Allah Berdialog dengan Ahli Surga - Shohih Bukhori
Yaitu setelah
mereka masuk ke dalam Surga. Dalam bab ini disebutkan dua hadits yang jelas
sesuai dengan judul bab yang dibuat oleh Al-Bukhori. Yang pertama adalah hadits
dari Abu Sa’id, bahwa Allah berkata kepada penghuni Surga: “Wahai penghuni
Surga” — dalam hadits itu disebutkan: “Maka Aku halalkan atas kalian
keridhoan-Ku.”
Yang kedua adalah
hadits Abu Huroiroh tentang ucapan Allah kepada ahli Surga: “Ini milikmu hai
anak Adam, tidak ada yang membuatmu kenyang (puas).”
Maka Al-Bukhori
beriman bahwa Allah berbicara secara hakiki dengan huruf dan suara, tidak
sebagaimana Jahmiyyah yang menolak sifat berbicara atau sebagaimana Kullabiyah
dan Asyairoh yang menafikan huruf dan suara bagi Allah. Mereka mengistilahkan kalam
nafsi (bahasa jiwa yang tanpa huruf dan suara) yang mengharuskan meyakini Al-Quran
makhluk bukan ucapan Allah, tetapi ucapan Jibril yang dipahami dari bahasa jiwa
Allah. Maka kalam Allah dalam ayat dan hadits adalah kiasan menurut mereka,
bukan hakiki.
Berikut dua
hadits yang dibawakan Al-Bukhori untuk menjelaskan bahwa Allah berbicara dengan
huruf dan suara serta didengar.
Hadits Abu Sa’id
Dari Abu Sa’id
Al-Khudri Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rosulullah ﷺ
bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ
لِأَهْلِ الجَنَّةِ: يَا أَهْلَ الجَنَّةِ، فَيَقُولُونَ: لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ
وَالخَيْرُ فِي يَدَيْكَ، فَيَقُولُ: هَلْ رَضِيتُمْ؟ فَيَقُولُونَ: وَمَا لَنَا لاَ
نَرْضَى يَا رَبِّ وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، فَيَقُولُ:
أَلاَ أُعْطِيكُمْ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، فَيَقُولُونَ: يَا رَبِّ وَأَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ
مِنْ ذَلِكَ، فَيَقُولُ: أُحِلُّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلاَ أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ
بَعْدَهُ أَبَدًا»
“Sesungguhnya
Allah berfirman kepada para penghuni Surga: ‘Wahai para penghuni Surga!’ Maka
mereka menjawab: ‘Kami sambut panggilan-Mu wahai Robb kami, segala kebaikan
berada di kedua tangan-Mu.’ Lalu Allah berfirman: ‘Apakah kalian telah ridho?’
Mereka menjawab: ‘Bagaimana mungkin kami tidak ridho, wahai Robb kami,
sedangkan Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak Engkau berikan
kepada seorang pun dari makhluk-Mu!’ Maka Allah berfirman: ‘Maukah Aku berikan
kepada kalian yang lebih utama dari itu?’ Mereka berkata: ‘Wahai Robb kami,
apakah yang lebih utama dari semua itu?’ Allah berfirman: ‘Aku limpahkan kepada
kalian keridhoan-Ku, maka Aku tidak akan murka kepada kalian selamanya.’” (HR.
Al-Bukhori no. 7518)
Syarah Umum
Di dalam Surga
terdapat nikmat yang jauh lebih agung dan kebahagiaan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan sekadar memasukinya, yaitu keridhoan dari Allah – yang
tidak ada satu pun dari nikmat-Nya yang bisa menandingi hal itu. Keridhoan ini
dikatakan sebagai nikmat yang terbesar karena ia merupakan sebab dari segala
kemenangan dan kemuliaan, dan jalan menuju melihat Allah Ta’ala – sebagaimana
dikabarkan oleh Nabi ﷺ dalam
hadits ini.
