Konsep Rizki dalam Islam
Rizki adalah segala yang bermanfaat bagi manusia dalam menopang dunia dan agamanya. Rizki yang berkaitan dengan agama jauh lebih berharga dari rizki yang berkaitan dengan dunia. Rizki agama adalah seperti hafal bacaan sholat dan gerakannya dengan baik, bisa membaca Al-Qur’an, berteman dengan orang-orang sholih dan semisalnya. Rizki duniawi adalah seperti kaya, sehat, rumah, kendaraan, dan semisalnya.
Rizki Sudah
Ditetapkan dan Tidak Akan Berubah
Rizki setiap makhluk sudah
Allah tetapkan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, berdasarkan
sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah
telah menulis takdir semua makhluk-Nya 50.000 tahun sebelum menciptakan langit
dan bumi.” (HR. Muslim no.
2653)
Ketentuan ini tidak akan
dihapus maupun dikurangi dan ditambahi. Semuanya sudah final. Semuanya sudah ditulis
di Lauhul Mahfuzh. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
Dari Abul Abbas Abdullah
bin Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma,
ia berkata: aku pernah di belakang Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu hari, lalu beliau bersabda: “Ketahuilah!
Seandainya umat manusia bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, mereka
tidak akan bisa memberimu manfaat kecuali sesuatu yang telah Allah tulis
untukmu, dan seandainya mereka bersatu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu,
niscaya mereka tidak akan bisa menimpakan bahaya kepadamu kecuali sesuatu yang
telah ditulis atasmu. Pena telah diangkat dan
lembaran telah kering.” (Shohih: HR. At-Tirmidzi
no. 2516)
Adapun hadits Ibnu Mas’ud
Rodhiyallahu ‘Anhu tentang rizki dalam janin berkaitan dengan catatan
rizki di Lauhul Mahfuzh yang diberitahukan Allah kepada Malaikat. Yakni hadits:
“Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan
penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi
segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu
pula, kemudian diutus seorang Malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh padanya,
dan diperintahkan empat kalimat: menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan
celaka atau bahagia.” (HR. Al-Bukhori no. 3208
dan Muslim no. 2643)
Maka, rizki dan harta
yang telah ditetapkan Allah bagi tiap-tiap orang, tidak akan berkurang dan
bertambah, karena pena pencatat takdir sudah diangkat, yang mengisyaratkan
tidak ada penambahan dan pengurangan. Lembaran Lauhul Mahfuzh juga sudah
kering, yang mengisyaratkan tidak ada penghapusan.
Lalu bagaimana dengan
hadits berikut?
“Tidak ada yang bisa
merubah takdir kecuali doa, dan tidak ada yang bisa menambah usia kecuali
berbuat baik.” (Shohih: HR.
At-Tirmidzi no. 2139)
Maupun hadits ini:
“Siapa yang ingin dilapangkan
rizkinya dan dipanjangkan usianya, hendaknya ia menyambung tali rahim
(silaturohim).” (HR.
Al-Bukhori no. 2067 dan Muslim no. 2557)
Maupun hadits-hadits lain
yang setema, bagaimana memahaminya?
Jawaban sederhananya: apa yang di Lauhul Mahfuzh sudah final, tetapi
apa yang di catatan Malaikat bisa berubah, dan inilah yang dimaksud dalam
hadits. Allah tahu bahwa si fulan nanti akan memperbanyak silaturohmi maka
Allah menyuruh Malaikat untuk menambah usianya dan melapangkan rikzinya, untuk
memperlihatkan kemurahan Allah kepada hamba-Nya.
Apakah ketetapan ini
menjadikan kita bermalas-malasan dalam bekerja dan bermalas-malasan dalam mencari
sebab?
