Kemampuan Alloh

 

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:

* وقالوا: إن أحدا لا يستطيع أن يفعل شيئا قبل أن يفعله، أو أن يفعل شيئا علم الله أنه لا يفعله

Mereka berkata: Seseorang tidak mampu melakukan sesuatu sebelum ia melakukannya, atau melakukan sesuatu yang Alloh ketahui tidak akan ia lakukan.

Penjelasan:

Semoga Alloh merohmati penulis, beliau kurang teliti dalam menisbatkan perkataan ini kepada para Ahli Hadits Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sebab, ini adalah pendapat yang lemah dan tidak kuat. Madz-hab Ahli Sunnah dalam masalah kemampuan (istitho’ah) adalah apa yang ditegaskan oleh Imam Ath-Thohawi (sebagaimana dalam Syarh Ath-Thohawiyyah, hlm. 499), di mana beliau berkata:

والاستطاعة التي يجب بها الفعل، من نحو التوفيق الذي لا يوصف المخلوق به: تكون مع الفعل. وأما الاستطاعة من جهة الصحة والوسع والتمكين وسلامة الآلات فهي قبل الفعل وبها يتعلق الخطاب، وهو كما قال تعالى:

“Kemampuan (istithoah) yang menyebabkan suatu perbuatan pasti terjadi, adalah taufik (pertolongan Alloh) yang tidak bisa disematkan pada makhluk, ia muncul bersamaan dengan perbuatan (hamba) itu. Adapun kemampuan dari segi kesehatan, kelapangan, sarana, dan berfungsinya alat-alat, maka ia ada sebelum perbuatan, dan dengannyalah perintah syariat (khithob) berkaitan. Ini sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

‘Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.’(QS. Al-Baqoroh)

Maka, istitho’ah (kemampuan) ada dua jenis:

Pertama: Kemampuan dari segi kesehatan, kelapangan, sarana, dan berfungsinya alat-alat. Inilah yang menjadi landasan perintah dan larangan (beban syariat), dan inilah yang membuat suatu perbuatan bisa dilakukan. Kemampuan jenis ini tidak harus bersamaan dengan perbuatan, bahkan bisa ada sebelumnya. Kemampuan yang ada sebelum perbuatan ini bisa digunakan untuk melakukan dua hal yang berlawanan (misalnya taat atau maksiat). Contoh dari kemampuan ini adalah firman Alloh Ta’ala:

﴿وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“…mengerjakan Hajj adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitho’ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imron)

Kemampuan ini ada sebelum perbuatan (Hajj). Seandainya kemampuan itu baru ada bersamaan dengan perbuatan, niscaya Hajj tidak akan wajib kecuali bagi orang yang sudah ber-Hajj, dan tidak ada seorang pun yang berdosa karena meninggalkan Hajj, dan Hajj tidak akan wajib bagi siapa pun sebelum ia berihrom, bahkan sebelum selesai mengerjakannya. Contoh lainnya adalah firman-Nya:

﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertaqwalah kamu kepada Alloh menurut kesanggupanmu (mastatho’tum).” (QS. Ath-Thaghobun)

Alloh memerintahkan taqwa sesuai kadar kemampuan. Seandainya yang dimaksud adalah kemampuan yang bersamaan dengan perbuatan, niscaya tidak ada taqwa yang diwajibkan kepada seseorang kecuali apa yang telah ia lakukan saja, karena hanya itulah yang diiringi oleh kemampuan tersebut. Alloh juga berfirman:

﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (wus’un).” (QS. Al-Baqoroh)

Kata wus’un berarti sesuatu yang lapang baginya dan mampu dilakukannya. Seandainya yang dimaksud adalah kemampuan yang bersamaan (dengan perbuatan), maka tidak ada yang dibebankan kepada seseorang kecuali perbuatan yang ia kerjakan saja, bukan kewajiban-kewajiban yang ia tinggalkan, dan masih banyak dalil lainnya.

Kemampuan jenis inilah yang menjadi landasan perintah, larangan, pahala, dan hukuman. Kemampuan inilah yang dibicarakan oleh para fuqoha (ahli fiqih) dan yang paling umum dipahami oleh masyarakat.

