Ibadah Bulan Al-Muharrom dan Asyuro - Nor Kandir
أما بعد:
Keutamaan 4
Bulan Harom
Dari Abu Bakroh Rodhiyallahu
‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«الزَّمَانُ قَدِ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو
القَعْدَةِ وَذُو الحِجَّةِ وَالمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ، الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ»
“Zaman
(tahun) telah berjalan sebagaimana asalnya semenjak hari Allah menciptakan
langit dan bumi.[1] Setahun
ada 12 bulan, di antaranya ada 4 bulan harom[2].
Tiga bulan berurutan: Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Al-Muharrom, sementara Rojab
Mudhor terletak di antara Jumadal Akhir dan Sya’ban.” (HR. Al-Bukhori no. 3197)
Dzulqo’dah (pemilik
duduk): karena mereka duduk tidak berperang.
Dzulhijjah (pemilik
Haji): karena manasik Haji dilaksanakan tanggal 8-13 Dzulhijjah.
Al-Muharrom (diharomkan):
karena mereka diharomkan berperang di dalamnya.
Rojab (memuliakan):
karena mereka memuliakan bulan ini bersama 3 bulan harom lainnya. Disandarkan Rojab kepada Mudhor, karena suku
Mudhor lebih memuliakan Rojab dari orang Arob lainnya. Sebagian orang Arob
menggeser Rojab untuk melegalkan berperang, sementara Mudhor tetap bertahan dan
memuliakannya tanpa perang.
Puasa Sunnah
Mutlak Terbaik
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«أَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ»
“Puasa
terbaik setelah Romadhon adalah bulan Allah Al-Muharrom. Sholat terbaik setelah
sholat fardhu adalah sholat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Maksud hadits ini: puasa
sunnah penuh satu bulan yang terbaik adalah puasa Al-Muharrom, sebagaimana
puasa wajib penuh satu bulan adalah Romadhon.[3]
Makna kedua: puasa mutlak terbaik adalah puasa Al-Muharrom. Maksud mutlak
adalah puasa yang tidak terikat dengan apapun. Adapun jika terikat maka
sebagian puasa lebih utama dari puasa Al-Muharrom, seperti 10 awal Dzulhijjah,
puasa 6 Syawwal, Senin Kamis, Ayyamul Bidh dan semisalnya.
Hal ini untuk
menggabungkan perbuatan Nabi ﷺ yang
terkadang berpuasa banyak di bulan-bulan lain.
Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma ditanya tentang puasa Rojab dan berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
ﷺ كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى
نَقُولَ لَا يَصُومُ»
Rosulullah ﷺ berpuasa terus hingga kami menyangka tidak
akan absen. Kadang beliau absen terus hingga kami menyangka beliau tidak
berpuasa. (HSR. Abu Dawud no. 2430)
Yakni Nabi ﷺ kadang puasa penuh di Rojab atau banyak.
Kadang juga tidak berpuasa sama sekali di Rojab. Ada kemungkinan sesuai dengan
semangat dan kesibukan beliau ﷺ.
Dari Abdullah bin Amr Rodhiyallahu
‘Anhuma, Nabi ﷺ bersabda:
«أَحَبُّ الصِّيَامِ
إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا»
“Puasa
yang paling Allah cintai puasa Dawud. Beliau puasa sehari dan absen sehari.” (HR.
Al-Bukhori no. 3420)
Faidah: jika seseorang
terbiasa puasa Dawud maka di Al-Muharrom lebih utama meneruskan Dawudnya bukan
puasa sebulan penuh. Ini pendapat Ibnu Taimiyah Rohimahullah (728 H).
Alasannya: karena amal yang paling Allah cintai adalah amal rutin meskipun
sedikit dan nash secara tegas menyebut puasa Dawud sebagai puasa terbaik.
Perhatian: sebagian ulama memandang dari hadits Abu
Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu di atas, disukai memperbanyak sholat malam
pada bulan Al-Muharrom. Allahu a’lam.
Asyuro Sangat
Diperhatikan
Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ
ﷺ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا
هَذَا اليَوْمَ، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
Aku tidak melihat Nabi ﷺ mengingat-ingat sebuah hari untuk berpuasa
yang lebih diutamakan dari hari lainnya kecuali hari Asyuro ini dan bulan
Romadhon ini. (HR. Al-Bukhori no. 2006 dan Muslim no. 1132)
Asyuro Menghapus
Dosa Setahun
Dari Abu Qotadah Rodhiyallahu
‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»
“Puasa
hari Asyuro, aku berharap kepada Allah ia mengapus dosa setahun yang lalu.” (HR.
