Arbain Pernikahan | 40 Hadits Tentang Pernikahan
Muqaddimah
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ
سَيِّئآتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا
بَعْدُ:
Di dalam
kutaib ini, penyusun hanya mencantumkan hadits maqbul saja meliputi hasan dan
shahih, meskipun ada satu yang dha’if dan satu atsar ‘Umar yang belum penyusun
temukan komentar ahli hadits tentang derajat keabsahannya. Untuk yang dha’if
tersebut, penyusun cantumkan karena sebenarnya ada khilaf tajam di mana
sebagian pakar menilainya shahih yang penyusun singgung dalam Takhrij Luas
dan Tahqiq dan juga takhrij hadits untuk Poin Ke-40. Adapun penilaian
para ulama ahli hadits yang beragam untuk satu hadits, hal ini disebabkan
karena ulama ahli hadits sendiri terbagi menjadi tiga kelompok dalam menyikapi
perawi: mutasyaddid (sangat ketat, seperti Abu Hatim ar-Razi dan Abu
Zur’ah ar-Razi), mu’tadil (pertengahan, seperti Imam Al-Bukhari dan An-Nasa`i),
dan mutasahil (longgar, seperti At-Tirmidzi dan Al-Hakim). Maka, jangan
heran jika suatu hadits dinilai hasan oleh At-Tirmidzi lalu didha’ifkan oleh
ulama setelahnya.
Sengaja
penyusun hanya mencantumkan matannya saja, karena memang awalnya hanya berisi
firman Allah dan sabda Rasul-Nya untuk memudahkan
dihafal. Untuk
membedakan dengan atsar, penyusun mencantumkan nama shahabat yang
mengucapkannya.
Penyusun
menyadari bahwa kutaib ini sangat jauh dari kesempurnaan. Silahkan kirim ke norkandir@gmail.com.[]
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا
فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ:
Poin Ke-1: Bahaya Fitnah Wanita
﴿وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا﴾
Allah ta’ala berfirman, “Dan manusia
diciptakan dalam keadaan lemah.” [QS. An-Nisâ` [4]: 28]
قَالَ
النَّبِيُّ ﷺ: «مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ
النِّسَاءِ»
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Aku tidak meninggalkan sepeninggalku fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum
lelaki melebihi kaum wanita.” [Muttafaqun ‘Alaih]
«إِنَّ
الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللّٰهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرُ
كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ
أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ»
“Sesungguhnya dunia itu manis lagi hijau dan sesungguhnya
Allah menjadikan kalian berkuasa di dalamnya lalu Dia melihat apa yang kalian
lakukan. Waspadalah kalian terhadap dunia dan waspadalah kalian terhadap wanita. Sesungguhnya fitnah pertama Bani
Isra`il adalah wanita.” [HR. Muslim (no.
2742)]
«إِنَّ
اللّٰهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ،
وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْ يُكَذِّبُهُ»
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas keturunan Adam
bagiannya dari zina, yang pasti dilakukannya tidak mungkin tidak. Zina mata
adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, dan jiwa berandai-andai dan
berkeinginan, sementara kemaluan
membenarkan (mewujudkan) hal tersebut atau mendustakannya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-2: Menikah Cara Terbaik Membendung Fitnah Wanita
«إِنَّ
الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ،
فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ
يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ»
وَفِى
رِوَايَةٍ: «فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا»
“Sesungguhnya wanita menghadap dalam rupa setan dan membelakangi
dalam rupa setan pula. Jika salah seorang dari kalian melihat wanita, hendaklah
ia mendatangi (menyetubuhi) istrinya karena hal tersebut bisa menolak apa (yang bergejolak) di dalam
jiwanya.” [HR. Muslim (no. 1403)]
Dalam riwayat lain, “Karena istrinya memiliki yang
semisal dimiliki wanita tersebut.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.
1158)]
Poin Ke-3: Menikah Sunnah Para Nabi dan Rasul
﴿وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً﴾
“Dan sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami
jadikan untuk mereka istri-istri dan keturunan.” [QS. Ar-Ra’du [13]: 38]
«أَمَا
وَاللّٰهِ، إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلّٰهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي»
“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan
paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Namun, aku puasa dan tidak puasa,
aku shalat malam dan tidur, dan aku menikahi beberapa wanita. Barangsiapa yang
membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-4: Menikah Memberikan Ketenangan
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ
أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Di antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia menciptakan
untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian merasa tenang
karena mereka, dan Dia jadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sungguh
pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir.” [QS. Ar-Rûm [30]: 21]
﴿هُنَّ لِبَاسٌ
لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ﴾
“Mereka (para istri) adalah pakaian untuk kalian (para
suami) dan kalian adalah pakaian untuk mereka.” [QS. Al-Baqarah [2]: 187]
Poin Ke-5: Menikah Termasuk Kesempurnaan Iman
«مَنْ
أَعْطَى لِلّٰهِ، وَمَنَعَ لِلّٰهِ، وَأَحَبَّ لِلّٰهِ، وَأَبْغَضَ لِلّٰهِ،
وَأَنْكَحَ لِلّٰهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ إِيمَانُهُ»
“Barangsiapa yang memberi karena Allah, menahan karena
Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah,
maka sungguh telah sempurna keimanannya.” [Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2521)]
Poin Ke-6: Kesempurnaan Agama Bagi Pasutri
«إِذَا
تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدْ كَمُلَ نِصْفُ الدِّينِ، فَلْيَتَّقِ اللّٰهَ فِي
النِّصْفِ الْبَاقِي»
“Jika seorang hamba menikah maka dia telah menyempurnakan
setengah agama. Hendaklah dia bertakwa kepada Allah di setengah sisanya.” [Hasan: HR. Al-Baihaqi (no. 5100)]
«مَنْ
رَزَقَهُ اللّٰهُ امْرَأَةً صَالِحَةً فَقَدْ أَعَانَهُ عَلَى شَطْرِ دِينِهِ،
فَلْيَتَّقِ اللّٰهَ فِي الشَّطْرِ الثَّانِي»
“Barangsiapa yang diberi karunia Allah wanita shalihah, maka sungguh Dia telah membantunya
dalam setengah agamanya. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah di setengah
sisanya.” [Shahih: HR. Al-Hakim (no.
2681)]
Poin Ke-7: Anjuran
Menikah dan Penekanan Atasnya
﴿وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ
عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ﴾
“Dan nikahkanlah wanita-wanita sendirian di antara kalian dan orang-orang
shalih dari hamba-hamba lelaki dan perempuan kalian.” [QS. An-Nûr [24]: 32]
«يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian mampu
ba`ah (jima’) maka menikahlah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum sanggup, maka hendaklah ia berpuasa
karena ia akan menjadi tameng baginya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-8: Larangan
Menunda Menikah Karena Miskin
﴿إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴾
“Jika mereka
miskin, niscaya Allah akan menjadikan mereka kaya dari karunia-Nya. Dan Allah
mahaluas (karunia-Nya) dan mahatahu.” [QS. An-Nûr [24]: 32]
«ثَلَاثَةٌ
حَقٌّ عَلَى اللّٰهِ عَوْنُهُمْ: المُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَالمُكَاتَبُ
الَّذِي يُرِيدُ الأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ العَفَافَ»
“Tiga orang yang pasti Allah tolong, yaitu orang yang
berjihad di jalan Allah, budak mukatab yang ingin menebus dirinya, dan orang
yang menikah demi menjaga kehormatan.” [Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 1655)]
«تَزَوَّجُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّهُنَّ يَأْتِينَكُمْ بِالْمَالِ»
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita karena sesungguhnya
mereka akan mendatangkan harta kepada kalian.” [Shahih: HR. Al-Hakim (no. 2679)]
قَالَ
أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «اَطِيْعُوا اللّٰهَ فِيْمَا اَمَرَكُمْ
بِهِ مِنَ النِّكَاحِ، يُنْجِزُ لَكُمْ مَا وَعَدَكُمْ مِنَ الْغِنَى، قَالَ
تَعَالَى: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Abu Bakar Ash-Shiddiq (w. 13 H) Radhiyallahu ‘Anhu
berkata, “Taatilah Allah atas apa yang Dia perintahkan kepada kalian berupa
menikah, niscaya Dia akan menepati apa yang Dia janjikan kepada kalian berupa
kekayaan, karena Allah berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allah akan
menjadikan mereka kaya dari karunia-Nya.’” [Tafsîr Ibnu Abî Hâtim
(no. 14449, VIII/2582)]
قَالَ
عُمَرُ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «عَجِبْتُ لِمَنِ ابْتَغَى الْغِنَى بِغَيْرِ
النِّكَاحِ، وَاللّٰهُ عَزَّ وَجَلَّ يَقُوْلُ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
‘Umar bin Al-Khaththab (w. 23 H) Radhiyallahu ‘Anhu
berkata, “Aku heran terhadap seseorang yang mencari kekayaan tanpa menikah,
padahal Allah ta’ala berfirman, ‘Jika mereka miskin, niscaya Allah
akan menjadikan mereka kaya dari karunia-Nya.’” [Tafsîr Al-Baghawî (III/410)]
قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا: «أَمَرَ اللّٰهُ سُبْحَانَهُ
بِالنِّكَاحِ وَرَغَّبَهُمْ فِيْهِ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُزَوِّجُواْ أَحْرَارَهُمْ
وَعَبِيْدَهُمْ، وَوَعَدَهُمْ فِي ذَلِكَ الْغِنَى فَقَالَ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) Radhiyallahu ‘Anhuma
berkata, “Allah memerintahkan menikah dan mendorong untuk itu, dan memerintah
mereka untuk menikahkan orang-orang yang merdeka dan budak mereka, serta
menjanjikan mereka kekayaan pada pernikahan tersebut karena Allah berfirman, ‘Jika
mereka miskin, niscaya Allah akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya.’”