Yaitu bahwa Allah
Ta’ala akan berbicara langsung kepada para penghuni Surga, lalu Dia berfirman: “Wahai
para penghuni Surga.” Mereka pun menjawab: “Kami sambut seruan-Mu, wahai Robb
kami, dan kami berbahagia bersama-Mu.” Yakni: Kami menjawab-Mu dengan
jawaban setelah jawaban, dan dengan kebahagiaan setelah kebahagiaan.
Lalu Robb mereka
berfirman: “Apakah kalian telah ridho?” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak
ridho, padahal Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang tidak Engkau
berikan kepada satu pun dari makhluk-Mu?” Yakni: berupa memasukkan mereka ke
dalam Surga, menyelamatkan mereka dari Neraka, dan menjadikan mereka hidup
dalam kenikmatan berbagai macam bentuk kenikmatan di dalam Surga.
Lalu Allah
berfirman: “Aku akan memberi kalian sesuatu yang lebih baik dari itu.” Mereka
berkata: “Wahai Robb, apakah yang lebih baik dari semua itu?” Maka Allah
berfirman: “Aku akan turunkan kepada kalian keridhoan-Ku.” Artinya: Aku akan
tetapkan atas kalian keridhoan-Ku yang abadi. Karena sesungguhnya tidak mesti
seseorang tetap diridhoi hanya karena banyak diberi, maka dari itu Allah
menegaskan: “Setelah itu Aku tidak akan murka kepada kalian selama-lamanya.”
Adapun
firman-Nya: “(Nikmat ini) lebih baik daripada itu semua (kenikmatan-kenikmatan
Surga)”, adalah sebagai bentuk penguatan atas firman Allah Ta’ala:
﴿وَعَدَ اللَّهُ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ،
ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ﴾
“Allah menjanjikan kepada orang-orang Mukmin
laki-laki dan perempuan (balasan) Surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya, dan tempat-tempat tinggal yang indah
di Surga ‘Adn. Dan keridhoan dari Allah adalah lebih besar (dari semua itu).
Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 72)
Pelajaran yang terkandung dalam
hadits ini:
Dalam hadits ini
terdapat penetapan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla akan berbicara langsung dengan
para penghuni Surga.
Dalam hadits ini
juga menunjukkan bahwa nikmat yang diperoleh oleh para penghuni Surga tidak ada
yang lebih besar dari keridhoan Allah.
Dalam hadits ini
juga ditegaskan bahwa derajat keridhoan Allah adalah kedudukan paling tinggi
melebihi semua kedudukan (di Surga).
Penjelasan Ibnu Hajar
Ibnu Baththol
berkata: Sebagian orang merasa hadits ini membingungkan, karena tampak
seolah-olah Allah bisa murka kepada penghuni Surga, padahal hal ini
bertentangan dengan zhohir ayat-ayat Al-Qur’an, seperti firman-Nya:
﴿خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ﴾
“Mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun
ridho terhadap-Nya.” (QS. Al-Bayyinah)
﴿أُولَئِكَ لَهُمُ
الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ﴾
Mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (QS. Al-An’am)
Ibnu Baththol
menjawab (syubhat tersebut) bahwa: Mengeluarkan hamba dari ketiadaan menuju
keberadaan adalah karena karunia dan kemurahan Allah. Begitu juga menepati
janji-Nya kepada mereka berupa Surga dan kenikmatan adalah karena karunia dan
kemurahan-Nya.
Adapun kekekalan
atas kenikmatan itu adalah tambahan dari karunia-Nya melebihi balasan.
Seandainya balasan itu bersifat wajib, maka tetap saja tidak akan bertambah,
karena kebiasaan balasan tidak melebihi masa yang ditentukan, sedangkan masa
dunia itu terbatas.
Maka masuk akal
jika masa balasan juga terbatas, lalu Allah memberikan tambahan kepada mereka
dengan kekekalan (di Surga). Dengan ini, syubhat itu hilang secara keseluruhan.
– Tamat secara ringkas.
Dan ada juga yang
berkata: Zhohir hadits menunjukkan bahwa ridho lebih utama daripada melihat
Allah, dan ini juga membingungkan.
