Syarah Tsulatsiyat dari Shohih Al-Bukhori | Nor Kandir

 


بسم الله الرحمن الرحيم

Tsulatsiat adalah hadits yang dalam sanadnya hanya 3 orang, antara Bukhori dengan Rosulullah . Jumlahnya ada 22 dari 7.563 hadits. Sebagai perbandingan, kitab hadits masyhur yang paling tinggi adalah Al-Muwatho Malik, hanya 2 orang, seperti Malik dari Nafi dari Ibnu Umar dari Nabi .

22 tsulatsiyat Bukhori ini berasal dari 5 guru Al-Bukhori: Makki bin Ibrohim (11 hadits), Abu ‘Ashim (6 hadits), Al-Anshori (3 hadits), Khollad bin Yahya (1 hadits), dan ‘Ishom bin Kholid (1 hadits). Sementara jumlah Shohabat yang meriwayatkannya ada 3, yaitu: Salamah bin Al-Akwa’ (17 hadits), Anas bin Malik (4 hadits), ‘Abdullah bin Busr (1 hadits).

Tujuan saya menulis ini, agar memudahkan penuntut ilmu untuk menghafal hadits-hadits tsulatsiyat dari kitab hadits tershohih, Shohih Al-Bukhori.

“Ya Allah terimalah dari kami. Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Surabaya, Dzulhijjah 1446 H/ 2025

Nor Kandir

Dari jalur Makki bin Ibrohim (11 Hadits)

[1] Ancaman Berdusta Atas Nama Nabi

[1] 109 - حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»

1. Imam Al-Bukhori berkata dalam Shohih-nya: Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi bersabda:

«مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»

“Siapa mengatakan atas namaku sesuatu yang tidak aku katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di Neraka.”

Makna Umum

Nabi memperingatkan dari berdusta atas nama beliau, karena hal itu merupakan kejahatan besar yang sangat berat. Tidak ada kedustaan terhadap siapa pun yang sebanding dengan kedustaan atas nama beliau . Sebab, hak beliau lebih agung, dan hak syari’at lebih kuat. Kedustaan atas nama beliau menjadi jalan untuk membatalkan syari’at beliau dan merusak agama ini.

Nabi menjelaskan hukuman bagi orang yang berdusta atas nama beliau, yaitu bahwa ia hendaknya menyiapkan tempat duduknya di dalam Neraka, dan bersiap-siap untuk memasukinya pada Hari Kiamat, sebagai balasan atas apa yang telah dilakukannya berupa kedustaan atas nama Nabi , dan sebagai bentuk ancaman serta peringatan agar jangan sampai nekat melakukan dosa besar ini.

Hal ini berlaku bagi siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Nabi , dengan maksud benar-benar berdusta. Kedustaan atas beliau bisa berupa menisbatkan kepada beliau sesuatu yang tidak pernah beliau katakan, lakukan, atau setujui.

---

[2] Jarak Sutroh

[2] 497 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: «كَانَ جِدَارُ المَسْجِدِ عِنْدَ المِنْبَرِ مَا كَادَتِ الشَّاةُ تَجُوزُهَا»

2. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Dinding Masjid di dekat mimbar itu nyaris tidak bisa dilewati kambing.”

Makna Umum

Nabi memerintahkan orang yang Sholat sendirian agar mengambil sutroh (pembatas di depannya), terutama di tempat-tempat yang terbuka, agar tidak ada orang yang lewat di depannya dan memutuskan Sholatnya. Adapun dalam Sholat berjamaah, maka jika imam telah mengambil sutroh untuk dirinya, maka itu juga menjadi sutroh bagi para makmum.

Hadits ini menjelaskan bahwa termasuk Sunnah adalah dekatnya orang yang Sholat kepada sutrohnya. Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa antara dinding Masjid Nabi dan mimbar terdapat jarak yang kecil, hanya seukuran yang cukup untuk lewatnya seekor kambing, yang merupakan jarak yang sangat pendek (kira-kira 0,5 meter). Nabi berdiri menjadi imam di samping mimbar, karena Masjid beliau belum memiliki mihrab; maka jarak antara beliau dan dinding itu sama seperti jarak antara mimbar dan dinding. Ini menunjukkan bahwa beliau mendekat kepada dinding yang menjadi sutroh beliau, agar tidak ada yang lewat di depannya saat beliau sedang Sholat, dan agar beliau bisa menghalangi siapa pun yang mencoba lewat di hadapannya.

Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Sahal bin Abi Hatsmah Rodhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi , beliau bersabda:

«إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا، لَا يَقْطَعِ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ»

“Apabila salah seorang dari kalian Sholat menghadap sutroh, maka hendaklah ia mendekat kepadanya, agar syaitan tidak memutus Sholatnya.” (HSR. Abu Dawud no. 698)

---

[3] Mendekat ke Sutroh

[3] 502 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: كُنْتُ آتِي مَعَ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ فَيُصَلِّي عِنْدَ الأُسْطُوَانَةِ الَّتِي عِنْدَ المُصْحَفِ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا مُسْلِمٍ، أَرَاكَ تَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَ هَذِهِ الأُسْطُوَانَةِ، قَالَ: فَإِنِّي «رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَتَحَرَّى الصَّلاَةَ عِنْدَهَا»

3. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, ia berkata: Aku biasa datang bersama Salamah bin Al-Akwa’, lalu ia Sholat di dekat tiang yang berada di sisi mushhaf. Maka aku berkata: “Wahai Abu Muslim, aku melihat engkau memilih Sholat di dekat tiang ini?” Ia menjawab: “Karena aku melihat Nabi memilih Sholat di dekatnya.”

Makna Umum

Para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum sangat bersungguh-sungguh dan penuh semangat dalam mengikuti Sunnah Rosulullah , petunjuk beliau, dan jejak langkah beliau.

Dalam hadits ini, seorang Tabi’in bernama Yazid bin Abi ‘Ubaid menceritakan bahwa ia biasa datang ke Masjid Nabi bersama Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, lalu Salamah biasa Sholat di dekat ustuwānah (tiang) yang berada di dekat mushaf, yakni Mushaf ‘Utsman Rodhiyallahu ‘Anhu. Ini menunjukkan bahwa mushaf tersebut memiliki tempat khusus.

Dikatakan bahwa tiang tersebut adalah salah satu dari tiang-tiang Masjid lama yang disebut sebagai Ar-Roudhoh. Di area Roudhoh itu terdapat dua tiang, masing-masing disebutkan bahwa Nabi pernah Sholat menghadap ke arahnya:

Tiang pertama disebut ustuwanah mukhollaqoh, juga dikenal dengan sebutan ustuwanah muhajirin. Letaknya berada di tengah-tengah Roudhoh.

Tiang kedua adalah ustuwanah taubah, yaitu tiang tempat Abu Lubabah Rodhiyallahu ‘Anhu mengikat dirinya hingga Allah menerima taubatnya.

Kemudian Yazid bin Abi ‘Ubaid bertanya kepada Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: “Mengapa engkau memilih Sholat di dekat tiang ini?” Maka Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu menjawab bahwa ia pernah melihat Nabi sengaja memilih tempat itu untuk Sholat, maka ia pun mengikuti jejak Nabi .

Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan secara tegas bahwa Sholat yang dilakukan oleh Salamah di tempat itu adalah Sholat tathawwu’ (sunnah).

Hadits ini menunjukkan bahwa tidak mengapa seseorang menetapkan tempat tertentu di Masjid untuk melaksanakan Sholat sunnah.

---

[4] Waktu Maghrib

[4] 561 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: «كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ ﷺ المَغْرِبَ إِذَا تَوَارَتْ بِالحِجَابِ»

4. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Kami dahulu Sholat Maghrib bersama Nabi ketika matahari telah terbenam di balik hijab (cakrawala).”