[Tafsîr Ibnu Abi Hâtim (no. 14442, VIII/2581)]
قَالَ
ابْنُ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: «الْتَمِسُواْ الْغِنَى فِي النِّكَاحِ،
يَقُوْلُ اللّٰهُ: إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ»
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu (w. 32 H) berkata, “Carilah
kekayaan di dalam pernikahan, karena Allah berfirman, ‘Jika mereka miskin,
niscaya Allah akan menjadikan mereka kaya dengan karunia-Nya.’” [Tafsîr
Ibnu Katsîr (VI/51)]
Poin Ke-9: Doa Istikharah dan Bersandar Kepada Allah
«اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ
مِنْ فَضْلِكَ العَظِيمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَ
أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلَّامُ الغُيُوبِ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ
هَذَا الأَمْرَ [أَوْ قَالَ: النِّكَاحَ] خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي
وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِي
وَيَسِّرْهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ. وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا
الأَمْرَ [أَوْ قَالَ: النِّكَاحَ] شَرٌّ
لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي -أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي
وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِيَ الخَيْرَ
حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِي»
“Ya Allah, aku beristikharah (meminta pilihan dan arahan)
kepada-Mu dan meminta takdir (baik) dengan takdir-Mu, dan aku memohon kepada-Mu
sebagian karunia-Mu yang agung, karena Engkau Mahamampu dan aku tidak mampu,
dan Engkau Mahatahu dan aku tidak tahu, dan Engkau Mahatahu yang ghaib. Ya
Allah, jika Engkau tahu bahwa urusan [atau nikah] ini baik bagiku dalam
agamaku, kehidupanku, dan berakibat (baik) dalam urusanku --atau berdoa:
urusanku sekarang dan akan datang-- maka takdirkanlah ia untukku dan
mudahkanlah ia untukku kemudian berkahilah ia untukku. Dan jika Engkau tahu
bahwa urusan [atau nikah] ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan berakibat
(buruk) dalam urusanku --atau berdoa: urusanku sekarang dan akan datang-- maka
palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah kebaikan
apapun untukku kemudian jadikan aku ridha.” [HR. Al-Bukhari (II/57)]
Poin Ke-10: Perhatian
dalam Memilih Pasangan
﴿الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ
لِلطَّيِّبَاتِ﴾
“Wanita-wanita buruk untuk lelaki-lelaki buruk, dan
lelaki-lelaki buruk untuk wanita-wanita buruk. Dan wanita-wanita baik untuk
lelaki-lelaki baik, dan lelaki-lelaki baik untuk wanita-wanita baik.” [QS. An-Nûr [24]: 26]
«تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ»
“Pilihkanlah (tempat yang baik) untuk sperma kalian,
nikahilah wanita yang sepadan, dan nikahkanlah (putri-putri kalian) kepada
mereka.” [Hasan: HR. Ibnu Majah (no.
1968)]
Poin Ke-11: Sebaik-Baik Kenikmatan Dunia
«الدُّنْيَا
مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ»
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasaan dunia
adalah wanita shalihah.” [HR. Muslim (no.
1467)]
«حُبِّبَ
إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي
الصَّلَاةِ»
“Telah dijadikan kecintaanku dari dunia adalah wanita dan
wewangian, dan dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.” [Hasan Shahih: HR. An-Nasa`i (no. 3939)]
«أَرْبَعٌ
مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ،
وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاوَةِ:
الْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضِّيقُ،
وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ»
“Empat kebahagiaan adalah istri shalihah, rumah yang luas, tetangga shalih, dan kendaraan nyaman. Dan
empat kesengsaraan adalah tetangga yang
jahat, istri yang jahat, rumah yang sempit, dan kendaraan yang jelek.” [Shahih: HR. Ibnu Hibban (no. 4032)]
Poin Ke-12: Kriteria
Wanita Shalihah
﴿فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ﴾
“Maka wanita shalihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga
diri saat suaminya tidak ada karena Allah telah menjaganya.” [QS. An-Nisâ` [4]: 34]
«تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ»
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Wanita
(biasanya) dinikahi karena empat hal: karena hartanya, nasabnya, kecantikannya,
dan agamanya. Nikahilah karena agamanya, kalau tidak kamu akan sengsara.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-13: Kriteria Wanita Idaman
﴿وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَ﴾
“Dan hendaklah kalian (para istri) tetap tinggal di rumah-rumah
kalian dan jangan bersolek seperti kaum jahiliyyah tempo dulu. Kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya.” [QS. Al-Ahzâb
[33]: 33]
«خَيْرُ
النِّسَاءِ مَنْ تَسَرُّ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا»
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan jika suami
memandangnya, mentaati suami jika memerintahnya, dan tidak menyelisihi suami
dalam diri dan hartanya.” [Shahih:
HR. Al-Hakim (no. 2682)]
«عَلَيْكُمْ
بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا، وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا،
وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ»
“Hendaklah kalian menikahi gadis (perawan), karena mereka
lebih harum mulutnya, lebih subur rahimnya, dan lebih ridha dengan yang
sedikit.” [Hasan: HR. Ibnu Majah (no.
1861)]
«تَزَوَّجُوا
الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ [يَوْمَ
الْقِيَامَةِ]»
“Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena sesungguhnya aku merasa bangga
dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan para umat [pada hari Kiamat].” [Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2050)]
Poin Ke-14: Nazhar dan Dianjurkan Cantik Menurut Kedua Matanya
«انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا»
“Lihatlah wanita tersebut karena hal tersebut lebih
menimbulkan kelanggengan di antara kalian berdua.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1087)]
Poin Ke-15: Larangan Menikah dengan Paksaan
«لاَ تُنْكَحُ
الأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ، وَلاَ تُنْكَحُ البِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّٰهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
“Janda tidak boleh dinikahkan hingga diminta perintahnya
(pendapat/diskusi), dan gadis
tidak boleh dinikahkan hingga diminta izinnya
(persetujuannya).” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana izinya?” Beliau menjawab, “Diamnya.”
[Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-16: Dibenci Menolak Lamaran Lelaki Shalih
«إِذَا
خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا
تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ»
“Jika melamar kepada kalian (para wali wanita) seseorang
yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak
melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” [Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 1084)]
Poin Ke-17: Termasuk Sunnah Mempermudah Pernikahan
«أَحَقُّ
الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ»
“Syarat yang paling berhak dipenuhi adalah apa yang menyebabkan
kemaluan menjadi halal.” [Muttafaqun
‘Alaih]
«خَيْرُ
النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ»
“Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah.” [Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2117)]
«إِنَّ
مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا، وَتَيْسِيرَ صَدَاقِهَا،
وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا»
“Termasuk wanita yang berkah adalah yang mudah
lamarannya, mudah mas kawinnya, dan mudah rahimnya (subur).” [Shahih: HR. Ahmad (no. 24478)]
Poin Ke-18: Tidak Sah Nikah Tanpa Wali, Mahar, dan Saksi
﴿فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ﴾
“Nikahilah mereka dengan seizin keluarga mereka dan
berikanlah mahar mereka dengan ma’ruf.” [QS.
