Hukum Berkumpul dan Makan-Makan di Rumah Mayit

Hadits Jabir

Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Jarir bin Abdillah Al-Bajali, ia berkata:

«كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»

“Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayit dan menyediakan makanan termasuk niyahah.”

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah dengan dua jalur. Jalur pertama sesuai syarat Bukhori dan jalur kedua sesuai syarat Muslim. Demikian menurut Al-Haitsami dalam Majma Zawaid.

Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan tambahan “setelah dimakamkan”.

Hadits Jabir ini dishohihkan:

Zakariya Al-Anshori dalam Asnal Matholib, 2/357

An-Nawawi dalam Al-Majmu, 5/320

Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih, 1/241 dan ia berkata: “Sesuai syarat Bukhori Muslim.”

Al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3/435

Al-Bahuthi dalam Kasyyaful Qona, 2/149

Asy-Syaukani dalam Naiulul Author, 4/148

Ahmad Syakir dalam Al-Musnad, 11/126

Syuaib Al-Arnauth dalam Zadul Ma’ad, 1/509

Albani dalam Shohih Ibnu Majah no. 1318

Kesimpulannya, secara sanad hadits ini hujjah, tidak ada celah untuk dikritik, karena ia sesuai syarat Bukhori Muslim.

Makna Umum Hadits

Syariat mendorong untuk saling empati di antara Muslimin sesuai dengan cara yang diperintahkan syariat, tanpa melakukan larangan.

Dalam hadits ini, Jarir bin Abdillah Al-Bajari berkata: “Kami menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan menjamu makanan setelah mayit dikuburkan termasuk niyahah.”

Yakni, membuat makanan untuk menjamu para pentakziyah, karena hal ini terbalik dari petunjuk Nabi seperti hadits kematian Ja’far bin Abi Tholib, yang Nabi menyuruh orang-orang agar memberi makanan kepada keluarga Ja’far, karena mereka sedang disibukkan dengan prosesi kematian atau kesedihan. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga mayit hingga membebani mereka dengan makanan adalah berbalik dengan ini.

Sementara niyahah yang terlarang dalam syariat adalah tangisan atas mayit dengan suara atau pukulan dari keluarga mayit atas kehilangan. Termasuk niyahah adalah segala sesuatu yang menyebabkan berlanjutnya kesedihan atau ucapan yang mengandung ketidakrelaan atau marah atas takdir Allah. Semestinya Muslim menghindari hal ini, karena hal ini menyakiti mayit seperti yang disebutkan dalam hadits. Sunnah menjelaskan bahwa yang terbaik bagi Muslim mengucapkan:

إنَّا للهِ وإنَّا إليه راجعونَ، اللهمَّ أجُرْني في مُصيبتي، وأَخلِفْ لي خيرًا منها

“Sungguh kita milik Allah dan kita hanya kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala atas musibahku ini dan berilah untukku ganti yang lebih baik darinya.”

Adapun menangis karena sedih dan sayang tanpa memukul dan berteriak, maka tidak mengapa, dan bukan termasuk niyahah. Bukhori menyebutkan bahwa Nabi menangisi kematian putranya Ibrohim. (https://dorar.net/article/1863)

Makna Niyahah

As-Sindi berkata:

قَوْلُهُ: (كُنَّا نَرَى) هَذَا بِمَنْزِلَةِ رِوَايَةِ إِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَوْ تَقْرِيرِ النَّبِيِّ ـ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ وَعَلَى الثَّانِي فَحِكْمَةُ الرَّفْعِ عَلَى التَّقْدِيرَيْنِ فَهُوَ حُجَّةٌ

“Ucapan Jabir ‘kami memandang’, ini berkedudukan sebagai ijma (kesepakatan Sohabat) atau penetapan Nabi . Bagian kedua ini maka status atsar ini berhukum marfu (sampai ke Nabi ). Baik yang pertama maupun yang kedua, ia menjadi hujjah.” (Hasyiyah As-Sindi, 1/490)

(وَصَنْعَةَ) وَبِالْجُمْلَةِ فَهَذَا عَكْسُ الْوَارِدِ إِذِ الْوَارِدُ أَنْ يَصْنَعَ النَّاسُ الطَّعَامَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فَاجْتِمَاعُ النَّاسِ فِي بَيْتِهِمْ حَتَّى يَتَكَلَّفُوا لِأَجْلِهِمُ الطَّعَامَ قَلْبٌ لِذَلِكَ وَقَدْ ذَكَرَ كَثِيرٌ مِنَ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الضِّيَافَةَ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ قَلْبٌ لِلْمَعْقُولِ لِأَنَّ الضِّيَافَةَ حَقًّا أَنْ تَكُونَ لِلسُّرُورِ لَا لِلْحُزْنِ

Kesimpulannya, perbuatan memberi makanan ke tamu ini terbalik dari dalil yang ada, karena dalil yang ada justru semestinya masyarakat yang memberi makan kepada keluarga mayit. Maka berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit hingga membebani mereka dengan makanan adalah terbalik. Oleh karena itu, banyak fuqoha yang menyebutkan bahwa bertamu ke keluarga mayit adalah terbalik secara akal, karena bertamu yang benar adalah dalam rangka kegembiraan, bukan kesedihan. (Hasyiyah As-Sindi, 1/490)

Memberi Makan Kepada Tamu di Rumah Duka

Ibnu Qudamah Al-Hanbali (620 H) mengatakan:

فأمَّا صُنْعُ أهْلِ المَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ، فمَكْرُوهٌ؛ لأنَّ فيه زِيَادَةً على مُصِيبتِهم، وشُغْلًا لهم إلى شُغْلِهم، وتَشَبُّهًا بصَنِيعِ أهْلِ الجَاهِلِيَّةِ.

Adapun keluarga mayit menyuguhkan makanan untuk orang-orang (yang bertakziyah) adalah makruh, karena: (1) menambah musibah mereka, (2) menambah kesibukan mereka, (3) menyerupai perbuatan orang jahiliyyah.

Makruh menurut fuqoha adalah larangan yang tidak tegas. Jika ditinggalkan berpahala dan jika dilakukan tidak berdosa.

Sebagian ulama berpandangan harom, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Abdul Hakim bin Amir Abdat dan Syaikh Yazid bin Abdul Qodir Jawaz.

Allahu a’lam.

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url