Muslim no. 1162) Yakni dosa-dosa kecil.
Tingkatan Puasa
Asyuro
Dr. Sa’ad bin Turki
Al-Khotslan menyebutkan 4 tingkatan puasa Asyuro.
(1) Puasa tanggal 9, 10,
11
Alasan tanggal 9 dan 10
adalah hadits Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma:
حِينَ صَامَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى،
Rosulullah ﷺ puasa Asyuro dan menyuruh berpuasa.
Orang-orang berkata: “Wahai Rosulullah, ia hari yang dimuliakan Yahudi dan
Nashoro.”
فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ»
Rosulullah ﷺ bersabda: “Jika datang tahun depan, kita
puasa tanggal 9, in syaa Allah.”
قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Belum datang tahun depan,
Nabi ﷺ wafat. (HR. Muslim no. 1134)
وَفِي
رِوَايَةٍ: «لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»
Dalam riwayat lain: “Jika
aku masih hidup tahun depan, aku benar-benar akan puasa tanggal 9.” Yakni
Al-Muharrom. (HR. Muslim no. 1134)
Alasan tanggal 11 karena:
a.
Hadits yang diperselisihkan keshohihannya dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma.
b.
Menjadi 3 hari yang dianjurkan tiap bulan berdasarkan hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu: “Orang yang paling aku cintai ﷺ
memberiku wasiat agar berpuasa tiga hari setiap bulan.” (HR. Al-Bukhori)
(2) Puasa tanggal 9 dan
10
Alasan: Nabi ﷺ berkeinginan puasa juga tanggal 9.
(3) Puasa tanggal 10 dan
11
Alasan: jika tidak mampu
tanggal 9 maka diganti tanggal 11 karena: adanya hadits khusus tanggal 11 dan
adanya penyelisihan Yahudi.
(4) Puasa tanggal 10 saja
Alasan: diperbolehkannya
puasa sehari saja dan diberi janji ampunan setahun dalam hadits Abu Qotadah Rodhiyallahu
‘Anhu:
«صِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ»
“Puasa
hari Asyuro, aku berharap kepada Allah ia mengapus dosa setahun yang lalu.” (HR.
Muslim no. 1162) Yakni dosa-dosa kecil.
Empat Fase Puasa
Asyuro
Ibnu Rojab Al-Hanbali
(795 H) menyebutkan 4 fase puasa Asyuro: (1) Asyuro di Makkah, (2) Asyuro
diwajibkan di Madinah, (3) Puasa Romadhon turun sehingga Asyuro menjadi sunnah,
(4) Asyuro bersama Tasua (tanggal 9 Al-Muharrom).
Tiga yang pertama
disebutkan dalam hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha: ia berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُهُ.
“Dahulu
orang Quroisy berpuasa hari Asyuro pada masa jahiliyyah. Rosulullah ﷺ juga berpuasa Asyuro.
فَلَمَّا قَدِمَ
المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Ketika tiba di Madinah,
beliau berpuasa Asyuro dan memerintahkan manusia berpuasa.
فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
Ketika Romadhon
diwajibkan, beliau meninggalkan puasa Asyuro. Siapa yang ingin berpuasa Asyuro
dipersilahkan, dan siapa yang ingin meninggalkannya juga dipersilahkan.” (HR.
Al-Bukhori no. 2002)
Berikut penjelasannya:
(1) Asyuro di Makkah
Nabi ﷺ berpuasa Asyuro di Makkah bersama Quroisy
yang juga berpuasa dan beliau tidak menyuruh pengikutnya untuk berpuasa.
Quroisy mengambil puasa ini dari Yahudi karena mereka beranggapan Yahudi orang
berilmu yang memiliki kitab.
Dalilnya adalah hadits
Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha di atas:
«كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصُومُهُ»
“Dahulu Quroisy berpuasa hari Asyuro pada masa
jahiliyyah. Rosulullah ﷺ juga berpuasa Asyuro.” (HR.