Makna Umum

Allah menetapkan waktu tertentu untuk pelaksanaan Sholat fardhu yang wajib ditunaikan di dalam rentang waktu tersebut, sebagaimana firman-Nya:

﴿ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا ﴾

“Sesungguhnya Sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisā’: 103)

Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang waktu Sholat Maghrib, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: “Kami biasa Sholat Maghrib bersama Nabi ketika matahari telah terbenam dan tertutup tirai (cahaya senja). Cakrawala (garis khayal yang memisahkan batas permukaan bumi dengan langit dalam pandangan mata) menjadi seperti tirai yang memisahkan antara matahari dan orang-orang yang melihatnya.”

Waktu Sholat Maghrib berlanjut hingga hilangnya syafaq, yaitu warna kemerahan di langit setelah matahari terbenam, sebagaimana disebutkan dalam Shohih Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Rosulullah bersabda:

«وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ»

“Waktu Sholat Maghrib adalah selama syafaq (kemerahan senja) belum hilang.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:

Anjuran untuk segera melaksanakan Sholat Maghrib setelah matahari terbenam.

Penjelasan tentang awal waktu Sholat Maghrib, yaitu dimulai segera setelah matahari benar-benar tenggelam dan menghilang dari pandangan.

---

[5] Puasa Asyuro #1

[5] 2007 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ: «أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ: أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ»

5. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Nabi memerintahkan seorang laki-laki dari Bani Aslam: “Umumkan kepada manusia: Siapa yang telah makan, maka hendaknya ia berpuasa sisa harinya. Dan barang siapa yang belum makan, maka hendaknya ia berpuasa. Karena hari ini adalah hari ‘Asyuro.”

Makna Umum

Hari ‘Āsyūro’ termasuk di antara hari-hari Allah yang penuh keberkahan; pada hari itu Allah ‘Azza wa Jalla menyelamatkan Nabi Mūsā ‘Alaihis-Salām dari Fir’aun dan bala tentaranya. Rosulullah berpuasa pada hari itu, dan memerintahkan kaum Muslimin untuk berpuasa pada hari tersebut. Itulah puasa pertama yang dilakukan oleh kaum Muslimin, sebelum diwajibkannya puasa Romadhon.

Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu mengabarkan bahwa Nabi mengutus seorang laki-laki — yaitu Hind bin Asmā’ bin āritsah Al-Aslamī Rodhiyallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Ahmad dan selainnya — untuk menyeru manusia pada hari ‘Āsyūro’, yaitu hari kesepuluh dari bulan Allah, Al-Muarrom, agar siapa yang telah makan maka hendaknya ia menyempurnakan (puasanya), maksudnya: janganlah ia makan lagi pada sisa hari itu hingga waktu berbuka, sebagai bentuk pengagungan terhadap kehormatan waktu tersebut. Dan siapa yang belum makan, maka hendaknya tidak makan sedikit pun, dan niat untuk berpuasa lalu berpuasa sepanjang hari itu.

Kemudian, setelah diwajibkannya puasa Romadhon, maka puasa ‘Āsyūro’ menjadi sunnah muqayyadah: barang siapa yang mau, ia boleh berpuasa; dan siapa yang tidak mau, ia boleh meninggalkannya.

Keutamaan puasa ‘Āsyūro’ adalah bahwa ia menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam Shohih Muslim dari Abu Qotādah Rodhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rosulullah bersabda:

«صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى ٱللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»

“Puasa hari ‘Āsyūro’, aku berharap kepada Allah agar Dia menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim no. 1162)

Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab Nabi berpuasa pada hari ‘Āsyūro’, di antaranya sebagaimana disebutkan dalam Shohih Al-Bukhori dan Shohih Muslim dari Ibnu ‘Abbās Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa itu adalah hari di mana Allah menyelamatkan Mūsā dari Fir’aun, dan kaum Yahudi berpuasa pada hari tersebut, maka Nabi bersabda:

«نَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ» فَصَامَهُ

“Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap (ajaran) Mūsā daripada kalian.” Maka beliau pun berpuasa padanya. (HR. Al-Bukhori no. 2004 dan Muslim no. 1130)

Termasuk pula: dalam Shohih Al-Bukhori dan Shohih Muslim dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi bersabda:

«إِنَّهُ يَوْمٌ كَانَتْ تَصُومُهُ الْجَاهِلِيَّةُ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»

“Sesungguhnya itu adalah hari yang dahulu juga dipuasakan oleh kaum Jahiliyah, maka barang siapa yang ingin, silakan ia berpuasa, dan barang siapa yang tidak suka, silakan ia meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhori no. 2001 dan Muslim no. 1126)

---

[6] Tidak Mensholati Janazah Berhutang #1

[6] 2289 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ، إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»، قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟» قِيلَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: «هَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟»، قَالُوا: لاَ، قَالَ: «فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ؟»، قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

6. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Kami sedang duduk bersama Nabi , lalu datang janazah. Maka mereka berkata: “Sholatkanlah janazah ini.” Beliau bersabda: “Apakah ia punya utang?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Apakah ia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka beliau menyolatkannya.

Lalu datang janazah lain, dan mereka berkata: “Wahai Rosulullah, Sholatkanlah janazah ini.” Beliau bertanya: “Apakah ia punya utang?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tiga dinar.” Maka beliau menyolatkannya.

Kemudian datang janazah ketiga, dan mereka berkata: “Sholatkanlah janazah ini.” Beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya: “Apakah ia memiliki utang?” Mereka menjawab: “Tiga dinar.” Beliau bersabda: “Sholatkanlah janazah teman kalian.” Abu Qotadah berkata: “Sholatkanlah ia wahai Rosulullah, dan aku yang akan menanggung utangnya.” Maka beliau pun menyolatkannya.

Makna Umum

“Hutang adalah termasuk hak-hak sesama manusia yang wajib ditunaikan.” Maka orang yang berhutang wajib menyucikan tanggungan dirinya (dzimmah-nya) dengan membayar hutang yang menjadi kewajibannya.

Karena besarnya urusan hutang dan bahayanya jika tidak ditunaikan, maka Nabi tidak mensholatkan janazah seseorang yang masih memiliki hutang, dan ia tidak meninggalkan harta yang dapat digunakan untuk membayarnya.

Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa mereka sedang duduk bersama Nabi , lalu dibawa kepada beliau tiga janazah secara terpisah agar disholatkan.

Maka ketika ditanya tentang janazah yang pertama dan diketahui bahwa ia tidak memiliki hutang, maka beliau pun mensholatkannya.

Lalu dibawakan janazah kedua, dan ketika beliau bertanya dan diberi tahu bahwa ia memiliki hutang, tetapi ia meninggalkan tiga dinar (yang dapat digunakan untuk melunasi hutang tersebut), maka beliau tetap mensholatkannya.

Lalu datang janazah ketiga. Beliau kembali bertanya dan diberi tahu bahwa ia memiliki hutang sebesar tiga dinar, namun tidak meninggalkan apapun untuk melunasi hutang tersebut, maka beliau tidak mau mensholatkannya, dan berkata: “Sholatkan oleh kalian janazah sahabat kalian ini.”

Lalu Abu Qotadah Al-Anshori Rodhiyallahu ‘Anhu menanggung hutang si mayit tersebut dan berkata: “Saya yang akan menanggung hutangnya, wahai Rosulullah.” Maka Nabi pun mensholatkan janazah itu.

Ini menunjukkan bahwa tanggungan hutang telah berpindah dari si mayit ke orang lain yang menjamin hutangnya, maka gugurlah tanggungan si mayit karena sudah ada yang menanggungnya. Ini disebut dengan hamālah (penjaminan hutang).

Pelajaran dari Hadits:

Besarnya urusan hutang dalam Islam — sampai-sampai Nabi menolak mensholatkan janazah seorang Muslim karena masih memiliki hutang yang belum ditunaikan dan tidak memiliki harta untuk membayarnya.

