Biografi Khodijah bintu Kuwailid - Mahmud Al Mishri
Siapakah Khodijah?
Beliau adalah Ummu Mu’minin (Ibu Kaum Mu’minin) dan Sayyidatu
Nisaa’ Al-‘Aalamiin (pemimpin wanita di seluruh alam) pada zamannya. Beliau
adalah Ummu Al-Qoosim (Ibu dari Al-Qoosim), putri dari Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul
‘Uzza bin Qushoy bin Kilaab Al-Qurosyiyyah Al-Asadiyyah. Beliau adalah ibu dari
anak-anak Rosululloh ﷺ,
dan orang pertama yang beriman kepada beliau dan membenarkan beliau sebelum
siapa pun.
Manqobah (keutamaan) beliau sangat banyak. Beliau termasuk
wanita yang sempurna. Beliau adalah wanita yang cerdas, agung, sholihah,
terjaga kehormatannya, dan mulia, dan termasuk ahli Jannah. Nabi ﷺ memuji beliau, dan
mengutamakan beliau di atas seluruh Ummahaatul Mu’minin (Ibu-ibu Kaum Mu’minin)
lainnya, dan sangat mengagungkan beliau, sampai-sampai ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha
berkata: Aku tidak pernah cemburu kepada seorang wanita pun seperti aku cemburu
kepada Khodijah, karena saking seringnya Rosululloh ﷺ menyebut beliau.
Di antara kemuliaan beliau bagi Nabi ﷺ, beliau tidak menikah
dengan wanita lain sebelum Khodijah. Darinya beliau dianugerahi beberapa anak,
dan beliau tidak pernah menikah lagi dengan wanita lain sampai Khodijah wafat,
dan beliau merasakan kehilangan atas kepergiannya, karena Khodijah adalah
sebaik-baik pendamping. Khodijah menafkahi beliau dari hartanya, dan beliau
berdagang untuk Khodijah.
Az-Zubair bin Bakkaar (256 H) berkata: Khodijah dijuluki “Ath-Thoohiroh”
(yang suci/terjaga) pada masa Jahiliyyah. Ibu beliau adalah Fathimah bintu Za’idah
Al-‘Aamiriyyah.
Khodijah awalnya menikah dengan Abu Halah bin
Zurooroh At-Tamimi, kemudian setelahnya dinikahi oleh ‘Atiq bin ‘A-idz
bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum, lalu setelahnya dinikahi oleh Nabi ﷺ, dan beliau
menikahinya ketika beliau berusia 25 tahun, sementara Khodijah 15 tahun lebih
tua dari beliau. Sungguh beliau dilahirkan di Ummul Quro (Makkah), dan itu
terjadi kira-kira 15 tahun sebelum ‘Aamul Fiil (Tahun Gajah)
Perenungan
Inilah Khodijah, pemilik hati yang suci dan jiwa yang ridho,
berhenti sejenak merenungi dirinya. Dia mengenang lembaran-lembaran masa lalu...
Meskipun dia mencapai kesuksesan yang sangat besar —berkat karunia Alloh— dalam
dunia perdagangan, sampai-sampai kafilah dagangnya ke Syam setara dengan
kafilah Quroisy, namun dia tidak merasakan kebahagiaan sejati, karena hatinya
membutuhkan bekal yang tanpanya hati tidak mungkin hidup—yaitu bekal keimanan
yang kemudian dibawa oleh Al-Habiib ﷺ.
Begitu pula kehidupan pernikahannya telah terputus lebih dari sekali, padahal
hatinya merindukan kehidupan pernikahan yang mulia, penuh pengorbanan, cinta,
pengabdian, dan pemberian.
Dia pernah menikah dengan Abu Halah bin Zurooroh At-Tamimi,
dan dia berusaha dengan segala yang dia miliki agar suaminya menjadi pemimpin
di kaumnya, tetapi kematian memutus harapan itu, lalu suaminya meninggal dunia
dan pergi meninggalkan dunia—setelah dia melahirkan Hind darinya. Kemudian
setelah beberapa waktu, seorang laki-laki dari kalangan bangsawan Quroisy,
yaitu ‘Atiq bin ‘A-idz bin ‘Abdillah Al-Makhzumi, melamarnya dan dia menikah
dengannya, tetapi pernikahan ini tidak berlangsung lama. Maka Khodijah,
sayyidah (pemimpin) wanita-wanita Quroisy, hidup tanpa suami, padahal dia
adalah wanita yang didambakan oleh para bangsawan kaumnya... Namun, dia
merasakan jauh di lubuk hatinya bahwa takdir ilahi menyimpan sesuatu yang agung
untuknya, yang akan membuatnya melupakan kesusahan masa lalu dan mendatangkan
kegembiraan serta kebahagiaan di hatinya.
Mimpi yang Menjulang ke Bintang Jauzaa’
Khodijah adalah wanita yang bersemangat tinggi, berperasaan
halus, berwawasan luas, dan memiliki fitroh yang bersih. Saking sucinya, dia
dikenal di antara teman-temannya dan wanita-wanita Quroisy dengan sebutan “Ath-Thoohiroh”
—cukuplah sifat ini meninggikannya dan menempatkannya di puncak kemuliaan.
Khodijah sering mendengarkan cerita dari sepupunya, Waroqoh
bin Naufal, tentang para Nabi dan agama. Seringkali mimpinya yang bersayap
terbang di langit-langit kemuliaan dan keutamaan yang tidak mungkin dicapai
oleh harapan orang-orang sezamannya, baik laki-laki maupun perempuan.
Pada suatu malam yang gelap gulita, Khodijah duduk di
rumahnya setelah melakukan thowaaf (mengelilingi) Ka’bah berkali-kali.
Kemudian dia pergi ke tempat tidurnya dengan wajah yang menunjukkan tanda-tanda
keridhoan dan senyuman, tanpa ada pikiran apa pun yang terlintas saat itu, dan
setelah berbaring dia pun terlelap dalam tidurnya.
Dalam tidurnya, dia melihat matahari yang sangat besar turun
dari langit Makkah dan menetap di rumahnya. Cahayanya memenuhi setiap sudut
rumah dengan cahaya dan keindahan, dan cahaya itu meluber dari rumahnya
menyelimuti semua yang ada di sekelilingnya dengan sinar yang memukau jiwa,
sebelum memukau mata dengan sinarnya yang terang.
Khodijah tersentak dari tidurnya, lalu mengedarkan pandangan
di sekitarnya dengan keheranan, ternyata malam masih menyelimuti dunia dengan
kegelapan, dan meliputi semua yang ada. Namun, cahaya yang menyilaukannya dalam
mimpi itu masih bersinar di sanubarinya, berkilauan di lubuk hatinya.
Ketika malam meninggalkan dunia, Khodijah meninggalkan
tempat tidurnya. Bersamaan dengan terbitnya matahari dan jernihnya alam di pagi
buta, Ath-Thoohiroh Khodijah dalam perjalanan menuju rumah sepupunya, Waroqoh
bin Naufal, barangkali dia akan menemukan tafsir untuk mimpi indahnya di malam
yang lalu.
Khodijah menemui Waroqoh, dan dia mendapatinya sedang tekun
membaca lembaran-lembaran kitab samawi yang sangat ia cintai, yang senantiasa
dia baca setiap pagi dan sore. Begitu suara Khodijah menyentuh telinganya, dia
menyambutnya dan berkata dengan heran: “Khodijah? Ath-Thoohiroh?”
