Kepalsuan Hadits Cahaya Dalam Mushonnaf Abdurrozzaq | Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi
Kepalsuan Hadits Cahaya Dalam
Mushonnaf Abdurrozzaq | Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi
[Penerjemah]
Kitab ini
berjudul lengkap
تنبيه الحذاق
على بطلان ما شاع بين الأنام من حديث النور المنسوب لمصنف عبد الرزاق
Karya
Muhammad Ahmad bin Abdul Qodir Asy-Syinqithi.
Isi risalah
ini secara keseluruhan adalah bantahan ilmiah dan kritis terhadap Hadits “awal
penciptaan adalah cahaya Nabi Muhammad ﷺ” yang
dinisbatkan ke Mushonnaf Abdurrozzaq. Penulis membantahnya dengan landasan:
1) Al-Qur’an dan Hadits
shohih,
2) Ijma’ Salaf,
3) Kaedah usul
dalam ilmu Hadits dan aqidah,
4) Serta
menunjukkan bahwa sebagian pendukung keyakinan tersebut juga menyebarkan Hadits-Hadits
lain yang palsu untuk mendukungnya.
Nor Kandir
Dzulqo’dah
1446 H/ 2025 M.
[Rekomendasi Syaikh Bin Baz]
Segala puji
hanya milik Allah semata, sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang
tiada Nabi setelahnya, beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Amma
ba'du, saya telah
membaca tulisan saudara kita, ulama besar Syaikh Muhammad Ahmad bin Abdul Qodir
Al-Fiqhi Asy-Syinqithi, dalam penjelasannya tentang dalil-dalil yang
membatalkan hadits yang dinisbahkan kepada kitab “Al-Mushonnaf” karya Imam
Abdurrozzaq bin Hammam Ash-Shon’ani Rohimahullah. Hadits itu
menyebutkan bahwa makhluk pertama yang diciptakan adalah cahaya Nabi kita
Muhammad ﷺ,
dan bahwa segala sesuatu diciptakan dari cahaya tersebut, dan seterusnya.
Saya
mendapati bahwa beliau telah menulis dengan sangat baik dan memberikan manfaat.
Ia mengemukakan bukti-bukti dari nash (teks) agama dan logika yang menunjukkan
kebatilan hadits tersebut, serta menegaskan bahwa ia termasuk hadis-hadis palsu
yang disandarkan kepada Rosulullah ﷺ.
Siapa pun yang
merenungkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah akan mengetahui dengan
yakin bahwa kabar itu termasuk kebohongan besar yang tidak memiliki dasar
kebenaran. Allah telah mencukupkan Nabi-Nya ﷺ dari hal-hal semacam ini
dengan bukti-bukti yang pasti, mukjizat-mukjizat yang nyata, serta tanda-tanda
kebenaran risalah beliau.
Demikian
pula, beliau tidak membutuhkan hadits dusta seperti ini atau yang semisalnya,
sebab Allah telah menganugerahi beliau dengan sifat-sifat yang agung, akhlak
yang mulia, dan keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh siapa pun
sebelum atau sesudah beliau.
Beliau
adalah pemimpin anak cucu Adam, penutup para Rosul, utusan Allah bagi seluruh
jin dan manusia, pemilik syafaat agung, dan pemilik maqom mahmud
(kedudukan terpuji) pada hari Kiamat, serta masih banyak lagi keistimewaan dan
keutamaan beliau ﷺ.
Sholawat
dan salam semoga tercurah kepada beliau, keluarganya, para Sohabatnya, serta
siapa pun yang mengikuti jalannya, menolong agamanya, membela syariatnya, dan
memerangi segala sesuatu yang bertentangan dengannya.
Saya
memohon kepada Allah agar memberikan balasan terbaik kepada saudara kita, Syaikh
Muhammad bin Abdul Qodir, atas tulisannya dalam pembahasan ini—sebagaimana
Allah membalas orang-orang baik yang membela Nabi mereka ﷺ, menyebarkan ajarannya, dan
membelanya dari segala kebatilan.
Semoga
Allah menjadikan kita, beliau, dan seluruh saudara kita para penyeru kebenaran
dan pembela agama termasuk dalam golongan orang-orang yang istiqomah dalam
kebenaran selama kita hidup. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Sholawat
dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, pemimpin dan panutan
kita, Muhammad bin Abdillah, serta kepada para Sohabat beliau dan siapa saja
yang mendapat petunjuk melalui bimbingannya.Segala puji bagi Allah, Rob seluruh
alam.