An-Nisâ` [4]: 25]
«لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ»
“Tidak sah nikah tanpa wali.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1101)]
Poin Ke-19: Mengumumkan Pernikahan dan Walimah
«أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ»
“Umumkan pernikahan.” [Hasan Shahih: HR. Ahmad (no. 16130)]
«أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ»
“Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-20: Masa Bermalam Pengantin Baru
«السُّنَّةُ
إِذَا تَزَوَّجَ البِكْرَ أَقَامَ عِنْدَهَا سَبْعًا، وَإِذَا تَزَوَّجَ
الثَّيِّبَ أَقَامَ عِنْدَهَا ثَلاَثًا»
“Sunnah adalah jika seseorang menikahi gadis bermalam di
sisinya selama tujuh hari dan apabila menikahi janda bermalam di sisinya selama
tiga hari.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-21: Doa Untuk Pengantin Baru
«بَارَكَ
اللّٰهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ»
“Semoga Allah memberikan berkah kepadamu (saat senang)
dan semoga memberi berkah atasmu (saat sedih), dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” [Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2130)]
Poin Ke-22: Mendoakan Istri Pengantin Baru
«إِذَا
تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا [ثُمَّ لِيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا
وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فِي الْمَرْأَةِ وَالْخَادِمِ]، فَلْيَقُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا
وَخَيْرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَمِنْ شَرِّ
مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ. وَإِذَا اشْتَرَى بَعِيرًا فَلْيَأْخُذْ
بِذِرْوَةِ سَنَامِهِ وَلْيَقُلْ مِثْلَ ذَلِكَ»
“Jika salah seorang dari kalian menikahi wanita atau
membeli budak, [kemudian hendaklah memegang ubun-ubunnya dan mendoakan
keberkahan untuk istri dan budak tersebut], maka hendaklah dia berdoa: ‘Ya
Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan yang Engkau
ciptakan atasnya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan
yang Engkau ciptakan atasnya.’ Jika ia membeli unta peganglah punuknya dan
berdoalah seperti itu.” [Hasan:
HR. Abu Dawud (no. 2160)]
Poin Ke-23: Doa Saat Bersenggama
«لَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، فَقَالَ: بِاسْمِ اللّٰهِ، اللّٰهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ
يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا»
“Seandainya salah seorang dari kalian jika ingin
mendatangi keluarganya (menyetubuhi istrinya) lalu berdoa: ‘Dengan nama
Allah, ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa (anak)
yang Engkau rezekikan kepada kami.’ Jika mereka berdua ditakdirkan
mendapatkan anak karena persetubuhan tersebut, maka setan tidak akan
membahayakannya selamanya.” [Muttafaqun
‘Alaih]
Poin Ke-24: Larangan Membicarakan Rahasia Ranjang
«إِنَّ
مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللّٰهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ
يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا»
“Sesungguhnya di antara manusia yang paling buruk
tempatnya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang bersenggama
dengan istrinya dan sebaliknya, lalu ia menyebarkan rahasianya.” [HR. Muslim (no. 1437)]
Poin Ke-25: Keutamaan Khusus Bagi yang Menikah Tidak Selainnya
«مَنْ
غَسَّلَ وَاغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ، وَمَشَى وَلَمْ
يَرْكَبْ، فَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ وَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ
خُطْوَةٍ أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا»
“Barangsiapa yang membuat junub (bersenggama hingga
membuat istri wajib mandi junub) dan mandi junub pada hari Jum’at, dan
bersegera (mendatangi shalat di awal waktu) dan pergi (sebelum khutbah
dimulai), dan berjalan tidak berkendara, lalu mendekat kepada imam dan
mendengarkan dengan baik dan tidak berbuat sia-sia (berbicara saat khatib
berkhutbah), maka dia mendapatkan setiap langkah pahala satu tahun puasa dan
shalat malam.” [Shahih: HR. Ahmad (no.
16962)]
Poin Ke-26: Indahnya Pacaran Setelah Nikah
«لَمْ
نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ»
“Kami tidak melihat dua orang yang lebih saling mencintai seperti
nikah.” [Shahih: HR. Ibnu Majah (no.
1847)]
Poin Ke-27: Hak Suami Atas Istri
«لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللّٰهِ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا تُؤَدِّي
الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا
نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ»
“Seandainya aku perintahkan seseorang untuk bersujud
kepada selain Allah, tentulah aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya.
Demi jiwa Muhammad yang berada di Tangan-Nya, seorang wanita belum dianggap
menunaikan hak Rabb-nya hingga menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya
meminta dirinya (bersenggama) saat dia di pelana unta, maka tidak boleh dia
menolaknya.” [Hasan Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1853)]
«لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ
تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ
غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ»
“Tidak boleh bagi seorang wanita berpuasa saat suaminya
hadir kecuali dengan seizinnya, tidak boleh memberi izin masuk rumahnya kecuali
dengan seizinnya, dan apa yang disedekahkan tanpa perintah suaminya maka setengahnya
(pahala) dikembalikan kepada suaminya.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-28: Hak Istri Atas Suami
«أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تَضْرِبِ
الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ»
“Kamu memberinya makan jika kamu makan, kamu memberinya
pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajah, jangan memburukkannya, dan
jangan memboikotnya kecuali di dalam rumah.” [Hasan Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2142)]
Poin Ke-29: Berusaha Memahami Karakter Pasangannya
«إِنِّي
لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى» قَالَتْ:
فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: «أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي
رَاضِيَةً، فَإِنَّكِ تَقُولِينَ: لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ! وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ
غَضْبَى، قُلْتِ: لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ!» قَالَتْ: قُلْتُ: أَجَلْ وَاللّٰهِ
يَا رَسُولَ اللّٰهِ، مَا أَهْجُرُ إِلَّا اسْمَكَ
“Sungguh aku benar-benar tahu kapan kamu sedang ridha
kepadaku dan kapan kamu sedang marah kepadaku.” Aku (‘Aisyah) berkata, “Dari mana Anda tahu itu?” Beliau menjawab, “Adapun
jika kamu sedang ridha kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb Muhammad!’ Dan jika
kamu sedang marah kepadaku, kamu berkata, ‘Demi Rabb Ibrahim!’” Aku
berkata, “Benar, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak menjauhi kecuali
namamu.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-30: Perhatian dalam Mendidik Anak dan Melayani Suami
«خَيْرُ
نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِبِلَ صَالِحُ نِسَاءِ قُرَيْشٍ، أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ،
وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»
“Sebaik-baik wanita yang mengendarai unta adalah wanita
shalihah Quraiys yang mendidik anak semenjak kecil dan melayani suami dengan
tangannya sendiri.” [HR. Al-Bukhari (no. 5082)]
Poin Ke-31: Saling Melaksanakan Kewajiban Masing-Masing
«أَلاَ
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَعَبْدُ
الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Imam yang
mengurus manusia adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin (pengurus) bagi rumah suaminya dan anak suaminya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Budak adalah pemimpin bagi harta
majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Maka
ketahuilah bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
«أَدُّوا إِلَيْهِمْ
حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللّٰهَ حَقَّكُمْ»
“Tunaikanlah
kepada mereka hak mereka dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR.
Al-Bukhari (no. 7052)]
Poin Ke-32: Saling Tolong-Menolong dalam Kebaikan
«رَحِمَ
اللّٰهُ رَجُلًا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى، وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ
أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ. رَحِمَ اللّٰهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ
اللَّيْلِ فَصَلَّتْ، وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا، فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ
الْمَاءَ»
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di
malam hari lalu shalat dan membangunkan istrinya, jika enggan maka ia percikkan
air di wajahnya. Semoga Allah merahmati seorang istri yang bangun di malam hari
lalu shalat dan membangunkan suaminya, jika enggan maka ia percikkan air di
wajahnya.” [Hasan Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 1308)]
Poin Ke-33: Perintah Sabar, Lembut, dan Berbuat Baik Kepada
Istri
﴿وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا﴾
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf. Jika
kamu membenci mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu sementara Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS. An-Nisâ` [4]: 19]
«وَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ
شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ
تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا»
“Hendaklah kalian saling berwasiat berbuat baik kepada
kaum wanita (istri), karena mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian
tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu paksa
meluruskannya berarti kamu mematahkannya, dan jika kamu membiarkanya dia akan
selalu bengkok. Oleh karena itu, hendaklah kalian saling berwasiat berbuat baik
kepada kaum wanita.” [Muttafaqun
‘Alaih]
«خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik kepada
keluarganya dan aku adalah yang terbaik kepada keluargaku.” [Shahih: HR. Ibnu Majah (no. 1977)]
«لَا
يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ»
“Lelaki beriman (suami) tidak boleh membenci wanita
beriman (istri). Jika dia membenci satu akhlaknya, dia tentu senang dengan
akhlaknya yang lain.” [HR. Muslim (no.