Al-Bukhori no. 2002)
(2)
Asyuro di Madinah
Saat tiba di Madinah,
Nabi ﷺ masih berpuasa Asyuro dan mewajibkannya
kepada para Sohabatnya, setelah melihat Yahudi berpuasa.
Dalilnya hadits Aisyah Rodhiyallahu
‘Anha di atas:
« فَلَمَّا قَدِمَ
المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»
“Ketika tiba di Madinah, beliau berpuasa
Asyuro dan memerintahkan manusia berpuasa.” (HR. Al-Bukhori no. 2002)
Juga hadits Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma, ia berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ
ﷺ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ،
فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ
بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Nabi ﷺ tiba di Madinah melihat Yahudi berpuasa
hari Asyuro maka beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari baik,
hari Allah menyelamatkan Bani Isroil dari musuhnya. Maka Musa berpuasa.” Beliau
bersabda: “Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian.” Maka beliau berpuasa
dan menyuruh berpuasa. (HR. Al-Bukhori no. 2004 dan Muslim no. 1130)
وَفِي
رِوَايَةٍ: «هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ» وَفِي رِوَايَةٍ: «فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ»
Dalam riwayat lain: “Ini
hari besar.” Dalam riwayat lain: “Maka Musa berpuasa sebagai wujud bersyukur
kepada Allah.” (HR. Al-Bukhori no. 3397)
Abu Musa Rodhiyallahu ‘Anhu
berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَعُدُّهُ اليَهُودُ عِيدًا، قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ»
Yahudi menjadikan hari
Asyuro sebagai hari raya maka Nabi ﷺ
bersabda: “Kalian berpuasalah.” (HR. Al-Bukhori no. 2005 dan Muslim no. 1131)
Maka Nabi ﷺ mengumumkan mewajiban Asyuro kepada para
Sohabatnya.
Salamah bin Al-Akwa Rodhiyallahu
‘Anhu berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ
ﷺبَعَثَ رَجُلًا يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ:
«إِنَّ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ أَوْ فَلْيَصُمْ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ»
“Nabi ﷺ mengutus seseorang untuk mengumumkan
kepada manusia pada hari Asyuro: ‘Siapa yang telah makan (hari ini maka
lanjutkan dengan) berpuasa. Siapa yang belum makan, jangan makan.” (HR.
Al-Bukhori no. 1924)
Para Sohabat berpuasa
bersama anak-anaknya. Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz Rodhiyallahu ‘Anha
berkata:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ
ﷺ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ: «مَنْ أَصْبَحَ
مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ»
Nabi ﷺ mengutus pada pagi hari Asyuro kepada
penduduk Anshor: “Siapa yang pagi ini telah makan, sempurnakan sampai sore
(tahan jangan makan sampai Maghrib). Siapa yang berpuasa, lanjutkan.”
قَالَتْ: فَكُنَّا
نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ،
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ
الإِفْطَارِ
Ar-Rubayyi berkata: kami
pun berpuasa setelah itu dan menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami menyediakan
mereka mainan tanah liat. Jika seorang dari mereka menangis minta makan, kami
berikan mainan itu hingga datang waktu berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhori no. 1960
dan Muslim no. 1136)
(3) Setelah Romadhon turun, puasa Asyuro menjadi
sunnah.
Humaid bin Abdurrohman
berkata: aku mendengar Muawiyah bin Abi Sufyan Rodhiyallahu ‘Anhuma
berkhutbah di atas mimbar pada saat dia Haji:
يَا أَهْلَ المَدِينَةِ
أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، يَقُولُ:
Wahai penduduk Madinah,
di mana ulama kalian? Aku mendengar Nabi ﷺ
bersabda:
«هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ
وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ
وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ»
“Ini
hari Asyuro dan Allah tidak mewajibkan puasa atas kalian. Aku berpuasa. Siapa
yang berpuasa silahkan dan siapa yang tidak juga silahkan.” (HR. Al-Bukhori
no. 2003 dan Muslim no. 1129)
Yakni Muawiyah saat
menjadi kholifah mendengar penduduk Madinah memahami puasa Asyuro berbeda
dengan apa yang ia ketahui. Lalu ia menjelaskan bahwa ia sunnah tidak wajib.
(4) Nabi ﷺ berkeinginan puasa juga di tanggal 9
Al-Muharrom untuk menyelisihi Yahudi.