[Pembukaan Penulis]
Segala puji
bagi Allah yang telah menjadikan sanad sebagai sarana untuk memahami matan (isi
teks), dan sholawat serta salam semoga tercurah kepada beliau yang bersabda, “Janganlah
kalian berlebihan memujiku sebagaimana orang Nasroni memuji Isa bin Maryam.”
Adapun
setelah itu,
sungguh aku telah melihat bahwa mayoritas orang—bahkan sebagian dari mereka
mengaku sebagai ahli ilmu, padahal berada dalam kegelapan
kebodohan—berkeyakinan bahwa makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah adalah
cahaya Nabi Muhammad ﷺ.
Mereka juga meyakini bahwa cahaya tersebut merupakan asal dari seluruh makhluk,
atau paling tidak dari segala yang baik di antaranya. Mereka bahkan menganggap
bahwa siapa yang tidak berkeyakinan demikian, maka tidak memiliki akidah yang
bermanfaat baginya di hari Kiamat, karena dalam pandangan mereka itu termasuk
bagian dari pokok agama yang tidak boleh diingkari.
Mereka
meyakini bahwa seandainya bukan karena Nabi Muhammad ﷺ, niscaya Allah tidak akan
menciptakan satu pun makhluk sama sekali. Seluruh keyakinan ini mereka dasarkan
pada riwayat yang mereka nisbahkan kepada kitab “Al-Mushonnaf”
karya Abdurrozzaq bin Hammam dari jalur Jabir bin Abdillah
Rodhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Jabir bertanya kepada Rosulullah ﷺ tentang makhluk pertama yang
diciptakan Allah Ta’ala. Maka beliau menjawab:
نور نبيك يا جابر خلقه الله وخلق بعده كل شيء، وخلق منه كل خير
“Wahai
Jabir, yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahaya Nabimu. Dari cahaya itu
Dia menciptakan segala sesuatu dan dari padanya pula diciptakan segala
kebaikan.”
Dalam
beberapa versi riwayat, disebutkan bahwa Allah menciptakannya lalu dari cahaya
itu Dia menciptakan segala sesuatu. Riwayat ini sangat terkenal dan tersebar
dalam berbagai tradisi yang mengandung kisah tersebut, dengan narasi yang
sangat panjang, hingga mencakup sekitar empat halaman dari lembaran besar. Di
dalamnya terdapat pula pembagian cahaya tersebut menjadi sepuluh bagian, dan
penentuan penciptaan setiap jenis makhluk dari bagian tertentu dari sepuluh
bagian cahaya itu.
Maka aku
memandang bahwa sudah menjadi kewajiban—setidaknya bagi sebagian kalangan—sebagai
bentuk nasihat kepada umat Islam dan pembelaan terhadap agama ini, untuk
menelusuri dengan seksama dan mengkritisi dasar-dasar yang menjadi pijakan
mereka dalam menyandarkan Hadits ini kepada kitab “Al-Mushonnaf” menurut
standar para ahli Hadits.
Maka aku
memulai—dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala dan bertawakal
kepada-Nya—untuk menjelaskan: bahwa apabila Hadits ini benar-benar terdapat
dalam kitab “Al-Mushonnaf” Abdurrozzaq, maka itu merupakan bencana besar
dalam isi kitab tersebut, sebagaimana telah disinggung oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar (852 H) yang mengatakan bahwa kitab itu mengandung kabar-kabar besar yang
aneh.
[Bukti Kepalsuan Hadits
Cahaya]
Di antara
bukti bahwa Hadits tersebut termasuk riwayat yang lemah bahkan palsu atas nama Rosulullah
ﷺ
adalah karena:
1) Panjangnya yang
berlebihan,
2) Lemahnya
susunan bahasa,
3) Keanehan
maknanya,
4) Kerumitan
penyampaiannya oleh para perowinya,
5) Serta karena
hanya diriwayatkan oleh Abdurrozzaq sendiri tanpa adanya perowi lain yang
meriwayatkan dari jalur yang sama dalam bab dalailun nubuwwah (dalil
kenabian).
6) Selain itu, Hadits
tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab pokok ahli Hadits yang terkenal
dengan ketelitian dan kehati-hatian dalam meriwayatkan, serta bertentangan
dengan akal sehat, nash yang shohih dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta ijma’
umat.
7) Hadits ini juga
tidak memenuhi enam syarat utama dalam ilmu Hadits yang menjadi tolok ukur
diterimanya sebuah riwayat, yaitu: sanad yang bersambung, keakuratan
periwayatan, keadilan perowi, adanya mutaba’ah (riwayat pendukung),
tidak terdapat syadz (kejanggalan), dan bebas dari illat (cacat
tersembunyi).
