[1 of 3] Kitab Thoharoh (Bersuci) | Fiqih Dasar Untuk Pemula | Tim Dosen LIPIA

 Fiqih min As-Silsilah Al-Lughoh Al-Arobiyah Mustawa Tsalits

Tim Dosen Universitas Al-Imam, KSA

THOHAROH

A.     Islam dan Thoharoh

Islam adalah agama thoharoh (bersuci). Oleh karena itu Islam menjadikan wudhu sebagai syarat sholat, thowaf, memegang mushaf (Al-Qur’an), dan mewajibkan mandi seusai jinabat (hubungan badan suami istri), haidh (menstruasi), dan nifas (darah yang keluar setelah melahirkan), sebagaimana menganjurkan mandi besar pada hari Jumat dan hari raya Idul Fithri dan Adha. Islam mendorong umatnya untuk membersihkan badan, pakaian, dan tempat, serta menjadikan kebersihan bagian dari iman. Allah berfirman:

﴿إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهّرِينَ﴾

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 222)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ»

“Bersuci adalah setengah iman.” (HR. Muslim no. 223)

B.     Makna Thoharoh

Thoharoh (bersuci) adalah membersihkan dari kotoran. Secara syariat, thoharoh adalah menghilangkan hadats dan najis.

Hadats adalah keadaan seseorang dalam kondisi tidak suci sehingga perlu mandi atau berwudhu agar kembali suci. Contoh yang menyebabkan hadats adalah jinabat, kentut, kencing, dan berak.

Najis adalah sesuatu yang dianggap syariat sebagai najis.

C.     Pembagian Thoharoh

Thoharoh dibagi dua, yaitu bersuci dari hadats dan bersuci dari najis.

a)      Bersuci dari Hadats

Hadats adalah sesuatu yang menghalangi sahnya sebagian ibadah-ibadah dan hanya terjadi pada badan. Hadats ada dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Sebab hadats kecil adalah batal wudhu, dan sebab hadats besar adalah jima (hubungan intim suami-istri), mimpi basah (mimpi jima), haidh (menstruasi/datang bulan), dan nifas (darah yang keluar setelah melahirkan).

Cara bersuci dari hadats kecil adalah berwudhu, sementara hadats besar adalah mandi. Jika tidak ada air atau tidak memungkinkan menggunakan air maka tayammum[1] menggantikan peran wudhu dan mandi.

b)      Bersuci dari Najis

Najis adalah segala kotoran atau kondisi yang dianggap syariat tidak suci. Lawan najis adalah suci.

Contoh bersuci dari najis adalah membersihkan badan, pakaian, dan tempat dari darah, kencing, dan buang hajat. Orang yang sholat harus suci badannya, pakaiannya, dan tempatnya. Menghilangkan kotoran-kotoran inilah yang dinamakan dengan bersuci dari najis.

D.     Hikmah Syariat Thoharoh

Hikmah adalah tujuan dan manfaat dari syariat yang diturunkan Allah. Sementara syariat adalah ritual ibadah yang Allah turunkan baik berupa perintah maupun larangan.

Di antara hikmah syariat thoharoh adalah:

1.       Agar seorang Muslim berdiri di harapan Allah dalam kondisi suci dan bersih.

2.       Penggunaan air bisa memperbaruhi semangat dan menghilangkan bau tidak sedap.

3.       Islam agama kebersihan dan mengajak kepada kebersihan yang diseru oleh kedokteran masa kini.

E.      Yang Suci dan Yang Najis

Hukum asal sesuatu adalah suci hingga ada dalil yang menunjukkannya najis. Di antara sesuatu yang suci adalah:

1.  Manusia baik hidup atau mati, hewan yang mubah dimakan, bangkai yang darahnya tidak mengalir, dan semua bangkai binatang laut. Abu Huroiroh Radhiyallah ‘Anhu berkata: seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, jika kami naik kapal sementara persediaan air yang kami bawa sedikit apakah boleh kami berwudhu menggunakan air?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Laut itu suci mensucikan dan bangkainya halal.” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 83)

2.       Air, benda, dan tetumbuhan.

3.       Sisa darah pada badan binatang yang disembelih.

4.       Mani anak Adam.

5.       Kotoran binatang yang boleh dimakan.

Adapun sesuatu yang najis adalah:

1.       Bangkai binatang, darah yang mengalir, dan daging babi. Allah berfirman, Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

2.       Kotoran manusia (kencing dan buang hajat) dan semua kotoran binatang yang haram dimakan.

3.       Anggota badan yang dipotong dari binatang hidup kecuali bulu bebek, bulu atau kulit onta, semua itu suci.

Sementara najis yang dimaafkan adalah:

Sedikit darah dan muntahan, kotoran sedikit yang tersisa di alas kaki setelah diusapkan ke tanah. Sebagian ulama berpandangan semua najis yang sedikit adalah dimaafkan, khususnya najis yang menimpa ibu menyusui dari kotoran bayi selagi ia berusaha menjaga diri. Para ulama menyukai, ibu tersebut memiliki baju khusus untuk sholat. Begitu juga dimaafkan najis yang sulit dihindari seperti penjual daging dan petugas toilet.

