Syi'ah Mengkafirkan Para Shahabat Mulia
Syi'ah Mengkafirkan Para Shahabat Mulia
Cara termudah
yang ditempuh Syi’ah untuk membatalkan agama Islam adalah dengan menuduh bahwa
para Shahabat telah khianat dan kafir, sehingga periwayatan mereka tertolak
dengan sendirinya. Maka, jangan heran bila nanti disebutkan bahwa kaum Syi’ah
tidak mengakui Al-Qur`an kita, tata cara ibadah kita, ulama-ulama kita,
kitab-kitab ulama kita, beserta aqidah, tauhid, ibadah, muamalah, fiqih, akhlaq,
tazkiyatun nufus, dan cara beragama kita, karena semua yang ada pada kita Ahlus
Sunnah diambil dari para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum, sementara mereka
telah dibatalkan oleh Syi’ah. Benarlah apa yang dikatakan guru utama Imam
Muslim, Abu Zur’ah Ar-Razi
(w. 264 H):
«إِذَا
رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيقٌ، وَذَلِكَ أَنَّ الرَّسُولَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ عِنْدَنَا حَقٌّ وَالْقُرْآنَ حَقٌّ، وَإِنَّمَا
أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَّ، وَإِنَّمَا يُرِيدُونَ أَنْ يُجَرِّحُوا شُهُودَنَا
لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَى وَهُمْ
زَنَادِقَةٌ»
“Jika kamu
melihat seseorang yang merendahkan seorang dari para Shahabat Rasulullah ﷺ, maka ketahuilah bahwa dia zindiq (munafiq dan musuh Islam).
Demikian itu karena Rasulullah ﷺ menurut kita adalah haq dan Al-Qur`an adalah haq, sementara
yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`an ini dan hadits-hadits adalah para Shahabat
Rasulullah ﷺ. Yang mereka
inginkan adalah mencela para saksi kita untuk membatalkan Al-Kitab dan As-Sunnah,
padahal celaan untuk mereka lebih layak dan mereka adalah kaum zindiq.”[1]
Diriwayatkan
secara dusta dari Ja’far[2]
(imam ke-6 Syi’ah) berkata:
كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِلاَّ ثَلاَثَةٌ، فَقُلْتُ: مَنِ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَادِ،
وَأَبُو ذَرٍّ الْغِفَارِي، وَسَلْمَانُ الْفَارِسِي
“Manusia
seluruhnya murtad sepeninggal Nabi ﷺ kecuali tiga orang.” Aku bertanya, “Siapa saja mereka bertiga
itu?” Dia menjawab, “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.”[3]
Telah disebutkan
alasan kebencian Yahudi kepada ‘Umar bin Al-Khaththab di muka. Oleh karena
itu, di antara ajaran Syi’ah yang pokok adalah mengkhususkan cacian dan
pengkafiran kepada Syaikhan Abu Bakar dan ‘Umar, serta membuat banyak sekali
riwayat-riwayat dusta untuk mencaci keduanya.
Diriwayatkan
secara dusta bahwa pembantu ‘Ali bin Abi Thalib berkata kepadanya:
عَلَيْكَ حَقُّ الْخِدْمَةِ، فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ؟ فَقَالَ:
إِنَّهُمَا كَانَا كَافِرَيْنِ، الَّذِي يُحِبُّهُمَا فَهُوَ كَافِرٌ أَيْضاً
“Anda memiliki
hak pelayanan dariku, maka beritakan kepadaku tentang Abu Bakar dan ‘Umar?” Dia
menjawab, “Keduanya kafir dan kafir juga siapa yang mencintai keduanya.”[4]
Mereka memiliki
doa Shanama Quraisy (Dua Berhala Quraisy) yang selalu mereka panjatkan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَي قُرَيْشٍ
وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah
berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua
berhala Quraisy, dua Jibt-nya, dua Thaghut-nya, dan dua putrinya.”[5]
Kemudian
keyakinan Syi’ah melebar dengan mengkafirkan seluruh kaum Muslimin sehingga
halal darah mereka untuk ditumpahkan dan meyakini akan masuk Neraka dan kekal
selama-lamanya.