Kemudian,
kitab “Al-Mushonnaf” karya Abdurrozzaq telah sampai kepada kita dalam
versi cetak dari India, dan Hadits yang dinisbahkan tersebut tidak ada di
dalamnya.
Selain itu,
para imam ahli Hadits terdahulu maupun kontemporer telah menegaskan bahwa Hadits
tersebut palsu, lemah, dan tidak memiliki sanad yang bisa
dipertanggungjawabkan.
Adapun
bertentangannya dengan nash-nash dalam Al-Qur’an, maka Allah Ta’ala telah
menjelaskan asal penciptaan manusia dari tanah liat dan jin dari api yang
menyala-nyala, sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿خَلَقَ الأِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ
مَارِجٍ مِنْ نَارٍ﴾
“Dia
menciptakan manusia dari tanah liat seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin
dari nyala api.” (QS. Ar-Rohman: 14–15)
Bagaimana
mungkin Nabi Adam dan tanah liat yang menjadi asal penciptaannya diciptakan
dari cahaya Nabi Muhammad ﷺ, padahal nash Al-Qur’an menyebutkan penciptaan manusia dari tanah
secara langsung?
Begitu
pula, Allah Ta’ala juga menyebutkan asal mula penciptaan langit dan bumi:
﴿قُلْ أَإِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ
وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَنْدَاداً ذَلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. وَجَعَلَ فِيهَا
رَوَاسِيَ مِنْ فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي
أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِلسَّائِلِينَ. ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ
وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلأَرْضِ ائْتِيَا
طَوْعاً أَوْ كَرْهاً قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا وَزَيَّنَّا
السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظاً ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ
الْعَلِيمِ﴾
“Katakanlah:
Sesungguhnya kalian kafir kepada (Allah) yang menciptakan bumi dalam dua hari,
dan kalian menyamakan-Nya (dengan sesuatu)? Itulah Robb semesta alam. Dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya, memberkahinya dan
menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari, sama
bagi (kepentingan) orang-orang yang memerlukan. Kemudian Dia menuju langit dan
langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa. Keduanya
menjawab: Kami datang dengan patuh.” (QS. Fushshilat: 9–11)Dan
firman-Nya:
﴿وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ﴾
“Dan
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arsy-Nya berada di
atas air.” (QS. Hud: 7)
Sebagian
mufassir menjelaskan:
إن الدخان الذي ذكر الله تعالى أنه أصل السماء أصله من بخار الماء الذي كان
عليه عرش الرحمن قبل خلق السماوات والأرض وما فيهن من الكائنات، وأن أصل الماء
ياقوتة خضراء نظر الله تعالى إليها نظر هيبة فصارت ماء وأنه تعالى تجلى للماء فيبس
سقفه فصار تراباً
“Asap
yang disebutkan sebagai asal mula langit itu berasal dari uap air, di mana
sebelumnya Arsy berada di atas air. Mereka menyatakan bahwa asal mula air
adalah dari yaqut (batu permata) hijau yang Allah pandang dengan
pandangan keagungan, lalu ia mencair menjadi air. Setelah itu Allah menampakkan
diri pada air tersebut sehingga bagian atasnya mengering dan menjadi tanah.
Maka inilah yang diberitakan oleh Allah sebagai permulaan penciptaan langit dan
bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya.”
Para ulama
umat Nabi Muhammad ﷺ
menafsirkan ayat-ayat ini sesuai makna lahirnya, dan tidak mereka batasi atau
takwilkan dengan Hadits Cahaya yang telah disebutkan, karena memang Hadits
itu tidak memiliki dasar menurut mereka. Seandainya Hadits itu shohih, niscaya
mereka akan menafsirkannya dengan makna yang menghilangkan kontradiksi antara
dalil-dalil yang ada. Hal ini adalah metode para ulama ahli fikih, ahli Hadits,
dan ahli usul ketika dihadapkan pada dalil-dalil yang tampaknya bertentangan.
Sebagaimana
disebutkan oleh Al-‘Alawi dalam kitab Maroqiyus Su’ud, bahwa jika
memungkinkan untuk menggabungkan dalil-dalil, maka itu wajib. Jika tidak
memungkinkan, maka wajib berhenti atau menangguhkan keputusan, atau membiarkan
keduanya, sesuai dengan rincian yang disebutkan oleh para ulama ahli usul.
Allah
Ta’ala juga berfirman tentang asal makhluk hidup:
﴿وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ﴾
“Kami
jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak beriman?”
