Cari Artikel

Mempersiapkan...

Kenapa Tidak Merayakan Tahun Baru?

 

Setiap tanggal 1 pada setiap tahun Masehi, orang-orang Barat yang beraliansi Nashoro merayakan pesta tahun baru. Asal perayaan ini pada mulanya adalah ritual menyembah dewa-dewa Yunani lalu digabungkan ke acara keagamaan Nashoro untuk menarik perhatian kaum paganis (penyembah dewa).

Masyarakat Babilonia merayakan pergantian tahun baru dengan festival keagamaan yang disebut Akitu. Nama Akitu berasal dari kata Sumeria yang memiliki arti memotong musim semi.

Kegiatan tersebut selain dengan merayakan tahun baru, juga dilakukan untuk merayakan kemenangan mitos dewa langit Babilonia Marduk atas dewi laut yang jahat.

Selain masyarakat Babilonia, sepanjang zaman kuno, peradaban di seluruh dunia mengembangkan kalender yang semakin canggih untuk menentukan hari pertama tahun. Di Mesir Kuno, misalnya, tahun dimulai dengan banjir tahunan Sungai Nil, yang bertepatan dengan terbitnya bintang Sirius.

Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum kelahiran Yesus). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah berjalan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Allah Sudah Menggangti Perayaan Jahiliyah dengan Hari Raya Islami

Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa perayaan bagi kaum Muslimin hanya ada dua, yaitu hari ‘Idul Fitri dan hari ‘Idul Adha. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: ketika Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bersenang-senang dan bermain-main di masa Jahiliyah. Lalu beliau berkata: “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Akan tetapi Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya ‘Idul Adha dan hari raya ‘Idul Fitri.” (HR. HR. An Nasa-i no. 1556 dengan sanad shohih)

Komiter Fatwa Arab Saudi menjelaskan: “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik, baik tahunan, bulanan, pekanan, atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul beberapa hal: (1) hari yang berulang semisal Idul Fitri dan hari Jumat, (2) berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut, (3) berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.

Adapun hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua: (1) ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau (2) ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang Jahiliah atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam:

‘Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.’ (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Misalnya adalah peringatan kelahiran, hari ibu, dan hari kemerdekaan. Peringatan kelahiran seorang Nabi itu terlarang karena hal itu termasuk mengada-adakan ritual yang tidak pernah Allah izinkan.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah, 3/88-89)

Meniru Prilaku Nashoro Tanda Muslim Tak Baik

Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa sebagian umat Islam yang tidak baik akan meniru tradisi dan prilaku orang Nashoro, sebagaimana dalam hadits berikut:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata bahwa Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para Sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashoro?” Beliau menjawab, “Siapa lagi jika bukan mereka?” (HR. Al-Bukhori no. 7320 dan Muslim no. 2669)

Imam An-Nawawi menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal) dan dziro’ (hasta) serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum Muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashoro, yaitu kaum Muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarah Shohih Muslim, 16/220)

Maka ikut perayaan tahun baru adalah menyerupai orang Nashoro dan Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela dalam sabdanya:

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud dalam Irwāul Gholil no. 1269)

Laknat Allah Turun di Tempat Perayaan Paganis

Allah memuji orang beriman yang tidak menghadiri perayaan kaum paganis:

“Mereka orang-orang yang tidak melakukan zūr.” (QS. Al-Furqon: 72)

Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid, dan Ar-Robi’ bin Anas menafsirkan kata zūr (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir.

Dari Tsabit bin Adh-Dhohhak Rodhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari berkata: “Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah.” Lalu Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di dalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka?” Mereka menjawab, “Tidak.” Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tunaikan nadzarmu, tetapi tidak perlu menunaikan nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah dan tidak pula apa yang tidak dimiliki olehnya.” (HR. Abu Dawud no. 3313 dengan sanad shohih)

Umar bin Al-Khoththtob Rodhiyallahu ‘Anhu berkata, “Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja (rumah-rumah ibadah) mereka pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah turun atas mereka.” (HR. Al-Baihaqi no. 18640)

Dia berkata lagi, “Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka.” (HR. Al-Baihaqi no. 18641)

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash Rodhiyallahu ‘Anhu, dia berkata: “Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival seperti mereka serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari Kiamat bersama mereka.” (Aunul Ma’bud, syarah hadits no. 3512)

Muslim yang baik semestinya mengisi malam-malam dengan ibadah, belajar, berdzikir, tilawah, atau tidur lebih awal karena Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam membenci begadang setelah Isya kecuali untuk kebaikan. Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang taat dan puas dengan agama sendiri, serta mengampuni kita semua.[]

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url