Dia menjawab: “Ya, aku.”
Waroqoh berkata dengan keheranan: “Ada apa engkau datang jam
segini?”
Khodijah duduk dan mulai menceritakan mimpinya kata demi
kata, dan adegan demi adegan.
Waroqoh mendengarkan Khodijah dengan penuh perhatian,
sampai-sampai dia lupa dengan lembaran kitab di tangannya, seakan-akan ada
sesuatu yang mengingatkan perasaannya, dan membuatnya mengikuti cerita mimpi
itu hingga selesai.
Begitu Khodijah selesai berbicara, wajah Waroqoh
berseri-seri dengan kabar gembira, dan senyum keridhoan terukir di bibirnya.
Kemudian dia berkata kepada Khodijah dengan tenang dan berwibawa: “Bergembiralah,
wahai putri pamanku… Sekiranya Alloh membenarkan mimpimu, niscaya cahaya
kenabian akan memasuki rumahmu, dan darinya akan meluber cahaya penutup para
Nabi…”
Allohu Akbar... Apa yang didengar Khodijah? Apa yang
dikatakan oleh sepupunya? Khodijah terdiam sejenak… Rasa merinding menjalari
tubuhnya. Perasaan penuh harapan, kasih sayang, dan pengharapan bergejolak di
dadanya.
Khodijah terus hidup di atas sayap-sayap harapan, dan aroma
mimpi yang ia lihat, berharap mimpinya menjadi kenyataan, dan menjadi sumber
kebaikan bagi umat manusia, dan sumber cahaya bagi dunia. Sungguh hati besarnya
adalah mata air kebaikan, adapun akalnya, ia mampu mencerna setiap peristiwa di
sekitarnya dengan cara yang sesuai dengan kehidupannya.
Ketika seorang pemimpin Quroisy melamarnya, Khodijah
mengukurnya dengan timbangan mimpi yang ia lihat, dan tafsir yang ia dengar
dari sepupunya, Syekh yang berwibawa, Waroqoh bin Naufal... Namun—hingga saat
ini—sifat-sifat penutup para Nabi belum sesuai dengan orang-orang yang
berbondong-bondong melamarnya dan ingin menikahinya. Maka dia menolak mereka
dengan penolakan yang baik, dan memberitahu mereka bahwa dia tidak ingin
menikah, karena dia merasakan perasaan samar bahwa takdir Ilahi menyimpan
sesuatu yang luar biasa untuknya, meskipun dia tidak tahu apa itu, tetapi dia
merasakan bahwa di dalamnya ada sesuatu yang akan mendatangkan ketenangan ke
dalam hatinya.
Pernikahan yang Diberkahi
Ibnu Ishaaq berkata: Khodijah bintu Khuwailid adalah seorang
wanita pedagang yang terhormat dan kaya raya. Dia menyewa orang-orang untuk
membawa hartanya dan berdagang dengan sistem bagi hasil (mudhorobah)
dengan imbalan tertentu. Quroisy adalah kaum pedagang. Ketika sampai kabar
kepadanya tentang Rosululloh ﷺ
mengenai kejujuran bicaranya, amanahnya yang agung, dan kemuliaan akhlaknya,
dia mengutus beliau, menawarkan agar beliau berangkat membawa hartanya ke Syam
untuk berdagang, dan Khodijah akan memberinya upah yang lebih baik dari yang
dia berikan kepada pedagang lainnya, bersama dengan budaknya yang bernama
Maisaroh. Rosululloh ﷺ
menerima tawaran itu, dan berangkat membawa harta tersebut, bersama dengan
budaknya Maisaroh, hingga tiba di Syam.
Rosululloh ﷺ
beristirahat di bawah naungan sebatang pohon, tidak jauh dari sebuah gubuk
pendeta. Pendeta itu melihat kepada Maisaroh, lalu bertanya kepadanya: “Siapakah
laki-laki yang beristirahat di bawah pohon ini?” Maisaroh menjawab: “Dia adalah
seorang laki-laki dari Quroisy, dari penduduk Al-Harom (Makkah).” Pendeta itu
berkata: “Tidaklah beristirahat di bawah pohon ini seorang pun, kecuali seorang
Nabi.”
Kemudian Rosululloh ﷺ menjual barang dagangan yang beliau bawa, dan membeli apa yang
ingin beliau beli. Setelah itu, beliau kembali ke Makkah bersama Maisaroh,
membawa harta Khodijah. Maisaroh—sebagaimana yang mereka yakini—jika hari sudah
siang dan panas menyengat, dia melihat dua Malaikat menaungi beliau dari
matahari, saat beliau sedang menunggangi untanya.
Ketika beliau tiba di Makkah membawa harta Khodijah,
Khodijah menjual barang-barang yang dibawa, dan keuntungannya berlipat ganda
atau hampir sama (dengan berlipat ganda). Maisaroh menceritakan kepadanya
tentang perkataan pendeta tersebut, dan tentang apa yang ia lihat mengenai
naungan Malaikat terhadap beliau. Khodijah adalah wanita yang tegas, terhormat,
dan cerdas, di samping kemuliaan yang dikehendaki Alloh baginya.
Khodijah disibukkan oleh pembicaraan dan kenangan. Dia
disibukkan oleh cerita Maisaroh tentang Muhammad, dan perkataan sepupunya Waroqoh:
“Sungguh Muhammad adalah Nabi umat ini.” Mimpi yang ia lihat—mengenai matahari
yang turun dari langit Makkah dan menetap di rumahnya—memenuhi pikirannya.
Suara Waroqoh berulang di dalam hatinya: “Bergembiralah, wahai putri pamanku,
sekiranya Alloh membenarkan mimpimu, niscaya cahaya kenabian akan memasuki
rumahmu, dan darinya akan meluber cahaya penutup para Nabi.”
Khodijah beralih dari kenangan-kenangan yang membanjiri
benaknya menuju kenyataan yang ia jalani. Dia merenung dan berpikir tentang
Muhammad, ternyata Muhammad memenuhi benak pikirannya.
Bukti-bukti dan indikasi-indikasi terkumpul pada Khodijah
bahwa Muhammad adalah Ar-Rohiiq (minuman penutup) yang dengan beliau para Nabi
ditutup (penutup para Nabi). Dia pun berharap untuk menjadi istri beliau,
tetapi bagaimana caranya untuk mencapai hal itu?!
Dia adalah wanita yang nasabnya mulia, hartanya melimpah,
dan ia dikenal tegas dan berakal. Wanita seperti dia adalah dambaan para
pemimpin Quroisy, andai saja wanita ini tidak meremehkan banyak laki-laki,
karena mereka adalah pencari harta, bukan pencari jiwa. Mata mereka
memandangnya dengan tujuan mendapatkan kekayaan darinya, meskipun pernikahan
menjadi kedok bagi ketamakan ini!
Namun, ketika Khodijah mengenal Muhammad ﷺ, dia menemukan jenis
laki-laki yang berbeda. Dia menemukan seorang laki-laki yang tidak tertarik dan
tidak didekati oleh kebutuhan. Barangkali ketika dia mengevaluasi orang lain
dalam perdagangannya, dia menemukan kekikiran dan kecurangan. Adapun bersama
Muhammad ﷺ, dia melihat seorang
laki-laki yang harga dirinya yang menjulang menempatkannya pada posisi
kemuliaan dan kerelaan, sehingga beliau tidak melirik hartanya, tidak pula
kecantikannya. Beliau telah menunaikan kewajiban beliau, kemudian pergi dengan
hati yang ridho dan diridhoi. Dan Khodijah pun menemukan permata yang hilang.