Ash-Shaduq meriwayatkan yang disandarkan
kepada Dawud bin Farqad bahwa dia berkata:
قُلْتُ لِأَبِي
عَبْدِاللهِ: مَا تَقُوْلُ فِي النَّاصِبِ؟ قَالَ: حَلاَلُ الدَّمِ لِكَي أَتَّقِي
عَلَيْكَ، فَإِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُقَلِّبَ عَلَيْهِ حَائِطاً أَوْ تُغْرِقَهُ فِي
بَحْرٍ لِكَي لاَ يَشْهَدُ بِهِ عَلَيْكَ فَافْعَلْ. قُلْتُ: فَمَا تَرَى فِي مَالِهِ؟
قَالَ: خُذْهُ مَا قَدَرْتَ
“Aku bertanya kepada Abu Abdillah,
‘Apa pendapatmu tentang Nawasib[6]?’
Dia menjawab, ‘Halal darahnya tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu. Jika
kamu mampu merobohkan dinding agar menimpanya atau menenggelamkannya di laut
sehingga tidak ada yang melihat perbuatanmu, maka lakukanlah.’ Aku bertanya,
‘Bagaimana dengan hartanya?’ Dia menjawab, ‘Ambil semampumu.’”[7]
Diriwayatkan secara dusta dari Abu Abdillah:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيُحِبَّكُمْ وَمَا يَدْرِي مَا
تَقُولُونَ فَيُدْخِلُهُ اللهُ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُبْغِضَكُمْ وَمَا
يَدْرِي مَا تَقُولُونَ فَيُدْخِلُهُ اللهُ النَّارَ
“Ada seseorang yang benar-benar
mencintai kalian (orang Syi’ah) dan ia tidak tahu apa yang kalian katakan, lalu
Allah memasukkannya ke Surga. Dan ada seseorang yang benar-benar membenci
kalian dan tidak tahu apa yang kalian katakan, lalu Allah memasukkannya ke Neraka.”
Setelah membawakan riwayat ini, Imam
mereka Al-Majlisi menjelaskan:
وَاْلحَاصِلُ أَنَّ الْمُخَالِفِينَ لَيْسُواْ مِنْ
أَهْلِ الْجِنَانِ، وَلاَ مِنْ أَهْلِ الْمَنْزِلَةِ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ
وَهِيَ الْأَعْرَافِ، بَلْ هُمْ مُخَلَّدُوْنَ فِي النَّارِ
“Kesimpulannya bahwa mukhalifin
(orang-orang yang menyelisihi Syi’ah yakni Ahlus Sunnah atau kaum Muslimin)
bukan termasuk penduduk Surga dan tidak pula penduduk antara Surga dan Neraka yang disebut Al-A’raf, bahkan mereka kekal di Neraka.”[8]
Keyakinan Ahlus Sunnah
Para Shahabat
adalah umat terbaik sepeninggal Rasulullah ﷺ, dan manusia terbaik dari mereka adalah Abu Bakar dan ‘Umar menurut
kesepakatan ulama.
Sebab, mereka semua adalah orang-orang yang diridhai Allah, meliputi keyakinan
mereka, ucapan mereka, dan perbuatan mereka. Allah berfirman:
«لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ»
“Sungguh Allah telah ridha
terhadap orang-orang mu`min, yaitu ketika mereka berbaiat kepadamu di bawah
pohon.”[9]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir (w. 767 H) berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia telah meridhai
orang-orang beriman (para Shahabat)
yang berbaiat kepada Rasulullah ﷺ di bawah sebuah pohon. Telah dijelaskan dalam pembahasan lalu
jumlah mereka, yaitu 1400 Shahabat dan pohon itu bernama Samurah di
Hudaibiyyah.”[10]
«وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ»
“Dan orang-orang
yang bersegera dan pertama-tama (masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar serta
siapa saja yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha terhadap mereka dan
mereka pun ridha terhadap Allah, dan Dia menyediakan untuk mereka Surga-Surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah
keberuntungan yang besar.”[11]
Bahkan Allah
menjadikan kesesatan dan Neraka bagi siapa yang tidak mau mengikuti jalan para Shahabat
Radhiyallahu ‘Anhum dalam beragama. Allah berfirman:
«وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا»
“Dan barangsiapa yang menentang
Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti bukan jalan orang-orang
beriman (para Shahabat), maka Kami palingkan ia ke mana ia berpaling (biarkan
tersesat) dan Kami masukkan ia ke Neraka Jahannam, dan itulah seburuk-buruk
