Syi’ah Merendahkan Allah, Rasul-Nya, dan Malaikat-Nya
Syi’ah Merendahkan Allah, Rasul-Nya, dan Malaikat-Nya
Keterlaluan
mereka ini, mau tidak mau harus mereka lakukan demi mengunggulkan para imam
mereka. Maka, jika Anda perhatikan akan tampak pelecehan dan perendahan mereka
kepada Allah, Rasul-Nya, dan para malaikat-Nya untuk tujuan pengkultusan para
imam mereka.
a.
Sifat Bada` bagi Allah
Ajaran Syi’ah
sampai pada batas merendahkan Allah,
yaitu dengan menyematkan sifat Bada` bagi Allah. Bada` artinya Allah tidak
mengetahui hakekat sesuatu kecuali setelah terjadi.
Diriwayatkan secara dusta dari Ar-Ridha (imam ke-8 Syi’ah) berkata:
مَا بَعَثَ
اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ الْخَمْرِ وَأَنْ يَقِرَّ لِلّهِ الْبَدَاءَ
“Allah tidak
mengutus seorang Nabi pun melainkan dengan pelarangan khamer dan menetapkan
untuk Allah sifat Bada`.”[1]
Mereka mengambil bukti bahwa Allah
terkadang menghapus hukum dalam Al-Qur`an. Juga diperkuat bahwa salah satu imam
mereka berwasiat bahwa sepeninggalnya akan digantikan oleh anaknya, ternyata
anaknya meninggal duluan. Untuk itu mereka menyematkan sifat Bada` bagi Allah.
Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan.
b.
Mengkultuskan Imam 12 Syi’ah
Mereka
mengangkat imam mereka sejajar dengan Allah dalam kekuasaan seperti mematikan,
menghidupkan, mengetahui yang ghaib, dan masuk Surga atau Neraka atas izin
mereka.
Diriwayatkan
secara dusta bahwa Abu Abdillah berkata:
إِنِّي لَأَعْلَمُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، وَأَعْلَمُ مَا فِي الْجَنَّةِ، وَأَعْلَمُ
مَا فِي النَّارِ، وَأَعْلَمُ مَا كَانَ وَمَا يَكُوْنَ
“Sungguh aku
benar-benar mengetahui apa yang di langit-langit dan apa yang di bumi, dan aku
mengetahui apa yang di dalam Surga dan apa yang di dalam Neraka, dan aku
mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi.”[2]
Darinya, dia
berkata:
إِنَّ الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةَ لِلْإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ وَيَدْفَعُهَا إِلَى مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya
dunia dan akhirat milik
imam. Dia meletakkannya menurut kehendaknya dan memberikannya kepada siapa yang
dikehendakinya.”[3]
c. Melebihkan Imam Mereka dari Rasulullah ﷺ
dan Para Malaikat
Diriwayatkan
secara dusta bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ الْجَنَّةَ خُلِقَتْ لِمَنْ أَحَبَّ عَلِيًّا وَإِنْ عَصَى الرَّسُولَ،
وَخُلِقَتِ النَّارُ لِمَنْ أَبْغَضَ عَلِيًّا وَإِنْ أطَاعَ الرَّسُولَ
“Sungguh
Neraka itu diciptakan untuk orang yang mencintai ‘Ali, sekalipun ia durhaka
kepada Rasulullah, dan Neraka diciptakan untuk orang yang membenci ’Ali, sekalipun
ia taat kepada Rasulullah.”[4]
Imam mereka Al-Khumaini Al-Halik berkata:
وَوَضَحَ بأَنَّ النَّبِيَّ لَوْ كَانَ قَدْ بَلَّغَ بِأَمْرِ الإِمَامَةِ
طَبَقاً لِمَا أَمَرَ بِهِ اللهُ وَبَذَّلَ الْمَسَاعِيَ فِي هَذَا المْجَالِ،
