Kaitan Ilmu dengan Al-Quran
Kaitan Ilmu dengan Al-Quran
Ditinjau dari sumbernya, ilmu
dibagi menjadi dua, yaitu ilmu yaqin (yang pasti benar) karena datangnya
dari Allâh, dan ilmu zhan (persangkaan/ penelitian/ observasi)
yang mengandung kemungkinan benar dan salah karena berasal dari akal manusia
yang terbatas.
Dalil untuk yang pertama adalah
firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«الْحَقُّ
مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ»
“Kebenaran
itu berasal dari Rabb-mu, maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang
yang ragu.”[1]
Dalil untuk yang kedua adalah
firman Allâh subhanahu wa ta’ala:
«إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ»
“Mereka
tidak mengikuti kecuali hanya zhan saja, dan tidaklah mereka kecuali hanya menduga-duga.”[2]
Allah berfirman:
«وَفَوْقَ
كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ»
“Dan di
atas orang yang berilmu ada yang lebih berilmu lagi.”[3]
Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) radhiyallahu
‘anhuma menafsirkannya:
يَكُونُ هَذَا أَعْلَمُ مِنْ هَذَا، وَهَذَا أَعْلَمُ مِنْ هَذَا،
وَاللَّهُ فَوْقَ كُلِّ عَالِمٍ
“Si A lebih
berilmu dari si B dan si C lebih
berilmu dari si B dan Allâh-lah puncak semua orang yang berilmu.”[4]
Jelaslah bagi kita bahwa
al-Qur`an adalah sumber segala ilmu dan semua ilmu bermuara dari al-Qur`an. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan bahwa al-Qur`an seluruhnya adalah
ilmu.
Allâh subhanahu wa ta’ala berfirman:
«بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ»
“Bahkan
al-Qur`an adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada-dada orang yang diberi
ilmu.”[5]
Dalam ayat ini
Allâh subhanahu wa ta’ala mensifati orang-orang berilmu dengan al-Qur`an
yang ada di dalam dada mereka baik pemahaman, hafalan, maupun pengamalan.
Seakan mengisyaratkan bahwa al-Qur`an tidak lain adalah ilmu, dan tidak disebut
berilmu jika tidak hafal al-Qur`an.
Al-Hasan
al-Bashri (w. 110 H) menjelaskan maksud “orang-orang yang diberi ilmu ini”
dalam ucapannya:
يَعْنِي الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ حَمَلُوا الْقُرْآنَ
“Yakni
orang-orang beriman yang hafal al-Qur`an.”[6]
Dari Ibnu
Mas’ud (w. 32 H) radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
مَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيُثَوِّرِ الْقُرْآنَ، فَإِنَّ فِيهِ
عِلْمَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ
“Barangsiapa
yang menginginkan ilmu maka dalamilah al-Qur`an, karena di dalamnya terdapat
ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian.”[7]
Ucapan shahabat yang mulia ini
berlaku umum baik ilmu akhirat maupun ilmu dunia, baik ilmu agama maupun ilmu
pengetahuan. Al-Qur`an mencakup seluruh ilmu tak terkecuali ilmu dunia,
meskipun al-Qur`an bukanlah kitab tentang ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur`an
adalah pedoman hidup manusia agar bahagia dunia dan akhiratnya. Hanya saja,
Allâh Maha Sempurna dan mampu untuk menyempurnakan kandungan firman-Nya.
Syaikh Abu Hasyim bin Shalih
al-Maghamisi berkata, “Sesungguhnya al-Qur`an adalah induk segala ilmu. Hal itu
dikarenakan segala ilmu kembali kepada al-Qur`an... Syaikh ‘Athiyyah Muhammad
Salim rahimahullah menukil dari Syaikhnya Imam asy-Syinqithi pemilik
kitab tafsir Adhwâ`ul Bayân bahwa dia bertanya kepada gurunya itu saat
menafsirkan al-Qur`an di masjid Rasûlullâh ﷺ, ‘Anda adalah orang
yang memiliki kecerdasaan yang agung dalam ilmu. Mengapa Anda lebih memilih
tafsir al-Qur`an bukan ilmu-ilmu yang lain, padahal Anda mampu mendatangkan
banyak permasalahan dan mensyarahnya?’ Gurunya yang sangat arif terhadap
Kitabullah itu menjawab, ‘Karena sesungguhnya segala ilmu kembali kepada
al-Qur`an.’”[8]
Al-Hafizh Ibnul
Jauzi (w. 597 H) berkata, “Tatkala al-Qur`an yang mulia adalah semulia-mulia
ilmu, maka memahaminya adalah pemahaman yang paling sempurna karena kemuliaan
ilmu sesuai dengan kemuliaan yang dipelajari.”[9]
Jika dikaji secara mendalam,
al-Qur`an mengandung dasar-dasar ilmu pengetahuan yang membuat tercengang
orang-orang kafir. Penelitian dan penemuan mereka bertahun-tahun yang
melelahkan telah disinggung oleh al-Qur`an. Hikmah dicantumkannya sebagian ilmu
pengetahuan dalam al-Qur`an adalah untuk menundukkan kesombongan dan
kecongkakan orang-orang kafir yang mendustakan al-Qur`an.
