Panduan Lengkap Khutbah Sholat ‘Idain: Sunnah, Dalil, dan Tata Caranya

Hukum Khutbah

Khutbah Sholat ‘Id adalah Sunnah, dan ini merupakan kesepakatan dari empat madz-hab fiqih: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

Pertama: Dari As-Sunnah

Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata: “Aku pernah menghadiri Sholat ‘Idul Fitri bersama Nabi , juga bersama Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. Semuanya melaksanakan Sholat ‘Id terlebih dahulu sebelum khutbah, lalu baru berkhutbah. Beliau pun turun (dari mimbar), seolah-olah aku melihat beliau saat itu sedang menyuruh dengan tangannya para laki-laki untuk duduk, lalu beliau maju menembus barisan mereka hingga mendatangi para wanita bersama Bilal. Lalu beliau membaca firman Allah:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا...

Yaa ayyuhan-nabiyyu idzā jā’akal-mu’minātu yubāyi’naka ‘alā allā yusy’rikna billāhi syai’an

“Wahai Nabi! Apabila datang kepadamu para wanita Mukminah untuk berbaiat kepadamu bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun...” (QS. Al-Mumtahanah: 12)

Beliau membaca ayat ini sampai selesai. Lalu setelah selesai, beliau bersabda, “Apakah kalian semua siap berpegang teguh pada hal ini?” Maka ada seorang wanita saja yang menjawab (dan tidak diketahui siapa wanita itu), dia berkata, “Ya, wahai Nabi Allah!”

Lalu beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian!” Maka Bilal menggelar kainnya, lalu berkata, “Mari, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusan untuk kalian!” Maka para wanita pun mulai melemparkan cincin dan perhiasan ke kain Bilal.” (HR. Al-Bukhori no. 4895 dan Muslim no. 884)

Dari Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:

إنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قامَ يومَ الفِطرِ، فصلَّى، فبدأ بالصَّلاةِ قبل الخُطبةِ، ثم خطَبَ النَّاسَ، فلمَّا فرَغَ نبيُّ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم نزَلَ، وأتى النِّساءَ، فذَكَّرهُنَّ

“Nabi pada hari ‘Idul Fitri berdiri dan melaksanakan Sholat. Beliau memulai dengan Sholat terlebih dahulu sebelum khutbah. Setelah itu beliau menyampaikan khutbah kepada orang-orang. Lalu setelah selesai, beliau turun dan mendatangi para wanita, lalu mengingatkan mereka...” (HR. Al-Bukhori no. 961 dan Muslim no. 885)

Penjelasan dari kedua hadits tersebut:

Disimpulkan bahwa khutbah setelah Sholat ‘Id menunjukkan bahwa khutbah itu tidak wajib, karena diletakkan setelah Sholat, sehingga orang yang ingin meninggalkan khutbah bisa melakukannya. Hal ini berbeda dengan khutbah Jum’at yang wajib didengarkan sebelum Sholat. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/287)

Jumlah Khutbah

Disunnahkan untuk menyampaikan dua khutbah pada Sholat ‘Id, dan hal ini disepakati oleh empat madz-hab fiqih: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Bahkan, telah dinukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini. Dalilnya adalah qiyas (analogi) dengan khutbah Jum’at, dan juga karena dua khutbah ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi .

Ibnu Hazm (456 H) berkata: “Jika imam telah salam (selesai dari Sholat), maka ia berdiri dan menyampaikan dua khutbah kepada orang-orang, dan ia duduk di antara keduanya dengan satu duduk. Bila ia telah menyempurnakan keduanya, maka orang-orang pun bubar. Jika ia berkhutbah sebelum Sholat, maka itu bukan khutbah, dan tidak wajib didengarkan. Semua ini tidak ada perbedaan pendapat, kecuali pada beberapa rincian yang akan kami sebutkan – insya Allah Ta’ala.” (Al-Muhalla, Ibnu Hazm, 5/82)

Imam Asy-Syafi’i (204 H) berkata: “Diriwayatkan dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata: ‘Sunnahnya adalah imam menyampaikan dua khutbah pada kedua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha), dan ia memisahkan antara keduanya dengan duduk.’”

Asy-Syafi’i melanjutkan “Begitu pula khutbah Istisqa (minta hujan), khutbah gerhana, khutbah Haji, dan setiap khutbah yang dihadiri oleh jamaah.” (Al-Umm, Asy-Syafi’i, 1/272)

An-Nawawi (676 H) berkata: “Tidak ada riwayat yang shohih terkait pengulangan khutbah (dalam ‘Id), dan yang dijadikan pegangan dalam hal ini adalah qiyas terhadap khutbah Jum’at.” (Khulashoh Al-Ahkam, 2/838)

Sunnah dalam Khutbah

Disunnahkan memberi pengajaran dan nasihat di Hari ‘Id. Para Ulama dari empat madz-hab fiqih: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah – sepakat bahwa disunnahkan bagi khotib untuk mengajarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan Hari ‘Id kepada kaum Muslimin. Di dalam khutbahnya, ia memberi mau’izhoh (nasihat), menganjurkan mereka untuk bertakwa, menyuruh bersedekah, dan khusus pada ‘Idul Adha – menyampaikan hukum-hukum terkait Udhhiyah (hewan sembelihan). Dalil-dalil yang menunjukkan hal ini:

Pertama: Dari Sunnah Nabi

Dari Jabir Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ يَوْمَ العِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الخُطْبَةِ، بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ، فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ، وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ، وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ

“Aku ikut Sholat ‘Id bersama Rosulullah , beliau memulai dengan Sholat sebelum khutbah tanpa adzan dan tanpa iqomah. Lalu beliau berdiri bersandar pada Bilal, memerintahkan takwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya, menasihati manusia dan mengingatkan mereka, kemudian beliau pergi menuju kaum wanita, lalu menasihati mereka dan mengingatkan mereka.” (HR. Al-Bukhori no. 978 dan Muslim no. 885)

Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata:

خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى، فَصَلَّى، ثُمَّ خَطَبَ، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ، فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ

“Aku keluar bersama Nabi pada Hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha. Lalu beliau Sholat, kemudian berkhutbah, lalu mendatangi kaum wanita, lalu menasihati mereka dan mengingatkan mereka, serta memerintahkan mereka untuk bersedekah.” (HR. Al-Bukhori no. 975 dan Muslim no. 884)

Dari Al-Barro’ Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Aku mendengar Nabi berkhutbah lalu bersabda:

«إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا»

‘Sesungguhnya yang pertama kali kita lakukan pada hari ini adalah kita Sholat terlebih dahulu, kemudian kita pulang dan menyembelih (udhiyyah). Maka siapa yang melakukan hal tersebut, sungguh ia telah menepati Sunnah kami.’” (HR. Al-Bukhori no. 951 dan Muslim no. 1961) 

Kedua: Di antara tujuan disyariatkannya khutbah ‘Id adalah untuk mengajarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan waktu tersebut. (Al-Bahrur Rooiq, Ibnu Nujaim, 2/176)

Ini mencakup:

1. Anjuran bersedekah pada ‘Idul Fithri.
2. Penjelasan hukum udhhiyah pada ‘Idul Adha.
3. Perintah bertakwa dan ketaatan.
4. Peringatan dan nasehat untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk wanita.

Pembuka Khutbah

Tidak dianjurkan membuka khutbah ‘Id dengan takbir, tetapi dengan hamdalah.

Dalam tata cara khutbah ‘Id, tidak disunnahkan untuk membuka khutbah dengan takbir. Sebaliknya, khutbah hari raya dibuka dengan ucapan hamdalah (memuji Allah) sebagaimana khutbah-khutbah lain pada umumnya. Pendapat ini dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, juga merupakan pilihan para ulama besar seperti Ibnu Taimiyah (728 H), Ibnu Qoyyim (751 H), Ibnu Rojab, dan Ibnu Baz (1420 H).

Alasan Utama:

Tidak ada dalil shohih dari Nabi yang menunjukkan beliau membuka khutbah ‘Id dengan takbir.

Pembukaan khutbah dengan hamdalah adalah adab umum dan kebiasaan khutbah Nabi , baik khutbah Jumat maupun khutbah lain.

Penjelasan Fuqoha

Imam An-Nawawi (676 H) menjelaskan bahwa sebagian besar ulama Syafi’iyah dan sahabat mereka berpendapat bahwa takbir bukan bagian dari khutbah itu sendiri, melainkan hanya pendahuluan sebelum khutbah dimulai. Oleh karena itu, pembukaan khutbah tetap dengan hamdalah, dan takbir itu dianggap sebagai bagian dari persiapan khutbah, bukan bagian pembukaan khutbah. (Al-Majmu, 2/74)

Ibnu Rojab menyatakan bahwa para tokoh Syafi’iyah sepakat bahwa seluruh khutbah dibuka dengan hamdalah tanpa perbedaan, dan takbir pada hari ‘Id dilakukan sebelum khutbah, bukan bagian dari khutbah itu sendiri. Ibnu Rojab juga menyebutkan bahwa Imam Ahmad berpendapat takbir dilakukan saat imam duduk di mimbar, bukan saat khutbah dimulai, dan khutbah tetap dibuka dengan hamdalah. (Fathul Bari, 5/485)

Ibnu Taimiyah (728 H) menegaskan bahwa khutbah Jumat dan khutbah lain pada umumnya dibuka dengan hamdalah berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama. Untuk khutbah ‘Id dan khutbah Istisqa’, terdapat perbedaan pendapat, namun tidak ada satu pun yang meriwayatkan bahwa Nabi membuka khutbah ‘Id dengan selain hamdalah. (Majmu Fatawa, 22/393)

Ibnu Qoyyim (751 H) menyatakan bahwa beliau tidak pernah menemukan satu hadits pun yang menunjukkan Nabi membuka khutbah ‘Id dengan takbir, dan pendapat yang benar adalah membuka khutbah dengan hamdalah. (Zadul Ma'ad, 1/447)

Ibnu Baz (1420 H) mengingatkan bahwa khutbah ‘Id dua kali seperti khutbah Jumat, dan sunnahnya membuka khutbah dengan hamdalah, memuji Allah, bersholawat kepada Nabi , dan mengucapkan syahadat, baru kemudian menyampaikan nasehat dan pengingat. (Fatawa Nur alad Darb, 13/362)

Riwayat Abu Musa Al-Asy’ari yang membuka khutbah ‘Id dengan hamdalah baru kemudian takbir setelahnya dianggap paling kuat dan paling mendekati sunnah. (Fathul Bari, 5/485)

Ulama lain seperti Asy-Syaukani dan para ahli fiqih juga mendukung pandangan ini.

Kesimpulan

Khutbah ‘Id hendaknya dibuka dengan hamdalah dan pujian kepada Allah, sebagaimana khutbah lainnya.

Takbir dilakukan sebelum khutbah dimulai, saat imam duduk di mimbar, sebagai pengantar dan penyambut hari raya, bukan bagian dari khutbah itu sendiri.

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dan pilihan para mujtahid besar seperti Ibnu Taimiyah dan murid-murid beliau.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url