لَمَا نَشَبَتْ فِي الْبُلْدَانِ الإِسْلاَمِيَّةِ كُلُّ هَذِهِ الإِخْتِلاَفَاتِ
وَالمَشَاحِنَاتِ وَالمَعَارِكِ وَلَمَا ظَهَرَتْ ثَمَّةُ خِلاَفَاتٍ فِي أُصُولِ
الدِّيْنِ وَفُرُوعِهِ
“Dan
telah jelas bahwa sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan wasiat imamah sesuai
dengan apa yang Allah perintahkan dan bersungguh-sungguh menyampaikannya, tentu
tidak akan timbul di negeri-negeri Islam banyak perselisihan, permusuhan, dan
peperangan, serta tidak akan terjadi perbedaan dalam masalah pokok maupun cabangnya.”[5]
Al-‘Amili menjelaskan ucapan Al-Halik
ini, “Ucapan Al-Khumaini ini menunjukkan satu kesimpulan bahwa semua
perselisihan yang terjadi di antara kaum Muslimin sepanjang sejarah mereka
disebabkan oleh sikap ketidakseriusan Rasulullah ﷺ dalam menyampaikan dan tidak adanya
kesungguhan dalam menjelaskan hukum-hukum Allah kepada kaum Muslimin.”[6]
Al-Khumaini Al-Halik juga berprilaku
kurang ajar kepada para
malaikat dalam ucapannya:
إِنَّ مِنْ
ضَرُوْرَيَاتِ مَذْهَبِنَا أَنَّ لِأَئِمَّتِنَا مَقَاماً لاَ يَبْلُغُهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ
وَلاَ نَبِيٌّ مُرْسَلٌ
“Sesungguhnya di
antara prinsip keyakinan kami adalah para imam kami memiliki kedudukan yang
tidak bisa dicapai oleh malaikat yang didekatkan maupun Nabi yang diutus.”[7]
Mereka pun
menyadari bahwa Tuhan haruslah berkuasa mutlak, sementara mereka telah mencaci
dan merendahkan Allah, maka tidak ada pilihan bagi mereka kecuali mencari tuhan
lain tuhan khayalan versi mereka, yang mana tuhan itu tidak seperti Tuhan kita
Ahlus Sunnah.
Ulama rujukan Syi’ah Ni’matullah
Al-Jaza`iri berkata:
إِنَّا لاَ نَجْتَمِعُ مَعَهُمْ عَلَى إِلَهٍ
وَلاَ عَلَى نَبِيٍّ وَلاَ عَلَى إِمَامٍ، وَذَلِكَ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ أَنَّ رَبَّهُمْ
هُوَ الَّذِي كَانَ مُحَمَّدٌ نَبِيُّهُ وَخَلِيفَتُهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبُو بَكْرٍ.
وَنَحْنُ لاَ نَقُولُ بِهَذَا الرَّبِّ وَلاَ بِذَلِكَ النَّبِيِّ، بَلْ نَقُولُ:
إِنَّ الرَّبَّ الَّذِي خَلِيفَةُ نَبِيِّهِ أَبُو بَكْرٍ لَيْسَ رَبُّنُا وَلاَ ذَلِكَ
النَّبِيُّ نَبِيُّنَا
“Kami tidak sepakat dengan mereka
dalam tuhan, Nabi, dan imam. Karena mereka (Ahlus Sunnah) berkeyakinan bahwa
Tuhan mereka adalah yang Muhammad ﷺ Nabi-Nya dan khalifah sepeninggalnya
adalah Abu Bakar, maka kami tidak katakan tuhan itu dan Nabi itu (sebagai tuhan
dan Nabi kami). Tetapi kami katakan bahwa: Tuhan yang khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakar bukan tuhan kami dan
Nabi itu bukan Nabi kami.”[8]
d.
Keyakinan Ahlus Sunnah
Ahlus Sunnah
meyakini bahwa tidak ada yang mengetahui perkara ghaib, menciptakan,
menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, dan mengatur alam semesta kecuali
Allah semata, sebagai kesempurnaan ketuhanan-Nya. Siapa saja yang mengaku mengetahui
salah satu dari sifat tersebut, maka dia kafir dengan kesepakatan ulama.
