Dua Imam Al-Hafizh: Nawawi dan Ibnu Hajar, Bukan Asy’ari
Tidak sah dinisbatkan
kepada Asy’ariyyah kecuali mereka yang berkomitmen pada manhaj mereka dalam
akidah, adapun mereka yang menyetujui pada beberapa masalah saja, maka mereka
tidak dinisbatkan kepadanya.
Syeikh Ibnu Utsaimin
berkata pada saat beliau membicarakan kedua imam: An-Nawawi dan Ibnu Hajar: “Apakah
benar kita nisbatkan kedua imam tersebut dan yang serupa dengan keduanya kepada
Asy’ariyyah? Jawabannya: Tidak; karena Asy’ariyyah mempunyai madzhab
tersendiri, ia mempunyai ketentuan dalam hal Asma’ dan sifat, keimanan dan alam
Akhirat. Alangkah bagusnya apa yang telah ditulis oleh saudara kami Safar Al-Hawali
dari apa yang beliau ketahui dari madzhab mereka; karena kebanyakan masyarakat
tidak memahami mereka kecuali sebatas Asyairoh menyelisihi generasi Salaf pada
bab Asma’ was Sifat, padahal mereka banyak menyelisihi madzhab Salaf dalam
banyak bab.
Jika seseorang berkata
pada masalah Sifat yang sesuai dengan madzhab Asyairoh, maka kami tidak
mengatakan dia adalah seorang Asy’ariyyah. Hal ini sebagaimana, bagaimanakah
pendapat Anda jika seseorang dari pengikut madzhab Hambali memilih pendapat
Syafi’iyyah, maka apakah kita mengatakan dia adalah seorang pengikut madzhab
Syafi’i?”[1]
Beliau juga berkata:
“Saya tidak mengetahui saat ini bahwa ada seseorang telah memberikan sumbangsih
kepada Islam pada masalah hadits Rasul seperti yang mereka berdua telah
lakukan. Yang menunjukkan hal itu bahwa Allah dengan daya dan kekuatan-Nya ?saya
tidak mendahului Allah dan tidak memastikannya? telah menerimanya. Buku-buku
karya mereka berdua banyak diterima oleh banyak orang, bagi para penuntut ilmu
bahkan bagi kalangan awam, sekarang misalnya kitab Riyadhus Shalihin terus
dibaca pada setiap majelis, dibaca pada setiap masjid, banyak orang yang
mengambil manfaat, saya bercita-cita bahwa Allah menjadikan buku saya seperti
buku tersebut, semua orang banyak mengambil manfaat dari buku tersebut baik di
rumahnya atau di masjidnya.”[2]
Ulama Lajnah Daimah
pernah ditanya: Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa ulama yang mentakwil
sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul Jauzi, dan lain
sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para Imam Ahlus Sunnah
wal Jama’ah atau bagaimana? Apakah kita berkata: Mereka melakukan kesalahan
dengan takwil mereka, atau mereka sesat?
Lajnah menjawab:
“Sikap kita terhadap Abu
Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi,
Ibnu Hajar dan yang serupa dengan mereka dari beberapa ulama yang mentakwil
sebagian sifat-sifat Allah atau melakukan tafwidh (menyerahkan makna kepada
Allah tentang hakekat makna sifat-sifat tersebut), menurut kami mereka semua
termasuk para ulama kaum Muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga
Allah merahmati mereka semua dengan rahmat yang luas dan membalas jasa mereka.
Mereka masih tergolong Ahlus Sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan
para Sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama Salaf pada tiga abad pertama
yang mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Namun mereka salah kerena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat
Allah, hal itu bertentangan dengan ulama salaf dan para imam sunnah
–rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat
perbuatan atau sebagiannya. Petunjuk yang benar hanya milik Allah. Semoga
shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dijawab oleh Syekh Abdul
Aziz bin Baaz, Syekh Abdur Razzaq Al-‘Afifi, dan Syekh Abdullah bin Qu’ud.[3]
Syekh Muhammad bin Shaleh
al ‘Utsaimin berkata: “Yang jelas di sana ada beberapa orang yang menisbahkan
dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera bid’ah, seperti
Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari ia seorang Mu’tazilah,
ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat kepada Allah sebagai
Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah, dan menyesatkan mereka. Oleh
karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya Al-Kasysyaf dalam
mentafsiri Al-Qur’an, agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam masalah
sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik,
banyak memberikan manfaat, tentu saja bahaya bagi siapa saja yang belum
mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.