Di tengah kebingungan dan kegelisahan itu, datanglah
sahabatnya, Nafisah bintu Munabbih. Dia duduk bersamanya, bertukar
pikiran dalam pembicaraan, hingga Nafisah berhasil menyingkap rahasia yang
tersembunyi yang terpancar di wajah Khodijah dan dalam nada bicaranya.
Nafisah menenangkan kegelisahan Khodijah dan menenteramkan
hatinya. Dia mengingatkannya bahwa Khodijah adalah wanita yang memiliki nasab, harta,
dan kecantikan. Dia berdalih atas kebenaran perkataannya dengan banyaknya orang
yang meminangnya dari kalangan para pemimpin laki-laki.
Begitu Nafisah keluar dari sisi Khodijah, dia segera pergi
menemui Nabi ﷺ,
dan berbicara kepada beliau agar beliau menikahi Ath-Thoohiroh Khodijah.
Nafisah berkata: “Wahai Muhammad, apakah yang menghalangimu untuk menikah?”
Maka beliau menjawab: “Aku tidak memiliki sesuatu untuk menikah.”
Nafisah berkata: “Jika engkau dicukupi dan diajak kepada
harta, kecantikan, kehormatan, dan kesepadanan, apakah engkau akan
menyambutnya?” Maka beliau menjawab sambil bertanya: “Siapa?”
Nafisah segera menjawab: “Khodijah bintu Khuwailid.”
Maka beliau bersabda: “Jika dia menyetujui, maka aku
menerima.”
Nafisah pun segera pergi untuk menyampaikan kabar gembira
itu kepada Khodijah. Nabi ﷺ
memberitahu paman-paman beliau tentang keinginan beliau untuk menikah dengan
Khodijah. Maka Abu Tholib, Hamzah, dan yang lainnya pergi menemui paman
Khodijah, ‘Amr bin Asad, untuk meminang putri saudaranya itu, dan mereka
menyerahkan mahar.
Dalam majelis yang indah itu, Abu Tholib berdiri untuk
menyampaikan khutbah pernikahan. Abu Al-‘Abbas Al-Mubarrid (286 H) dan yang
lainnya menyebutkan bahwa Abu Tholib menyampaikan khutbah pernikahan sebagai
berikut:
“Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan kami dari
keturunan Ibrohim, dan keturunan Ismaa’il, dan dari inti Ma’ad, serta unsur
Mudhor. menjadikan kami penjaga
Baitulloh, dan pengurus tanah Harom-Nya. menjadikan
bagi kami rumah yang diagungkan (Ka’bah), dan tanah harom yang aman, serta
menjadikan kami penguasa atas manusia. Kemudian, anak saudaraku ini, Muhammad
bin ‘Abdillah, tidaklah ditimbang dengan seorang laki-laki pun melainkan dia
akan melebihi laki-laki itu dalam kebaikan dan keutamaan, kehormatan dan akal,
kemuliaan dan keagungan. Maka jika ada kekurangan dalam harta—karena harta itu
hanyalah bayangan yang akan sirna, urusan yang akan berlalu, dan pinjaman yang
akan kembali —dan Muhammad adalah orang yang telah kalian ketahui kekerabatannya.
dia telah meminang Khodijah bintu
Khuwailid, serta memberikan mahar baginya yang segera maupun yang ditangguhkan
dari hartaku 20 ekor
unta betina muda. Dalam riwayat lain: dia
memberikan mahar 12 uqiyah emas dan satu nasy (setengah uqiyah).”
Kemudian Abu Tholib berkata: “Demi Alloh, setelah ini dia sungguh memiliki
berita yang agung dan kedudukan yang mulia.” Maka dinikahkanlah Khodijah.
Setelah akad selesai, disembelihlah hewan-hewan sembelihan,
dan dibagikan kepada fakir miskin. Rumah Khodijah pun dibuka untuk keluarga dan
kerabat.
Ath-Thoohiroh Khodijah berusia 40 tahun pada usia puncak keibuan.
Adapun Muhammad ﷺ,
beliau berada pada usia puncak pemuda, 25 tahun.
Dalam pernikahan yang diberkahi ini, Ath-Thoohiroh Khodijah
adalah istri yang setia dalam cintanya, dan ibu yang pengasih dalam kelembutan
dan kasih sayangnya.
Kecerdasan dan Kematangan Akalnya
Tidak ada yang lebih menunjukkan kecerdasan, kepandaian, dan
kematangan akal Khodijah selain fakta bahwa dia memilih Nabi ﷺ sebagai suami
meskipun beliau saat itu miskin, sementara dia kaya dan berlimpah harta.
Padahal orang-orang kaya dan bangsawan dari kaumnya mendambakannya, tetapi dia
menolak. Itu semua karena dengan kecerdasan dan akalnya yang matang, dia
mengetahui bahwa kesempurnaan kejantanan, kemuliaan akhlak, dan kelurusan watak
adalah hal yang jauh di atas kekayaan materi dan kemewahan yang fana.
Dia sedang mencari jenis kekayaan dan kemakmuran yang lain!
Yaitu kekayaan jiwa, kemakmuran hati nurani, dan kelembutan
akhlak! di mana dia bisa
menemukan semua itu dengan cara yang paling sempurna selain pada diri Muhammad ﷺ?
Meskipun sebagian penulis berpendapat bahwa yang
mendorongnya untuk menikah dengan Nabi ﷺ adalah apa yang diceritakan kepadanya tentang kepandaian beliau
dalam berdagang, baik membeli maupun menjual, dan sifat-sifat yang beliau
miliki dalam perdagangan seperti kejujuran dan amanah, dan lain-lain.
Maka kami katakan: Meskipun itu adalah salah satu alasan
nyata yang menarik hati wanita pada seorang laki-laki—terutama bagi wanita
berharta seperti Khodijah yang membutuhkan orang untuk berdagang dengan
hartanya.
Namun kami katakan: Barangkali itu adalah salah satu alasan
yang tampak yang digunakan Khodijah untuk membenarkan pernikahannya dengan
Muhammad ﷺ, padahal beliau lebih
muda lima belas tahun darinya—beliau berusia dua puluh lima tahun, sementara
dia berusia empat puluh tahun.
Terlebih lagi, beliau minim harta, dan tidak memiliki
kedudukan tinggi di mata kaumnya. Namun, dia menemukan kejujuran, amanah,
kepandaiannya dalam berdagang, dan kemuliaan nasabnya sebagai alasan untuk
membenarkan pernikahannya di hadapan kaumnya.
Namun, kami telah mencari alasan yang sesungguhnya mengapa
wanita ini menikah dengan Muhammad ﷺ
pada usia empat puluh tahun—yaitu pada usia matang akal dan kedewasaannya,
karena dia bukan gadis yang labil, bukan pula wanita tua yang pikun. Alasan
yang sesungguhnya adalah pencariannya terhadap kejantanan yang sempurna...
Kejantanan dalam segala maknanya: akhlak, kemuliaan, keberanian, pengorbanan, dan
keluhuran sifat.
