Fiqih I'tikaf | Kelompok Ulama KSA | Fiqih Muyassar

 FIQIH I’TIKAF

1. Definisi dan Hukum I’tikaf

I’tikaf (الاعتكاف) secara bahasa artinya mendiami sesuatu dan menahan diri di dalamnya.

I’tikaf secara syariat adalah mendiami Masjid untuk ta’at kepada Allah oleh Muslim mumayyiz.

(Yakni sah i’tikaf dari anak yang belum baligh yang mampu memahami pertanyaan dan menjawabnya. Itulah maksud mumayyiz)

Hukum i’tikaf adalah sunnah (anjuran, bukan wajib) dan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah), berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ﴾

“Sucikanlah Rumah-Ku (Ka’bah) untuk orang-orang yang thowaf, i’tikaf, ruku, dan sujud.” (QS. Al-Baqoroh: 120)

Ayat ini dalil atas disyariatkannya i’tikaf bahkan pada umat terdahulu juga.

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

﴿وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ﴾

“Janganlah kamu menggauli (jimak) istrimu saat i’tikaf di Masjid.” (QS. Al-Baqoroh: 187)

Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha berkata: “Nabi i’tikaf pada 10 akhir Romadhon sampai diwafatkan Allah.” (HR. Bukhori no. 2020 dan Muslim no. 1172)

(Maksud sampai diwafatkan Allah: i’tikaf tiap tahun sampai tahun diwafatkan Allah)

Ulama sepakat atas disyariatkannya i’tikaf dan hukumnya sunnah, tidak wajib kecuali atas orang yang mewajibkannya atas dirinya sendiri, seperti dengan nadzar.

Maka ditetapkannya i’tikaf berdasarkan Al-Kitab, Sunnah, dan ijma.

2. Syarat I’tikaf

I’tikaf memiliki syarat agar sah i’tikafnya, yaitu:

1.            Orang yang i’tikaf adalah Muslim, mumayyiz, berakal. Maka i’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak yang belum mumayyiz. Adapun baligh dan berjenis lelaki, bukan syarat, maka sah i’tikaf dari anak yang belum baligh maupun perempuan.

2.            Niat, berdasarkan sabda Nabi : “Amal tergantung niatnya.” (Muttafaqun Alaih)

Maka orang yang i’tikaf harus berniat mendiami tempat i’tikafnya, sebagai bentuk qurbah (mendekatkan diri) dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3.            Di Masjid, berdasarkan firman Allah: “Kamu beri’tikaf di Masjid.” (QS. Al-Baqoroh: 187).

Juga berdasarkan perbuatan Nabi yang i’tikaf di Masjid. Tidak pernah dinukil beliau i’tikaf di selain Masjid.

4.            Masjid tempat i’tikaf adalah Masjid yang digunakan sholat berjamaah. Hal itu agar selama i’tikaf, sholat fardhu tidak memutus i’tikafnya, jika orang yang i’tikaf termasuk yang wajib sholat berjamaah. Karena i’tikaf yang dilakukan di Masjid yang tidak dilaksanakan sholat berjamaah (5 waktu) akan menjadikannya meninggalkan jamaah padahal jamaah wajib baginya, atau menjadikannya berulang kali keluar dari tempat i’tikaf (untuk berjamaah di Masjid lain). Ini meniadakan tujuan utama i’tikaf. Adapun perempuan, sah i’tikaf di Masjid manapun, baik dilaksanakan di sana sholat berjamaah 5 waktu atau tidak. Ini jika tidak mengakibatkan fitnah dalam i’tikafnya. Jika i’tikaf perempuan tersebut menyebabkan fitnah maka terlarang baginya i’tikaf. Yang lebih utama, Masjid yang dijadikan i’tikaf digunakan sholat Jum’at, tetapi ia bukan syarat i’tikaf.

5.            Suci dari hadats besar. Maka tidak sah i’tikaf orang yang junub, haid, nifas, karena tidak bolehnya mereka berdiam di Masjid.

Adapun puasa, ia bukan syarat i’tikaf, berdasarkan riwayat Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma bahwa Umar berkata: “Wahai Rosulullah, aku bernadzar di masa jahiliyah bahwa aku akan i’tikaf satu malam di Masjidil Harom.” Beliau menjawab: “Tunaikan nadzarmu.” (HR. Bukhori no. 2032 dan Muslim no. 1656)

Seandainya i’tikaf harus berpuasa, tentu tidak sah i’tikaf di malam hari, karena tidak ada puasa di malam hari. Juga karena keduanya ibadah terpisah, sehingga tidak disyaratkan adanya salah satu mengharuskan adanya yang lain.