tempat kembali.”[12]
Nabi ﷺ bersabda,
«لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ
مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ»
“Janganlah kalian
mencela Shahabat-Shahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian bersedekah
emas sepenuh gunung Uhud, tentu tidak bisa menyamai sedekah satu mud mereka dan
tidak pula setengahnya.” [13]
«آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ»
“Tanda keimanan adalah mencintai
orang-orang Anshar dan tanda kemunafiqan adalah membenci orang-orang Anshar.”[14]
Al-Hafizh Ibnul Jauzi (w. 597 H) meriwayatkan
dengan sanadnya yang sampai kepada Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:
«إِنَّ اللهَ اخْتَارَنِي وَاخْتَارَ لِي
أَصْحَابًا فَجَعَلَ لِي مِنْهُمْ وُزَرَاءَ وَأَنْصَارًا وَأَصْهَارًا، فَمَنْ سَبَّهُمْ
فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ
مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً»
“Sesungguhnya Allah memilihku dan
memilihkan para Shahabat untukku, lalu dari mereka Dia jadikan para pembela,
penolong, dan besan-besan. Maka, barangsiapa yang mencaci mereka maka dia
mendapatkan laknat Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh manusia. Allah tidak
akan menerima dari mereka pada hari Kiamat ‘keterpalingan’ dan ‘keadilannya’.”[15]
Imam Abu Hanifah
(w. 150 H) berkata:
«وَلاَ
نَذْكُرُ أَحَدًا مِنْ صَحَابَةِ رَسُولِ اللهِ إِلاَّ بِخَيْرٍ»
“Kami tidak
menyebut seorang pun dari Shahabat Rasulullah ﷺ kecuali dengan kebaikan.”[16]
Imam Malik bin
Anas (w. 179 H) berkata:
«مَنْ
تَنَقَّصَ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْ كَانَ فِي قَلْبِهِ عَلَيْهِمْ غِلٌّ، فَلَيْسَ لَهُ حَقٌّ فِي فَيْءِ الْمُسْلِمِينَ،
-ثُمَّ تَلاَ قَوْلَهُ تَعَالىَ-: «وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا
الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ
آمَنُوا» فَمَنْ تنَقَّصَهُمْ أَوْ كَانَ فِي قَلْبِهِ عَلَيْهِمْ غِلٌّ، فَلَيْسَ
لَهُ فِي الْفَيْءِ حَقٌّ»
“Barangsiapa yang merendahkan seorang dari Shahabat
Rasulullah ﷺ atau di dalam
hatinya ada kebencian kepada mereka, maka dia tidak mendapatkan fai (rampasan
perang) sedikitpun (alias bukan Muslimin).” Kemudian beliau membaca, “Dan
orang-orang yang setelah mereka berdoa, ‘Ya Allah ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang mendahului kami beriman, dan janganlah Engkau jadikan
kebencian di dalam hati-hati kami.’’ “Maka, barangsiapa yang merendahkan mereka
atau di dalam hatinya ada kebencian, maka dirinya tidak berhak dilindungi (atau
tidak mendapatkan fai).”[17]
Imam Asy-Syafi’i
(w. 204 H) berkata:
«أَفْضَلُ
النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ
عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ»
“Manusia paling
utama setelah Rasulullah ﷺ adalah Abu
Bakar, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhum.”[18]
Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H) berkata:
«وَمِنَ
السُّنَّةِ ذِكْرُ مَحَاسِنِ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُلِّهِمْ أَجْمَعِينَ، وَالْكَفُّ عَنْ ذِكْرِ مَسَاوِئِهِمْ وَالْخِلاَفِ
الَّذِي شَجَرَ بَيْنَهُمْ،
فَمَنْ سَبَّ
أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أَحَدًا مِنْهُمْ فَهُوَ
مُبْتَدِعٌ رَافِضِيٌّ خَبِيْثٌ مُجَلِّفٌ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ صَرْفًا وَلاَ
عَدْلاً، بَلْ حُبُّهُمْ سُنَّةٌ، وَالدُّعَاءُ لَهُمْ قُرْبَةٌ، وَالْإِقْتِدَاءُ
بِهِمْ وَسِيلَةٌ، وَالْأَخْذُ بِآثَارِهِمْ فَضِيلَةٌ»
“Dan termasuk
sunnah adalah menyebut kebaikan-kebaikan Shahabat Rasulullah ﷺ seluruhnya, dan menahan diri dari menyebut keburukan-keburukan
mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka.