Muhammad ﷺ
tidak akan menerima pernikahan Khodijah sekalipun dia memiliki seluruh harta di
muka bumi, dan sekalipun dia adalah wanita tercantik di dunia, andai saja
beliau tidak melihat kematangan akalnya dan kepandaiannya pada diri Khodijah,
serta apa yang disaksikan oleh kaumnya tentang keluhuran sifatnya,
perbuatan-perbuatan baiknya, kesucian kehormatannya, kebersihan hatinya, dan
kemuliaan garis keturunannya.
Oleh karena itu, keinginan Khodijah sejalan dengan keinginan
Muhammad ﷺ untuk menikahinya.
perkiraan
Muhammad ﷺ terhadap Khodijah
terbukti benar, karena dia adalah sebaik-baik istri, dan sebaik-baik sandaran.
Sungguh kematangan akal dan kecerdasannya mengantarkannya untuk beriman kepada
apa yang dibawa oleh Muhammad ﷺ,
dan mengikuti beliau dalam segala perbuatan keimanan dan urusan ketaatan...
Suatu hari beliau kembali ke rumah Khodijah, setelah Malaikat Jibril
mengajarkan kepadanya cara Sholat. Beliau memberitahunya tentang hal itu, maka
Khodijah berkata: “Tunjukkan kepadaku bagaimana caramu melihat (Jibril)!”
Maksudnya, ajari aku bagaimana Jibril mengajarimu Sholat. Maka beliau
menunjukkan dan mengajarkan kepadanya. Khodijah berwudhu sebagaimana beliau
berwudhu, kemudian Sholat bersama beliau dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau
adalah Rosululloh.” (Al-Ishobah, Ibnu Hajar, 4/274)
Inilah Ash-Shoodiqul Amiin (Yang Jujur dan Terpercaya)
Sungguh Ibu kita Khodijah rodhiyallahu ‘anha tahu
betul akhlak Nabi ﷺ,
dan dia mendengar tentang kemuliaan dan keutamaan beliau yang memenuhi hati
dengan kebahagiaan dan kegembiraan... Bahkan dia tahu kedudukan beliau di
antara kaumnya yang menjuluki beliau Ash-Shoodiqul Amiin (yang jujur dan
terpercaya). Kaumnya meminta pertolongan beliau untuk menyelesaikan masalah
paling sulit yang terjadi di antara mereka.
Inilah suku-suku Quroisy yang berkumpul untuk membangun
kembali Ka’bah Al-Musyarrofah, karena Ka’bah hampir roboh. Ada yang mengatakan
karena kebakaran yang menimpanya, dan ada yang mengatakan karena banjir besar.
Hal itu terjadi lima tahun sebelum diutusnya Nabi ﷺ menurut pendapat yang kuat. Quroisy tidak punya pilihan selain
membangunnya kembali.
Hadits-hadits shohih mengisyaratkan hal itu... Al-Bukhori
meriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha bahwa Rosululloh ﷺ bersabda kepadanya:
أَلَمْ
تَرَى أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ
“Tidakkah engkau perhatikan bahwa kaummu ketika membangun Ka’bah,
mereka hanya mencukupkan diri pada pondasi-pondasi Ibrohim (yakni Hijr Ismail
yang merupakan bagian Ka’bah tidak ikut direnovasi karena keterbatasan biaya).”
Aku berkata: “Wahai Rosululloh, tidakkah engkau
mengembalikannya pada pondasi-pondasi Ibrohim?”
Beliau bersabda: “Andai saja bukan karena kaummu baru saja
meninggalkan kekufuran, niscaya aku akan melakukannya.”
‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Sungguh ‘Aisyah mendengar ini
dari Rosululloh ﷺ,
dan menurutku Rosululloh ﷺ
tidak meninggalkan Istilaam (menyentuh) dua rukun yang berada di sisi Al-Hijr
(Hajar Ismaa’il), melainkan karena Baitulloh belum sempurna di atas pondasi
Ibrohim.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 1583 dan Muslim no. 1333)
Quroisy kekurangan nafkah (dana) yang baik, karena mereka
mensyaratkan atas diri mereka sendiri agar tidak ada yang dimasukkan dalam pembangunannya
kecuali nafkah yang baik, tidak ada mahar pelacur, tidak ada hasil jual beli
riba, dan tidak ada harta kezholiman.
Ibnu Ishaaq berkata: Kemudian suku-suku Quroisy mengumpulkan
batu untuk pembangunannya, setiap suku mengumpulkan sendiri-sendiri. Kemudian
mereka membangunnya, hingga pembangunan mencapai tempat Al-Rukun (Hajar Aswad).
Mereka pun berselisih tentangnya, setiap suku ingin meletakkannya di tempatnya
tanpa melibatkan suku lain, hingga mereka saling berdebat, berselisih, dan
bersiap untuk berperang. Maka Bani ‘Abdud Daar membawa bejana penuh
darah, lalu mereka dan Bani ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bersumpah untuk mati, dan
mereka memasukkan tangan mereka ke dalam darah di bejana itu, sehingga mereka
dijuluki “Penjilat Darah”. Quroisy bertahan dalam keadaan itu selama empat atau
lima malam, kemudian mereka berkumpul di Masjid dan saling bermusyawarah, dan
saling memberi nasihat.
Mereka berkata: “Wahai orang-orang Quroisy, jadikanlah orang
pertama yang masuk dari pintu Masjid ini untuk memutuskan perkara di antara
kalian mengenai apa yang kalian perselisihkan.” Maka mereka pun setuju.
Ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Rosululloh ﷺ. Ketika mereka
melihat beliau, mereka berkata: “Ini Al-Amin (yang terpercaya), kami ridho, ini
Muhammad.” Ketika beliau sampai kepada mereka dan mereka menceritakan
masalahnya, beliau bersabda: “Bawakan kepadaku sehelai kain.” Maka dibawakanlah
kain itu. Beliau mengambil Al-Rukun (Hajar Aswad) dan meletakkannya di atas
kain itu dengan tangan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Hendaklah setiap suku
memegang ujung kain ini, lalu angkatlah bersama-sama.” Maka mereka pun
melakukannya. Hingga ketika mereka sampai pada tempatnya, beliau meletakkannya
dengan tangan beliau, kemudian membangun di atasnya.
Kebahagiaan Meliputi Rumah yang Paling Agung
Kebahagiaan meliputi rumah Khodijah. Ath-Thoohiroh Khodijah
menemukan pada diri Muhammad Al-Amin sebaik-baik suami. Beliau adalah orang
yang sangat lembut dalam pergaulan, kasih sayangnya melimpah, meliputi setiap
manusia, setiap makhluk hidup, dan segala sesuatu. Akhlak Muhammad ﷺ bersumber dari
fitrohnya dengan sifat-sifat yang harmonis dan sempurna. Kesabaran beliau
seperti keberaniannya, dan keberaniannya seperti kedermawanannya, dan
kedermawanannya seperti kearifannya, dan kearifannya seperti kasih sayangnya,
dan kasih sayangnya seperti kemuliaan akhlaknya. Keutamaan beliau sangat
banyak.
Bahkan, karena kesetiaan beliau, beliau tidak pernah
melupakan seorang wanita agung—yaitu ibu setelah ibu beliau—Ummu Aiman. Beliau
membawanya serta ketika pindah ke rumah pernikahan, dan memuliakannya serta
melimpahinya dengan kelembutan. Hati beliau yang besar melimpah dengan
kelembutan yang menyentuh hati anak-anak Khodijah. Hind, putra Khodijah,
tinggal bersama ibunya setelah pernikahannya dengan Muhammad. Dia adalah anak
angkat Nabi ﷺ
yang sangat bahagia tumbuh dan dibesarkan di bawah asuhan orang yang paling
jujur bicaranya, paling setia janjinya, paling lembut perangainya, dan paling
mulia pergaulannya.