F.      Yang Suci Mensucikan

Cara membersihkan najis dari sesuatu yang suci dan mesucikan adalah menggunakan pelantara berikut:

1.       Air. Tempat najis menjadi suci dengan dibasuh air dan cukup sekali guyuran jika najisnya hilang, jika belum hilang maka diulangi hingga benar-benar hilang. Badan dan tanah menjadi suci dengan diguyur air. Abu Hurairah berkata, “Ada orang pedalaman yang datang ke masjid lalu kencing di dalam masjid. Orang-orang memarahinya, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Jangan ganggu dia. Ambil air dan guyur kencingnya dengan timba air tersebut.” (HR. Al-Bukhori no. 220)

2.       Dilk (mengusap dengan tanah). Sepatu dan sandal disucikan dengan mengusapkannya ke tanah, berdasarkan riwayat dari Abu Huroiroh Radhiyallah ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kalian menginjak kotoran dengan sandal, maka tanah mensucikannya.” (Shahih: HR. Abu Dawud no. 385)

3.       Membasuh. Pedang dan pisau cukup disucikan dengan mengusapkannya dengan kain atau semisalnya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa para Sahabat saat perang mengusap pedang-perang mereka lalu sholat dengan membawanya.

4.       Menyamak. Kulit bangkai menjadi suci dengan disamak. Caranya adalah kulit dihamparkan lalu dijemur di terik matahari sehingga menjadi kering. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika kulit bangkai disamak maka ia menjadi suci.” (HR. Al-Bukhori)

5.       Membuang najisnya dan sekitarnya. Apabila najis jatuh di madu dan minyak padat maka najisnya dan sekitarnya dibuang, tetapi benda tersebut benda cair maka najis semuanya, menurut jumhur (mayoritas) ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya seperti air, yaitu tidak najis kecuali berubah warnanya dan aromanya.

G.    Pembagian Air

Allah berfirman:

﴿وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا﴾

Kami turunkan dari langit air thohur.” (QS. Al-Furqon [25]: 49)

Air dibagi tiga macam, yaitu:

1.       Air thohur, yaitu air yang suci mensucikan. Dzatnya suci dan bisa digunakan untuk bersuci atau menjadikan lainnya suci, seperti air hujan, air laut, air, sungai, air sumur. Air thohur bisa digunakan untuk ibadah seperti wudhu dan mandi besar; bisa digunakan untuk menghilangkan najis; bisa digunakan untuk kehidupan seperti minum dan memasak makanan.

2.       Air thohir, yaitu suci tidak mensucikan. Dzatnya suci tetapi tidak bisa mensucikan lainnya. Awalnya ia adalah air thohur lalu bercampur dengan lainnya sehingga berubah warna, rasa, dan aromanya, seperti minyak wangi, teh, kopi, dan lainnya. Air jenis ini hanya boleh digunakan untuk kehidupan seperti minum dan memasak, tetapi tidak boleh untuk ibadah bersuci karena tidak bisa menghilangkan najis.

3.       Air najis, yaitu air sedikit yang kejatuhan najis atau air banyak yang kejatuhan najis hingga berubah warna, rasa, dan aromanya. Air jenis ini tidak boleh untuk ibadah tetapi boleh untuk mengairi ladang, menyirami tanaman, bahan bangunan, dan semisalnya.

H.     Istinjak dan Istijmar

Pengertian

Istinjak adalah bersuci menggunakan air, dan istijmar adalah bersuci menggunakan batu atau yang mewakili fungsi batu, seperti kertas, tisu, kayu, dan semisalnya. Bersuci boleh menggunakan salah satu dari dua cara ini, dan menggabungkan keduanya dalam bersuci lebih utama.