1469)]
Poin Ke-34: Kebanyakan Istri Binasa Karena Tidak Pandai
Bersyukur
«أُرِيتُ
النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ» قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ
بِاللّٰهِ؟ قَالَ: «يَكْفُرْنَ العَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ
أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ:
مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ»
“Neraka telah diperlihatkan kepadaku, ternyata kebanyakan
penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ditanyakan kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
bersabda, “Mereka kufur kepada suami dan kufur kepada kebaikan. Seandainya
kamu berbuat baik kepada seorang dari mereka sepanjang masa lalu melihat
sesuatu (yang tidak disukainya) darimu, maka dia akan berkata, ‘Aku tidak
pernah melihat darimu kebaikan sedikitpun (tidak pernah diperlakukan baik
sedikitpun).’” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-35: Bidadari Cemburu dan Marah kepada Istri yang Jahat
«لَا
تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ
الحُورِ العِينِ: لَا تُؤْذِيهِ! قَاتَلَكِ اللّٰهُ! فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ
دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»
“Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia
melainkan istrinya dari kalangan bidadari berkata, ‘Jangan engkau menyakitinya! Semoga Allah memerangimu! Dia hanya sebentar bersamamu dan akan tiba waktunya berpisah
denganmu menuju kepada kami.’” [Shahih:
HR. At-Tirmidzi (no. 1174)]
Poin Ke-36: Keutamaan Nafkah Suami kepada Keluarganya
﴿الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
(2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ﴾
“Alif Lâm Mîm. Inilah Al-Kitab yang tidak ada keraguan di
dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu orang-orang yang
beriman kepada yang ghaib, menegakkan shalat, dan menafkahkan sebagian yang
kami rezekikan kepada mereka.” [QS. Al-Baqarah [2]: 1-3]
«إِنَّكَ
لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللّٰهِ إِلَّا أُجِرْتَ
عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ»
“Tidaklah engkau memberi nafkah karena mengharap wajah Allah
melainkan engkau akan diberi pahala, hingga apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
[Muttafaqun ‘Alaih]
«دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللّٰهِ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ،
وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى
أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ»
“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu
dinar yang engkau nafkahkan untuk pembebasan budak, satu dinar yang engkau
sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk
keluargamu.” [HR. Muslim (no. 995)]
Poin Ke-37: Larangan Mengabaikan Masalah Ranjang Suami
«إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ
عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ»
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya
(bersenggama) tetapi ia enggan sehingga malam tersebut suaminya marah
kepadanya, maka para malaikat melaknatnya hingga waktu pagi.” [Muttafaqun ‘Alaih]
Poin Ke-38: Keutamaan
Bersenggama yang Syar’i
﴿فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ﴾
“Maka sekarang gaulilah mereka dan carilah apa (anak)
yang telah ditetapkan Allah atas kalian.” [QS.
Al-Baqarah [2]: 187]
«وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ»
“Dan dalam bersenggama salah seorang dari kalian ada
sedekah.” [HR. Muslim (no. 1006)]
قَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ: «وَاللّٰهِ إِنِّي لَأُكْرِهُ
نَفْسِي عَلَى الْجِمَاعِ، رَجَاءَ أَنْ يُخْرِجَ اللّٰهُ مِنِّي نَسَمَةً
تُسَبِّحُ اللّٰهَ»
“Demi Allah sungguh aku memaksa jiwaku untuk bersenggama
karena berharap Allah akan mengeluarkan dariku keturunan yang akan bertasbih
kepada Allah.” [HR. Al-Baihaqi (no. 13460)]
Poin Ke-39: Keutamaan Memiliki Anak Shalih
«إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ
صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ»
“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amal
darinya kecuali tiga, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak
shalih yang mendoakannya.” [HR. Muslim (no.
1631)]
«مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوتُ لَهُمَا ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَمْ يَبْلُغُوا
الْحِنْثَ إِلَّا جِيءَ بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُوقَفُوا عَلَى بَابِ
الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا الْجَنَّةَ! فَيَقُولُونَ: حَتَّى
يَدْخُلَ آبَاؤُنَا، فَيُقَالُ لَهُمُ: ادْخُلُوا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمُ
الْجَنَّةَ!»
“Tidaklah dua orang muslim (orang tua) yang meninggal memiliki tiga orang anak yang belum baligh melainkan akan
didatangkan pada hari Kiamat hingga berhenti di pintu surga. Dikatakan kepada
mereka, ‘Masuklah kalian ke dalam surga!’ Mereka menjawab, ‘Hingga masuk juga orang tua kami.’ Lalu dikatakan
kepada mereka, ‘Masuklah kalian bersama orang tua kalian ke dalam surga!’” [Shahih:
HR. Ath-Thabarani (no. 571)]
Poin Ke-40: Wajib Adil Bagi yang Berpoligami
﴿وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا
أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ
غَفُورًا رَحِيمًا﴾
“Dan kalian tidak akan mampu untuk adil di antara
istri-istri meskipun kalian sangat menginginkannya. Maka
janganlah kamu terlalu condong (kepada yang kalian cintai) sehingga kalian
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari ketidakadilan), maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [QS. An-Nisâ`
[4]: 129]
«اللَّهُمَّ
هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ، فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ»
“Ya Allah inilah pembagianku yang aku miliki, maka
janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki dan aku tidak
memiliki.” [Shahih: HR. Al-Hakim (no.
2761)]
«إِذَا
كَانَ عِنْدَ الرَّجُلِ امْرَأَتَانِ فَلَمْ يَعْدِلْ بَيْنَهُمَا جَاءَ يَوْمَ
القِيَامَةِ وَشِقُّهُ سَاقِطٌ»
“Jika ada seorang lelaki yang memiliki dua istri tetapi
tidak adil di antara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan sisi
badannya miring.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no.
1141)]
Poin Ke-41: Ancaman Meminta Cerai Tanpa Alasan yang Dibenarkan
«أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا
رَائِحَةُ الجَنَّةِ»
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya
tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya aroma surga.” [Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 1187)]
Poin Ke-42: Keutamaan Berbakti Kepada Suami dengan Balasan Surga
«إِذَا
صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا،
وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ شِئْتِ!»
“Jika seorang wanita shalat lima waktu, puasa Ramadhan,
menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah
dari pintu surga mana saja yang kamu kehendaki!” [Shahih: Ahmad (no. 1661)]
«أَيُّمَا
امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ»
“Wanita mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya
ridha kepadanya, akan masuk surga.” [Dha’if:
HR. Al-Hakim (no. 7328)]
اَللّٰهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ
سَلَكَ سَبِيْلَهُ وَاهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
Al-Faqir Ilallah
Nor Kandir
Ya Allah, Siapakah Tulang Rusukku?
Sungguh aneh keinginan si Qais
Mendapatkan Laila si senyum manis
Shalihah, taat, berakhlaq, dan agamis
Seolah-olah ia butiran kecil buah kismis
Inginmu yang shalihah tapi kamu justru penjahat
Inginmu yang taat tapi kamu justru suka maksiat
Inginmu yang hafizhah tapi bacaanmu koran dan surat
Inginmu seperti Zulaikha, biarkan cermin melihat!
Hey Qais...
Tapi jangan sekali-kali kamu pesimis
Karena di sana ada takdir yang misteris
Maka, selalulah berbenah diri dan optimis
Akan ampunan dan karunia Allah dalam hadis
Hanya saja Allah menetapkan hukum muhkamat
Sebagaimana termaktub berikut dalam ayat
Wanita-wanita taat untuk lelaki-lelaki taat
Dan wanita-wanita jahat untuk lelaki-lelaki jahat
Takhrij Luas dan Tahqiq
[1] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 5096, VII/8), Muslim (no. 2740), At-Tirmidzi (no. 2780), Ibnu Majah (no.
3998), Ahmad (no. 21746) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 5967) dalam Shahîhnya,
Ath-Thabarani (no. 564) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 415) dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 2363) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Abi
Syaibah (no. 154) dalam Mushannafnya, Abu ‘Awanah (no. 4023) dalam Al-Mustakhrâj,
Al-Bazzar (no. 1255) dalam Musnadnya, dan Abu Ya’la (no. 972) dalam Musnadnya
dari Usamah bin Zaid bin Haritsah Radhiyallahu ‘Anhuma.
b. Shahih: HR. Muslim (no.
2742, IV/2098), At-Tirmidzi (no. 2191), Ibnu Majah (no. 4000), Ahmad (no.
11169) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 3221) dalam Shahîhnya, dan Al-Baihaqi (no. 13523) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no.
4027) dalam Al-Mustakhrâj, dan An-Nasa`i (no. 9224) dalam As-Sunan Al-Kubrâ
dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu.
c. Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6612, VIII/125), Muslim (no. 2657), Ahmad (no. 7719)
dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah (no. 30) dalam Shahîhnya, Ibnu
Hibban (no. 4420) dalam Shahîhnya, dan Al-Baihaqi (no. 20747) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[2] Shahih: HR. Muslim (no.
1403, II/1021), At-Tirmidzi (no. 1158), Abu Dawud (no. 2151), Ahmad (no. 14537)
dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 5572) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani
(no. 2385) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 132) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr,
Abu ‘Awanah (no. 4028) dalam Al-Mustakhrâj, An-Nasa`i (no. 9072) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, ad-Daulabi (no. 2093) dalam Al-Kunâ wal Asmâ`, Ath-Thahawi
(no. 5550) dalam Syarh Musykilul Atsâr, dan Abu Nu’aim (no. 4544) dalam Ma’rifatush
Shahâbah dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma.
[3] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5063, VII/2), Muslim (no. 1401), An-Nasa`i (no. 3217),
Ahmad (no. 13534) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 14) dalam Shahîhnya,
Al-Baihaqi (no. 2345) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 13448) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, dan Abu ‘Awanah (no. 3986) dalam Al-Mustakhrâj dari Anas
bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[5] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 2521, IV/670), Al-Hakim (no. 2694) dalam Al-Mustadrâk, Ahmad (no.