Kedua: Kemampuan yang jika ada, maka perbuatan itu pasti terjadi. Inilah kemampuan yang bersamaan dengan perbuatan dan mengharuskannya terjadi. Contohnya adalah firman Alloh Ta’ala:

﴿مَا كَانُوا يَسْتَطِيعُونَ السَّمْعَ وَمَا كَانُوا يُبْصِرُونَ

“Mereka tidak sanggup (yastathi’un) mendengar...” (QS. At-Taubah)

Juga firman-Nya:

﴿وَعَرَضْنَا جَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ لِلْكَافِرِينَ عَرْضًا - الَّذِينَ كَانَتْ أَعْيُنُهُمْ فِي غِطَاءٍ عَنْ ذِكْرِي وَكَانُوا لَا يَسْتَطِيعُونَ سَمْعًا

“Kami perlihatkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas - yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan mereka tidak sanggup (isthitho’ah) mendengar.” (QS. Al-Kahfi)

Yang dimaksud dengan “tidak sanggup” di sini adalah karena berat dan sulitnya hal itu bagi jiwa mereka, sehingga jiwa mereka tidak mampu untuk menghendakinya, meskipun mereka sebenarnya mampu melakukannya jika mereka mau. Ini adalah keadaan orang yang dihalangi oleh hawa nafsunya atau pandangan rusaknya dari mendengarkan dan mengikuti kitab-kitab Alloh yang diturunkan. Alloh mengabarkan bahwa ia tidak sanggup melakukan itu. Kemampuan inilah yang bersamaan dengan perbuatan dan mengharuskannya terjadi. Kemampuan ini adalah istitho’ah kauniyyah (kemampuan kosmis) yang menjadi landasan qodho’ dan qodar, dan dengannyalah suatu perbuatan terwujud. (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa 8/372-373, Dar’u Ta’arudh Al-’Aql wan Naql 1/61, dan Syarh Al-’Aqidah Ath-Thohawiyyah 499-503)

Kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah menyelisihi Ahli Sunnah. Adapun Jahmiyyah, mereka berkata: “Hamba tidak memiliki kemampuan apa pun, baik sebelum maupun bersamaan dengan perbuatan (ini mirip Jabariyyah).” (Lihat: Al-Milal wan Nihal 1/85, Al-Farq bainal Firaq hlm. 211)

Adapun Mu’tazilah, mereka berkata: “Sungguh Alloh Ta’ala telah memberikan manusia kemampuan. Kemampuan ini ada sebelum perbuatan, dan ia adalah kapasitas untuk melakukan sesuatu dan lawannya, dan ia tidak mengharuskan perbuatan itu terjadi.” (Lihat: Maqolat Al-Islamiyyin 1/300, Al-Farq bainal Firaq hlm. 116, Syarh Al-Ushul Al-Khomsah hlm. 398)

Adapun Asy’ariyyah, mereka berkata: “Kemampuan itu bersamaan dengan perbuatan, tidak boleh mendahuluinya dan tidak boleh pula setelahnya. Apa yang dilakukan manusia adalah kasb (usaha) baginya.” (Lihat: Al-Irsyad hlm. 219, Al-Inshof hlm. 46, Syarh Al-’Aqidah Ath-Thohawiyyah 499-504)

Ringkasan:

Ahli Sunnah menetapkan adanya kemampuan bagi hamba dalam arti kelapangan, kapasitas, dan berfungsinya alat-alat. Kemampuan ini bisa mendahului atau bersamaan dengan perbuatan, dan tidak serta merta mewajibkan terjadinya perbuatan, namun perintah syariat terkait dengannya. Adapun kemampuan yang mewajibkan terjadinya perbuatan, yaitu yang bermakna taufik, maka ini adalah dengan kehendak Alloh Ta’ala semata dan ia bersamaan dengan perbuatan.

Diskusi:

S1: Jelaskan madz-hab Ahli Sunnah dalam masalah kemampuan (istitho’ah) hamba!

S2: Jelaskan madz-hab masing-masing dari Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Asy’ariyyah dalam masalah kemampuan hamba!


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url