Lalu dijawab: Dalam
khobar tersebut tidak ada keterangan bahwa ridho lebih utama dari segala
sesuatu, tetapi hanya disebutkan bahwa ridho lebih utama dari pemberian. Dan
jika pun diakui bahwa ridho itu lebih utama, maka sesungguhnya melihat Allah
itu mencakup ridho. Maka ini seperti penyebutan hal yang melekat (lazim) untuk
menunjukkan hal yang terkait dengannya (malzum). Demikian dikutip oleh
Al-Kirmani.
Bisa jadi juga
dimaksudkan bahwa yang dimaksud dengan keridhoan Allah adalah jenis-jenis
keridhoan-Nya yang mencakup pertemuan (melihat Allah), sehingga tidak ada
masalah.
Asy-Syaikh Abu
Muhammad Ibnu Abi Jamroh berkata tentang hadits ini: Hadits ini menunjukkan
bolehnya menyandarkan tempat tinggal kepada penghuninya, meskipun pada asalnya
bukan miliknya. Karena Surga adalah milik Allah ‘Azza wa Jalla, namun Allah
menyandarkannya kepada penghuninya dengan firman-Nya: “Wahai penghuni Surga.”
Ia juga berkata: Hikmah
penyebutan kekekalan ridho Allah setelah penghuni Surga sudah menetap di
dalamnya, adalah karena jika diberitakan sebelumnya, maka itu hanya sebatas ‘ilmu
al-yaqin (keyakinan berdasarkan informasi). Tapi jika diberitakan setelah
mereka benar-benar menetap, maka menjadi ‘ain al-yaqin (keyakinan
berdasarkan penglihatan langsung).
Dan ini adalah
isyarat dari firman Allah Ta’ala:
﴿فَلَا تَعْلَمُ
نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ﴾
“Tak
satu jiwa pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa penyejuk
mata.” (QS. As-Sajdah: 17)
Ia berkata lagi: Dari
sini diambil faedah bahwa tidak sepatutnya seseorang diajak bicara mengenai
sesuatu kecuali setelah ia memiliki dasar pemahaman terhadapnya, meski hanya
sebagian.
Demikian pula
seseorang tidak sepatutnya mengambil perkara kecuali sebatas yang mampu ia
tanggung.
Di dalamnya juga
terkandung adab dalam bertanya, yaitu pada ucapan mereka: “Apakah ada yang
lebih utama dari ini?” — karena mereka tidak mengetahui sesuatu yang lebih baik
dari yang mereka rasakan, maka mereka pun bertanya tentang hal yang tidak
mereka ketahui.
Dan dari hadits
ini juga dipahami bahwa seluruh kebaikan, keutamaan, dan kebahagiaan sejati
adalah dalam keridhoan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Segala sesuatu
selain itu, meskipun berbeda-beda jenisnya, hanyalah merupakan bekas dari
ridho-Nya.
Juga terdapat
dalil bahwa seluruh penghuni Surga ridho dengan keadaan mereka masing-masing,
meskipun kedudukan dan derajat mereka berbeda-beda. Karena semuanya menjawab
dengan satu lafadz: “Engkau telah memberikan kepada kami apa yang tidak Engkau
berikan kepada siapa pun dari makhluk-Mu.”