Cinta Muhammad ﷺ
juga melingkupi Zaid bin Haaritsah, pemuda yang dibeli oleh Hakim bin Hizaam
dari pasar ‘Ukaazh, dan dihadiahkan kepada bibinya Khodijah. Muhammad ﷺ sangat menyayangi
Zaid, dan Zaid pun mencintai Muhammad dengan cinta yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Khodijah menyadari cinta kebapakan ini, lalu menghadiahkan Zaid
kepada suaminya, maka beliau membebaskannya. Beliau tidak hanya mengembalikan
kebebasannya yang terenggut, tetapi juga memuliakannya dengan menyandarkan
nasabnya kepada diri beliau, sehingga Zaid dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.
Khodijah mencintai suaminya Muhammad ﷺ dengan cinta yang
menguasai seluruh perasaannya. Cinta seorang istri kepada suami yang mulia,
yang padanya terwujud keluhuran akhlak dan kemuliaan sifat. Dari hari ke hari,
selama hidup bersama, dia semakin yakin bahwa laki-laki yang ia pilih itu
adalah orang yang paling tepat di muka bumi untuk mengemban risalah-Nya, dan
membangkitkan ummat-Nya.
Khodijah senantiasa menyiapkan segala sebab kebahagiaan dan
segala macam kenikmatan untuk Rosululloh ﷺ. Jika beliau memberi isyarat, dia segera menyambutnya dengan
jiwa yang gembira, hati yang ridho, dan tangan yang dermawan. Dia tidak pernah
pelit dengan hartanya, dan dia juga murah hati dengan perasaannya, kasih
sayangnya, dan hartanya. Bahkan, dia tidak pelit dengan cintanya kepada orang
yang dicintai suaminya, dan dia memuliakan orang yang beliau cintai dengan
pemuliaan yang mengisi jiwa dengan keridhoan dan kebahagiaan.
Pemilik Hati yang Penyayang
Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi cahaya Robbani,
Muhammad ﷺ berbicara dengan
Khodijah. Suara beliau yang indah menyentuh relung hatinya, dan kearifan yang
memancar dari bibir beliau membanjiri jiwanya dengan kebahagiaan yang melimpah,
yang mengangkatnya di atas keberadaan materi, dan membuatnya hidup di cakrawala
cahaya.
Pada saat-saat itu, datanglah budak Khodijah dan berkata: “Wahai
majikanku, sungguh Halimah bintu ‘Abdillah bin Al-Haarits As-Sa’diyyah ingin
masuk.” Ketika Rosululloh ﷺ
mendengar nama Halimah As-Sa’diyyah, hati beliau yang mulia bergetar karena
kasih sayang. Kenangan-kenangan manis, lembut, hangat, dan penuh kasih sayang
pun memenuhi pikiran beliau. Beliau teringat padang Bani Sa’ad dan saat beliau
disusui di sana. Itu adalah saat yang dipenuhi dengan perasaan lembut, saat
yang menghidupkan—secepat kedipan mata atau bahkan lebih cepat—hari-hari masa
kecil beliau, dan hari-hari pertumbuhan beliau di pangkuan Halimah dan dalam
pelukannya.
Khodijah berdiri untuk mempersilakan Halimah masuk.
Rosululloh ﷺ sering menceritakan
tentangnya dengan cerita yang penuh cinta, kasih sayang, kehangatan, dan
kemuliaan. Ketika pandangan beliau yang mulia tertuju padanya, Khodijah
mendengar suara beliau yang lembut memanggil dengan penuh kerinduan dan kasih
sayang: “Ibuku, Ibuku!”
Khodijah melihat kepada Rosululloh ﷺ, dan mendapati beliau telah menghamparkan selendang beliau
untuk Halimah, dan mengusapkan tangan beliau padanya dengan kasih sayang yang
meluap. Wajah beliau memancarkan kebahagiaan yang melimpah, dan mata beliau
bersinar dengan kegembiraan yang meluap, seolah-olah beliau sedang memeluk ibu
beliau, Aaminah bintu Wahb, yang dibangkitkan dari kuburnya.
Di tengah pertemuan hangat antara Rosululloh ﷺ dan Halimah, beliau
bertanya tentang keadaannya. Halimah pun mengeluhkan kerasnya hidup dan
kekeringan yang menimpa pedalaman Bani Sa’ad. Kemudian dia mengeluhkan
kesulitan hidup dan kepahitan kemiskinan. Maka beliau pun melimpahinya dengan
kedermawanan beliau.
Setelah itu, Nabi ﷺ
menceritakan kepada istrinya Khodijah—dengan jelas terlihat rasa haru—tentang
kesulitan yang menimpa ibu susu beliau, Halimah, dan kesulitan yang melanda
kaumnya. Maka kekayaan hati Khodijah meluap dengan kasih sayang dan rohmat. Dia
pun memberikan kepada Halimah, dengan hati yang lapang, empat puluh ekor
kambing, dan menghadiahkan seekor unta yang membawa air, serta membekalinya
dengan apa yang dia butuhkan untuk kembali ke pedalamannya. Khodijah selalu
siap sedia untuk berderma dengan seluruh hartanya, demi menyenangkan suaminya
Muhammad ﷺ. Maka beliau
berterima kasih atas kemurahan hatinya, kemudian beliau pergi untuk memberikan
kepada ibu susu beliau apa yang telah diberikan oleh Khodijah.
Di Taman Keturunan yang Diberkahi
Demikianlah rumah tangga yang diberkahi ini dibangun di atas
cinta, kasih sayang, dan cinta kasih. Khodijah tidak pernah menyia-nyiakan
upaya apa pun untuk mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan ke hati Al-Habiib...
Suatu hari, Nabi ﷺ
kembali ke rumah, dan istri beliau yang penuh kasih sayang itu membawa kabar
gembira yang agung. Dia memberitahu beliau bahwa dia sedang hamil. Maka hati
Al-Habiib ﷺ bergetar gembira
dengan kabar gembira yang berharga itu.
Khodijah berada di puncak kegembiraan dan kebahagiaan,
karena dia merasa, bahkan yakin, bahwa suaminya akan memiliki kedudukan yang
agung. Dia berharap Alloh akan memberinya anak darinya. datanglah saat-saat bahagia ketika Khodijah melahirkan anak
pertama bagi Al-Habiib ﷺ,
yaitu Al-Qoosim—yang dengan namanya Al-Habiib biasa berkunyah. Kemudian diikuti
oleh keturunan yang diberkahi setelah itu. Dia melahirkan Zainab, Ummu Kultsum,
dan Fathimah (semuanya sebelum kenabian). Kemudian dia melahirkan ‘Abdullah
(setelah kenabian), yang dijuluki Ath-Thoyyib dan Ath-Thoohir.
Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhuma menyebutkan
anak-anak Rosululloh ﷺ
dari Ath-Thoohiroh Al-Waluud (yang banyak melahirkan) Khodijah.