Barangsiapa
mencaci Shahabat-Shahabat Rasulullah ﷺ atau seorang dari mereka, maka dia adalah ahli bid’ah Rafidhi
yang buruk dan jahat yang Allah tidak menerima darinya ibadah sunnah dan ibadah
wajibnya. Namun, mencintai mereka adalah aqidah, mendoakan mereka adalah qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah), meneladani mereka adalah wasilah, dan
mengambil jejak mereka adalah keutamaan.”[19]
Para ulama telah
sepakat bahwa siapa yang mencaci para Shahabat kafir, tetapi mereka berselisih
tentang orang yang mencaci kepribadian individu bukan agamanya, seperti
mengatakan penakut atau tidak pandai
berkelahi dengan niat mencela. Sebagian mengkafirkannya dan sebagian menilainya
dosa besar dan wajib dihukum.
Adapun keyakinan
Ahlus Sunnah terhadap kaum Muslimin, bahwa jiwa dan harta mereka terjaga tidak
boleh ditumpahkan, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
«أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُواْ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُواْ الصَّلاةَ
وَيُؤْتُواْ الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُواْ ذَلِكَ عَصَمُواْ مِنِّي دِمَاءَهَمْ
وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى»
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
hingga mereka bersyahadat lâ ilâha illâllâh dan muhammadur rasûlûllâh,
menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melaksanakan hal tersebut,
maka mereka telah memelihara harta dan darah mereka dariku kecuali dengan hak Islam, dan hisab
mereka diserahkan kepada Allah Ta’ala.” [20]
«أَيُّمَا
رَجُلٍ قَالَ لأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ! فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا»
“Lelaki mana
saja yang mengucapkan kepada saudaranya, ‘Wahai kafir!’ maka salah satu dari
keduanya akan pulang dengan membawa vonis tersebut.” [21]
Ahlus Sunnah (Sunni/kaum Muslimin) adalah 1/2 penduduk Surga,
bahkan dalam riwayat lain mencapai 2/3.
Sehingga mustahil kebanyakan mereka penduduk Neraka sebagaimana keyakinan
Syi’ah.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘Anhu, dia bercerita:
«كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فِي قُبَّةٍ، فَقَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ
تَكُونُوا رُبُعَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا ثُلُثَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «أَتَرْضَوْنَ أَنْ تَكُونُوا شَطْرَ أَهْلِ الجَنَّةِ؟» قُلْنَا: نَعَمْ،
قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ تَكُونُوا
نِصْفَ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَذَلِكَ أَنَّ الجَنَّةَ لاَ يَدْخُلُهَا إِلاَّ نَفْسٌ
مُسْلِمَةٌ، وَمَا أَنْتُمْ فِي أَهْلِ الشِّرْكِ إِلاَّ كَالشَّعْرَةِ
البَيْضَاءِ فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَسْوَدِ، أَوْ كَالشَّعْرَةِ السَّوْدَاءِ
فِي جِلْدِ الثَّوْرِ الأَحْمَرِ»»
“Kami (para Shahabat) bersama Nabi ﷺ di Kubah lalu beliau bersabda, ‘Apakah
kalian ridha jika kalian menjadi 1/4
penduduk Surga?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Apakah kalian ridha
jika kalian menjadi 1/3
penduduk Surga?’ Kami menjawab, ‘Ya.’Beliau bersabda, ‘Apakah kalian ridha jika
kalian menjadi 1/2 penduduk Surga?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Demi
jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh aku benar-benar berharap bahwa
kalian menjadi 1/2 penduduk Surga karena Surga tidak dimasuki kecuali oleh jiwa
yang muslim. Tidaklah kalian dibanding ahli kesyirikan melainkan seperti rambut
putih di kulit banteng hitam, atau seperti rambut hitam di kulit banteng merah.”[22]
Dalam riwayat lain:
«فَإِنَّ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُلُثَا أَهْلِ الْجَنَّةِ،
إِنَّ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِشْرُونَ وَمِائَةُ صَفٍّ، وَإِنَّ أُمَّتِي
مِنْ ذَلِكَ ثَمَانُونَ صَفًّا»
“Sesungguhnya umatku pada hari Kiamat
adalah 2/3 penduduk Surga. Sesungguhnya manusia pada hari Kiamat berjumlah 120
shaf, dan sesungguhnya umatku 80 shaf dari jumlah tersebut.”[23][]
[1] Al-Kifâyah fi ‘Ilmir Riwâyah
(hal. 49) oleh Al-Khathib Al-Baghdadi.