Tentang istinjak, Anas bin Malik Radhiyallah ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk toilet lalu aku dan temanku membawakan wadah berisi air dan tombak lalu beliau beristinjak dengan air. (Muttafaqun Alaih)

Tentang istijmar, Aisyah Radhiyallah ‘Anha mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

«إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ، فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، فَإِنَّهَا تُجْزِئُهُ»

“Jika kalian pergi ke toilet maka bersihkanlah dengan tiga batu dan itu sudah cukup.” (Shahih: HR. Ahmad no. 24771)

Istinjak dan istijmar digunakan untuk membersihkan kotoran yang keluar dari dua jalan, yaitu dubur (anus) dan qubul (kemaluan). Sehingga istinjak dan istijmar hanya berlaku untuk buang air besar dan buang air kecil (kencing).

c)       Adab Buang Hajat

Islam melarang buang hajat menghadap kiblat atau membelakanginya, tetapi jika di dalam ruangan (bangunan) maka boleh. Tidak boleh menggunakan tangan kanan dan tidak boleh menggunakan kotoran binatang yang kering, makanan, tulang, dan sesuatu yang dimuliakan.

d)      Tatacara Istinjak dan Istijmar

Setelah buang hajat, wajib membersihkan bekas kencing atau berak dengan air. Ini lebih diutamakan daripada menggunakan batu.

Jika menggunakan batu maka menggunakan 3 batu, jika belum bersih maka menambah hingga menjadi ganjil seperti 5 dan 7.

Jika kotoran yang keluar begitu banyak dan meluber dari tempatnya maka harus menggunakan air.

Menggabungkan antara air dan batu lebih diutamakan, karena Al-Quran memuji penduduk Quba yang bersuci menggunakan air dan batu. Allah berfirman:

﴿فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ﴾

Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah [9]: 108)

Mereka berkata, “Kami mengikutkan batu setelah air.” (HR. Al-Bazzar)

I.        Wudhu

Bersuci dari hadats dan najis termasuk syarat sah sholat, sebagaimana firman Allah:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ﴾

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Pengertian

Wudhu adalah membasuh wajah dan kedua tangan hingga siku, mengusap kepala, dan memasuh kedua kaki hingga mata kaki menggunakan air.

e)      Rukun

Niat adalah syarat dari semua ibadah. Niat wajib dihadirkan saat berwudhu, tempatnya di hati, yaitu kehendak (krentek hati) berwudhu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Amal itu harus niat.” (Muttafaqun Alaih)

Rukun wudhu ada enam yaitu:

1.       Membasuh wajah

2.       Membasuh kedua tangan hingga siku-siku.

3.       Mengusap kepala, yaitu membasahi tangan lalu diusapkan ke sebagian rambut lalu diputar menuju daun telinga dengan mengusapnya.

4.       Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.

5.       Tertib, yaitu berurutan dari wajah hingga kaki.

6.       Muwalah, yaitu membasuh anggota lainnya sebelum anggota sebelumnya kering.

f)        Pembatal

Yaitu sesuatu yang mewajibkan wudhu kembali, yaitu:

1.       Keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur).

2.       Hilangnya akal baik gila atau tidur berat.

3.       Sebagian ulama menambahkan (khilaf):

a)       Menyentuh kemaluan dengan tangan.

b)      Menyentuh perempuan dengan syahwat.

c)       Memandikan jenazah.

d)      Apa yang keluar dari tubuh seperti darah.

g)       Hikmah

1.       Membersihkan anggota badan yang sering terkena kotoran.

2.       Wudhu memperbaruhi semangat dan menguatkan diri dalam beribadah.

3.       Wudhu menghapus dosa-dosa, seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ»

“Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang dengan itu Allah menghapus dosa dan mengkat derajat?” Sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu saat kondisi yang dibenci, banyak melangkah ke masjid, menungguh sholat setelah sholat. Itu semua adalah ribath.” (HR. Muslim no. 251)

J.       Mandi

Pengertian

Mandi adalah meratakan air ke jasad dengan air. Allah menyuruh orang yang junub untuk mandi:

﴿وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا﴾

“Jika kamu junub maka bersihkanlah.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

Maknanya adalah mandi, jika tidak ada air maka cara membersihkannya diganti tayamum.

Yang mewajibkan mandi adalah:

1.       Jinabat, yaitu kondisi yang disebabkan karena hubungan intim suami istri, mimpi basah.

2.       Berhentinya darah haidh dan nifas.

3.       Meninggal. Jika seorang Muslim meninggal maka ia dimandikan, (dan jika ia mandi sendiri maka itu berarti ia belum meninggal).

4.       Masuk Islam. Siapa yang masuk Islam maka wajib mandi.

h)      Tata Cara Mandi

1.       Membaca basmalah dan membasuh kedua tangan hingga ruas tangan sebelum memasukkannya ke bejana air, disertai niat.