Dia berkata: Khodijah melahirkan untuk Rosululloh ﷺ dua anak laki-laki
dan empat anak perempuan: Al-Qoosim, ‘Abdullah, Fathimah, Ummu Kultsum, Zainab,
dan Ruqoyyah (Dalaa-ilun Nubuwwah, Al-Baihaqiy, 2/70). Adapun Ibrohim, beliau
berasal dari Maariyah Al-Qibthiyyah. Semua anak laki-laki beliau meninggal saat
masih kecil. Adapun anak perempuan beliau, semuanya sempat mengalami Islam,
lalu masuk Islam dan berhijroh. Ruqoyyah dan Ummu Kultsum menikah dengan ‘Utsman
bin ‘Affaan. Zainab adalah istri dari Abul ‘Aash bin Ar-Robii’ bin ‘Abd Syams.
Dan Fathimah adalah istri dari ‘Ali bin Abi Thoolib rodhiyallahu ‘anhum ajma’iin.
Semua anak perempuan beliau meninggal dunia pada masa hidup
Nabi ﷺ, kecuali putri
beliau, Fathimah, yang wafat enam bulan setelah wafat beliau.
Nabi ﷺ
memandang keluarga beliau yang diberkahi dengan dada yang lapang. Sungguh
mereka semua hidup dalam kehidupan yang tenang, indah, sangat bersih, dan
bahagia.
Khodijah adalah istri yang ideal yang tahu bagaimana cara
membahagiakan suaminya. Setiap kali masa pernikahan beliau dengan Al-Habiib
semakin lama, beliau semakin bertambah cinta kepada beliau dan kagum pada
beliau. Beliau adalah orang yang ahli ibadah dan zuhud yang hatinya dan anggota
badannya terpaut pada Alloh. Dari rumah tangga yang diberkahi ini, lahirlah
Fathimah yang kemudian menjadi pemimpin wanita ahli Jannah, dan ibu dari
Al-Hasan dan Al-Husain, pemimpin pemuda ahli Jannah, dan istri dari salah
seorang yang sepuluh orang yang dijamin masuk Jannah... Sungguh betapa
diberkahinya rumah tangga ini yang menebar keberkahan dan aroma keimanan ke
seluruh alam.
Kedermawanan dan Pengorbanan
Sungguh Khodijah rodhiyallahu ‘anha berada di puncak
kedermawanan dan kemurahan hati. Beliau mencintai semua yang dicintai suaminya,
dan mengorbankan semua yang beliau miliki demi membahagiakan suaminya ﷺ. Ketika Al-Habiib
mengasuh sepupu beliau, ‘Ali bin Abi Thoolib, ‘Ali mendapatkan hati yang penuh
kasih sayang dan ibu yang penuh kelembutan pada diri Ath-Thoohiroh Ar-Rohiimah
(yang suci lagi penyayang) Khodijah.
Hal itu membuatnya merasa seperti bersama ibu yang
melahirkannya. Khodijah berbuat baik kepadanya dengan kebaikan yang maksimal.
Begitu pula ketika Khodijah merasakan bahwa Al-Habiib ﷺ mencintai maula
beliau, Zaid bin Haaritsah, dia menghadiahkannya kepada beliau. Dengan itu,
kedudukan Khodijah semakin tinggi di hati Nabi ﷺ.
“Aku sekali-kali tidak akan memilih
orang lain di atas beliau”
Sungguh Khodijah melihat sikap Zaid yang mencintai Al-Habiib
ﷺ yang tidak
tertandingi oleh dunia dan segala kenikmatannya yang fana.
Zaid keluar bersama ibunya saat masih kecil untuk
mengunjungi kaumnya, lalu pasukan berkuda menyerang mereka, dan membawa Zaid
serta menjualnya di pasar ‘Ukaazh. Hakim bin Hizaam membelinya untuk bibinya
Khodijah seharga empat ratus dirham. Ayahnya terus mencarinya di timur dan
barat bumi, hingga hatinya hancur karena kesedihan atas kehilangannya. Ayahnya
meluapkan kerinduannya dalam bentuk syair sedih yang membuat hati hancur, dia
berkata:
بَكَيْتُ
عَلَى زَيْدٍ وَلَمْ أَدْرِ مَا فَعَلْ أَحَيٌّ فَيُرْجَى أَمْ أَتَى دُونَهُ الْأَجَلُ؟
فَوَاللَّهِ
مَا أَدْرِي وَإِنِّي لَسَائِلٌ أَغَالَكَ بَعْدِي السَّهْلُ أَمْ غَالَكَ الْجَبَلُ
تُذَكِّرُنِيهِ
الشَّمْسُ عِنْدَ طُلُوعِهَا وَتَعْرِضُ ذِكْرَاهُ إِذَا غَرَبَهَا أَفَلَ
سَأَعْمَلُ
نَصَّ الْعِيسِ فِي الْأَرْضِ جَاهِدًا وَلَا أَسْأَمُ التَّطْوَافَ أَوْ تَسْأَمَ
الْإِبِلُ
حَيَاتِي،
أَوْ تَأْتِي عَلَيَّ مَنِيَّتِي فَكُلُّ امْرِئٍ فَانٍ وَإِنْ غَرَّهُ الْأَمَلُ
“Aku menangisi Zaid dan aku tidak tahu apa yang terjadi
dengannya, apakah dia hidup sehingga masih bisa diharapkan, ataukah ajal telah
mendahuluinya?
Demi Alloh, aku tidak tahu dan aku terus bertanya, apakah
padang datar yang menyembunyikanmu dariku, ataukah gunung?
Matahari mengingatkanku padanya saat terbit, dan
kenangannya muncul saat ia terbenam
Aku akan memacu unta-unta di muka bumi dengan
sungguh-sungguh, dan aku tidak akan jemu berkeliling sampai unta-unta pun jemu
Selama hidupku, atau sampai kematianku menjemputku,
karena setiap orang akan binasa, meskipun harapan menipunya
Pada salah satu musim Haji, serombongan orang dari kaum Zaid
menuju Baitul Harom. Ketika mereka sedang thoowaaf di Baitul ‘Atiiq (Ka’bah),
tiba-tiba mereka berhadapan muka dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan dia pun
mengenali mereka. Mereka bertanya kepadanya dan dia bertanya kepada mereka.
Ketika mereka selesai menunaikan ibadah Haji dan kembali ke negeri mereka,
mereka memberitahu Haaritsah (ayah Zaid) tentang apa yang mereka lihat, dan
menceritakan apa yang mereka dengar.”
Maka Haaritsah segera menyiapkan untanya, dan membawa harta
untuk menebus buah hatinya, cahaya matanya. Dia ditemani oleh saudaranya, Ka’ab,
dan keduanya segera berangkat menuju Makkah.
Mereka bertanya tentang Nabi ﷺ, dan dikatakan: “Beliau ada di Masjid.” Maka keduanya masuk
menemui beliau, dan berkata: “Wahai putra Haasyim, wahai putra pemimpin
kaumnya, kalian adalah penduduk dan tetangga Tanah Harom Alloh. Kalian
membebaskan tawanan, dan memberi makan orang yang tertawan. Kami datang
kepadamu karena putra kami yang ada padamu. Berilah kami karunia dan berbuat
baiklah kepada kami dalam penebusannya, sungguh kami akan memberikan penebusan
yang berlipat ganda.”
Beliau bersabda: “Mengapa tidak memilih yang lain?”
Mereka bertanya: “Apa itu?”
Beliau bersabda: “Panggillah dia, lalu suruh dia memilih.