Orang yang mati membawa hutang akan tetap terikat dengan tanggungan tersebut di Akhiroh, sampai ada yang melunasinya.

Sikap Nabi yang tidak mensholatkan mayit seperti ini adalah bentuk peringatan kepada umat, agar mereka serius dalam melunasi hutang sebelum wafat.

Bolehnya mentransfer tanggungan hutang si mayit kepada orang lain, sehingga bebaslah mayit dari tanggungannya.

Keutamaan Abu Qotadah Rodhiyallahu ‘Anhu, karena kesiapannya menanggung hutang sesama Muslim, yang menyebabkan Nabi mau mensholatkan janazah tersebut.

Dalam konteks masyarakat saat ini, hadits ini menjadi pengingat bagi semua Muslim agar berusaha sekuat mungkin melunasi hutang-hutangnya semasa hidup, atau minimal meninggalkan wasiat dan harta untuk membayarnya.

---

[7] Baiat Salamah bin Al-Akwa’ #1

[7] 2960 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: بَايَعْتُ النَّبِيَّ ﷺ، ثُمَّ عَدَلْتُ إِلَى ظِلِّ الشَّجَرَةِ، فَلَمَّا خَفَّ النَّاسُ قَالَ: «يَا ابْنَ الأَكْوَعِ أَلاَ تُبَايِعُ؟» قَالَ: قُلْتُ: قَدْ بَايَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «وَأَيْضًا» فَبَايَعْتُهُ الثَّانِيَةَ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا مُسْلِمٍ عَلَى أَيِّ شَيْءٍ كُنْتُمْ تُبَايِعُونَ يَوْمَئِذٍ؟ قَالَ: عَلَى المَوْتِ

7. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Aku membai’at Nabi , lalu aku menjauh ke bawah naungan pohon. Ketika orang-orang mulai berkurang, beliau bersabda: “Wahai anak Al-Akwa’, tidakkah engkau membai’at (lagi)?” Aku menjawab: “Sungguh aku telah membai’at, wahai Rosulullah.” Beliau bersabda: “Lagi.” Maka aku pun membai’atnya yang kedua kali.

Aku (Yazid) bertanya kepada Abu Muslim: “Atas perkara apa kalian membai’at beliau waktu itu?” Ia menjawab: “Untuk siap mati (membela Rosulullah ).”

Makna Umum

Para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum membaiat Nabi pada tahun Hudaibiyah, yaitu tahun ke-6 Hijriah. Mereka yang membaiat di Hudaibiyah dikenal dengan sebutan Ash-hābusy-Syajarah (para pemilik baiat di bawah pohon). Allah Ta’ala telah memuji mereka, meridhoi mereka, dan Nabi pun bersaksi bahwa mereka akan masuk Surga, dalam firman-Nya:

﴿لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا﴾

“Allah ridho kepada orang-orang beriman ketika mereka membaitmu (hai Nabi) di bawah sebuah pohon. Allah tahu apa yang di qolbu mereka lalu Allah menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi mereka kemenangan yang nyata.” (QS. Al-Fath: 18)

Dalam Hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa ia ikut membaiat Nabi dalam Bai’at Ar-Ridhwan di Hudaibiyah di bawah pohon. Kemudian ia pergi ke bawah naungan pohon tersebut. Baiat di sini adalah suatu bentuk perjanjian dan ikatan janji, dan dinamakan “baiat” karena menyerupai transaksi jual beli, seolah-olah masing-masing pihak “menjual” apa yang ada padanya kepada pihak lain; dari pihak Rosulullah , terdapat janji pahala, dan dari pihak para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum, terdapat komitmen untuk taat.

Ketika orang-orang mulai pergi, Nabi memanggilnya: “Wahai Ibnu Al-Akwa’, tidakkah engkau membaiat?” Ia menjawab, “Sungguh aku telah membaiat, wahai Rosulullah, sebelumnya.” Nabi bersabda, “Dan (baiatlah) sekali lagi.”

Artinya, baiatlah lagi untuk kedua kalinya. Maka ia pun membaiat kembali. Nabi menginginkan hal itu untuk menegaskan baiat Salamah karena beliau mengetahui keberaniannya, perjuangannya dalam Islam, dan ketenarannya dalam hal keteguhan. Oleh karena itu, Nabi memerintahkannya untuk mengulangi baiat agar ia memperoleh keutamaan tambahan.

Kemudian, seorang Tabi’in bernama Yazid bin Abi ‘Ubaid bertanya kepada Salamah bin Al-Akwa’: “Wahai Abu Muslim”—dan itu adalah kun-yah-nya—” atas hal apa kalian membaiat saat itu?” Salamah menjawab: “Kami membaiat untuk siap mati.”

Maksudnya, mereka membaiat agar tidak lari dari musuh meskipun harus mati.

Terdapat riwayat lain yang menyebutkan bahwa para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum membaiat Nabi untuk bersabar, bukan untuk mati. Dan dalam beberapa riwayat lain disebutkan bahwa mereka membaiat beliau untuk tidak lari dari medan perang.

Lafazh “sabar” mencakup seluruh makna lainnya. Sebab, baiat untuk mati pada hakikatnya bermakna baiat untuk tidak melarikan diri; karena mereka tidak akan lari meskipun hal itu menuntut nyawa mereka. Demikian pula baiat untuk tidak lari, itu tidak akan terjadi kecuali dengan kesabaran. Maka makna “sabar” sudah mencakup semua makna lainnya, dan menunjukkan bahwa mereka akan bersabar dalam menghadapi musuh, tidak akan melarikan diri sampai mereka mati atau menang.

Dalam hadits ini terkandung pelajaran tentang:

Keteguhan dan kesabaran dalam pertempuran.

Besarnya cinta para Shohabat Rodhiyallahu ‘Anhum kepada Rosulullah .

---

[8] Pembelaan Salamah bin Al-Akwa’

[8] 3041 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ قَالَ: خَرَجْتُ مِنَ المَدِينَةِ ذَاهِبًا نَحْوَ الغَابَةِ، حَتَّى إِذَا كُنْتُ بِثَنِيَّةِ الغَابَةِ، لَقِيَنِي غُلاَمٌ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، قُلْتُ: وَيْحَكَ مَا بِكَ؟ قَالَ: أُخِذَتْ لِقَاحُ النَّبِيِّ ﷺ، قُلْتُ: مَنْ أَخَذَهَا؟ قَالَ: غَطَفَانُ، وَفَزَارَةُ فَصَرَخْتُ ثَلاَثَ صَرَخَاتٍ أَسْمَعْتُ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا: يَا صَبَاحَاهْ يَا صَبَاحَاهْ، ثُمَّ انْدَفَعْتُ حَتَّى أَلْقَاهُمْ، وَقَدْ أَخَذُوهَا، فَجَعَلْتُ أَرْمِيهِمْ، وَأَقُولُ: أَنَا ابْنُ الأَكْوَعِ وَاليَوْمُ يَوْمُ الرُّضَّعْ، فَاسْتَنْقَذْتُهَا مِنْهُمْ قَبْلَ أَنْ يَشْرَبُوا، فَأَقْبَلْتُ بِهَا أَسُوقُهَا، فَلَقِيَنِي النَّبِيُّ ﷺ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ القَوْمَ عِطَاشٌ، وَإِنِّي أَعْجَلْتُهُمْ أَنْ يَشْرَبُوا سِقْيَهُمْ، فَابْعَثْ فِي إِثْرِهِمْ، فَقَالَ: «يَا ابْنَ الأَكْوَعِ: مَلَكْتَ، فَأَسْجِحْ إِنَّ القَوْمَ يُقْرَوْنَ فِي قَوْمِهِمْ»

8. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, bahwa ia mengabarkan kepadanya: Aku keluar dari Madinah menuju hutan (ghobah), hingga ketika aku sampai di dataran tinggi dari hutan, aku bertemu dengan seorang budak milik ‘Abdurrohman bin ‘Auf. Aku bertanya: “Hai, ada apa?” Ia menjawab: “Unta betina milik Nabi telah diambil.” Aku bertanya: “Siapa yang mengambilnya?” Ia menjawab: “Kabilah Ghothofan dan Fazaroh.” Maka aku berteriak tiga kali dengan suara keras yang terdengar sampai ke seluruh penjuru: “Wahai pagi bencana! Wahai pagi bencana! (ungkapan ancaman). Lalu aku menyerbu mereka dan mendapati mereka telah mengambil unta itu. Maka aku pun memanah mereka seraya berkata: “Aku adalah anak Al-Akwa’, dan hari ini adalah hari penyusuan!”