[2] Yaitu Abu Abdillah
Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Husain
bin ‘Ali bin Abi Thalib. Seorang Ahlul Bait yang shalih dan berilmu serta ahli
ibadah. Beliau dan Ahlul Bait lainnya berlepas diri dari Syi’ah sebagaimana
pembahasan khusus nanti, insya Allah.
[3] Ushûlul Kâfi (hal. 115) oleh Al-Kulaini.
[4] Bihârul Anwâr (69/137) oleh Al-Majlisi.
[5] Miftâhul Jinân (hal. 114) oleh Al-Qummi. Yang dimaksud adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Aisyah
binti Abu Bakar, dan Hafshah binti ‘Umar. Doa ini potongan dari doa yang
panjang sekali di kitab tersebut.
[6] Menurut mereka,
Ahlus Sunnah dan selain Syi’ah disebut Nawasib karena menentang ‘Ali bin Abi
Thalib, dan ini adalah sebesar-besar kedustaan.
Bahkan, Ahlus Sunnah adalah yang terdepan dalam memuliakan dan setia kepada
‘Ali bin Abi Thalib dan seluruh Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
[7] Al-Mahâsin An-Nafsiyyah
(hal. 166).
[8] Bihârul Anwâr
(VIII/360-361) oleh Al-Majlisi.
[9] QS. Al-Fath [48]: 18.
[10] Tafsîr Ibnu Katsîr (VII/339).
[11] QS. At-Taubah [9]: 100.
[12] QS. An-Nisâ` [4]: 114.
[13] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no.
3673), Muslim (no. 2541), At-Tirmidzi (no. 3861), Abu Dawud (no. 4658), Ahmad
(no. 11079) dalam Musnadnya, Ibnu Hibban (no. 6994) dalam Shahihnya,
Ath-Thabarani (no. 982) dalam Al-Mu’jam As-Shaghîr dan (no. 6567) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu.
[14] Muttafaqun ‘Alaih: HR. Al-Bukhari
(no. 17),
Muslim (no. 74), An-Nasa`i (no. 5019), dan Ahmad (no. 12316) dalam Musnadnya
dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu.
[15] Talbîsul Iblîs
(hal. 90) oleh Ibnul Jauzi dan menjelaskan bahwa maksud ‘keterpalingannya’
adalah ibadah-ibadah sunnah dan ‘keadilannya’ adalah ibadah-ibadah wajib.
[16] Al-Fiqhul Akbar (hal. 43) oleh
Abu Hanifah.
[17] Hilyatul Auliyâ` (VI/327) oleh
Abu Nu’aim Al-Ashbahani.
[18] Hilyatul Auliyâ` (IX/114) oleh
Abu Nu’aim, Ma’rifatus Sunan wal Atsâr (no. 351, I/ 192) dan Manâqib Asy-Syâfi’î (I/433) oleh Al-Baihaqi, Târîkh Dimasyq (51/316) oleh Ibnu
‘Asakir.
[19] Lihat Kitâb As-Sunnah (hal. 77-78) oleh Imam Ahmad.
[20] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 25), Muslim (no. 22),
Ibnu Hibban (no. 175) dalam Shahihnya, Ath-Thabarani (no. 8510) dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath, dan ad-Daruquthni (no. 898) dalam Sunannya dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
[21] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6104) dan Muslim (no. 60),
At-Tirmidzi (no. 2637), Abu Dawud (no. 4687), Ahmad (no. 4687), dan Ibnu Hibban
(no. 249) dalam Shahihnya dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
[22] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 6528), Muslim (no. 221), At-Tirmidzi (no.
2547), Ibnu Majah (no. 4283), Ahmad (no. 3661), dan Ibnu Hibban (no. 7245)
dalam Shahihnya.
[23] HR. Ibnu Abi
Syaibah (no. 31712, VI/315) dalam Mushannafnya. Dari Asy-Sya’bi dengan
sighah, “Aku mendengarnya berkata, ‘Nabi ﷺ
bersabda.’”