Akan tetapi di sana ada
beberapa ulama yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul
bid’ah, namun dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah,
seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah-. Sebagian orang-orang
yang tidak mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada
saya: “Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul
Baari”, karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah, hal ini tidak
benar; karena kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa
sekarang ada seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya
kepada Islam dalam masalah hadits seperti karya mereka berdua. Hal itu
menunjukkan kepada Anda bahwa Allah dengan daya dan kekuatan-Nya ?saya tidak
mendahului kehenak Allah? bahwa Dia telah menerimanya. Hampir semua hasil karya
mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan
sampai masyarakat umum. Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada
setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak
kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya
seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di
rumahnya, di masjidnya.
Maka bagaimana mungkin
kedua ulama tersebut dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, dan
dikatakan tidak boleh berdoa agar mereka mendapatkan rahmat Allah, dan tidak
boleh membaca buku-bukunya, dan wajib membakar Fathul Baari dan Syarah Muslim?
Subhanallah, maka saya katakan kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:
“Persedikit dalam menilai mereka –demi Allah-
dari celaan, atau tutuplah tempat itu.”
Siapa yang mampu
mempersembahkan karya terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka
persembahkan ?! Kecuali jika Allah berkehendak lain. Maka saya berkata: Semoga
Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu Hajar Al Asqalani, dan siapa saja yang mirip
dengan mereka berdua, yang Allah jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Semuanya hendaknya mengamininya.[4]
Syekh Shalih bin Fauzan
al Fauzan –hafidzahullah- ditanya: Muncul perbedaan di antara penuntut ilmu
syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:
Sebagian mereka berkata:
ia adalah orang yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum dicek kebenarannya.
Sebagian yang lain berkata: harus dicek kebenarannya. Sebagian yang lain
membedakan antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang
mencetuskan dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj Ahlusunnah Jama’ah.
Bahkan sebagian mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh
(mendo’akan) mereka agar mendapatkan rahmat Allah?
Beliau menjawab:
Pertama: Tidak selayaknya bagi para pelajar pemula atau
yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau menganggapnya
fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif, sedang mereka
belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut. Yang demikian itu
juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban mereka yang
sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang
tidak bermanfaat.
Kedua: Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal yang baru
dalam agama yang bukan termasuk darinya sebelumnya, berdasarkan hadits
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam- :
«مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ، فَهُوَ رَدٌّ»
“Barang siapa yang
mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan kami (agama), yang sebelumnya bukan
termasuk darinya, maka akan tertolak.”[5]
Apabila seseorang
melakukan kesalahan atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan
karena ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah, namun apa
yang dilakukannya termasuk bid’ah.
Ketiga: Barang siapa yang memiliki kesalahan dalam masalah
ijtihadiyah dengan mentakwilnya, seperti Ibnu Hajar dan Nawawi yang mentakwil beberapa
sifat Allah, maka ia tidak dihukumi sebagai seorang mubtadi. Namun dijelaskan
bahwa inilah kesalahan mereka, dan diharapkan mereka mendapat ampunan dengan
besarnya jasa mereka terhadap Sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa
sallam-, karena kedua orang tersebut adalah imam yang mulia, yang dipercaya
oleh para ulama.[6]
Syekh Muhammad
Nashiruddin al Al Baani –rahimahullah-: “Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan
lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka
disebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari
‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan
Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah
itulah yang diwariskan.
Mereka mengira dari dua
sisi:
Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, tetapi
itu pada masa lalu; karena ia pada akhirnya telah rujuk.
Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar,
padahal tidak.[7]