Akhirnya aku berhasil mengambil kembali unta itu dari mereka sebelum mereka sempat meminumnya. Aku pun membawanya pulang, menggiringnya, hingga aku bertemu dengan Nabi .

Aku berkata: “Wahai Rosulullah, kaum itu kehausan, dan aku telah mendahului mereka hingga mereka tidak sempat meminumnya. Maka kirimlah orang untuk mengejar mereka.”

Beliau bersabda: “Wahai anak Al-Akwa’, engkau telah menang, maka bersikap lembutlah. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang sudah dijamu kaumnya.”

Makna Umum

Al-Ghobah adalah sebuah tempat di sekitar Madinah, terletak di jalan menuju negeri Syam. Kata ghobah secara bahasa bermakna: pepohonan yang lebat dan saling melilit. Saat itu Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu sedang berjalan menuju ghobah, lalu ia bertemu dengan seorang budak laki-laki milik ‘Abdurrahman bin ‘Auf Rodhiyallahu ‘Anhu. Maka ia pun berkata kepada budak itu, “Waihak!” — yaitu ungkapan belas kasihan dan doa agar seseorang diselamatkan.

Lalu budak itu berkata, “Unta betina milik Nabi telah dicuri!” Yang dimaksud liqoh adalah unta betina perah yang sedang hamil atau menyusui. Salamah pun bertanya kepadanya, “Siapa yang mengambilnya?” Budak itu menjawab, “Orang-orang dari kabilah Ghothofan dan Fazaroh.”

Maka Salamah pun berteriak dengan tiga kali teriakan yang menggema hingga terdengar antara dua labah Madinah — yaitu daerah berbatu hitam di sekitar kota, yang bermakna bahwa seluruh penduduk Madinah mendengarnya karena kerasnya suara tersebut. Ia berteriak, “Yaa shobahāh!” — sebuah seruan minta tolong di waktu pagi, yang maksudnya adalah meminta pertolongan dari penduduk agar bersiap menghadapi serangan.

Kemudian ia pun segera mengejar para pencuri sambil memanah mereka satu per satu, dan ia mengucapkan syair:

أنا ابنُ الأَكْوَعِ

واليَومُ يَومُ الرُّضَّعِ

Artinya: “Aku adalah putra Al-Akwa’, dan hari ini adalah harinya para perusak binasa!”

Kata rudhdho’ adalah bentuk jamak dari rodhi’ (bayi yang menyusu). Namun, makna yang dimaksud di sini adalah kiasan untuk menyebut orang-orang yang hina dan pengecut, seolah-olah mereka tumbuh besar dengan menyusu kehinaan dan keburukan sejak kecil. Jadi, maknanya: Hari ini adalah hari kebinasaan bagi para pengecut dan orang-orang hina.

Akhirnya, Salamah berhasil mendapatkan kembali unta Nabi sebelum mereka sempat meminum susunya, dan para pencuri itu pun lari tunggang langgang. Maka ia pun membawa kembali unta tersebut kepada Nabi , dan berkata: “Wahai Rosulullah, mereka dalam keadaan sangat kehausan, dan aku telah membuat mereka lari sebelum sempat meminum susu itu. Maka kirimlah seseorang untuk mengejar mereka!”

Yaitu maksudnya: mereka sedang haus, dan aku telah menghalangi mereka dari minum, maka kirimlah pasukan untuk menghukum mereka.

Namun Nabi bersabda:

«مَلَكْتَ فأَسْجِحْ»

Artinya: “Engkau telah menguasai mereka, maka bersikaplah lemah lembut.”

Yakni: Jangan keras terhadap mereka, tapi maafkan dan berbuat baiklah kepada mereka. Lalu Nabi bersabda lagi:

«إنَّ القومَ يُقْرَوْنَ في قَومِهم»

Artinya: “Mereka telah tiba di tengah-tengah kaum mereka, dan akan dijamu di sana.”

Yakni: Mereka sudah tiba di perkampungan Ghothofan, dan tentu saja akan dijamu serta dilindungi oleh kaumnya. Maka tidak ada manfaat untuk mengirim pasukan mengejar mereka, karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari kelompoknya.

---

[9] Luka Salamah bin Al-Akwa’

[9] 4206 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ أَثَرَ ضَرْبَةٍ فِي سَاقِ سَلَمَةَ، فَقُلْتُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ، مَا هَذِهِ الضَّرْبَةُ؟ فَقَالَ: هَذِهِ ضَرْبَةٌ أَصَابَتْنِي يَوْمَ خَيْبَرَ، فَقَالَ النَّاسُ: أُصِيبَ سَلَمَةُ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ «فَنَفَثَ فِيهِ ثَلاَثَ نَفَثَاتٍ، فَمَا اشْتَكَيْتُهَا حَتَّى السَّاعَةِ»

9. Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi Ubaid, ia berkata: Aku melihat bekas tebasan pedang di betis Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu. Maka aku bertanya: “Wahai Abu Muslim, apakah bekas pukulan ini?”

Ia menjawab: “Ini adalah tebasan yang aku alami pada hari Khoibar. Orang-orang mengatakan: ‘Salamah terluka’. Maka aku mendatangi Nabi , lalu beliau meniup luka itu sebanyak tiga kali tiupan. Maka sejak itu aku tidak pernah mengeluhkannya sampai saat ini.”

Makna Umum

Allah-lah yang mengalirkan kebaikan dan keberkahan melalui tangan Nabi-Nya ; maka Nabi apabila mendoakan seseorang, orang itu akan memperoleh seluruh kebaikan. Jika beliau menyentuh orang sakit atau meruqyahnya, maka ia pun sembuh dengan izin Allah. Dan jika beliau mendoakan keberkahan pada harta atau makanan, maka keberkahannya pun bertambah dan manfaatnya menjadi melimpah.

Dalam hadits ini, seorang Tabi’in bernama Yazid bin Abi ‘Ubaid mengabarkan bahwa ia melihat bekas luka pada betis Shohabat Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu. Maka ia pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Muslim — dan ini adalah kunyah Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu — apa bekas luka ini?” Maka Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu menceritakan bahwa luka ini ia dapatkan dalam Perang Khoibar. Lalu ia mendatangi Nabi dan beliau pun meniup betisnya sebanyak tiga kali tiupan (nafats). Nafats itu lebih kuat dari tiupan biasa dan disertai ludahan ringan, bisa jadi disertai sedikit air liur atau tanpa air liur.

Lalu betis Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu pun terkena berkah Nabi hingga ia tidak pernah lagi mengeluhkan betisnya setelah ditiup oleh Nabi .

Adapun Khoibar adalah sebuah perkampungan yang dahulu dihuni oleh kaum Yahudi. Ia memiliki banyak benteng dan ladang pertanian, terletak sekitar 173 km dari Madinah ke arah Syam. Nabi melakukan penyerangan terhadapnya dan Allah menaklukkannya bagi kaum Muslimin pada tahun ketujuh Hijriah.

Dalam hadits ini terdapat mukjizat yang nyata dari Nabi .