Ibnu Abbas Rodhiyallahu
‘Anhuma berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
Rosulullah ﷺ puasa Asyuro dan menyuruh berpuasa.
Orang-orang berkata: “Wahai Rosulullah, ia hari yang dimuliakan Yahudi dan
Nashoro.”
فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ ﷺ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللهِ ﷺ
Rosulullah ﷺ bersabda: “Jika datang tahun depan, kita puasa tanggal 9, in syaa Allah.”
Belum datang tahun depan, Nabi ﷺ wafat. (HR.
Muslim no. 1134)
وَفِي
رِوَايَةٍ: «لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ»
Dalam riwayat lain: “Jika
aku masih hidup tahun depan, aku benar-benar akan puasa tanggal 9.” Yakni
Al-Muharrom. (HR. Muslim no. 1134)
Al-Hakam bin Al-A’roj
berkata: aku mendekati Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma saat beralaskan
selendangnya di depan air zamzam. Aku bertanya: “Tolong beritahu aku tentang
puasa Asyuro.” Beliau menjawab:
«إِذَا رَأَيْتَ
هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ، وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا»
“Jika
kamu melihat hilal (awal bulan) Al-Muharrom, hitunglah. Pada hari ke-9
puasalah.” Aku bertanya: “Apakah demikian puasa Nabi ﷺ?”
Jawabnya: “Ya.” (HR. Muslim no. 1133)
Yakni puasalah tanggal 9
dan 10, karena Nabi ﷺ berencana puasa tanggal 9 lalu
keburu wafat sehingga puasa tanggal 9 termasuk sunnah Nabi ﷺ.
Tidak Puasa
Asyuro
Ibnu Umar Rodhiyallahu
‘Anhuma berpandangan tidak berpuasa Asyuro. Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhuma
berkata:
«صَامَ النَّبِيُّ
ﷺ عَاشُورَاءَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ
تُرِكَ»،
“Nabi ﷺ puasa Asyuro dan memerintahkan puasa
Asyuro. Ketika Romadhon diwajibkan, Asyuro ditinggalkan.” Nafi berkata:
وَكَانَ عَبْدُ
اللَّهِ لاَ يَصُومُهُ إِلَّا أَنْ يُوَافِقَ صَوْمَهُ
“Abdullah
bin Umar tidak berpuasa Asyuro kecuali jika bertepatan dengan hari kebiasaannya
berpuasa.” (HR. Al-Bukhori no. 1892)
Yakni Abdullah bin Umar Rodhiyallahu
‘Anhuma berpendapat Asyuro bukan sunnah yang ditekankan atau sengaja tidak
berpuasa agar manusia tidak menganggapnya wajib. Alasan ini seperti yang
dilakukan Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu.
Alqomah berkata:
دَخَلَ عَلَيْهِ
الأَشْعَثُ وَهْوَ يَطْعَمُ فَقَالَ: اليَوْمُ عَاشُورَاءُ؟ فَقَالَ: «كَانَ يُصَامُ
قَبْلَ أَنْ يَنْزِلَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا نَزَلَ رَمَضَانُ تُرِكَ فَادْنُ فَكُلْ»
Al-Asy’ats datang menemui
Abdullah bin Mas’ud saat makan dan Al-Asy’ats berkata: “Bukanlah hari ini
Asyuro?” Jawabnya: “Dahulu ia diwajibkan sebelum turun Romadhon. Ketika
Romadhon turun, ia ditinggalkan. Mendekatlah dan makan (bersamaku).” (HR. Al-Bukhori
no. 4503 dan Muslim no. 1127)
Jabir bin Samuroh Rodhiyallahu
‘Anhu berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللهِ
ﷺ يَأْمُرُنَا بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَيَحُثُّنَا عَلَيْهِ،
وَيَتَعَاهَدُنَا عِنْدَهُ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ، لَمْ يَأْمُرْنَا، وَلَمْ يَنْهَنَا
وَلَمْ يَتَعَاهَدْنَا عِنْدَهُ»
Rosulullah ﷺ menyuruh kami puasa hari Asyuro, mendorong
kami, dan mengawasi kami. Ketika puasa Romadhon diwajibkan, beliau tidak
menyuruh kami (puasa Asyuro), tidak melarang, dan tidak pula mengawasi.” (HR.
Muslim no. 1128)
Yakni tidak menanyakan
apakah kami puasa ataukah tidak.