(QS. Al-Anbiya’: 30)
Ayat ini
merupakan ayat informasi yang tidak dapat di-nasakh (dihapus hukumnya) dan
dengan tegas menentang isi Hadits yang disebutkan tadi. Oleh karena itu, jika
sebuah Hadits bertentangan dengan ayat-ayat seperti ini, maka para ulama pasti
akan menghukuminya sebagai Hadits palsu tanpa ragu.
[Kontradiksi Ciri Hadits
Palsu]
Imam Ibnul
Qoyyim (751 H) Rohimahullah dalam kitabnya Manar Al-Munif fi As-Shohih
wa Adh-Dho’if menjelaskan bahwa salah satu tanda Hadits palsu adalah
bertentangannya dengan ayat Al-Qur’an yang tegas dan eksplisit, seperti Hadits
tentang usia dunia yang disebutkan tujuh ribu tahun dan semacamnya, yang
jelas-jelas bertentangan dengan nash Al-Qur’an.
Termasuk
pula cacat (qodih) lainnya dalam Hadits yang disebutkan tadi adalah
kontradiksinya dengan riwayat shohih dalam Shohihain dari Rosulullah ﷺ, ketika beliau berkata kepada
delegasi Bani Tamim: “Terimalah kabar gembira, wahai Bani Tamim.”
Mereka
menjawab, “Engkau telah memberi kami kabar gembira, maka berilah kami (harta
dari baitul mal).”
Beliau
kembali berkata: “Terimalah kabar gembira, wahai penduduk Yaman.” Mereka
menjawab, “Kami menerima, maka kabarkanlah kepada kami tentang awal mula
penciptaan.”
Lalu Rosulullah
ﷺ
bersabda:
«كَانَ اللَّهُ
وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى المَاءِ، وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ
كُلَّ شَيْءٍ، وَخَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ»
“Ada
Allah dan tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan Arsy-Nya berada di atas Air,
dan Dia menulis di Lauhul Mahfuz segala sesuatu, lalu Dia menciptakan langit
dan bumi.” (HR. Bukhori no. 3191)
Imam Ahmad
meriwayatkan pula bahwa Yazid bin Harun memberitahukan kepada kami, dan Hamad
bin Salamah meriwayatkan dari Ya’la bin ‘Atha’ dari Waki’ bin ‘Addas dari
pamannya Abu Rozin—nama aslinya adalah Laqith bin ‘Amir Al-‘Aqili—bahwa ia
bertanya:
“Wahai Rosulullah,
di mana Robb kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Beliau menjawab:
«كان في عماء ما تحته هواء ثم خلق العرش بعد ذلك»
“Di tidak
di mana pun, yang tidak ada udara di bawahnya, lalu Dia menciptakan Arsy
setelah itu.”
Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dan At-Tirmidzi yang menilainya sebagai Hadits
hasan.
Mujahid,
Wahb bin Munabbih, ‘Amroh, Qotadah dan lainnya berkata:
كان عرشه على الماء قبل أن يخلق كل شيء
“Arsy
Allah berada di atas Air sebelum penciptaan apa pun.”
Ibnu Jarir Ath-Thobari
dalam tafsirnya meriwayatkan dari Muhammad bin Basyar, dari Yahya, dari Sufyan,
dari Al-A’masy, dari Abu Zhobyan, dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma,
bahwa ia berkata:
«أول ما خلق الله القلم قال اكتب قال ماذا أكتب؟ قال: اكتب
فجرى بما يكون من ذلك اليوم إلى قيام الساعة ثم خلق النون ورفع بخار الماء، ففتقت منه
السماء وبسطت الأرض»
“Yang
pertama kali Allah ciptakan adalah Pena. Allah berfirman padanya: ‘Tulislah.’
Ia bertanya: ‘Apa yang harus kutulis?’ Allah menjawab: ‘Tulislah apa yang
terjadi dari hari ini hingga hari Kiamat.’ Lalu Allah menciptakan nun
dan mengangkat uap air, lalu dari uap itu langit terbelah dan bumi
dibentangkan.”
Hadits ini
diriwayatkan secara lengkap, dan Imam Ahmad serta At-Tirmidzi juga
meriwayatkannya dalam kitab Al-Jami’-nya secara marfu’ kepada Rosulullah
ﷺ,
melalui jalur Al-Walid bin ‘Ubadah bin Ash-Shomit, dari ayahnya, yang berkata:
“Aku
mendengar Rosulullah ﷺ
bersabda: ‘Sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia
berfirman padanya: ‘Tulislah.’...”
At-Tirmidzi
mengatakan bahwa Hadits ini hasan shohih.
Al-Baihaqi (458
H) dalam kitab Mukhtalaf Al-Hadits berusaha mengompromikan berbagai
riwayat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud makhluk pertama adalah Pena,
yaitu setelah penciptaan Air, Angin, dan Arsy. Ini tampak jelas dalam Hadits
Imron bin Hushoin sebagaimana disebutkan dalam Shohihain, yaitu: “Kemudian
Dia menciptakan langit dan bumi.”