15638) dalam Musnadnya, Ath-Thabarani (no. 412) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr,
Abu Ya’la Al-Maushili (no. 1485) dalam Musnadnya, Abu Bakar bin Al-Khallal
(no. 1616) dalam As-Sunnah, Ibnu Baththah (no. 847) dalam Al-Ibânah Al-Kubrâ,
dan Al-Baihaqi (no. 15) dalam Syu’abul Imân dari Sahl bin Mu’adz bin
Anas Al-Juhanni Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai hasan oleh Al-Albani dan Al-Arna`uth,
sementara Al-Hakim berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari Muslim
tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,” dan disetujui Adz-Dzahabi dalam At-Talkhîs.
Anehnya, Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadits ini menyatakan, “Hadits
mungkar.” [!!!]
[6] Hasan: HR. Al-Baihaqi
(no. 5100, VII/340) dalam Syu’abul Imân. Dinilai hasan Al-Albani dalam Misykâtul
Masyâbih (no. 3096).
b. Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2681, II/175)
dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 972) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, dan Al-Baihaqi (no. 5101) dalam Syu’abul
Imân dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Hakim berkata,
“Hadits shahih sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya dan ‘Abdurrahman
di sini adalah Ibnu Zaid bin ‘Uqbah Al-Azra` Madani seorang yang tsiqah dan
aman.” Dinilai shahih Adz-Dzahabi dalam At-Talkhîs.
[7] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Muslim (no. 1400, II/1018), Al-Bukhari (no. 5066), At-Tirmidzi (no.
1081), Abu Dawud (no. 2046), An-Nasa`i (no. 2239), Ibnu Majah (no. 1845), Ahmad
(no. 3592), Ibnu Hibban (no. 4026) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no.
517) dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghîr dan (no. 1163) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath
dan (no. 10027) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 2344) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr dan (no. 8453) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no.
3987) dalam Al-Mustakhrâj, Al-Bazzar (no. 1476) dalam Musnadnya,
Abu Ya’la (no. 5192) dalam Musnadnya, Al-Humaidi (no. 115) dalam Musnadnya,
Sa’id bin Manshur (no. 489) dalam Sunannya, dan Ibnul Jarud (no. 672)
dalam Al-Muntaqâ dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.
Fuad Abdul Baqi berkata, “Makna yang shahih ba`ah adalah
jima’, maka artinya: barangsiapa yang mampu berjima’ dengan kesanggupan memberi
nafkah maka menikahlah, dan barangsiapa yang mampu berjima’ tetapi tidak mampu
memberi nafkah maka puasalah.” [Ta’liq Shahîh Muslim (II/1018)]
[8] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 1655, IV/184), An-Nasa`i (no. 3120), Ibnu Majah (no. 2518), Ahmad (no.
7416) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4030) dalam Shahîhnya, Al-Hakim
(no. 2678) dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi (no. 13456) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
Abdurrazzaq (no. 9542) dalam Mushannafnya, Abu Ya’la (no. 6535) dalam Musnadnya,
Ibnul Jarud (no. 979) dalam Al-Muntaqâ, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 83) dalam Al-Jihâd,
Abu Nu’aim (VIII/388) dalam Al-Hilyah, dan Ibnul Mubarak (no. 225) dalam
Musnadnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai hasan
oleh At-Tirmidzi, Al-Albani, Al-Arna’uth, dan Husain Salim Asad. Al-Hakim
berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Muslim tetapi tidak dikeluarkannya,” dan
disetujui Adz-Dzahabi.
[9] Shahih: HR. Al-Bukhari
(tanpa nomor, II/57) juga no. 6382 & 7390 tetapi dengan lafazh yang kurang
lengkap, At-Tirmidzi (no. 480), Abu Dawud (no. 1538), An-Nasa`i
(no. 3253), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (no. 14707) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 887) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 1303) dalam ad-Du’â`,
Al-Baihaqi (no. 830) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 4921) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 29403) dalam Mushannafnya, Al-Bukhari
(no. 703) dalam Al-Adâb Al-Mufrâd, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 421) dalam As-Sunnah,
dan Al-Khathib Al-Baghdadi (no. 1715) dalam Al-Jâmi’ dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu ‘Anhuma dan berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengajari kami istikharah untuk semua urusan seperti
mengajari kami Al-Qur`an seraya bersabda, ‘Jika salah seorang dari kalian
menginginkan suatu perkara, maka shalatlah dua rakaat selain shalat fardhu lalu
berdoalah:....’” Lafazh dalam kurung tambahan penyusun
dan silahkan lihat redaksi Al-Bukhari (no. 7390), Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu
Hibban di atas. Boleh pula hajatnya disebut di akhir doa.
[10] Hasan: HR. Ibnu Majah
(no. 1968, I/633), Al-Hakim (no. 2687) dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi
(no. 13758) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3788) dalam Sunannya,
dan Ibnu Abid Dunya (no. 131) dalam An-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha. Al-Haitsami dalam az-Zawâ`id menyebutkan bahwa di dalam
sanadnya ada Al-Harits bin ‘Imran Al-Madani yang dikatakan Abu Hatim, “Tidak
kuat,” dan Adz-Dzahabi mengomentarinya muttaham (tertuduh berdusta). Adapun Al-Albani
menilai hadits hasan dan Al-Hakim hadits shahih. Allahu a’lam.
[11] Shahih: HR. Muslim (no.
1467, II/1090), An-Nasa`i (no. 3232), Ahmad (no. 6567) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4031) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 8639) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath dan (no. 49) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no.
2350) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr, Abu ‘Awanah (no. 4504) dalam Al-Mustakhrâj,
Al-Bazzar (no. 2441) dalam Musnadnya, dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 148)
dalam az-Zuhd dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu ‘Anhuma.
b. Hasan Shahih: HR. An-Nasa`i
(no. 3939, VII/61), Ahmad (no. 12294) dalam Musnadnya, Ath-Thabarani
(no. 5203) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 13454) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4020) dalam Al-Mustakhrâj, Abu Ya’la (no.
3530) dalam Musnadnya, dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 234) dalam az-Zuhd,
dan Al-Hakim (no. 2676) dalam Al-Mustadrâk tanpa lafazh ad-dunya dari Anas bin Malik Radhiyallahu
‘Anhu. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani
dan shahih oleh Al-Hakim atas syarat Muslim dan disetujui Adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Ibnu Hibban
(no. 4032, IX/340-341) dalam Shahîhnya dan Abu Nu’aim (VIII/388) dalam Al-Hilyah
dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai shahih Al-Albani
(no. 282) dalam Ash-Shahîhah dan Syu’aib Al-Arna`uth berkata, “Sanadnya
shahih sesuai syarat Al-Bukhari.”
[12] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5090, VII/7), Muslim (no. 1466), Abu Dawud (no. 2047),
An-Nasa`i (no. 3230), Ibnu Majah (no. 1858), Ahmad (no. 9521), Ibnu Hibban (no.
4036) dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi (no. 2349) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr
dan (no. 13466) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3802) dalam Sunannya,
ad-Darimi (no. 2216) dalam Sunannya,
Abu ‘Awanah (no. 4010) dalam Al-Mustakhrâj, Abu Ya’la (no. 6578)
dalam Musnadnya, dan Abu Nu’aim (VIII/383) dalam Al-Hilyah dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[13] Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2682, II/175) dalam Al-Mustadrâk, An-Nasa`i (no. 3231), Ahmad (no.
7421) dalam Musnadnya, dan Al-Baihaqi (no. 13477) dalam As-Sunan Al-Kubrâ
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Al-Hakim berkata, “Hadits shahih atas syarat Muslim tapi tidak
dikeluarkannya,” dan disetujui Adz-Dzahabi. Adapun Al-Albani dengan sanad dalam
An-Nasa`i menilainya hasan shahih.
b. Hasan: HR. Ibnu Majah
(no. 1861, I/598) dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1947) dalam Al-Ahâd wal Matsâni
dari ‘Abdurrahman bin Salim bin Utbah bin ‘Uwaim bin Saidah Al-Anshari dari
ayahnya dari kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al-Haitsami
menyebutkan dalam az-Zawa`id bahwa di dalamnya ada perawi Muhammad bin
Thalhah yang tidak diambil sebagai hujjah oleh Abu Hatim tetapi Ibnu Hibban
menggolongkannya dalam perawi tsiqah tetapi kadang keliru hafalannya, dan juga
ada ‘Abdurrahman bin Salim bin Utbah yang dikatakan Al-Bukhari bahwa haditsnya
tidak sah. Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani. Anjuran menikahi gadis atas
janda masyhur dan shahih dari Jabir dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
c. Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2050, II/220), An-Nasa`i (no. 3227), Ibnu Hibban (no. 4056) dalam Shahîhnya,
Al-Hakim (no. 2685) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani (no. 508) dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 13475) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu
‘Awanah (no. 4018) dalam Al-Mustakhrâj, dan Abu Nu’aim (III/61) dalam Al-Hilyah
dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘Anhu. Tambahan dalam kurung dari Al-Baihaqi
(no. 2351) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani dan shahih oleh Al-Hakim
dan Adz-Dzahabi, sementara Syu’aib berkata, “Sanadnya kuat.”