2.       Menghilangkan kotoran yang menempel di jasad.

3.       Wudhu seperti wudhu sholat.

4.       Membasuh kepala 3x.

5.       Membasuh bagian kanan 3x lalu bagian kiri seperti itu.

6.       Meratakan air ke semua badan dan mengusap bagian anggota yang sulit dijangkau air.

7.       Membasuh kedua telapak kaki.

Cara di atas adalah cara mandi yang sempurna. Namun, boleh seseorang hanya meratakan air ke seluruh tubuh meski hanya satu guyuran, yang penting terbasahi semuanya. Begitu juga, jika seseorang hujan-hujanan dengan niat mandi besar maka sah, asal air merata ke semua anggota badan.

i)        Hikmah Mandi

1.       Mandi membersihkan badan dan menjadikan Muslim bersih saat menghadap Rabbnya.

2.       Memperbaruhi semangat dan menjauhkan diri dari bau tidak sedap.

K.     Tayammum

Pengertian

Tayammum adalah bersuci menggunakan debu dengan mengusapkannya ke wajah dan kedua tangan dengan niat, tertib, dan muwalah (tanpa jeda lama). Allah berfirman:

﴿وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ﴾

“Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan (jimak), lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)

j)        Tata Cara

Tangan ditepukkan sekali ke debu baik di tanah, dinding, punggung kursi, atau lainnya sesuai kemudahan lalu ditiup lalu disapukan ke wajah sekali lalu ke ke tangan kanan bagian dalam dan luarnya hingga pergelangan tangan lalu ke tangan kiri seperti itu pula. Masing-masing cukup sekali.

k)      Sebab Tayammum

Dalam ayat di atas, jika seseorang tidak mendapatkan air atau ada air tetapi ada halangan dalam penggunaanya baik karena sakit atau lainnya, maka ia boleh beralih dari bersuci menggunakan air (wudhu) menuju bersuci menggunakan debu (tayammum).

l)        Hikmah Tayammum

1.       Islam agama yang mudah.

2.       Syariat adalah perintah dan larangan, meskipun tidak bisa dinalar. Di dalam tayammum ada pelajaran bahwa yang penting taat bukan mendahulukan akal. Jika orang Islam mendahulukan akal dari syariat, pastilah mereka tidak melakukan tayammum karena secara logika yang dibasuh adalah semua anggota wudhu, bukan semata wajah dan tangan.

L.      Membasuh Khuf

Pengertian

Khuf adalah alas kaki yang menutupi sampai alas kaki berupa sepatu, kaos kaki, atau semisalnya. Sementara membasuh khuf adalah membasahi tangan dengan air lalu diusapkan ke bagian luar dari khuf, yang berlaku selama waktu tertentu.

Khuf menjadi pengganti membasuh kaki dalam berwudhu. Hal ini diperbolehkan berdasarkan riwayat dari Al-Mughiroh bin Syu’bah Radhiyallah ‘Anhu, dia berkata, “Aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat beliau berwudhu lalu aku menunduk untuk melepaskan sepatu khuf beliau lalu bersabda:

«دَعْهُمَا، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ»

“Biarkan saja, karena aku memasukkan keduanya (kaki) dalam keadaan suci.” (HR. Al-Bukhori no. 206)

Ini menunjukkan agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan umatnya.

m)    Masa Berlaku Khuf

Masa belakunya khuf adalah tiga hari untuk musafir dan sehari untuk muqim (domisili), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

«لِلْمُسَافِرِ ثَلاثَةُ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، وَلِلْمُقِيمِ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ»

“Bagi musafir tiga hari tiga malam dan bagi muqim sehari semalam.” (Shahih: HR. Ahmad no. 748)

Permulaan masa khuf adalah pada waktu mengusap setelah memakai bukan ketika memakai.

Misalkan seseorang dalam kondisi suci lalu memakai khuf di pagi hari. Ketika datang waktu Zhuhur dia berwudhu dan mengusap khuf sebagai ganti mengusap kaki. Maka start dianggapnya khuf adalah ketika dia mengusapkan di waktu Zhuhur, bukan ketika di pagi saat memakai sepatu. Jika dia musafir maka berlaku sampai tiga hari, sementara jika dia seorang muqim maka berlaku sehari.

n)      Pembatal Khuf

Khuf batal dengan salah satu dari 4 hal ini:

1.       Khuf dilepas dari kaki.

2.       Munculnya yang mewajibkan mandi.

3.       Terkena kotoran banyak pada khuf.

4.       Habisnya masa berlaku.

M.  Membasuh Perban

Terkadang seseorang ditimpa musibah berupa luka atau patah tulang pada salah satu anggota tubuhnya sehingga bagian tersebut diperban atau diplester.

Jika takut memperparah sakitnya atau memperlambat pemulihannya maka dipebolehkan hanya dibasuh dengan tangan yang dibasahi air, mirip dengan membasuh khuf. Cara membasuhnya cukup sekali usap.

Perbedaannya dengan khuf adalah:

1.       Membasuh perban boleh karena hadats besar maupun kecil, sementara membasuh khuf hanya karena hadats kecil.

2.       Saat memasang perban boleh dalam keadaan tidak suci, adapun saat memakai khuf dalam keadaan suci.[]



[1] Akan datang penjelasannya pada bab tersendiri.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url