---

[10] Haromnya Daging Keledai Peliharaan #1

[10] 5497 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: لَمَّا أَمْسَوْا يَوْمَ فَتَحُوا خَيْبَرَ، أَوْقَدُوا النِّيرَانَ، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «عَلاَمَ أَوْقَدْتُمْ هَذِهِ النِّيرَانَ؟» قَالُوا: لُحُومِ الحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ، قَالَ: «أَهْرِيقُوا مَا فِيهَا، وَاكْسِرُوا قُدُورَهَا» فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ، فَقَالَ: نُهَرِيقُ مَا فِيهَا وَنَغْسِلُهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَوْ ذَاكَ»

10. Telah menceritakan kepada kami Al-Makki bin Ibrohim, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Ketika malam tiba pada hari mereka menaklukkan Khoibar, mereka menyalakan api. Nabi bersabda: “Untuk apa kalian menyalakan api ini?” Mereka menjawab: “Untuk memasak daging keledai peliharaan (jinak).” Beliau bersabda: “Tumpahkan isinya dan pecahkan periuk-periuknya!” Seorang laki-laki dari kaum itu berdiri dan berkata: “Apakah kami boleh menumpahkan isinya lalu mencucinya?” Nabi bersabda: “Baiklah.”

Makna Umum

Hadits ini jika digabung dengan hadits setelahnya maka menjadi jalinan kisah menarik berikut:

Kami keluar bersama Nabi menuju Khoibar. Kami berjalan pada malam hari. Lalu seseorang dari rombongan berkata kepada ‘Amir: “Wahai ‘Amir, tidakkah engkau memperdengarkan kepada kami bait-bait puisimu yang biasa itu?” Dan ‘Amir adalah seorang laki-laki penyair. Maka ia pun turun dan mulai menggubah syair untuk mengiringi perjalanan kaum Muslimin:

اللَّهُمَّ لَوْلَا أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا

وَلَا تَصَدَّقْنَا وَلَا صَلَّيْنَا

فَاغْفِرْ فِدَاءً لَكَ مَا أَبْقَيْنَا

وَثَبِّتِ الْأَقْدَامَ إِنْ لَاقَيْنَا

وَأَلْقِيَنْ سَكِينَةً عَلَيْنَا

إِنَّا إِذَا صِيحَ بِنَا أَبَيْنَا

وَبِالصِّيَاحِ عَوَّلُوا عَلَيْنَا

“Ya Allah, kalau bukan karena Engkau, kami tidak akan mendapat petunjuk,

dan tidak akan bersedekah dan tidak pula Sholat.

Maka ampunilah (dosa kami) sebagai bentuk pengorbanan untuk-Mu selama Engkau membiarkan kami hidup.

Kokohkanlah langkah kaki kami bila kami bertemu musuh.

Dan turunkanlah ketenangan kepada kami.

Sesungguhnya jika mereka berteriak memanggil kami (untuk perang), kami tidak akan mundur.

Dan dengan teriakan itu mereka bersandar kepada kami.”

Lalu Rosulullah bersabda: “Siapa yang memimpin iringan perjalanan ini (dengan syair)?” Mereka menjawab: “'Amir bin Al-Akwa’.” Maka beliau bersabda: “Semoga Allah merohmatinya.” Maka salah seorang dari rombongan berkata, “Sungguh (doa itu) sudah pasti dikabulkan, wahai Nabi Allah! Kenapa engkau tidak membiarkan kami lebih lama bersamanya (karena itu artinya dia akan wafat)?”

Kemudian kami pun tiba di Khoibar dan mengepung mereka (kaum Yahudi) hingga kami merasakan lapar yang sangat. Lalu Allah ‘Azza wa Jalla menaklukkan mereka bagi kami.

Tatkala malam tiba di hari pembebasan itu, orang-orang menyalakan banyak api. Maka Nabi bersabda: “Api apa ini? Untuk apa kalian menyalakannya?” Mereka menjawab: “Untuk memasak daging.” Beliau bertanya: “Daging apa?” Mereka menjawab: “Daging keledai peliharaan.” Maka Nabi bersabda: “Tumpahkanlah (daging itu) dan pecahkanlah periuknya!”

Seseorang pun berkata: “Wahai Rosulullah, bagaimana jika kami tumpahkan dagingnya dan kami cuci periuknya saja?” Beliau menjawab: “Boleh juga seperti itu.”

Lalu ketika kaum Muslimin berhadapan dengan musuh, pedang milik ‘Amir ternyata pendek. Maka ia pun mengayunkannya ke arah betis salah seorang Yahudi untuk menebasnya. Namun ujung pedangnya terpental dan kembali mengenai sendiri lutut ‘Amir hingga menusuk sendi lututnya, lalu ia pun meninggal dunia karenanya.

Ketika pasukan kembali (ke Madinah), Salamah (bin Al-Akwa’) berkata: “Rosulullah melihatku sedang menggandeng tanganku, lalu beliau bertanya: ‘Ada apa denganmu?’ Aku menjawab, ‘Ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu, mereka (orang-orang) mengira bahwa ‘Amir amalnya sia-sia!’” Maka Nabi bersabda: “Telah berdusta orang yang mengatakan demikian! Sesungguhnya untuknya ada dua pahala.” — Beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya — “Sungguh dia adalah seorang yang berjihad dan sungguh-sungguh berjihad. Jarang ada orang ‘Arab yang berjalan di bumi seperti dia.” Dalam riwayat lain: “Dia tumbuh besar dengan cara seperti itu.”

---

[11] Syair Amir

[11] 6891 - حَدَّثَنَا المَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ إِلَى خَيْبَرَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: أَسْمِعْنَا يَا عَامِرُ مِنْ هُنَيْهَاتِكَ، فَحَدَا بِهِمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنِ السَّائِقُ» قَالُوا: عَامِرٌ، فَقَالَ: «رَحِمَهُ اللَّهُ» فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلَّا أَمْتَعْتَنَا بِهِ، فَأُصِيبَ صَبِيحَةَ لَيْلَتِهِ، فَقَالَ القَوْمُ: حَبِطَ: عَمَلُهُ، قَتَلَ نَفْسَهُ، فَلَمَّا رَجَعْتُ وَهُمْ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّ عَامِرًا حَبِطَ عَمَلُهُ، فَجِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، زَعَمُوا أَنَّ عَامِرًا حَبِطَ عَمَلُهُ، فَقَالَ: «كَذَبَ مَنْ قَالَهَا، إِنَّ لَهُ لَأَجْرَيْنِ اثْنَيْنِ، إِنَّهُ لَجَاهِدٌ مُجَاهِدٌ، وَأَيُّ قَتْلٍ يَزِيدُهُ عَلَيْهِ»

11. Telah menceritakan kepada kami Al-Makki bin Ibrohim, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Kami keluar bersama Nabi menuju Khoibar. Seorang laki-laki dari mereka berkata: “Wahai ‘Amir, perdengarkanlah kepada kami syair-syairmu!” Lalu ia melantunkan syair untuk mereka. Nabi bertanya: “Siapa yang melantunkan syair?” Mereka menjawab: “‘Amir.” Beliau bersabda: “Semoga Allah merohmatinya.” Mereka berkata: “Wahai Rosulullah, mengapa engkau tidak memanjangkan umurnya untuk kami?” Ternyata ia terbunuh pada pagi harinya. Kaum Muslimin berkata: “Amalnya sia-sia, ia bunuh diri.” Ketika aku kembali dan mereka sedang membicarakan bahwa amal ‘Amir sia-sia, aku mendatangi Nabi dan berkata: “Wahai Nabi Allah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, mereka mengira amal ‘Amir sia-sia.” Beliau bersabda: “Dusta orang yang mengatakannya! Sesungguhnya ia mendapat dua pahala -beliau menggabungkan dua jarinya- ia adalah seorang mujahid yang berjihad sungguh-sungguh. Kematian macam apa lagi yang lebih utama darinya?”