Al-Baihaqi
juga meriwayatkan dari Abdurrozzaq, dari ‘Umar bin Habib—seorang perowi
terpercaya—dari Humaid bin Qois Al-A’roj, dari Thowus, dari seorang laki-laki
yang mendatangi Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallahu ‘Anhuma dan
bertanya: “Dari apa Allah menciptakan makhluk?” Ia menjawab:
من الماء والنور والظلمة والريح والتراب، قال الرجل:، فمم خلق هؤلاء؟ قال:
لا أدري
“Dari
air, cahaya, kegelapan, angin, dan tanah.” Lelaki itu bertanya lagi: “Lalu dari
apa semua itu diciptakan?” Ibnu ‘Amr menjawab: “Aku tidak tahu.”
Kemudian
lelaki itu mendatangi Abdullah bin Az-Zubair dan bertanya hal yang sama, lalu
ia menjawab sebagaimana jawaban Ibnu ‘Amr.
Akhirnya,
ia mendatangi Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma dan bertanya, dan beliau
menjawab dengan membacakan firman Allah:
﴿وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً مِنْهُ﴾
“Dia
menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan di bumi semuanya berasal
dari-Nya.” (QS. Al-Jatsiyah: 13)
Lelaki itu
berkata, “Tak ada yang bisa menjawab ini kecuali seseorang dari Ahlul Bait Nabi
ﷺ.”
Al-Baihaqi
menjelaskan bahwa maksud dari ucapan “semuanya berasal dari-Nya” adalah bahwa
semua itu berasal dari ciptaan, kehendak, dan kreativitas Allah. Dia
menciptakan Air terlebih dahulu atau bersamaan dengan apa yang Dia kehendaki
dari makhluk-Nya, tanpa meniru bentuk atau contoh sebelumnya. Lalu Dia
menjadikan Air sebagai dasar dari makhluk-makhluk yang datang sesudahnya. Maka
Dia-lah Sang Pencipta, Sang Pembuat, tiada yang berhak disembah selain Dia dan
tiada pencipta selain Dia. Subhanahu wa ta’ala.
[Tanah Asal Penciptaan
Manusia]
Termasuk
hal yang melemahkan Hadits tersebut juga adalah riwayat shohih dari Nabi ﷺ, sebagaimana yang disebutkan
oleh Imam Muslim bin Al-Hajjaj. Ia berkata:
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Rofi’ dan ‘Abd bin Humaid (Abd berkata:
telah mengabarkan kepada kami), dan Ibn Rafi’ berkata: telah menceritakan
kepada kami Abdurrozzaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah—Rodhiyallahu
‘Anha—bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
«خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ
مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ»
“Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari
apa yang telah dijelaskan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996)
Yang
dimaksud dengan “apa yang telah dijelaskan kepada kalian” oleh Rosulullah ﷺ adalah sebagaimana yang Allah
sebutkan dalam firman-Nya bahwa Adam diciptakan dari tanah.
Hadits ini
adalah salah satu riwayat paling shohih dari Rosulullah ﷺ sebagaimana yang terlihat,
dan di dalamnya terdapat penjelasan bahwa makhluk-makhluk berbeda diciptakan
dari unsur yang berbeda: Malaikat dari cahaya, jin dari api, dan manusia dari
tanah. Maka, meskipun terdapat ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa:
﴿وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
أَفَلا يُؤْمِنُونَ﴾
“Kami
menjadikan dari air segala sesuatu yang hidup” (QS. Al-Anbiya’: 30), para mufasir menjelaskan
bahwa ayat ini umum namun dikhususkan oleh Hadits tadi. Abu Hayyan dalam tafsir
Al-Bahr Al-Muhith menyebutkan bahwa “segala sesuatu” dalam ayat itu
bersifat umum namun tidak mencakup Malaikat dan jin, karena mereka tidak
diciptakan dari air ataupun sperma dan tidak membutuhkan air untuk hidup.