Allah berfirman:
﴿قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ﴾
“Katakanlah, ‘Tidak ada yang mengetahui
perkara ghaib di langit-langit dan bumi kecuali Allah.”[9]
Manusia terbaik pun Muhammad
Rasulullah ﷺ
tidak tahu perkara ghaib, sebagaimana firman Allah:
﴿قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا
إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴾
“Katakanlah, ‘Aku tidak bisa memberikan
manfaat bagi diriku sendiri dan tidak pula mudharat kecuali apa yang Allah
kehendaki. Seandainya aku tahu yang ghaib tentulah aku banyak mendapat kebaikan
dan tidak akan tertimpa keburukan. Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
dan pemberi kabar gembira kepada orang-orang yang yakin.”[10]
Kalaupun Rasulullah mengetahui
perkara ghaib, itu hanyalah wahyu yang diwahyukan Allah sekehendak-Nya,
sebagaimana firman-Nya:
﴿قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ
أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا * عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ
أَحَدًا * إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ﴾
“Katakanlah (wahai Rasulullah), ‘Aku tidak
tahu apakah telah dekat apa yang telah dijanjikan kepada kalian ataukah Rabb-ku
mengulur waktunya. Yaitu Yang mengetahui yang ghaib yang tidak diperlihatkan
keghaiban-Nya kepada seorang pun, kecuali Rasul yang Dia ridhai.”[11]
Allah-lah semata yang menciptakan,
menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam semesta, dan satu-satunya pemberi
rezeki, berdasarkan firman-Nya:
﴿الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ
شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا﴾
“Yang kepunyaan-Nya kerajaan langit-langit dan
bumi, Dia tidak mengambil anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam
kerajaan-Nya, dan Dia menciptakan segala sesuatu lalu menentukan takdir-takdir
ciptaan-Nya.”[12]
﴿وَمَا مِنْ
دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا
وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ﴾
“Dan tidak ada dabbah (makhluk) di bumi
kecuali Allah yang menanggung rezekinya, dan Dia mengetahui tempat menetap dan
tempat menyimpannya. Semuanya ada di Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh).”[13]
Untuk itu, siapa saja yang mengaku
memiliki salah satu sifat tersebut bahkan
sekedar menyerupainya, Allah menyediakan baginya siksa yang pedih karena
seolah-olah dia hendak menyaingi Allah Rabbul ‘alamin.
Nabi ﷺ bersabda:
«إِنَّ
أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ»
“Sesungguhnya
manusia yang paling berat siksanya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah para
pelukis/pemahat.” [14]
Adapun Rasullullah Muhammad ﷺ dan Jibril ‘alaihissalam, adalah manusia
dan malaikat terbaik, menurut kesepakatan ulama berdasarkan dalil-dalil yang
banyak sekali.[]
[1] Ushûlul Kâfi (hal. 40) oleh Al-Kulaini.
[2] Ushûlul Kâfî (I/261) oleh Al-Kulaini.
[3] Ibid (I/409).
[4] Lihat Risâlatul Islâm wal Mu’jizah (hal. 276) oleh Mirza Muhammad
Hadi Al-Khurasani.
[5] Lihat Kasyful Asrâr (hal. 155) oleh Al-Khumaini.
[6] Lihat Al-Intishâr
(hal. 169) oleh Al-‘Amili.
[7] Al-Hukûmah Al-Islamiyyah (hal. 52) oleh
Al-Khumaini.
[8] Al-Anwâr
An-Nu’maniyyah (II/278) oleh Ni’matullah Al-Jaza`iri. Semoga Allah
mengabulkan.
[9] QS. Al-Naml [27]: 65.
[10] QS. Al-A’râf [7]:
188.
[11] A-Jîn [72]: 25-27.
[12] QS. Al-Furqân
[25]: 2.
[13] QS. Hûd [11]: 6.
[14] Muttafaqun
‘Alaih: HR. Al-Bukhari (no. 5950) dan Muslim (no. 2109),
An-Nasa`i (no. 5364), dan Ahmad (no. 3558),
dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.