Kesimpulannya, sangat
dianjurkan puasa Asyuro. Jika khawatir manusia menganggapnya wajib, maka ia
tidak berpuasa.
Khurofat Pada
Al-Muharrom
Khurofat adalah keyakinan
rusak hasil bisikan setan dan sama sekali bukan dari Islam. Khurofat juga
dimaknai cerita yang dibumbui kedustaan. Sebagian khurofat termasuk syirik dan
sebagian termasuk bid’ah dan sebagian termasuk kesia-siaan.
Khurofat (mitos) ini akan
melahirkan anggapan sial (tathoyyur atau thiyaroh).
Contoh khurofat: Suro (Al-Muharrom)
adalah bulan mistik dan keramat. Lalu keyakinan ini melahirkan banyak cerita
dusta. Itulah khurofat. Lalu dari khurofat muncullah anggapan sial, seperti
kesialan jika di bulan Suro menikah, membangun rumah, pindah rumah, keluar
malam.
Begitu juga kesialan jika
tidak mencuci pusaka (keris, tongkat, dll), kesialan jika tidak mempersembahkan
kepala sapi ke laut.
Thiyaroh termasuk syirik,
berdasarkan hadits:
«لاَ طِيَرَةَ، وَخَيْرُهَا
الفَأْلُ» قَالُوا: وَمَا الفَأْلُ؟ قَالَ: «الكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ»
“Tidak
ada thiyaroh, dan yang terbaik adalah optimis.” Mereka bertanya: “Apa
itu optimis?” Jawab beliau: “Ucapan baik yang didengar oleh seseorang.” (HR.
Al-Bukhori no. 5754 dan Muslim no. 2223)
Yakni thiyaroh
(anggapan sial) tidak boleh dan tidak ada hakikatnya. Ia hanyalah bisikan setan
untuk menakuti seseorang agar berburuk sangka dan terjatuh pada kesyirikan. Thiyaroh
dilawan dengan optimis dengan mengucapkan ucapan yang baik. Contohnya:
terlintas sial melihat bayi lahir di bulan Suro lalu ia mengucapkan ucapan yang
baik untuk melawannya: “Alhamdulillah bayiku lahir di bulan mulia.”
Setelah itu, ia tawakkal
(pasrah kepada Allah), sebagaimana dalam hadits:
«الطِّيَرَةُ شِرْكٌ،
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا»، وَمَا مِنَّا إِلَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ
بِالتَّوَكُّلِ»
“Thiyaroh
adalah syirik.” —beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu
‘Anhu berkata: “Setiap kita terlintas anggapan sial, tetapi Allah
menghilangkannya dengan tawakkal.” (HSR. Abu Dawud no. 3910)
Thiyaroh Pada
Waktu dan Tempat
Menganggap sial karena
waktu dan tempat adalah perbuatan orang jahiliyyah dan termasuk syirik. Ia
syirik kecil jika meyakini musibah terjadi atas kehendak Allah dengan sebab
waktu atau tempat. Jika meyakini sebab terjadinya kesialan atau musibah adalah
waktu dan tempat semata maka syirik besar.
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda:
«لاَ عَدْوَى وَلاَ
صَفَرَ وَلاَ هَامَةَ»
“Tidak
ada penyakit menular (dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak ada Sofar
(kesialan waktu), tidak ada hāmah (kesialan mendengar burung hantu atau tempat).”
(HR. Al-Bukhori no. 5717)
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu, Nabi ﷺ bersabda, Allah berfirman:
«يُؤْذِينِي ابْنُ
آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ، بِيَدِي الأَمْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ»
“Anak
Adam menyakiti-Ku. Ia mencela waktu padahal Aku yang menciptakan waktu. Semua
perkara hanya di Tangan-Ku. Aku mengganti malam dan siang.” (HR. Al-Bukhori
no. 4826)
Khurofat
Kalender Jawa
Kalender Jawa adalah
perpaduan kalender Islam dengan kalender Saka India yang dipadukan oleh
kerajaan Mataram Islam oleh Sultan Agung yang ingin memasukkan nilai-nilai
Islam di masyarakat Hindu kala itu. Setelah berlalu masa, kalender ini dibumbui
keyakinan rusak dan tersebar banyak khurofat sebagaimana asal kalender Saka
India.
Perbandingan kalender
Islam dengan kalender Jawa:
1.