[Yang Pertama Allah Ciptakan]
Maka, wahai
saudara-saudara sekalian, perhatikanlah nash-nash yang jelas dan tegas dari
Kitab Allah serta Hadits-Hadits shohih dari Rosulullah ﷺ, dan kesepakatan para Salaf Sholih
dari kalangan Shohabat, Tabi'in, para huffaz, serta para imam belakangan
mengenai awal penciptaan makhluk. Yang shohih dalam masalah ini adalah bahwa
makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah air, kemudian Arsy, lalu pena,
lalu makhluk-makhluk lainnya sesuai kehendak-Nya. Setelah berbagai jenis
makhluk itu selesai diciptakan, maka semua makhluk hidup kembali kepada lima
unsur utama: air, cahaya, kegelapan, angin, dan tanah. Semua unsur
tersebut diciptakan Allah tanpa mengambil contoh sebelumnya dan tanpa asal
materi. Maka Dia-lah Yang Maha Mencipta dan Maha Mengadakan dari ketiadaan,
tiada yang berhak disembah selain Dia dan tiada pencipta selain Dia.
Lantas,
dari mana seorang Muslim mendapatkan dalil dalam syariat Muhammad ﷺ yang bisa membantah nash-nash
yang jelas ini? Bagaimana mungkin ia berpaling dari dalil-dalil ini dan malah
bersandar kepada sebuah riwayat yang tidak shohih? Maha Suci Engkau (ya Allah),
sungguh ini adalah kedustaan yang besar.
[Awal Nabi ﷺ Adalah Doa]
Di antara
kelemahan Hadits tersebut juga adalah klaim bahwa saat Rosulullah ﷺ ditanya tentang perkara besar
seperti permulaan penciptaan, beliau menjawab (dalam hadits palsu tersebut) dengan
menyebutkan tiga hal, salah satunya adalah mimpi seseorang yang tidak maksum.
Seandainya Hadits “cahaya Nabi Muhammad” itu benar dan shohih, maka sudah
seharusnya beliau menyebutkannya di saat-saat penting seperti ini, bukan mimpi
seseorang.
Imam Ahmad
meriwayatkan dari dua jalur yang hasan, salah satunya dari Sa’id bin Suwaid Al-Kalbi,
dari ‘Abd Al-A’la bin Hilal as-Sulami, dari Al-‘Irbadh bin Sariyah Rodhiyallahu
‘Anhu. Jalur lain dari Luqman bin ‘Amir, dari Abu Umamah Rodhiyallahu
‘Anhu. Keduanya bertanya kepada Rosulullah ﷺ: “Apa awal urusanmu, wahai Rosulullah?”
Beliau menjawab:
«دعوة أبي إبراهيم وبشرى عيسى بن مريم، ورأت أمي: أنه خرج
منها نور أضاءت له القصور الشام»
“Doa
ayahku Ibrohim dan kabar gembira dari Isa bin Maryam. Dan ibuku melihat bahwa
darinya keluar cahaya yang menerangi istana-istana Syam.”
Al-Hafizh
Isma’il bin Katsir (774 H) berkata bahwa maksudnya adalah bahwa yang pertama
menyebut dan mengabarkan tentang Nabi Muhammad ﷺ kepada manusia adalah Ibrohim
‘Alaihis Salam, dan kemudian nama beliau tetap dikenal hingga Isa bin
Maryam ‘Alaihis Salam mengabarkannya secara gamblang kepada Bani Isroil,
dengan firman Allah:
﴿إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقاً لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ
التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّراً بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ﴾
“Sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan apa yang ada pada kalian dari
Taurot dan memberi kabar gembira tentang seorang Rosul yang akan datang
setelahku, namanya Ahmad.” (QS. Ash-Shoff: 6)
Adapun
ucapan Nabi ﷺ:
“Ibuku melihat bahwa darinya keluar cahaya...”
Sebagian
ulama menafsirkan bahwa itu adalah mimpi yang beliau lihat ketika sedang
mengandung, dan kemudian ia menceritakannya kepada kaumnya hingga berita itu
tersebar.
Perhatikanlah,
bagaimana orang-orang yang bersandar kepada Hadits “cahaya Nabi Muhammad”—yang
dinisbahkan kepada Al-Mushonnaf karya Abdurrozzaq—telah membuat klaim
bahwa Rosulullah ﷺ
menjawab pertanyaan tentang permulaan penciptaan dengan mengatakan, “Wahai
Jabir, yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu...”,
padahal berdasarkan kaidah-kaidah pasti dari nash Al-Qur’an, Hadits shohih, dan
ijma’ Salaf serta kholaf dari umat ini, ucapan semacam itu tidak
memiliki dasar. Akal pun menolak dan logika tidak membenarkannya, karena memuat
kontradiksi logis berupa circular reasoning dan klaim sepihak tanpa
dalil.