[14] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1087, III/389), An-Nasa`i (no. 3235), Ibnu Majah (no. 1865), Ahmad (no.
18137) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4043) dalam Shahîhnya, Al-Hakim
(no. 2697) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani (no. 1052) dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 2353) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no.
13488) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, ad-Daruquthni (no. 3621) dalam Sunannya,
Abdurrazzaq (no. 10335) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 17388)
dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2218) dalam Sunannya, Abu
‘Awanah (no. 4036) dalam Al-Mustakhrâj, Abu Ya’la Al-Maushili (no. 3438)
dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 516) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 675) dalam Al-Muntaqâ, dan Ath-Thahawi (no. 4282) dalam
Syarh Ma’ânil Atsâr dari Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai shahih oleh Al-Albani dan Al-Hakim dan berkata,
“Hadits shahih sesuai syarat Syaikhan tetapi keduanya tidak mengeluarkannya,”
dan disetujui Adz-Dzahabi.
[15] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5136,
VII/17), Muslim (no. 1419), At-Tirmidzi (no. 1107), Abu Dawud (no. 2092), An-Nasa`i
(no. 3265), Ibnu Majah (no. 1871), Ahmad (no. 7131) dalam Musnadnya, Ath-Thabarani
(no. 8820) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 2394) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr dan (no. 13682) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, ad-Daruquthni
(no. 3574) dalam Sunannya, Abdurrazzaq (no. 10286) dalam Mushannafnya,
ad-Darimi (no. 2232) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4238) dalam Al-Mustakhrâj,
Abu Ya’la Al-Maushili (no. 6013) dalam Musnadnya, dan Ibnul Jarud (no.
707) dalam Al-Muntaqâ dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[16] Hasan: HR. At-Tirmidzi
(no. 1084, III/386-387), Ibnu Majah (no. 1967), Al-Hakim (no. 2695) dalam Al-Mustadrâk,
dan Ath-Thabarani (no. 446) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath. Dinilai hasan
oleh Al-Albani dan dinilai shahih oleh Al-Hakim dan berkata, “Ini hadits shahih
sanadnya tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari Muslim.”
[17] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 2721, III/190-191), Muslim (no. 1418), At-Tirmidzi
(no. 1127), Abu Dawud (no. 2139), An-Nasa`i (no. 3281), Ibnu Majah (no. 1954),
Ahmad (no. 17302) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4092) dalam Shahîhnya,
Al-Baihaqi (no. 2562) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 14430) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Abdurrazzaq (no. 10613) dalam Al-Mushannaf, Ibnu Abi
Syaibah (no. 16451) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2249) dalam Sunannya,
Abu ‘Awanah (no. 4227) dalam Mustakhrâjnya, Abu Ya’la Al-Maushili (no.
1754) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 658) dalam Sunannya,
Ibnu Abi ‘Ashim (no. 2584) dalam Al-Ahâd wal Matsânî, An-Nasa`i (no. 5506) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, ar-Ruyani (no. 163) dalam Musnadnya, dan Ath-Thahawi (no.
4862) dalam Musykilul Atsâr dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu ‘Anhu.
b. Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2117, II/238), Ath-Thabarani (no. 724) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath,
ad-Daulabi (no. 599) dalam Al-Kunâ wal Asmâ`, Al-Qadha’i (no. 599) dalam
Musnad asy-Syihab, dan Al-Hakim (no. 2742) dalam Al-Mustadrâk
dengan lafazh khairu Ash-shadâq “sebaik-baik mahar”. Dinilai shahih Al-Albani
dan Al-Hakim atas syarat Al-Bukhari Muslim dan disepakati Adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Ahmad (no.
24478, 41/27-28) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4095) dalam Shahîhnya,
Ath-Thabarani (no. 469) dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghîr dan (no. 3612) dalam
Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 14357) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
dan Abu Nu’aim (III/163) dalam Al-Hilyah dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha. ‘Urwah bin az-Zubair bin Awwam berkata, “Aku berpendapat bahwa
termasuk awal kesialan wanita adalah mahal mas kawinnya.” Dinilai shahih oleh Al-Hakim atas syarat Muslim dan
disepakati Adz-Dzahabi.
[18] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1101, III/399), Abu Dawud (no. 2085), Ibnu Majah (no. 1881), Ahmad (no.
19518), Ibnu Hibban (no. 4077) dalam
Shahîhnya, Al-Hakim (no. 2710) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 681) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 2368) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr dan (no. 13611) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, ad-Daruquthni
(no. 3514) dalam Sunannya, dan Ath-Thayalisi (no. 525) dalam Musnadnya
dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai shahih oleh Al-Albani
dan Al-Hakim serta Adz-Dzahabi.
Dalam riwayat shahih dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
‘Anhu berkata:
«لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil.” [Shahih: HR. Al-Baihaqi (no. 2383, III/21) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr. Dinilai shahih Al-Albani dan Al-Baihaqi]
[19] Hasan Shahih: HR. Ahmad (no.
16130, XXVI/53) dalam Musnadnya, Al-Hakim (no. 2748) dalam Al-Mustadrâk,
Ath-Thabarani (no. 5145) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 235) dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 2591) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no.
14686) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, dan Abu Nu’aim (VIII/328) dalam Al-Hilyah
dari ‘Abdullah bin az-Zubair Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai hasan oleh Al-Arna`uth,
hasan shahih oleh Al-Albani, dan shahih oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi.
b. Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5167, VII/24), Muslim (no. 1427), At-Tirmidzi (no.
1933), Abu Dawud (no. 2109), An-Nasa`i (no. 3351), Ibnu Majah (no. 1907), Ahmad
(no. 12685) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4060) dalam Shahîhnya,
Ath-Thabarani (no. 164) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 728) dalam Al-Mu’jam
Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 2576) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no.
14360) dalam As-Sunan Al-Kabîr, Ath-Thayalisi (no. 2242) dalam Musnadnya,
Abdurrazzaq (no. 10410) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 17159)
dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2108) dalam Sunannya, Abu
‘Awanah (no. 4150) dalam Al-Mustakhrâj, Al-Bazzar (no. 1004) dalam Musnadnya,
Abu Ya’la (no. 3348) dalam Musnadnya, Al-Humaidi (no. 1252) dalam Musnadnya,
Sa’id bin Manshur (no. 609) dalam Sunannya, Ibnul Ja’ad (no. 1463) dalam
Musnadnya, Ibnul Jarud (no. 726) dalam Al-Muntaqâ, Imam Malik
(no. 47) dalam Al-Muwaththâ`, Ath-Thahawi (no. 3019) dalam Musykilul
Atsâr, dan
Ibnul Muqri` (no. 1187) dalam Mu’jamnya dari Anas
bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[20] Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5213, VII/34), Muslim (no. 1461), At-Tirmidzi (no. 1139), Abu Dawud (no. 2124), Ath-Thabarani
(no. 9011) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 2615) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr dan (no. 14761) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abdurrazzaq
(no. 10643) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 16949) dalam Mushannafnya,
Abu ‘Awanah (no. 4309) dalam Al-Mustakhrâj, Abu Ya’la Al-Maushili (no.
4011) dalam Musnadnya, Sa’id bin Manshur (no. 778) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 724) dalam Al-Muntaqâ, Ath-Thahawi (no. 4323) dalam Ma’ânil
Atsâr, dan
Ibnul Muqri` (no. 463) dalam Mu’jamnya dari Anas
bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[21] Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2130,
II/241), At-Tirmidzi (no.
1091),
Ibnu Majah (no. 1905), Ahmad (no. 8956) dalam Musnadnya,
Al-Hakim (no. 2745) dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi (no. 13841) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, ad-Darimi (no. 2220) dalam Sunannya, Abu Ya’la Al-Maushili
(no. 325) dalam Mu’jamnya, dan Sa’id bin Manshur (no. 522) dalam Sunannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu.
Dinilai shahih oleh Al-Albani dan Al-Hakim dan berkata,
“Hadits shahih sesuai syarat Muslim tapi tidak dikeluarkannya,” dan disepakati Adz-Dzahabi.
[22] Hasan: HR. Abu Dawud (no.
2160, II/248-249), Al-Hakim (no. 2757) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 940) dalam ad-Du’â`, An-Nasa`i (no. 9998) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
dan Ibnu As-Sunni (no. 600) dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. Tambahan dalam kurung dari Abu
Sa’id, kata Abu Dawud. Dinilai hasan oleh Al-Albani tetapi shahih oleh Al-Hakim
dan Adz-Dzahabi dengan redaksi yang berbeda.
[23] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 7396, IX/119), Muslim (no. 1434), At-Tirmidzi (no. 1092), Abu Dawud (no. 2161), Ibnu Majah
(no. 1919), Ahmad (no. 1867) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 983)
dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 7534) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath
dan (no. 12195) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr dan (no. 941) dalam ad-Du’â,
Al-Baihaqi (no. 13844) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ath-Thayalisi (no. 2828)
dalam Sunannya, Abdurrazzaq (no. 10465) dalam Mushannafnya, Ibnu
Abi Syaibah (no. 17152) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2258) dalam Sunannya,
Abu ‘Awanah (no. 4280) dalam Al-Mustakhrâj, Al-Humaidi (no. 526) dalam Musnadnya,
Ibnul Ja’ad (no. 822) dalam Musnadnya, An-Nasa`i (no. 8981) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, dan Al-Lalika`i (no. 338) dalam Syarhul Ushûl dari Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
[24] Shahih: HR. Muslim (no.
