Hukum Keyakinan Al-Qur’an Makhluk
Asal Mula Perkataan Bahwa Al-Qur’an Makhluk
Perkataan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk pertama kali
dikenal pada akhir masa Tabi‘in, ketika muncul Jahm bin Shofwān (w. 128
H), saudara setan—semoga Allah melaknat keduanya. Ia adalah seorang mulhid
(ateis) yang keras
kepala dan zindiq
(munafik yang terang-terangan menampakkan kekafiran) yang menyimpang
dari jalan orang-orang beriman. Ia tidak menetapkan bahwa di langit ada Robb,
dan tidak mau menetapkan sifat apa pun bagi Allah ﷻ dari sifat-sifat yang
telah Allah tetapkan untuk Diri-Nya sendiri. Ujung dari perkataannya adalah
pengingkaran terhadap adanya Pencipta ﷻ.
Ia pernah meninggalkan Sholat selama empat puluh hari karena
mengaku sedang mencari agama. Ketika berdialog dengan salah satu orang as-samaniyyah
(penyembah berhala), tentang sesembahannya, ia berkata—semoga Allah
memburukkannya:
هُوَ هَذَا الهَوَاءُ فِي كُلِّ مَكَانٍ
“Dia adalah udara ini, yang ada di segala tempat.”
Suatu ketika ia membaca permulaan surat Thoha, dan ketika
sampai pada firman Allah ﷻ:
﴿ٱلرَّحْمَٰنُ
عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ﴾
“Ar-Rohmān beristiwa (tinggi) di atas ‘Arsy.” (QS. Thohā:
5)
Ia berkata: “Kalau aku bisa menemukan cara untuk menghapus
ayat ini, niscaya aku akan menghapusnya.”
Lalu ia membaca terus hingga sampai pada satu ayat lagi, dan
ia berkata: “Alangkah cerdasnya
Muhammad saat mengucapkan ini!”
Kemudian ia membuka surat Al-Qoṣoṣ, dan ketika membaca kisah Nabi Musa, ia mengumpulkan kedua tangan dan kedua kakinya, lalu mengangkat mushaf, lalu berkata: “Apa-apaan ini, disebut di sini tapi tidak disempurnakan kisahnya, lalu disebut di situ juga tidak disempurnakan kisahnya?”
Dan telah diriwayatkan darinya kekafiran-kekafiran selain
ini. Orang hina dan
rendah ini tidak pantas untuk diterjemahkan
(dibahas riwayat hidupnya). Maka Allah memudahkan penyembelihannya melalui
tangan Sālim bin Aḥwaz—gubernur
Isfahan (Asfahan, Iran), dan ada yang mengatakan di Marw, semoga Allah merahmatinya
dan membalasnya dengan kebaikan atas kaum Muslimin.
Perkataan Jahm bin Shofwān diambil dari Al-Ja‘d bin Dirham
(w. 124 H), tetapi memang yang mempopulerkan adalah Jahm. Karena ketika Al-Ja‘d
menyuarakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, Bani Umayyah mencarinya, maka ia
melarikan diri dan tinggal di Kufah. Di sana ia bertemu dengan Jahm bin Shofwān
dan Jahm menerima perkataan ini darinya. Ia (Al-Ja‘d) tidak memiliki banyak
pengikut selain Jahm.
Kemudian Allah memudahkan pembunuhan Al-Ja‘d melalui tangan Khālid
bin ‘Abdillāh Al-Qosri, seorang gubernur, yang membunuhnya pada hari ‘Idul
Adha di Kufah. Saat itu Khālid berkhutbah dan berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوا، تَقَبَّلَ
اللَّهُ ضَحَايَاكُمْ، فَإِنِّي مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ، إِنَّهُ زَعَمَ
أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا،
تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يَقُولُ الْجَعْدُ عُلُوًّا كَبِيرًا
“Wahai manusia, berqurbanlah—semoga Allah menerima qurban
kalian—sesungguhnya aku berqurban dengan Al-Ja‘d bin Dirham. Karena ia telah
mengaku bahwa Allah tidak menjadikan Ibrohīm sebagai kekasih, dan tidak
berbicara langsung kepada Mūsā. Maha tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh
Al-Ja‘d dengan ketinggian yang besar.”
Lalu ia turun dari mimbar dan menyembelihnya di bawah
mimbar.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori (w. 256 H) dalam
kitabnya: Kholqu Af‘ālil ‘Ibād hlm. 29.
Al-Albāni (w. 1420 H) berkata dalam Mukhtashorul-‘Uluw,
hlm. 75: “Shohih lighoirihi (shohih karena ada penguat
lain).”
Adapun Al-Ja‘d mengambil bid‘ah ini dari Bayān bin Sam‘ān
(w. 119 H), dan Bayān mengambilnya dari Tholūt, keponakan dari Labid
bin Al-A‘shom. Tholūt mengambilnya dari pamannya, yaitu Labid bin Al-A‘shom,
seorang Yahudi yang pernah menyihir Nabi ﷺ, hingga Allah
menurunkan surat Al-Mu‘awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas).
Kemudian paham sesat ini diteruskan dari Jahm bin Shofwān
oleh Bisyr bin Giyāts Al-Mirrisi (w. 218 H), seorang mutakallim
(ahli kalam), tokoh utama kaum Mu‘tazilah, dan termasuk orang yang menyesatkan
Al-Ma’mun. Ia menghidupkan kembali perkataan bahwa Al-Qur’an makhluk, dan
dikatakan bahwa ayahnya adalah seorang Yahudi yang bekerja sebagai penyamak
kulit di Kufah. Diriwayatkan darinya berbagai perkataan buruk dalam agama,
termasuk paham Jahmiyyah dan lainnya.
Kemudian, dari Bisyr, paham sesat ini diambil oleh Qodhi
Al-Mihnah (hakim tukang penyulut fitnah), yaitu Ahmad bin Abī Du’ad (w.
240 H), yang menyuarakan secara terang-terangan madzhab Jahmiyyah, dan
mendorong penguasa untuk memaksa rakyat dengan ujian (mihnah) agar
menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, dan bahwa Allah tidak akan terlihat
di Akhirat. Karena dialah, maka Ahlul Hadits dan Sunnah mengalami siksaan
berupa penjara, pukulan, pembunuhan, dan sebagainya.
Kemudian Allah mengujinya dengan penyakit lumpuh (al-fālij)
selama empat tahun sebelum wafatnya, hingga Allah membinasakannya pada tahun
240 H.
Barangsiapa yang ingin melihat semua ini dengan rinci dan
lengkap, hendaknya membaca buku-buku tarikh (sejarah), maka ia akan
melihat hal-hal yang sangat menakjubkan.
Rujukan:
Ma‘ārij Al-Qobūl bi-Syarhi Sullamil-Wushūl, karya
Hāfizh bin Ahmad Al-Hakamiy (w. 1377 H), jilid 1 hlm. 393.