Mereka
menganggap bahwa cahaya tersebut merupakan asal segala makhluk, padahal
Muhammad ﷺ
adalah penutup para Nabi dan utusan terakhir. Apakah mungkin jika sesuatu yang
terakhir dijadikan asal mula bagi sesuatu yang diciptakan lebih dulu? Baik kita
katakan bahwa cahaya itu adalah sifat (karena sifat tidak berdiri sendiri),
atau zat (karena zat memerlukan pencipta), keduanya tidak mungkin menjadi dasar
bagi eksistensi makhluk lainnya. Maka klaim bahwa eksistensi bumi, air, langit,
dan makhluk lainnya bergantung pada keberadaan cahaya Nabi Muhammad ﷺ adalah klaim yang batil
menurut syariat maupun logika.
[Pendukung Hadits Palsu
Cahaya]
Hadits yang
dinisbatkan kepada “Al-Mushonnaf” karya Abdurrozzaq ini, meskipun ia Hadits
yang palsu, ternyata mereka yang mendukung keyakinan tersebut tetap mencarikan
dukungan bagi isi Hadits ini dari Hadits-Hadits lain yang juga berstatus palsu.
Mereka menjadikannya sebagai “syahid” (penguat) sehingga konon naik ke
derajat yang bisa dijadikan hujah dalam akidah. Berikut adalah dua contoh dari Hadits-Hadits
tersebut:
Hadits
pertama,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Al-Jauzi (597 H) dalam kitab Al-Maudhu‘at Al-Kubro,
jilid dua halaman 140: telah memberitahu kami Abdul Wahhab bin Al-Mubarok dan
yang lainnya, mereka berkata: telah memberitahu kami Ahmad bin Al-Mu‘thi, telah
memberitahu kami Abu Al-Qosim Abdurrohman Al-Hufi, telah memberitahu kami Abu
Ahmad Ad-Dahqoni, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Isa bin Hayyan
Abu As-Sikin, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin As-Shobah, telah
memberitahu kami ‘Ali bin Al-Hasan Al-Kufi, dari Ibrohim bin Al-Yasa‘, dari Abu
Al-‘Abbas Ad-Dhorir, dari Kholil bin Murroh, dari Yahya Al-Bashri, dari Zadzan,
paman Sulaiman.
Ia berkata:
“Jibril turun kepada Nabi ﷺ dan berkata: ‘Sesungguhnya Allah menyampaikan salam kepadamu
dan berfirman: Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih mulia darimu. Aku telah
memberimu Al-Qur’an, dan keutamaan bulan Ramadhon, dan seluruh syafa’at adalah
milikmu. Hingga Arsy-Ku pada hari Kiamat berada di atas kepalamu dalam batasan
tertentu, dan mahkota kerajaan-Ku diikatkan di atas kepalamu. Aku telah
menyandingkan namamu dengan nama-Ku; tidaklah Aku disebut di suatu tempat
kecuali engkau juga disebut bersamaku. Aku menciptakan dunia dan penghuninya
hanya untuk mengenalkan kepada mereka kemuliaanmu di sisi-Ku dan kedudukanmu di
hadapan-Ku. Seandainya bukan karena engkau, niscaya Aku tidak akan menciptakan
dunia ini.’”
Ibnu Al-Jauzi
berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu). Abu Al-Sikin, Ibrohim bin Al-Yasa’, dan
Yahya Al-Bashri adalah perowi yang ditinggalkan (matruk).”
Penilaian
ini juga disetujui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar (852 H) dan Al-Hafizh As-Suyuthi (911
H). Selesai.
Hadits
kedua, sebagaimana
disebutkan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Mizan:
Disebutkan
tentang seorang rowi bernama ‘Amr bin Aus yang tidak dikenal keadaannya. Ia
menyampaikan sebuah Hadits mungkar yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dalam bagian Hadits-Hadits
palsu dari Al-Mustadrok, dari jalur Jandal bin Wathiq, dari ‘Amr bin Aus, dari
Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qotadah, dari Sa’id bin Al-Musayyib, dari Ibnu
Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma.
Disebutkan
bahwa Allah mewahyukan kepada Isa bin Maryam: “Berimanlah kepada Muhammad!
Seandainya bukan karena dia, niscaya Aku tidak akan menciptakan Adam, tidak
pula Surga dan Neraka.”
Adz-Dzahabi
berkata: “Ini adalah Hadits palsu yang disandarkan kepada Ibnu Abbas.”
Di antara
dalil yang dianggap paling kuat oleh para pendukung keyakinan ini adalah
bait-bait puisi dari Al-Bushiri yang dikutip dari beberapa Hadits palsu yang
telah kami sebutkan teks-teksnya serta telah dijelaskan kebatilannya, seperti
bait berikut dalam Qoshidah Al-Mimiyah:
“Bagaimana
bisa seseorang mengajak kepada dunia,
Padahal
karena engkau (wahai Muhammad), dunia ini keluar dari ketiadaan.”