1437, II/1060), Ibnu Abi Syaibah (no. 17559) dalam Mushannafnya, dan Abu
Nu’aim (X/236) dalam Al-Hilyah dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu
‘Anhu.
[25] Shahih: HR. Ahmad (no.
16962, XXVIII/161-162) dalam Musnadnya, Abu Dawud (no. 345), An-Nasa`i
(no. 1381), Ibnu Majah (no. 1087), Ibnu Khuzaimah (no. 1758), Ibnu Hibban (no.
2781) dalam Shahîhnya, Al-Hakim (no. 1042) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 1452) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 585) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr,
Al-Baihaqi (no. 615) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 5878) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Ath-Thayalisi (no. 1210) dalam Musnadnya, Abdurrazzaq (no.
5566) dalam Mushannafnya, Ibnu Abi Syaibah (no. 4990) dalam Mushannafnya,
ad-Darimi (no. 1588) dalam Sunannya, dan Ath-Thahawi (no. 2167) dalam Syarh
Ma’ânil Atsâr dari Aus bin Aus Ath-Tsaqafi Radhiyallahu ‘Anhu.
Dinilai shahih oleh Al-Hakim, Al-Albani, Al-Arna`uth, dan Husain Salim Asad.
Penyusun berkata, “Ini hadits yang luar biasa dan dalil atas kemurahan Allah bagi hamba-hamba-Nya. Allah
menggabungkan pahala dalam amal yang dicintai-Nya dan pelakunya.”
[26] Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1847, I/593), Al-Hakim (no. 2677) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 3153) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dan (no. 10895) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr,
Al-Baihaqi (no. 2347) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 13453) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, dan
Tamam (no. 816) dalam Al-Fawâ`id dari Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma. Dinilai shahih oleh Al-Albani dan Al-Hakim
sesuai syarat Muslim.
[27] Hasan Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1853, I/595), Ahmad (no. 19403) dalam Musnadnya, dan Ibnu Hibban
(no. 4171) dalam Shahîhnya dari ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu
‘Anhu. Dinilai hasan oleh Al-Arna`uth dan hasan shahih oleh Al-Albani.
b. Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5195, VII/30), Muslim (no. 1026), Ahmad (no. 8188),
Ibnu Hibban (no. 4170) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 282) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 7850) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, dan Abdurrazzaq (no. 7886) dalam Mushannafnya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[28] Hasan Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 2142, II/244-245), Ahmad (no. 20013) dalam Musnadnya, a-Nasa`i
(no. 9126) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Majah (no. 1850), Ibnu Hibban
(no. 4175) dalam Shahîhnya, Al-Hakim (no. 2764) dalam Al-Mustadrâk,
Ath-Thabarani (no. 1034) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, dan Abdurrazzaq (no. 12584) dalam Mushannafnya dari
Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi dari ayahnya Radhiyallahu ‘Anhu. Abu
Dawud berkata: “memburukkannya” adalah seperti kamu mendoakan istrimu, “Semoga
Allah memburukkanmu.” Hadits ini umum mencakup tidak
boleh menisbatkan keburukan atas perbuatan, ucapan, dan fisik istri.
Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Arna`uth dan hasan
shahih oleh Al-Albani. Sebenarnya sanad yang masyhur memakai khithab “huwa” dan sanad ini shahih sebagaimana penilaian Al-Albani sendiri, Al-Hakim,
dan Adz-Dzahabi. Adapun sanad 3 pertama (Abu Dawud, Ahmad, dan An-Nasa`i) yang memakai khithab “anta” tidak mencapai shahih, tapi hasan.
[29] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5228, VII/36), Muslim (no. 2439), Ahmad (no. 24318)
dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 7112) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani
(no. 121) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 19814) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Abu Ya’la Al-Maushili (no. 4893) dalam Musnadnya, An-Nasa`i
(no. 9111) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Al-Ajurri (no. 1891) dalam asy-Syari’ah,
dan
Abu Nu’aim (IX/227) dalam Al-Hilyah dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha.
[30] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5082, VII/6), Muslim (no. 2527), Ahmad (no. 7650) dalam
Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 6268) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani
(no. 4211) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 14716) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Ibnu Abi Syaibah (no. 32401) dalam Mushannafnya, Abu Ya’la
(no. 6673) dalam Mushannafnya, Al-Humaidi (no. 1078) dalam Musnadnya,
Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1533) dalam As-Sunnah, Ibnu Abi Hatim (no. 3488)
dalam Tafsirnya, dan Abdurrazzaq (no. 400) dalam Tafsirnya dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[31] Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 7138, IX/62), Muslim (no. 1829), At-Tirmidzi (no.
1705), Abu Dawud (no. 2928), Ahmad (no. 4495) dalam Musnadnya, Ibnu
Hibban (no. 4489) dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi (no. 16637) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 7027) dalam Al-Mustakhrâj, Abu Ya’la Al-Maushili
(no. 5831) dalam Musnadnya, Ibnul Jarud (no. 1094) dalam Al-Muntaqâ,
Al-Bukhari (no. 206) dalam Al-Adâb Al-Mufrâd, Ibnu Abi ‘Ashim (no. 749)
dalam Al-Ahâd wal Matsânî, An-Nasa`i (no. 9128) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
Ibnul Muqri` (no. 47) dalam Mu’jamnya, Ath-Thahawi (no. 17706) dalam Musykilul
Atsâr, dan
Abu Nu’aim (VIII/281) dalam Al-Hilyah dari Ibnu
‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
b. Shahîh:
HR. Al-Bukhari (no. 7052, IX/47), At-Tirmidzi
(no. 2190), Ahmad (no. 3641) dalam Musnadnya, Ath-Thabarani (no. 10073)
dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Ath-Thayalisi (no. 295) dalam Musnadnya,
dan Abu Nu’aim (IV/146) dalam Al-Hilyah dari Ibnu
Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu. Hadits ini merupakan kaidah terbesar dalam
berumah tangga yang sakinah dan mawaddah, di mana tiap pasangan menjalankan
kewajibannya masing-masing tanpa menuntut hak-hak untuk dirinya, Allah nanti
yang akan menggantinya dengan yang lebih baik atau justru pasangannya akan
sadar sendiri dan menunaikan hak-hak pasangannya. Dengan begitu akan tercipta
keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta. Sebenarnya, asal hadits ini
berbicara tentang penguasa yang zhalim. Allahu ‘alam.
[32] Hasan Shahih: HR. Abu Dawud
(no. 1308, II/33), An-Nasa`i (no. 1610), Ibnu Majah (no. 1336), Ahmad (no.
7410) dalam Musnadnya, Ibnu Khuzaimah (no. 1148) dalam Shahîhnya,
Ibnu Hibban (no. 2567) dalam Shahîhnya, Al-Hakim (no. 1164) dalam Al-Mustadrâk,
dan
Al-Baihaqi (no. 799) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai hasan shahih oleh Al-Albani
dan dinilai shahih oleh Al-A’zhami dan Al-Hakim atas syarat Muslim. Al-Arna`uth
berkata, “Sanadnya kuat.”
[33] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5185, VII/26), Muslim (no. 1468), At-Tirmidzi (no.
1188), Ahmad (no. 9524) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4179) dalam Shahîhnya,
Al-Hakim (no. 7334) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani (no. 283) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi
(no. 14722) dalam Al-Mu’jam Al-Kubrâ dan (no. 8348) dalam Syu’abul
Imân, Ibnu Abi Syaibah (no. 19272) dalam Mushannafnya, ad-Darimi
(no. 2268) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4495) dalam Al-Mustakhrâj,
Al-Humaidi (no. 1202) dalam Musnadnya, An-Nasa`i (no. 9095) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, dan
Ibnu Mandah (no. 75) dalam At-Tauhid dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
b. Shahih: HR. Ibnu Majah
(no. 1977, I/636), Ibnu Hibban (no. 4186) dalam Shahîhnya, Al-Hakim (no.
7327) dalam Al-Mustadrâk dengan lafazh “lin nisâ`”, dan Ath-Thahawi (no.
2523) dalam Syarh Musykilul Atsâr dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘Anhuma. Dinilai shahih oleh Al-Albani, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi.
c. Shahih: HR. Muslim (no.