3. Durasi, Sunnah, Mubah dalam I’tikaf

Waktu dan Durasi

Berdiam di Masjid dengan kadar waktu tertentu merupakan rukun i’tikaf. Seandainya tidak berdiam di Masjid, tidak sah i’tikafnya. Adapun durasi i’tikaf maka ada khilaf (beda pendapat) di antara ulama. Yang shohih (paling benar menurut penulis) adalah tidak ada batasan minimal dalam durasi i’tikaf. Maka sah i’tikaf dengan durasi tertentu meskipun sebentar saja. Adapun yang paling utama adalah tidak kurang dari sehari semalam (24 jam), karena tidak dinukil dari Nabi maupun seorang pun Sohabatnya yang i’tikaf kurang dari itu.

Waktu terbaik i’tikaf adalah 10 akhir Romadhon, berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha yang lalu bahwa Nabi i’tikaf pada 10 akhir Romadhon hingga diwafatkan Allah.” I’tikaf pada selain waktu ini adalah boleh, tetapi kurang utama.

Siapa yang berniat i’tikaf pada 10 akhir Romadhon, ia sholat Subuh (berjamaah) pada pagi hari ke-21 di Masjid tempatnya i’tikaf. Ia masuk i’tikaf di sana dan selesai dengan tenggelamnya matahari pada akhir Romadhon (masuk malam takbiran).

Sunnah I’tikaf

I’tikaf adalah ibadah kholwat (berduaan) antara hamba dengan Robnya, memutus hubungan dengan selain-Nya, dengan memperbanyak sholat, dzikir, doa, tilawah Quran, taubat, istighfar, dan ibadah ketaatan lainnya yang mendekatkan dirinya kepada Allah.

Mubah I’tikaf

Dibolehkan bagi orang yang i’tikaf keluar Masjid untuk urusan yang harus dilakukan, seperti makan minum —jika tidak ada orang yang mengantar makanan untuknya—, keluar untuk buang hajat, wudhu dari hadats, maupun mandi jinabat.

Dibolehkan ia berbincang dengan orang apa yang bermanfaat, atau bertanya kabar. Adapun berbincang yang tidak bermanfaat dan tidak mendesak, maka itu menafikan tujuan i’tikaf.

Dibolehkan ia dikunjungi oleh keluarga dan kerabatnya, berbincang sejenak dengan mereka, keluar dari tempat i’tikafnya untuk mengantar mereka pulang (sampai halaman Masjid), berdasarkan hadits Shofiyah Rodhiyallahu ‘Anha, ia berkata: “Rosulullah i’tikaf dan kukunjungi pada malam hari dan aku berbicara dengan beliau. Lalu aku berdiri pulang, sementara beliau bersamaku mengantarku pulang...” (HR. Bukhori: 2035, Muslim: 2175)

Orang yang i’tikaf boleh makan, minum, tidur di Masjid dengan menjaga kebersihan Masjid.

4. Pembatal I’tikaf

I’tikaf batal dengan beberapa sebab berikut:

1)      Keluar Masjid tanpa hajat dengan sengaja, meskipun hanya sebentar, berdasarkan hadits Aisyah:

وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة، إذا كان معتكفاً

“Beliau tidak masuk rumah kecuali ada hajat (keperluan), saat i’tikaf.” (HR. Al-Bukhori no. 2029)

Karena keluar Masjid menghilangkan berdiam di Masjid yang merupakan rukun i’tikaf.

2)      Jimak (hubungan intim), meskipun di malam ini atau di luar Masjid, berdasarkan firman Allah:

﴿وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ﴾

“Janganlah kamu berhubungan intim dengan istrimu saat i’tikaf di Masjid.” (QS. Al-Baqoroh: 187)

Termasuk pula: keluar mani (sperma) dengan syahwat tanpa jimak, seperti karena onani atau mencumbui istri.

3)      Hilang akal; i’tikaf batal dengan gila dan mabuk, karena keduanya keluar dari sebutan orang yang beribadah.

4)      Haid dan nifas, karena tidak bolehnya wanita haid dan nifas berdiam di Masjid.

5)      Murtad, karena batal semua ibadahnya, berdasarkan firman Allah:

﴿لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ﴾

“Jika kamu menyekutukan Allah maka terhapus semua amalmu.” (QS. Az-Zumar: 65)

Tamat.[]

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url