Makna Umum

Lihat kisah di atas.

---

Dari Jalur Abu ‘Ashim (6 Hadits)

[12] Puasa Asyuro #2

[12] 1924 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ بَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ «إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ»

12. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: Bahwa Nabi mengutus seorang laki-laki untuk menyeru kepada orang-orang pada hari ‘Asyuro: “Siapa yang telah makan hendaknya menyempurnakan (puasanya), atau berpuasa. Dan siapa yang belum makan, janganlah makan.”

---

[13] Tidak Mensholati Janazah Berhutang #2

[13] 2295 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: «هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟»، قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: «صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ»، قَالَ: أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ

13. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: Bahwa Nabi didatangkan janazah untuk diSholatkan. Beliau bertanya: “Apakah ia memiliki hutang?” Mereka menjawab: “Tidak.” Maka beliau mensholatkannya. Kemudian didatangkan janazah lain, beliau bertanya: “Apakah ia memiliki hutang?” Mereka menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Sholatkanlah sahabat kalian!” Abu Qatadah berkata: “Aku yang menanggung hutangnya, wahai Rosulullah.” Maka beliau mensholatkannya.

---

[14] Haromnya Daging Keledai Peliharaan #2

[14] 2477 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى نِيرَانًا تُوقَدُ يَوْمَ خَيْبَرَ، قَالَ: «عَلَى مَا تُوقَدُ هَذِهِ النِّيرَانُ؟»، قَالُوا عَلَى الحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ، قَالَ: «اكْسِرُوهَا، وَأَهْرِقُوهَا»، قَالُوا: أَلاَ نُهَرِيقُهَا، وَنَغْسِلُهَا، قَالَ: «اغْسِلُوا»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: كَانَ ابْنُ أَبِي أُوَيْسٍ يَقُولُ: الحُمُرِ الأَنْسِيَّةِ بِنَصْبِ الأَلِفِ وَالنُّونِ

14. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu: Bahwa Nabi melihat api dinyalakan pada hari Khoibar. Beliau bertanya: “Untuk apa api ini dinyalakan?” Mereka menjawab: “Untuk memasak keledai peliharaan/jinak (الإِنْسِيَّةِ).” Beliau bersabda: “Pecahkan dan tumpahkan!” Mereka berkata: “Apakah tidak boleh kami menumpahkan lalu mencucinya?” Beliau bersabda: “Cucilah.” Abu Abdillah (Al-Bukhori) berkata: Ibnu Abi Uwais membacanya dengan fathah (الأَنْسِيَّةِ).

---

[15] Ghozwah Salamah bin Al-Akwa’

[15] 4272 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: «غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ سَبْعَ غَزَوَاتٍ، وَغَزَوْتُ مَعَ ابْنِ حَارِثَةَ اسْتَعْمَلَهُ عَلَيْنَا»

15. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Aku berperang bersama Nabi sebanyak tujuh kali peperangan, dan aku berperang bersama Ibnu Haritsah yang diangkat sebagai pemimpin kami.”

Makna Umum

Ghozwah (غَزْوَة) adalah pasukan yang keluar bersama Nabi secara langsung, sedangkan ba’ts (بَعث) adalah pasukan yang dikirim oleh Nabi namun beliau tidak ikut keluar bersamanya.

Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu mengabarkan bahwa beliau telah ikut berperang bersama Nabi dalam tujuh ghozwah. Dikatakan bahwa ketujuh ghozwah tersebut adalah:

1.     Hudaibiyah,

2.     Khoibar,

3.     Hunain,

4.     Qord,

5.     Fath Makkah,

6.     Tho’if,

7.     Tabuk.

Ia pun pernah ikut dalam 9 ba’ts, yaitu dari pasukan-pasukan yang diutus oleh Nabi namun beliau tidak ikut serta di dalamnya. Di antara ba’ts tersebut ada yang dipimpin oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq Rodhiyallahu ‘Anhu, seperti Sariyah Abu Bakr Ash-Shiddiq ke Bani Fazaroh dan Sariyah beliau ke Bani Kilab, yang terjadi pada bulan Sya’ban tahun ke-7 Hijriyah. Sariyah tersebut bergerak menuju wilayah Najd, yaitu daerah yang di sekitarnya tinggal kabilah Bani Kilab atau Bani Fazaroh.

Dan ada juga yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid Rodhiyallahu ‘Anhuma, seperti Sariyah Usamah ke Ubna, yaitu salah satu daerah di kawasan Al-Balqo’, yang kini termasuk wilayah Yordania. Sariyah ini bertujuan untuk membalas serangan Romawi yang telah membunuh kaum Muslimin dalam Perang Mu’tah pada bulan Shofar tahun 11 Hijriyah.

Faidah Hadits:

Keutamaan Shohabat Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu.

Dianjurkannya seorang Muslim menceritakan amal sholih yang ia lakukan, selama tidak diniatkan untuk riya’ atau mencari ketenaran, agar bisa dijadikan teladan bagi orang lain.

---

[16] Menyimpang Daging Qurban Lebih dari 3 Hari

[16] 5569 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ» فَلَمَّا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ المَاضِي؟ قَالَ: «كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا، فَإِنَّ ذَلِكَ العَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ، فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا»

16. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Nabi bersabda: “Siapa di antara kalian yang berkurban, jangan sampai setelah hari ketiga masih tersisa sesuatu di rumahnya.” Ketika tahun berikutnya tiba, mereka berkata: “Wahai Rosulullah, apakah kami melakukan seperti tahun lalu?” Beliau bersabda: “Makanlah, beri makanlah, dan simpanlah, karena tahun itu orang-orang sedang kesulitan, aku ingin kalian membantu dalam hal itu.”

Makna Umum

Syari’at Islam benar-benar memperhatikan realitas masyarakat dan kebutuhan mereka. Islam membangun masyarakat Muslim yang saling terikat erat laksana satu tubuh, yang apabila salah satu dari mereka tertimpa musibah, maka seluruh elemen masyarakat akan bergotong royong untuk meringankannya.

Dalam hadits ini, Salamah bin Al-Akwa’ Rodhiyallahu ‘Anhu mengabarkan bahwa Nabi pernah memerintahkan kaum Muslimin pada salah satu tahun di Hari ‘Idul Adh-ha, agar siapa pun yang berkurban, tidak menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari. Tujuannya adalah untuk mendorong mereka agar bersedekah dengan kelebihan daging yang tidak mereka butuhkan, dan memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan, karena pada waktu itu kondisi ekonomi sedang sulit.

Awal dari tiga hari tersebut adalah hari Nahr (10 Dzulhijjah). Maka, siapa yang berkurban pada hari Nahr, maka masa tiga harinya adalah hari Nahr dan dua hari setelahnya. Sedangkan siapa yang berkurban setelah hari Nahr, maka masa tiga hari dihitung dari hari ia berkurban. Ada pula yang berpendapat bahwa awal tiga hari itu adalah hari ketika seseorang menyembelih qurbannya. Maka, jika seseorang menyembelih pada hari terakhir hari-hari Nahr (13 Dzulhijjah), ia boleh menyimpan daging qurbannya selama tiga hari setelah itu.

Lalu ketika datang tahun berikutnya, para Shohabat bertanya kepada Rosulullah : “Apakah kami tetap melaksanakan sebagaimana tahun lalu, yakni tidak menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari?” Maka beliau menjawab:

«كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا»

“Makanlah, berikanlah kepada orang lain, dan simpanlah.”

Artinya: Siapa ingin menyimpan maka silakan simpan, dan siapa yang ingin makan dan memberi makan kepada orang lain maka lakukanlah.