Sebenarnya orang-orang kafir itu
telah ditipu setan. Kemajuan dan teknologi yang mereka capai itu hanyalah
pengetahuan yang sedikit. Untuk itu Allâh mensifati pengetahuan mereka dengan
ilmu zhahir (yang nampak) dari kehidupan dunia. Artinya, banyak rahasia alam
semesta dan perkara dunia yang terluput dari mereka, dan mereka tidak akan
mampu mengkaji semuanya meski umur mereka habis.
«يَعْلَمُونَ
ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ»
“Mereka
hanya mengetahui (berilmu) yang zhahir saja dari kehidupan dunia, sementara
mereka tentang akhirat adalah orang-orang yang lalai.”[10]
Al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H)
menjelaskan:
أَكْثَرُ النَّاسِ لَيْسَ لَهُمْ عِلْمٌ إِلاَّ بِالدُّنْيَا
وَأَكْسَابِهَا وُشُؤُوْنِهَا وَمَا فِيْهَا، فَهُمْ حِذَاقُ أَذْكِيَاءَ فِي
تَحْصِيْلِهَا وَوُجُوْهِ مَكَاسِبِهَا، وَهُمْ غَافِلُوْنَ عَمَّا يَنْفَعُهُمْ
فِي الدَّارِ الْآخِرَةِ، كَأَنَّ أَحَدَهُمْ مُغَفَّلٌ لَا ذِهْنَ لَهُ وَلَا
فَكْرَةَ
“Kebanyakan manusia tidak
mempunyai ilmu kecuali tentang dunia, cara-cara memperolehnya, hal ihwalnya,
dan apa yang terkait dengannya. Mereka adalah orang-orang yang sangat cerdas
dalam meraihnya dan cara-cara menempuhnya. Namun, mereka lalai tentang apa yang
bisa memberi manfaat bagi mereka di negeri akhirat, seolah-olah mereka
dininabobokan, tidak waras, dan tidak berakal.”[11]
Al-Hasan al-Bashri (w. 110 H)
berkata:
وَاللَّهِ لَبَلَغَ مِنْ أَحَدِهِمْ بِدُنْيَاهُ أَنَّهُ يُقَلِّبُ
الدِّرْهَمَ عَلَى ظَفْرِهِ، فَيُخْبِرَكَ بِوَزْنِهِ، وَمَا يُحْسِنُ أَنْ
يُصَلِّيَ
“Demi Allâh,
benar-benar salah seorang di antara mereka akan mencapai dunianya sambil
membolak-balik dirham yang ada di jari-jemarinya, lalu dia mengabarkan kepadamu
tentang berat timbangannya. Namun, dia tidak bisa shalat dengan baik.”[12]
[1] QS. Al-Baqarah [2]: 147 dan Ali Imrân [3]: 60. Ayat yang
senada Allâh ulang dalam QS. Yûnûs [10]: 94, Hûd [11]: 17, al-Hajj [22]: 54,
dan as-Sajdah [32]: 3, yang semua ini mengisyaratkan bahwa kebenaran
benar-benar hanya berasal dari Allâh semata dan melarang manusia untuk
meragukannya.
[2] QS. Al-An’âm [6]: 116 dan Yûnûs [10]: 66.
[3] QS. Yûsûf [12]: 76.
[4] Tafsîr ath-Thabarî (no. 19585, XVI/192).
[5] QS. Al-‘Ankabût [29]: 49.
[6] Tafsîr al-Baghawî (III/563).
[7] Diriwayatkan ath-Thabarani (no. 8666) dalam al-Mu’jam
al-Kabîr, Ibnu Abi Syaibah (no. 30018) dalam Mushannafnya, Ibnu
al-Mubarak (no. 814, hal. 280) dalam az-Zuhd war Raqâ`iq, dan al-Baihaqi
(no. 1808) dalam Syu’abul Imân.
[8] Ta`ammulât Qur`âniyyah (I/2) olehnya. Diambil dari http://www.islamweb.net.
[9] Zâdul Masîr (I/11) olehnya.
[10] QS. Ar-Rûm [31]: 7.
[11] Tafsîr Ibnu Katsîr (VI/305).
[12] Ibid (VI/305).