Jawabannya: Allah melarang demikian, bahkan seseorang harus
semangat untuk meraih sebab. Siapa yang ingin kaya, hendaknya ia meraih
sebabnya. Siapa yang ingin pandai, hendaknya ia melakukan sebabnya. Siapa yang
ingin sehat, hendaknya ia melakukan terapinya. Karena, setiap orang yang
diciptakan Allah akan dimudahkan ia kepada takdirnya, sebagaimana sabda Nabi Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam:
“Beramallah
(bekerjalah), setiap orang akan dimudahkan sesuai dengan takdir ia diciptakan.” (HR. Al-Bukhori no. 4949)
Mengalamatkan
Rizki Kepada Kecerdasan
Termasuk keyakinan yang
salah dari kebanyakan orang adalah mengalamatkan keberhasilannya: rumah, mobil,
bisnis, dan lain sebagainya, karena gelar dan hasil kerja kerasnya. Mereka
tidak mengalamatkan keberhasilannya kepada Allah.
Allah murka kepada tipe orang
seperti ini, sebab ucapan ini mirip dengan yang diucapkan Qorun yang
dimurkai-Nya. Allah mengabarkan ucapan Qorun:
“‘Aku diberi semua ini
(kekayaan) karena ilmu yang ada pada diriku.’” (QS. Al-Qoshosh [28]: 78)
Kekayaan Qorun yang
kunci-kunci gudangnya tidak sanggup dipikul orang-orang kuat di zamannya ini, dikira
diperoleh dari hasil kerja kerasnya, dan karena kepandaiannya dalam mencari
rezeki. Begitulah persangkaannya. Ternyata ucapan yang sederhana ini dibenci Allah
dan Dia pun menghukum Qorun di dunia sebelum di Akhirat:
“Maka Kami benamkan
dia bersama rumahnya (harta bendanya) ke dalam bumi. Tiada baginya kelompok
apapun yang mampu menolongnya selain Allah, dan dia bukan termasuk orang-orang
yang ditolong.” (QS.
Al-Qoshosh [28]: 81)
Seandainya gelar sarjana
menjadi tolok ukur kekayaan seseorang, tentunya manusia yang paling kaya adalah
yang paling tinggi gelarnya (doktor dan profesor), tetapi ternyata kita melihat
banyak sarjana tidak berpenghasilan dan doktor yang pas-pasan ekonominya.
Harta adalah urusan Allah
dan Dia membagi-baginya kepada siapa yang Dia kehendaki sejumlah berapa yang
Dia inginkan. Allah berfirman:
“Apakah mereka yang
membagi rohmat (harta) Rob-mu? Kami-lah yang membagi kekayaan di antara mereka.
Kami lebihkan sebagian atas sebagian yang lain.” (QS. Az-ZukhrÅ«f [43]: 32)
Jika Sudah Kaya
Jangan Tutup Mata
Dari sini, hendaklah
setiap orang untuk membenahi niatnya ketika bekerja, tidak dia niatkan untuk
menjadi orang kaya semata. Tetapi niatkan untuk beribadah kepada Allah, agar
tidak meminta-meminta karena Allah membenci meminta-meminta.
Janganlah bekerja hanya
untuk orientasi harta semata, apalagi sampai buta mata dalam mencarinya, lalu
digunakan untuk foya-foya dan lupa zakat dan sedekah. Allah tidak menyukai tipe
pencari harta seperti ini. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, maka Kami akan sempurnakan usaha
mereka di dunia dan mereka tidak akan dirugikan. Merekalah
orang-orang yang di Akhirat tidak mendapat bagian kecuali Neraka. Dan gugurlah
amal perbuatan mereka di dunia dan batal pula apa yang mereka kerjakan.” (QS. HÅ«d [11]: 15-16)
“Barangsiapa yang
menghendaki dunia, maka Kami akan segerakan untuknya di dunia berapa yang Kami
kehendaki dan kepada siapa yang Kami kehendaki. Kemudian
Kami jadikan Jahannam akan dimasukinya dalam keadaan tercela dan terasing.” (QS. Al-IsrÅ` [17]: 18)
Jika nanti ditakdirkan
sukses bisnisnya, janganlah lupa daratan apalagi sampai mengaku karena ijazah,
hasil kerja keras, atau usahanya semata. Ingat, Allah-lah dibalik kekayaan
kita. Tanpa Allah adakah yang mampu menjadi orang kaya?[]