Beliau kemudian menjelaskan sebab larangan menyimpan daging qurban di tahun sebelumnya: Karena saat itu kaum Muslimin sedang dalam kesulitan, kelelahan, dan kondisi ekonomi yang sempit, maka Nabi ingin agar orang-orang yang berkurban membantu kaum fakir miskin di masa sulit itu.

Namun ketika sebab kebutuhan dan kefakiran telah hilang, maka Nabi memperbolehkan mereka memakan daging qurban kapan pun mereka mau dan menyimpannya.

Faidah Hadits:

Islam sangat menjaga nilai solidaritas sosial, dengan memerintahkan orang kaya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan. Jika hal ini diterapkan, maka akan terwujud kedamaian sosial.

Hadits ini menunjukkan luasnya syari’at Islam dan kemudahan yang diberikannya, serta bagaimana syari’at memperhatikan kondisi manusia dan memberikan keringanan kepada mereka.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa terjadi nasakh (penghapusan hukum) dalam As-Sunnah.

---

[17] Baiat Salamah bin Al-Akwa’ #2

[17] 7208 - حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ، عَنْ سَلَمَةَ، قَالَ: بَايَعْنَا النَّبِيَّ ﷺ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ، قَالَ: «وَفِي الثَّانِي»

17. Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Kami membaiat Nabi di bawah pohon. Beliau berkata kepadaku: “Wahai Salamah, tidakkah engkau berbaiat?” Aku menjawab: “Wahai Rosulullah, aku telah berbaiat pertama kali.” Beliau bersabda: “Dan (baiat) yang kedua.”

---

Dari Jalur Al-Anshori (3 Hadits)

[18] Qishosh Pada Gigi #1

[18] 2703 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ، أَنَّ أَنَسًا، حَدَّثَهُمْ: أَنَّ الرُّبَيِّعَ وَهِيَ ابْنَةُ النَّضْرِ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا الأَرْشَ، وَطَلَبُوا العَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوُا النَّبِيَّ ﷺ، فَأَمَرَهُمْ بِالقِصَاصِ، فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، لاَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ، لاَ تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا، فَقَالَ: «يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ القِصَاصُ»، فَرَضِيَ القَوْمُ وَعَفَوْا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ» زَادَ الفَزَارِيُّ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ: فَرَضِيَ القَوْمُ وَقَبِلُوا الأَرْشَ

18. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Anshori, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Humaid, bahwa Anas Rodhiyallahu ‘Anhu menceritakan kepada mereka: Bahwa Ar-Rubayyi’ -anak perempuan An-Nadhr- mematahkan gigi seorang budak perempuan. Mereka menuntut ganti rugi dan meminta maaf, namun keluarga budak itu menolak. Mereka mendatangi Nabi , lalu beliau memerintahkan qishosh. Anas bin An-Nadhr berkata: “Apakah gigi Ar-Rubayyi’ harus dipatahkan, wahai Rosulullah? Tidak, demi Yang mengutusmu dengan kebenaran, giginya tidak boleh dipatahkan!” Beliau bersabda: “Wahai Anas, ketentuan Allah adalah qishosh.” Akhirnya mereka rela dan memaafkan. Nabi bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.” Al-Fazari menambahkan dari Humaid, dari Anas: “Maka mereka rela dan menerima ganti rugi.”

Makna Umum

Syari’at telah menetapkan hukuman-hukuman yang wajib dalam perkara luka fisik, dan memberikan kepada pemilik hak pilihan antara menuntut qishosh (pembalasan yang setimpal) sebagaimana luka atau gangguan yang ia alami, atau memaafkan dan mengampuni orang yang telah menyakitinya.

Dalam Hadits ini, Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Ar-Rubayyi’ bintu An-Nadhr telah mematahkan “tsaniyyah” seorang gadis – dan yang dimaksud tsaniyyah adalah gigi bagian depan. Maka, kaum dari Ar-Rubayyi’ meminta kepada kaum si gadis agar mereka menerima pembayaran arsy (diyat pengganti), yaitu kompensasi yang biasa diambil oleh pembeli dari penjual ketika menemukan cacat pada barang dagangan. Dalam konteks jinayat (pelanggaran fisik), arsy adalah kompensasi atas kerusakan yang terjadi. Mereka juga meminta agar Ar-Rubayyi’ dimaafkan. Namun, kaum gadis itu enggan dan tidak mau menerima arsy serta tidak mau memaafkan.

Lalu mereka datang kepada Rosulullah dan saling berselisih di hadapan beliau. Maka beliau memerintahkan agar dilakukan qishosh, yaitu prinsip menghukum secara setimpal. Saudara Ar-Rubayyi’, yaitu Anas bin An-Nadhr Rodhiyallahu ‘Anhu pun berkata, “Apakah akan dipatahkan gigi depan Ar-Rubayyi’, wahai Rosulullah?! Tidak, demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak akan dipatahkan gigi depannya!”

Lalu Rosulullah bersabda, “Wahai Anas, Kitabullah menetapkan qishosh,” yaitu agar dipatahkan gigi dengan pembalasan yang sepadan yang memungkinkan untuk dilakukan kesetaraan dalam hukuman. Ini bukan bentuk penentangan terhadap hukum syari’at, melainkan semacam bentuk permohonan syafaat dari Rosulullah kepada mereka, atau karena Anas belum mengetahui bahwa Kitabullah menetapkan qishosh secara pasti dan mengira bahwa dalam kasus seperti ini terdapat pilihan antara qishosh atau menerima diyat.

Akhirnya, kaum gadis itu menerima dan memaafkan Ar-Rubayyi’, sehingga mereka tidak menuntut qishosh dan menerima arsy sebagai gantinya. Maka Rosulullah bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang jika ia bersumpah – maksudnya: bersumpah dengan penuh pengharapan terhadap kemuliaan Allah Ta’ālā – maka Allah pasti akan mengabulkan sumpahnya,” yakni Allah akan membenarkannya dan mewujudkan harapannya karena Allah mengetahui kejujuran dan keikhlasannya, serta menjadikannya dari golongan orang-orang yang ikhlas dan para wali Allah yang taat.

Al-birr (pengabulan) dalam sumpah ini adalah lawan dari al-hinth (pelanggaran sumpah).

Faidah Hadits:

Disyariatkannya pemaafan dalam perkara qishosh dan boleh menerima kompensasi (arsy) yang sah menurut syari’at.

Keutamaan dan keistimewaan Anas bin An-Nadhr Rodhiyallahu ‘Anhu.

---

[19] Qishosh Pada Gigi #2

[19] 4499 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، أَنَّ أَنَسًا، حَدَّثَهُمْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: «كِتَابُ اللَّهِ القِصَاصُ»

19. Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah Al-Anshori, telah menceritakan kepada kami Humaid, bahwa Anas Rodhiyallahu ‘Anhu menceritakan kepada mereka dari Nabi , beliau bersabda: “Ketentuan Allah adalah qishosh.”

---

[20] Qishosh Pada Gigi #3

[20] 6894 - حَدَّثَنَا الأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ «أَنَّ ابْنَةَ النَّضْرِ لَطَمَتْ جَارِيَةً فَكَسَرَتْ ثَنِيَّتَهَا، فَأَتَوُا النَّبِيَّ ﷺ فَأَمَرَ بِالقِصَاصِ»

20. Telah menceritakan kepada kami Al-Anshori, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas Rodhiyallahu ‘Anhu: “Putri An-Nadhr menampar budak perempuan hingga mematahkan giginya. Mereka mendatangi Nabi lalu beliau memerintahkan qishosh.”