Dan hanya kepada
Allah pertolongan diminta. (Al-Fath, 13/488)
Hadits Abu Huroiroh
Dari Abu Huroiroh
Rodhiyallahu ‘Anhu:
Bahwa suatu hari
Nabi ﷺ sedang
berbicara, dan di sisinya ada seorang laki-laki dari penduduk pedalaman. Beliau
bersabda:
«أَنَّ رَجُلًا مِنْ
أَهْلِ الجَنَّةِ اسْتَأْذَنَ رَبَّهُ فِي الزَّرْعِ، فَقَالَ لَهُ: أَوَلَسْتَ فِيمَا
شِئْتَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَزْرَعَ، فَأَسْرَعَ وَبَذَرَ، فَتَبَادَرَ
الطَّرْفَ نَبَاتُهُ وَاسْتِوَاؤُهُ وَاسْتِحْصَادُهُ وَتَكْوِيرُهُ أَمْثَالَ الجِبَالِ،
فَيَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: دُونَكَ يَا ابْنَ آدَمَ، فَإِنَّهُ لاَ يُشْبِعُكَ شَيْءٌ
، فَقَالَ الأَعْرَابِيُّ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لاَ تَجِدُ هَذَا إِلَّا قُرَشِيًّا
أَوْ أَنْصَارِيًّا، فَإِنَّهُمْ أَصْحَابُ زَرْعٍ، فَأَمَّا نَحْنُ فَلَسْنَا بِأَصْحَابِ
زَرْعٍ»
“Sesungguhnya
ada seorang laki-laki dari penghuni Surga yang meminta izin kepada Robb-nya
untuk bercocok tanam. Maka Allah berfirman kepadanya: ‘Bukankah engkau telah
mendapatkan apa yang engkau inginkan?’ Ia menjawab: ‘Benar, namun aku senang
bercocok tanam.’ Lalu ia pun segera menyebarkan benih, maka dengan sekejap
tumbuhlah tanaman itu, lalu menjadi tinggi dan matang, kemudian ia menuainya,
dan hasilnya membentuk tumpukan seperti gunung-gunung. Maka Allah Ta’ala
berfirman: ‘Wahai anak Adam, ini milikmu, dan tidak ada yang dapat membuatmu
kenyang (puas).’” Kemudian orang Arob baduwi (penduduk pedalaman) itu berkata: “Wahai
Rosulullah, orang seperti itu pasti dari kalangan Quroisy atau Anshor, karena
mereka adalah para petani. Adapun kami, kami bukanlah orang-orang yang biasa
bertani.” Maka Rosulullah ﷺ
pun tertawa. (HR. Al-Bukhori no. 7519)
Syarah Umum
Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menjanjikan kepada para hamba-Nya yang sholih bahwa Dia telah
menyediakan bagi mereka di dalam Surga berbagai kenikmatan abadi yang tidak
pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah
terlintas dalam hati manusia. Semua yang mereka inginkan dan mereka dambakan
akan terpenuhi sepenuhnya. Allah Ta’ala berfirman:
﴿لَهُمْ فِيهَا مَا
يَشَاؤُونَ﴾
“Mereka mendapatkan
di dalamnya apa saja yang mereka kehendaki.” (QS. An-Nahl: 31)
Artinya: Setiap
hal yang diinginkan oleh penghuni Surga benar-benar akan terjadi sesuai janji
Allah yang tidak mungkin diingkari.
Dalam hadits ini,
Rosulullah ﷺ
mengabarkan—dan saat itu ada seorang Arob pedalaman yang duduk bersama—bahwa
ada seorang lelaki dari penghuni Surga yang meminta izin kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala untuk menanam tanaman di Surga dengan tangannya sendiri.
Lalu Allah Ta’ala
berkata kepadanya: “Bukankah engkau sudah mendapatkan segala hal yang engkau
inginkan?”, maksudnya: “Bukankah engkau telah berada dalam segala bentuk
kenikmatan dan kesenangan?” Lelaki itu menjawab: “Benar, wahai Robbku, tetapi
aku suka bercocok tanam.”
Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengizinkannya dan mengabulkan permintaannya. Ia pun melemparkan
benih-benih tanaman ke tanah Surga. Seketika, benih tersebut tumbuh dengan
sangat cepat, bahkan lebih cepat dari kedipan mata. Tanaman itu tumbuh,
menguat, dan matang dengan sempurna, hingga bisa langsung dipanen dan
dikumpulkan hasilnya. Semua proses itu terjadi dalam sekejap, tanpa ada jeda
sedikit pun antara penanaman, pematangan, dan panen. Bahkan, hasil tanamannya
pun sebesar gunung karena keindahan dan kesempurnaannya.
Kemudian Allah
berkata kepadanya: “Ambillah, wahai anak Adam, karena sesungguhnya tidak ada
sesuatu pun yang bisa membuatmu merasa puas.”