Al-Muharrom – Suro (bulan sial)
2.
Shofar – Sapar (bulan sial)
3.
Robiul Awwal – Mulud (bulan sial)
4.
Robil Akhir – Bakda Mulud
5.
Jumadal Ula – Jumadil Awwal (bulan sial)
6.
Jumadats Tsaniyah – Jumadi Akhir (bulan sial)
7.
Rojab – Rejeb
8.
Sya’ban – Ruwah
9.
Romadhon – Poso (bulan sial)
10.
Syawwal – Sawal (bulan sial)
11.
Dzulqo’dah – Dulkaidah (bulan sial)
12.
Dzulhijjah – Besar
Kejawen meyakini semua
agenda apapun (misalnya menikah) yang dilakukan di bulan-bulan itu akan sial
kecuali 4 bulan saja yang baik: Bakda Mulud, Rejeb, Ruwah, Besar. Itupun
sebagian harinya ada yang sial. Karena sumbernya bisikan setan, maka beda
tempat beda versi bulan sial.
Paing, Pon, Kliwon, Wage,
Legi adalah pancawara dalam kalender Jawa, yakni sepekan hanya 5 hari,
berbeda dengan Masehi dan Hijriyah 7 hari. Dalam pancawara ini juga ada
yang mengandung kesialan, misalnya Jumat Kliwon hari sial munculnya banyak
setan.
Khurofat Syiah
Pada hari Asyuro mereka
berkumpul untuk meratap atas wafatnya Husain bin Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu
‘Anhuma yang dibunuh tragis di Karbala. Mereka melukai diri dan anak
sendiri dengan pedang dan senjata tajam. Mereka terjatuh pada banyak kesalahan:
1)
Asyuro hari bersyukur dengan berpuasa, bukan hari bersedih.
2)
Meratapi musibah termasuk niyahah yang dilarang Nabi ﷺ, disamping dosa lainnya menyakiti diri
atas ketidakrelaan dari musibah. Dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallahu ‘Anhu,
Nabi ﷺ bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الخُدُودَ، وَشَقَّ الجُيُوبَ، وَدَعَا
بِدَعْوَى الجَاهِلِيَّةِ»
“Bukan
termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, merobek kerah baju, dan
berteriak ala jahiliyah (ketika terkena musibah sebagai wujud marah).” (HR.
Al-Bukhori no. 1294 dan Muslim no. 103)
Kesimpulan
1.
Al-Muharrom adalah bulan mulia dan salah satu dari 4 bulan harom.
2.
Puasa sunnah mutlak terbaik adalah puasa Al-Muharrom.
3.
Dianjurkan memperbanyak puasa dan sholat malam di Al-Muharrom.
4.
Hari terbaik dari Al-Muharrom adalah 10 awal Al-Muharrom.
5.
Yang terbaik dari 10 Al-Muharrom adalah Asyuro dan dianjurkan berpuasa
Asyuro.
6.
Dianjurkan puasa Asyuro digandeng dengan puasa tanggal 9 dan 11. Jika tidak
mampu, maka 9 dan 10. Jika tidak mampu, maka 10 dan 11. Jika tidak mampu, maka
10 saja.
7.
Khurofat adalah berita yang dibumbuhi kedustaan lalu melahirkan anggapan
sial (thiyaroh atau tathoyyur). Ia salah satu jenis kesyirikan.
Risalah ringkas ini saya
tulis sebagai penyempurna buku 33 Faidah
Al-Muharrom dan Asyuro karya Syaikh Sholih Al-Munajjid, sehingga apa
yang sudah disebutkan di buku tersebut tidak semua diulang di sini. Klik di sini untuk mendownloadnya.
Allahu a’lam.
[1] Orang Arob menggeser
Al-Muharrom dan menggawalkan Shofar agar melegalkan berperang lalu dibatalkan
Islam dan Al-Muharrom dikembalikan sebagai bulan pertama dari penanggalan
setahun.
[2] Disebut harom karena
lebih dimuliakan dari bulan-bulan lainnya dan diantaranya diharomkan berperang.
[3] Sebagian ahli ilmu tidak menganjurkan puasa sebulan penuh Al-Muharrom,
dengan alasan: Nabi ﷺ tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali di Romadhon.
Ini pendapat Syaikh Muhammad Sholih A-Munajjid.