1469, II/1091), Ahmad (no. 8363) dalam Musnadnya, Al-Baihaqi (no. 14727)
dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4493) dalam Al-Mustakhrâj,
dan
Abu Ya’la (no. 6418) dalam Al-Musnadnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[34] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 29, I/15), Muslim
(no. 884), At-Tirmidzi (no. 2602), Ahmad (no. 2086), Ath-Thabarani (no. 12765)
dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Al-Baihaqi (no. 14719) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
Ath-Thayalisi (no. 872) dalam Musnadnya, dan Ibnul Ja’ad (no. 3044)
dalam Musnadnya dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
[35] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1174, III/468), Ibnu Majah (no. 2014), Ahmad (no. 22101), Ath-Thabarani
(no. 224) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Abu Nu’aim (no. 86) dalam Shifatul
Jannah dan (V/220) dalam Al-Hilyah, dan Ibnu Abi Dawud (no. 77)
dalam Al-Ba’ts dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai shahih oleh Al-Albani.
[36] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 56, I/20), Muslim (no. 1628), At-Tirmidzi (no. 2116),
Abu Dawud (no. 2864), Ahmad (no. 1480) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no.
4249) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 1147) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath,
dan
Al-Baihaqi (no. 2319) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr
dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘Anhu.
b. Shahih: HR. Muslim (no.
995, II/692), Ahmad (no. 10119) dalam Musnadnya, Ath-Thabarani
(no. 9079) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 15697) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Al-Bukhari (no. 751) dalam Al-Adâb Al-Mufrâd, An-Nasa`i
(no. 9139) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, dan Ibnu Abid Dunya (no. 9) dalam An-Nafaqah
‘alâl ‘Iyâl dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
[37] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 3237, IV/116), Muslim (no. 1436), Abu Dawud (no. 2141), Ahmad (no. 9671) dalam Musnadnya,
Ibnu Hibban (no. 4173) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 8072) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 14708) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ath-Thayalisi
(no. 2580) dalam Sunannya, Ibnu Abi Syaibah (no. 17133) dalam Mushannafnya,
ad-Darimi (no. 2274) dalam Sunannya, Abu ‘Awanah (no. 4296) dalam Sunannya,
Abu Ya’la Al-Maushili (no. 6196) dalam Musnadnya, An-Nasa`i (no. 8921)
dalam As-Sunan Al-Kubrâ, dan Abu Nu’aim (II/259) dalam Al-Hilyah dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu.
[38] Shahih: HR. Muslim (no.
1006, II/697), Ahmad (no. 21363) dalam Musnadnya, Al-Baihaqi (no. 11440)
dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Abu ‘Awanah (no. 4031) dalam Al-Mustakhrâj,
dan
Al-Bukhari (no. 227) dalam Al-Adâb Al-Mufrâd
dengan redaksi-redaksi yang sedikit berbeda dari Abu Dzarr Radhiyallahu
‘Anhu.
b. Diriwayatkan Al-Baihaqi (no. 13460, VII/126) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ dan Ibnu Abid Dunya (no. 392) dalam An-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl.
[39] Shahih: HR. Muslim (no.
1631, III/1255), At-Tirmidzi (no. 1376), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa`i (no.
3651), Ibnu Majah (no. 242), Ahmad (no. 8844) dalam Musnadnya, Ibnu
Khuzaimah (no. 2494) dalam Shahîhnya, Ibnu Hibban (no.
3016) dalam Shahîhnya, Ath-Thabarani (no. 1250) dalam ad-Du’â`, Al-Baihaqi
(no. 2331) dalam As-Sunan Ash-Shaghîr dan (no. 12635) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
ad-Darimi (no. 578) dalam Sunannya, dan Abu ‘Awanah (no. 5824) dalam Al-Mustakhrâj
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
b. Shahih: HR.
Ath-Thabarani (no. 571, XXIV/225) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Ahmad (no.
10622) dalam Musnadnya, Al-Baihaqi (no. 7144) dalam As-Sunan Al-Kubrâ,
dan Ibnu Abi ‘Ashim (no. 3304) dalam Al-Ahâd wal Matsânî dari Habibah Radhiyallahu
‘Anha. Syu’aib Al-Arna`uth berkata, “Shahih sesuai syarat Al-Bukhari
Muslim.”
[40] Shahih: HR. Al-Hakim
(no. 2761, II/204) dalam Al-Mustadrâk, At-Tirmidzi (no. 1140), Abu Dawud
(no. 2134), An-Nasa`i (no. 3943), Ibnu Majah (no. 1971), Ahmad (no. 25111),
Ibnu Hibban (no. 4205) dalam Shahîhnya, Al-Baihaqi (no. 2608) dalam As-Sunan
Ash-Shaghîr dan (no. 14745) dalam As-Sunan Al-Kubrâ, Ibnu Abi
Syaibah (no. 17540) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2253) dalam Sunannya,
dan Ath-Thahawi (no. 232) dalam Syarh Musykilul Atsâr dari ‘Aisyah Radhiyallahu
‘Anha. Ismail Al-Qadhi berkata, “Yakni hati, hadits ini tentang keadilan di
antara para istri.”
Dinilai shahih oleh Husain Salim Asad dan Al-Hakim sesuai
syarat Muslim dan disepakati Adz-Dzahabi. Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Para
perawinya orang-orang tsiqah,” tetapi Al-Albani menyendiri
menilainya dha’if dalam Dha’if Abu Dawud (no. 370), Al-Irwâ` (no.
2018), dan At-Targhîb (III/79). Hadits ini derajatnya sesuai dengan yang
dikatakan Husain Salim Asad, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, dan Syu’aib Al-Arnauth
karena dibutuhkan untuk menjelaskan ayat dalam surat An-Nisa` di atas. Allahu
a’lam.
b. Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1141, III/439), Abu Dawud (no. 2133), An-Nasa`i (no. 3942), Ibnu Majah
(no. 1969), Ahmad (no. 7936) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 4207)
dalam Shahîhnya, Al-Hakim (no. 2759) dalam Al-Mustadrâk, Al-Baihaqi
(no. 2610) dalam As-Sunan Ash-Shughrâ dan (no. 14738) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, Ath-Thayalisi (no. 2576) dalam Musnadnya, Ibnu Abi Syaibah
(no. 17548) dalam Mushannafnya, ad-Darimi (no. 2252) dalam Sunannya,
Ibnul Jarud (no. 722) dalam Al-Muntaqâ, dan Ath-Thahawi (no. 234) dalam Musykilul Atsâr dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘Anhu. Yakni, wajib adil dalam nafkah, jatah bergilir, dan materi.
Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwâ` (no.
2017), Shahîh Abû Dâwûd (no. 1851), dan At-Targhîb (III/79), juga
Syu’aib Al-Arnauth, Husain Salim Asad, dan Al-Hakim seraya berkata, “Hadits
shahih atas syarat Syaikhan tetapi tidak dikeluarkannya,” dan disetujui Adz-Dzahabi.
[41] Shahih: HR. At-Tirmidzi
(no. 1187, III/485), Abu Dawud (no. 2226), Ibnu Majah (no. 2055), Ahmad (no. 22379),
Ibnu Hibban (no. 4184), Al-Hakim (no. 2809) dalam Al-Mustadrâk, Ath-Thabarani
(no. 5469) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Baihaqi (no. 14860) dalam As-Sunan
Al-Kubrâ, ad-Darimi (no. 2316) dalam Sunannya, Ibnul Jarud (no. 748)
dalam Al-Muntaqâ, dan ar-Ruyani (no. 631) dalam Musnadnya dari
Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu. Dinilai shahih oleh Al-Albani, Husain Salim Asad, dan Syua’ib Al-Arna`uth. Al-Hakim
berkata, “Hadits shahih sesuai syarat Al-Bukhari Muslim tetapi keduanya tidak
mengeluarkannya,” dan disepakati Adz-Dzahabi.
[42] Shahih: HR. Ahmad (no.
1661, III/199) dalam Musnadnya dan Ath-Thabarani (no. 8805) dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.
Dinilai shahih oleh Syu’aib Al-Arna`uth.
b. Dha’if: HR. Al-Hakim
(no. 7328, IV/191) dalam Al-Mustadrâk, At-Tirmidzi (no. 1161), Ath-Thabarani
(no. 884) dalam Al-Mu’jam Al-Kabîr, Ibnu Abi Syaibah (no. 17123) dalam Al-Mushannaf,
Abu Ya’la (no. 6903) dalam Musnadnya, Al-Baihaqi (no. 8370) dalam Syu’abul
Imân, dan Ibnu Abid Dunya (no. 532) dalam An-Nafaqah ‘alâl ‘Iyâl.
Dinilai dha’if oleh Al-Albani dalam Sunan At-Tirmidzi, tetapi At-Tirmidzi
sendiri menilainya hasan gharib sedangkan Al-Hakim menilainya shahih dan
disetujui Adz-Dzahabi.
Makna hadits ini pun memungkinkan dha’if dan shahih. Jika
dipahami masuk surganya istri tergantung keridhaan suami secara mutlak maka
keliru dan bathil karena masuk surga menjadi urusan Allah mutlak, adapun jika
maksudnya suami ridha atas ketaatan istri kepadanya karena memenuhi hak-hak
suaminya sehingga suami merasa senang kepadanya dan menjadikan Allah ridha
kepadanya kemudian hal ini menyebabkannya masuk surga, maka ini makna yang
benar. Allahu a’lam.[]