Ucapan ini
bukanlah untuk menunjukkan bahwa di Surga ada rasa lapar atau kekurangan. Tidak
sama sekali. Namun ini menunjukkan bahwa jiwa manusia itu memiliki sifat rakus
dan tidak pernah merasa cukup, meskipun ia telah mendapatkan segala kenikmatan.
Ketika si baduwi
mendengar hadits ini, ia pun bergurau kepada Rosulullah ﷺ, seraya
berkata: “Demi Allah, tidaklah engkau temukan orang itu (yang ingin bercocok tanam)
kecuali dari kalangan Quroisy atau Anshor, karena mereka adalah orang-orang
yang suka bercocok tanam di dunia. Adapun kami orang-orang Arob pedalaman, kami
bukanlah ahli bercocok tanam.” Mendengar gurauan itu, Rosulullah ﷺ pun
tertawa.
Faidah dan Pelajaran Hadits:
1. Setiap hal
yang diinginkan oleh penghuni Surga—termasuk aktivitas duniawi seperti bercocok
tanam—dapat terjadi di sana.
2. Keutamaan
sifat qona’ah (menerima secukupnya) dan celaan terhadap kerakusan.
3. Deskripsi
manusia dibangun berdasarkan kebiasaan mereka, sebagaimana si baduwi membedakan
antara masyarakat kota dan pedalaman.
4. Ditetapkannya
sifat kalam (berbicara) bagi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam hadits ini Allah
berbicara langsung kepada hamba-Nya, dan itu sesuai dengan keagungan dan
kesempurnaan-Nya.
Penjelasan Ibnu Hajar
Adalah hadits
dari Abu Hurairoh, bahwa seorang lelaki dari penghuni Surga meminta izin kepada
Robb-nya — dalam riwayat As-Sarokh-si: “meminta izin kepada Robb-nya untuk
bercocok tanam.”
“Perkataannya: ‘Maka
aku ingin menanam lalu aku pun segera menanam’ — di sini terdapat kalimat
yang dibuang, takdirnya adalah: ‘lalu diizinkanlah baginya, maka dia menanam
dan langsung tumbuh dengan cepat.’
Perkataannya: ‘Lalu
berkata orang Baduwi: Wahai Rosulullah, engkau tidak akan mendapatkan hal ini
kecuali dari orang Quroisy atau Anshor, karena mereka adalah para pemilik
ladang’.
Al-Dawudi
berkata: ‘Perkataannya: dari orang Quroisy — adalah membingungkan, karena
kebanyakan dari mereka tidak memiliki ladang’.
Aku (Ibnu Hajar)
berkata: Penjelasan alasan tersebut membantah penafian secara mutlak. Apabila
telah tetap bahwa sebagian dari mereka memiliki ladang, maka ucapan si Baduwi
tersebut tetap benar — bahwa petani yang dimaksud termasuk dari kalangan
mereka.
Problem berikutnya
pada lafazh: ‘Tidak ada sesuatu pun yang bisa membuatmu kenyang’, karena
seakan bertentangan dengan firman Allah Ta’ala tentang gambaran Surga:
﴿إِنَّ لَكَ أَلَّا
تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَى﴾
“Sesungguhnya
engkau tidak akan lapar di dalamnya dan tidak pula telanjang.” (QS. Thoha)
Maka dijawab:
Penafian kenyang tidak mengharuskan adanya rasa lapar, karena di antara
keduanya terdapat perantara yaitu ‘kecukupan’. Makan di Surga adalah untuk
menikmati dan mencari kelezatan, bukan karena lapar.
Para Ulama
berbeda pendapat tentang keberadaan kenyang di Surga. Pendapat yang benar
adalah bahwa tidak ada kenyang di Surga. Karena seandainya ada kenyang, tentu
akan menghalangi kenikmatan makan yang terus-menerus bagi orang yang
menikmatinya.
Yang dimaksud
dari ucapannya: ‘tidak ada yang membuatmu kenyang’ adalah jenis manusia
secara umum dan karakter dasar yang ada pada dirinya — yaitu senantiasa mencari
tambahan kecuali orang yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.
***
Komentar
Posting Komentar