---

Dari Jalur Khollad bin Yahya (1 Hadits)

[21] Pernikahan Zainab binti Jahsy

[21] 7421 - حَدَّثَنَا خَلَّادُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ طَهْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: نَزَلَتْ آيَةُ الحِجَابِ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا، وَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَانَتْ تَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي فِي السَّمَاءِ

21. Telah menceritakan kepada kami Khollad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Isa bin Thohman, ia berkata: Aku mendengar Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ayat hijab turun berkenaan dengan Zainab binti Jahsy, dan Nabi mengadakan walimah pada hari itu dengan menyajikan roti dan daging. Zainab sering membanggakan dirinya di atas istri-istri Nabi lainnya, dan ia berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku di langit.’

Makna Umum

Pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy Rodhiyallahu ‘Anha adalah atas perintah langsung dari Allah Ta’ālā. Dalam peristiwa pernikahan ini terdapat berbagai sunnah dan adab yang diriwayatkan oleh para Shohabat mulia agar kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Dalam hadits ini, Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu—khodim Nabi —meriwayatkan bahwa turunnya perintah tentang hijab (penutup) berkaitan dengan kisah pernikahan Zainab Rodhiyallahu ‘Anha. Allah Ta’ālā berfirman (QS. Al-Ahzab: 53):

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ﴾

Maknanya: Jangan ada seorang pun yang masuk ke rumah-rumah Nabi kecuali setelah mendapatkan izin terlebih dahulu darinya. Jangan pula menunggu-nunggu makanan jika sedang dimasak, lalu ketika hampir matang, kalian masuk tanpa izin lebih dahulu. Setelah makan, hendaklah kalian berpencar dan keluar dari rumahnya, dan jangan menunggu-nunggu untuk berbincang-bincang. Hal itu menyempitkan ruang bagi Nabi dan keluarganya. Nabi malu untuk menyuruh kalian keluar, tetapi Allah tidak malu menyampaikan kebenaran, dan Dia menjelaskan adab-adab dalam agama kalian.

Firman-Nya: “فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ” artinya: Mintalah sesuatu kepada mereka (istri Nabi ) dari balik hijab, yakni dari balik tirai yang memisahkan antara kalian dengan mereka. Jangan pula kalian masuk ke rumah-rumah mereka.

Adapun kisah Zainab Rodhiyallahu ‘Anha disebut dalam firman Allah Ta’ālā:

﴿وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ ۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا مَّا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ ۚ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَّقْدُورًا﴾

“Dan (ingatlah) ketika engkau (wahai Nabi ) berkata kepada orang yang telah Allah beri nikmat dan engkau pun telah berbuat baik kepadanya, “Pertahankanlah istrimu dan bertaqwalah kepada Allah,” sedangkan engkau menyembunyikan dalam hatimu sesuatu yang akan Allah nyatakan, dan engkau takut kepada manusia; padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk engkau takuti. Maka tatkala Zaid telah selesai dari (hubungan dengan) istrinya, Kami nikahkan engkau dengannya agar tidak menjadi kesempitan bagi orang-orang beriman untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila mereka telah selesai dari (hubungan pernikahan dengan) mereka. Dan ketentuan Allah pasti terlaksana.

Tidak ada kesempitan bagi Nabi dalam (melaksanakan) apa yang telah Allah tetapkan untuknya (dalam perkara menikahi mantan istri dari anak angkatnya). Demikianlah sunnah (ketetapan) Allah terhadap orang-orang yang telah berlalu sebelumnya. Dan perintah Allah itu adalah takdir yang sudah ditentukan.” (QS. Al-Ahzab: 37–38)

Disebutkan dalam riwayat Shohih Muslim bahwa ketika ayat-ayat ini turun, dan Zaid bin Haritsah telah menceraikannya serta masa ‘iddah-nya telah selesai, maka Nabi datang kepadanya dan langsung masuk ke rumahnya tanpa meminta izin, karena dia telah menjadi istrinya dengan pernikahan yang ditetapkan oleh Allah.

Nabi menjamu tamu dalam walimahnya pada hari itu dengan menyuguhkan roti dan daging. Dalam berbagai riwayat—seperti dalam Shohih Al-Bukhori dan Shohih Muslim—disebutkan bahwa beliau mengundang para Shohabat untuk makan. Mereka makan, namun sebagian orang masih tetap duduk di rumah Nabi setelah selesai makan dan tidak segera keluar. Hal itu membuat Nabi merasa tidak enak. Maka beliau keluar dan berkeliling mengunjungi istri-istrinya, lalu kembali lagi, namun para tamu masih ada. Maka beliau tidak masuk. Setelah mereka keluar, Anas mengabarkan kepada Nabi bahwa mereka telah pergi. Lalu Nabi masuk, dan beliau pun menurunkan hijab (tirai) yang menjadi pembatas antara beliau dan istrinya, serta mencegah Anas untuk ikut masuk. Maka turunlah ayat tentang hijab dan perintah meminta izin sebelum masuk ke rumah-rumah Nabi .

Zainab Rodhiyallahu ‘Anha pun membanggakan hal ini di antara para istri Nabi dan menyebutkan keutamaannya. Ia biasa berkata: “Sesungguhnya Allah menikahkanku di langit,” yakni, Allah Sendiri yang menikahkanku dengan Nabi . Dalam riwayat lain dari Shohih Al-Bukhori, ia berkata: “(Menikahkanku) dari atas tujuh langit.”

Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat yang turun tentangnya.

Dalam hadits ini terdapat keutamaan (manqibah) bagi Zainab binti Jahsy Rodhiyallahu ‘Anha.

Dan juga terdapat penjelasan tentang adanya kebanggaan dan persaingan di antara para istri (dan madunya), sebagaimana biasanya terjadi.

---

Dari Jalur ‘Ishom bin Kholid (1 Hadits)

[22] Uban di Jenggot Nabi

[22] 3546 - حَدَّثَنَا عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بُسْرٍ صَاحِبَ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: أَرَأَيْتَ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ شَيْخًا؟ قَالَ: «كَانَ فِي عَنْفَقَتِهِ شَعَرَاتٌ بِيضٌ»

22. Telah menceritakan kepada kami ‘Ishom bin Kholid, telah menceritakan kepada kami Hariz bin Utsman, bahwa ia pernah bertanya kepada Abdullah bin Busr—sahabat Nabi : “Apakah engkau melihat Nabi sudah beruban?” Ia menjawab: “Di jenggot beliau terdapat beberapa helai uban.”

Makna Umum

Para Shohabat yang mulia Rodhiyallahu ‘Anhum sangat mencintai Nabi dengan kecintaan yang luar biasa, hingga mereka menceritakan dan menyampaikan kepada generasi setelah mereka tentang sifat-sifat Nabi , baik sifat jasmani maupun maknawi beliau.

Dalam hadits ini, seorang Tabi'in bernama Hariz bin ‘Utsman mengabarkan bahwa ia pernah bertanya kepada seorang Shohabat, yaitu ‘Abdullah bin Busr Rodhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata kepadanya, “Apakah engkau pernah melihat Nabi , apakah beliau sudah tua?”, maksudnya: apakah beliau sudah ditumbuhi uban seperti yang biasa dialami orang yang telah lanjut usia dan memasuki masa tua.

Maka ‘Abdullah bin Busr Rodhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Di ‘anfaqah-nya terdapat beberapa helai rambut putih,” maksudnya: tidaklah beliau beruban kecuali hanya beberapa helai rambut saja. Adapun ‘anfaqah adalah rambut jenggot yang tumbuh di bagian bawah bibir bawah.

---

Referensi

Rujukan utama dalam menyusun ini adalah Shohih Bukhori dan Mausuah Haditsiyah dari Lembaga Duror Tsaniyah.

Komentar

Posting Komentar

Artikel Terpopuler

Al-Quran Obat Rohani dan Jasmani

Bacaan Setelah Al-Fatihah dalam Sholat

Doa Naik Kendaraan dan Safar

Hukum Tiyaroh (Anggapan Sial)

Duduk Istirahat dalam Sholat Menurut 4 Madzhab