Dan bait
lain:
“Wahai Rosulullah,
kehormatanmu tidak akan sempit bagiku,
Jika
Dzat Yang Maha Mulia menampakkan diri dengan Nama-Nya Al-Muntaqim.
Sesungguhnya
dari kemurahanmu adalah dunia dan Akhirat,
Dan dari
ilmumu adalah ilmu Lauh dan Qolam.”
Begitu pula
perkataan dari orang lain yang semisal dengan Al-Bushiri:
“Seandainya
bukan karena dia (Muhammad), maka tidak akan diciptakan matahari dan bulan,
Tidak pula
bintang-bintang, malam, siang, dan pena.”
Ucapan-ucapan
seperti ini berasal dari orang-orang yang tidak membedakan antara Hadits yang shohih
dan yang palsu, dan tidak peduli apakah yang mereka kutip itu benar atau penuh
penyelewengan.
Saya
sendiri pernah berdebat dengan seseorang dari wilayah utara Mauritania bernama
Muhammad Al-Bâr. Ia memiliki sejumlah pengikut yang meyakininya sebagai orang
paling alim dan paling dekat kepada Allah. Dalam perdebatan itu, saya
menegakkan hujah dan dalil terhadap apa yang ia yakini bersama para
pengikutnya, yaitu bantahan klaim seandainya bukan karena Nabi Muhammad ﷺ, niscaya Allah tidak akan
melimpahkan satu pun rezeki atau manfaat, baik kepada manusia, hewan, atau
makhluk lainnya. Ia
berhujah dengan perkataan Al-Bushiri:
“Seandainya
bukan karena dia (Muhammad), dunia ini tidak akan keluar dari ketiadaan.”
Maka saya
katakan kepadanya: “Ucapan Al-Bushiri bukanlah hujah dalam syariat.” Ia
menjawab: “Al-Bushiri lebih utama darimu.”
Saya
menjawab: “Celakalah engkau! Kapan engkau mengetahui kedudukanku di sisi Allah
hingga engkau mengutamakan seseorang atas diriku, padahal engkau tidak tahu apa
yang dialaminya di sisi Allah?”
Dari situ
saya menyadari bahwa orang itu tidak seperti apa yang diyakini oleh para
pengikutnya.
Saudara-saudaraku
sekalian, di manakah posisi orang-orang seperti ini dibandingkan dengan
perintah Allah Ta‘ala kepada Nabi kita Muhammad ﷺ untuk menyampaikan kepada
umatnya, sebagaimana dalam firman-Nya:
﴿قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاءَ اللَّهُ
وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ
السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah:
Aku tidak memiliki kuasa untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudhorot bagi
diriku sendiri kecuali apa yang dikehendaki Allah. Dan kalau aku mengetahui
yang ghoib, tentu aku akan memperbanyak kebajikan dan tidak akan ditimpa
keburukan. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa kabar gembira bagi kaum
yang beriman.” (QS. Al-A‘rof: 188)
[Penutup]
Ya Allah,
lapangkanlah dada kami untuk menerima Islam, kukuhkanlah hati kami dalam
keimanan, dan janganlah Engkau sesatkan kami setelah Engkau beri petunjuk.
Telah
selesai kritik terhadap Hadits yang dinisbahkan kepada Al-Mushonnaf
karya Abdurrozzaq bin Hammam serta yang semakna dengannya dari riwayat-riwayat
palsu dan problematis bagi kaum awam, maka kami tambahkan pula—semoga Allah
memberikan taufik—peringatan agar kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rosul-Nya
ﷺ
serta mengikuti jalan para Salaf yang mendapat petunjuk. Kami juga memohon
perlindungan dari Allah terhadap kelalaian para penyepelean dan sikap keras
kepala para fanatikus yang membela kebatilan.
Amin, ya
Robbal ‘alamin.
Semoga sholawat
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, penghulu para
pendahulu dan yang kemudian, serta kepada para sahabatnya yang suci dan mulia.
Amin.
Ditulis dan
dikumpulkan oleh hamba yang sangat membutuhkan rohmat Robnya,
Muhammad
Ahmad bin Abdul Qodir Asy-Syinqithi:
Berasal
dari keluarga Quroisy dan bermukim di Madinah.
Pada malam
ke-22 bulan Syawwal tahun 1390 H.
Dan saya
namakan risalah ini:
"Peringatan
bagi Para Cendekiawan atas Kepalsuan Hadits Nur (Cahaya) yang Tersebar di
Kalangan Manusia dan Dinisbatkan kepada Kitab Mushonnaf karya Abdurrozzaq bin
Hammam."[]