dan juga pada sampul salinan manuskrip kitab-kitabnya.
2. Meski Al-Baqillani berafiliasi kepada Al-Asy’ari,
hubungannya dengan para Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal)
tetap baik. Ini mengikuti jejak Abu Al-Hasan Al-Asy’ari yang dalam kitabnya Al-Ibanah
secara jelas menyatakan kembali kepada pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Al-Baqillani sendiri kadang menulis dalam jawabannya: Muhammad bin Ath-Thoyyib
Al-Hanbali, dan juga menulis: Al-Asy’ari. Sebab, Al-Asy’ari dan para
pengikutnya memang menisbatkan diri kepada Imam Ahmad dan para Imam Ahlus
Sunnah semisal beliau. Maka Al-Baqillani pun mendapatkan reputasi baik di
kalangan Hanabilah meskipun dia seorang Asy’ari. Bahkan sebagian Hanabilah pun
cenderung menerima beberapa pendapat Asy’ariyah karena hubungan mereka dengan
Al-Baqillani yang dikenal memiliki kefasihan, kemampuan retorika, dan
hujjah-hujjah logis yang sangat berpengaruh terhadap mereka.
3. Al-Baqillani berdebat secara terbuka dengan para ahli bid’ah
dari kalangan Mu’tazilah dan selain mereka di hadapan para penguasa. Ia juga
menulis kitab At-Tamhid untuk ‘Adhud Ad-Daulah (عَضُدُ الدَّوْلةِ).
Bahkan, ‘Adhud Ad-Daulah pernah mengutus Al-Baqillani ke Raja Romawi, dan di
sana ia melakukan perdebatan terkenal dengan para penganut Nasroni.
4. Al-Baqillani memainkan peran yang sangat jelas dalam
pengembangan madzhab Asy’ari.
(Tarikh
Ibni Kholdun, 1/ 589; Mauqifu Ibni Taimiyah minal Asya’iroh, 2/ 526 - 553;
Al-Madaris Asy’ariyah, hal. 78 - 81)
Mengembangkan Madzhab Asy’ari
Al-Baqillani mengembangkan madzhab Asy’ari melalui:
1. Menyusun muqoddimah-muqoddimah ‘aqliyah
(pendahuluan rasional) untuk pembahasan ‘Aqidah dan Ilmu kalam, seperti
pembahasan tentang jawhar (substansi) dan ‘aradh (aksiden),
klasifikasi ilmu, metode istidlal (penarikan kesimpulan), serta
pembicaraan tentang eksistensi dan ragamnya.
2. Cenderung menggunakan pendekatan akal dalam perdebatan
dan melemahkan ketergantungan terhadap dalil naqli (teks wahyu).
3. Cenderung kepada sebagian pendapat Mu’tazilah, terutama
dalam beberapa sifat Allah. Dengan itu, ia mendekatkan madzhab Asy’ari kepada
kalangan ahli kalam, serta meletakkan beberapa kaidah kalamiyah yang menjadi
sebab berkembangnya madzhab Asy’ari mendekati madzhab para filsuf dan Jahmiyah
dalam beberapa masalah aqidah. (Mauqifu Ibni Taimiyyah minal Asya’iroh, 2/
554)
Komentar
Posting Komentar