Jika dia memilih kalian, maka dia milik kalian tanpa tebusan. jika dia memilihku, maka demi Alloh,
aku tidak akan memilih orang lain di atas orang yang telah memilihku.”
Mereka berkata: “Sungguh engkau telah memberikan kepada kami
lebih dari setengahnya, dan engkau telah berbuat baik.”
Maka beliau memanggilnya, dan bersabda: “Apakah engkau
mengenali mereka?”
Dia menjawab: “Ya, ini ayahku dan ini pamanku.”
Beliau bersabda: “Aku adalah orang yang telah engkau kenal,
dan engkau telah melihat kecintaanku padamu. Maka pilihlah aku, atau pilihlah
keduanya.”
Maka Zaid berkata: “Aku sekali-kali tidak akan memilih orang
lain di atas engkau. Engkau bagiku seperti ayah dan paman.”
Maka keduanya berkata: “Celaka engkau, wahai Zaid! Apakah
engkau memilih perbudakan di atas kebebasan, di atas ayahmu, pamanmu, dan
keluargamu?”
Dia menjawab: “Ya. Sungguh aku telah melihat sesuatu dari
laki-laki ini, yang membuatku sekali-kali tidak akan memilih orang lain di
atasnya selamanya.”
Ketika Rosululloh ﷺ
melihat hal itu, beliau membawanya ke dekat Ka’bah, dan bersabda: “Wahai
orang-orang yang hadir, saksikanlah bahwa Zaid adalah putraku, dia mewarisi aku
dan aku mewarisi dia...”
Ketika ayah dan paman Zaid melihat hal itu, hati mereka
menjadi tenang dan mereka pun kembali. Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin
Muhammad, hingga Alloh mendatangkan Islam. Rosululloh ﷺ menikahkan dia dengan Zainab bintu Jahsy. Ketika Zaid
menceraikannya, Nabi ﷺ
menikahinya. Maka orang-orang munafiq membicarakan hal itu dan berkata: “Dia menikahi
istri putranya.” Maka turunlah ayat:
مَا كَانَ
مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ
“Muhammad itu bukanlah ayah dari seorang laki-laki di antara
kalian...” (QS. Al-Ahzab: 40)
Dan Alloh berfirman:
ادْعُوهُمْ
لِآبَابِهِمْ
“Panggillah mereka dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka...”
(QS. Al-Ahzab: 5)
Maka sejak hari itu dia dipanggil Zaid bin Haaritsah.
Pemimpin Orang-Orang Terdahulu dan Terakhir
Sungguh Nabi ﷺ
telah mengumpulkan dalam masa pertumbuhan beliau sebaik-baik keistimewaan yang
ada pada lapisan manusia. Beliau adalah contoh luhur dari pemikiran yang benar,
pandangan yang tepat. Beliau mendapatkan bagian yang berlimpah dari kecerdasan
yang baik, pemikiran yang orisinil, ketepatan cara dan tujuan. Beliau
menggunakan diamnya yang panjang untuk perenungan yang mendalam, terus
memikirkan, dan mencari kebenaran. Dengan akal beliau yang subur dan fitroh
beliau yang bersih, beliau menelaah lembaran-lembaran kehidupan, urusan
manusia, dan keadaan masyarakat. Maka beliau membenci khurafat (takhayul) dan
menjauh darinya. Kemudian beliau bergaul dengan manusia dengan pemahaman yang
jelas tentang urusan beliau dan urusan mereka. Jika beliau menemukan kebaikan,
beliau ikut serta di dalamnya, jika tidak, beliau kembali ke pengasingan beliau
yang sunyi. Beliau tidak minum khomr (minuman keras), tidak makan dari apa yang
disembelih di atas nushub
(batu persembahan untuk berhala), tidak menghadiri perayaan berhala, tidak pula
pesta. Bahkan sejak awal pertumbuhan beliau, beliau sangat membenci tuhan-tuhan
palsu itu, sampai-sampai beliau tidak sabar mendengar sumpah atas nama Lata dan
‘Uzza.
Tidak diragukan bahwa takdir melindungi beliau.
Al-Bukhori meriwayatkan dari Jaabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu
‘anhu, dia berkata: Ketika Ka’bah sedang dibangun, Nabi ﷺ dan ‘Abbaas rodhiyallahu
‘anhu pergi memindahkan batu. Maka ‘Abbaas berkata kepada Nabi: “Jadikan
sarungmu di atas lehermu, agar melindungimu dari batu.” Maka beliau jatuh ke
tanah, dan mata beliau memandang ke langit, lalu beliau siuman. Beliau
bersabda: “Sarungku, sarungku.” Maka beliau mengikatkan sarungnya. Dalam
riwayat lain: Maka setelah itu aurat beliau tidak pernah terlihat lagi.
Nabi ﷺ
sangat unggul di antara kaumnya dengan sifat-sifat yang baik dan akhlak yang
mulia. Beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, paling baik
perangainya, paling kuat pembelaannya terhadap tetangga, paling agung
kearifannya, paling jujur bicaranya, paling lembut perangainya, paling menjaga
kehormatannya, paling dermawan kebaikannya, paling benar perbuatannya, paling
setia janjinya, dan paling menjaga amanahnya, hingga kaumnya menjuluki beliau “Al-Amiin”,
karena terkumpulnya pada diri beliau keadaan-keadaan sholihah dan sifat-sifat
terpuji. Beliau seperti yang dikatakan oleh Ummu Mu’minin Khodijah: “Beliau
menanggung beban orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu,
dan membantu dalam kesulitan yang menimpa karena kebenaran.” (Muttafaqun ‘alaihi:
HR. Al-Bukhori no. 4 dan Muslim no. 160)
Dari Sini Dimulai
Muhammad ﷺ
meninggalkan Makkah setiap tahun untuk menghabiskan bulan Romadhon di gua Hiro’.
Itu adalah gua yang berjarak beberapa mil dari kota yang ramai itu, di puncak
gunung yang menghadap ke Makkah, tempat di mana kegaduhan manusia dan
pembicaraan sia-sia mereka terputus, dan ketenangan total dimulai di puncak
yang sunyi dan menjulang itu. Muhammad ﷺ membawa bekal untuk malam-malam yang panjang, kemudian
mengasingkan diri dari alam, mengarahkan hati beliau yang rindu kepada Robb
semesta alam... Di gua yang agung dan tersembunyi itu, jiwa yang besar
memandang dari ketinggiannya kepada fitnah, kesengsaraan, penindasan, dan
kehancuran yang melanda dunia, kemudian merasakan kesedihan dan kebingungan,
karena beliau tidak tahu jalan keluar, tidak pula obatnya!!
Di gua yang terpencil ini, mata yang tajam dan menghitung
meninjau warisan para pemberi petunjuk terdahulu dari para Rosul Alloh, lalu
mendapatinya seperti tambang yang gelap, yang darinya logam mulia tidak dapat
diekstrak kecuali setelah upaya yang melelahkan, dan kadang-kadang debu
bercampur dengan emas murni, sehingga tidak ada manusia yang dapat
memisahkannya.
Di gua Hiro’, Muhammad ﷺ beribadah, membersihkan hati beliau, menyucikan jiwa beliau,
dan mendekat kepada Kebenaran dengan sekuat tenaga. Beliau menjauh dari
kebatilan sekuat kemampuan beliau, hingga mencapai tingkat kebersihan tinggi
yang dengannya cahaya ghoib memantul pada lembaran hati beliau yang jernih.
Maka beliau tidak melihat mimpi kecuali mimpi itu datang seperti terangnya
fajar.
Di gua ini, Muhammad ﷺ terhubung dengan Al-Mala’ Al-A’laa (Kumpulan Malaikat Tertinggi)
Sebelumnya, perut gurun pernah menyaksikan saudara Muhammad ﷺ—Musa
‘alaihissalam—keluar dari Mesir dalam keadaan ketakutan, melintasi
padang pasir, mencari keamanan, ketenangan, dan petunjuk untuk dirinya dan
kaumnya. Tiba-tiba di tepi Lembah yang diberkahi, terlihat api yang menghibur.
Ketika beliau menuju ke sana, tiba-tiba terdengar seruan suci yang memenuhi
pendengaran beliau dan menyentuh perasaan beliau:
إِنَّنِي
أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَوٰةَ لِذِكْرِي
“Sungguh Aku ini adalah Alloh, tidak ada ilah yang berhak disembah selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Sholat untuk mengingat Aku.” (QS.
Thooha: 14)
Satu percikan dari api itu melintasi zaman, untuk menyala
lagi di sudut-sudut gua yang menaungi seorang laki-laki yang sedang bertawassu’
(menyendiri untuk beribadah) dan bersuci —menjauhkan tubuh dan jiwanya dari
kekejian dan keburukan Jahiliyyah. Namun, percikan itu bukanlah api yang
menarik perhatian, melainkan cahaya yang terbentang di hadapan Wahyu yang
diberkahi, yang bersinar di hati yang menderita dengan ilham, petunjuk,
penguatan, dan perhatian. Tiba-tiba Muhammad ﷺ mendengarkan dengan keheranan dan kekaguman suara Malaikat yang
berkata kepada beliau: “Bacalah!” (QS. Al-’Alaq: 1). Maka beliau
menjawab sambil bertanya: “Aku tidak bisa membaca.” Permintaan dan jawaban itu
terulang, kemudian mengalirlah ayat-ayat pertama dari Al-Qur’anul ‘Aziz:
اِقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اِقْرَأْ وَرَبُّكَ
الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Robb-mu yang menciptakan.
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robb-mulah Yang Maha
Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qolam (pena). Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)
Itu adalah Saat yang Paling Agung yang Pernah Dialami Alam
Semesta
Dikatakan tentang saat abadi ketika Wahyu turun—untuk
pertama kalinya—kepada Rosululloh ﷺ:
“Aku berhenti di sini di hadapan peristiwa ini yang sering
kita baca dalam kitab-kitab Siroh dan kitab-kitab Tafsir, kemudian kita berlalu
begitu saja, atau kita berlama-lama sedikit di sana lalu melampauinya!
Ini adalah peristiwa besar. Sangat besar. Besar tanpa batas.
betapa pun kita berusaha saat ini
untuk melingkupi kebesarannya, banyak sisinya akan tetap di luar bayangan kita!
Itu adalah peristiwa besar karena hakikatnya. besar karena maknanya. besar karena dampaknya pada kehidupan
seluruh umat manusia... saat di
mana peristiwa ini terjadi dianggap—tanpa melebih-lebihkan—sebagai saat paling
agung yang pernah dialami bumi ini dalam sejarahnya yang panjang.
Apa hakikat dari peristiwa yang terjadi pada saat ini?
Hakikatnya adalah bahwa Alloh ﷻ, Yang Maha Agung,
Maha Perkasa, Maha Kuat, Maha Sombong, Pemilik seluruh Kerajaan, telah bermurah
hati dalam Keagungan-Nya—lalu memperhatikan makhluk ini yang disebut manusia,
yang berdiam di salah satu sudut alam yang nyaris tidak terlihat bernama bumi.
Dan Dia memuliakan makhluk ini dengan memilih salah satu dari mereka untuk
menjadi tempat bertemunya Cahaya Ilahi-Nya, tempat penyimpanan hikmah-Nya, dan
tempat turunnya Kalimat-kalimat-Nya.
ini adalah
hakikat yang sangat besar tanpa batas. Sisi-sisi keagungannya akan terungkap
ketika manusia membayangkan—sesuai kemampuannya—hakikat uluhiyyah
(ketuhanan) yang mutlak, azali, dan kekal. di
bawah bayangan itu, dia membayangkan hakikat ‘ubudiyyah (perhambaan)
yang terbatas, baru, dan fana. Kemudian dia merasakan dampak dari perhatian
Robbani ini terhadap makhluk insani ini; dan dia merasakan manisnya perasaan
ini. dia menerimanya dengan
kekhusyu’an, syukur, kegembiraan, dan doa... dia
membayangkan Kalimat-kalimat Alloh, yang bergaung di seluruh penjuru alam
semesta, turun kepada manusia ini di sudut terpencil dari sudut-sudut
keberadaan yang kecil!
Apa makna dari peristiwa ini?
Maknanya—di sisi Alloh ﷻ—adalah
bahwa Dia adalah Pemilik Karunia yang Luas, Rohmat yang Melimpah, Maha Mulia,
Maha Mencintai, Maha Pemberi Karunia. Dia melimpahkan pemberian dan rohmat-Nya
tanpa sebab dan alasan, selain bahwa limpahan dan pemberian itu adalah sebagian
dari sifat-sifat Dzat-Nya yang Mulia.
maknanya—di
sisi manusia—adalah bahwa Alloh ﷻ telah memuliakannya dengan kemuliaan yang
tidak terbayangkan, dan dia tidak mampu mensyukurinya. ini saja tidak cukup disyukuri olehnya, meskipun dia
menghabiskan umurnya dalam keadaan ruku’ dan sujud... Itu, bahwa Alloh
mengingatnya, memperhatikannya, menghubungkannya dengan-Nya, dan memilih dari
jenisnya seorang Rosul yang Dia wahyukan Kalimat-kalimat-Nya kepadanya. bumi... tempat tinggalnya... menjadi
tempat turunnya Kalimat-kalimat ini yang bergaung di seluruh penjuru alam
semesta dengan kekhusyu’an dan doa. Adapun dampak dari peristiwa dahsyat ini
pada seluruh kehidupan umat manusia, telah dimulai sejak saat pertama. Ia
dimulai dengan mengubah alur sejarah, sejak ia mulai mengubah alur kesadaran
manusia... Sejak arah yang dituju manusia telah ditetapkan, dan dari mana dia
menerima pandangan, nilai, dan timbangan... Arah itu bukanlah bumi, bukan pula
hawa nafsu... Melainkan langit dan Wahyu Ilahi. sejak saat ini, penduduk bumi yang di dalam jiwanya telah
menetap hakikat ini... hidup dalam naungan dan pemeliharaan Alloh yang langsung
dan nyata. Mereka hidup dengan memandang langsung kepada Alloh dalam setiap
urusan mereka, baik besar maupun kecil. Mereka merasa dan bergerak di bawah
pengawasan mata Alloh.
Berdiri Menghadapi Badai
Dari ‘Aisyah Ummu Mu’minin rodhiyallahu ‘anha, dia
berkata: Awal mula Rosululloh ﷺ
menerima Wahyu adalah mimpi yang sholih (benar) dalam tidur. Beliau tidak
melihat mimpi kecuali mimpi itu datang seperti terangnya fajar. Kemudian beliau
menyukai bersepi-sepi, maka beliau bersepi di gua Hiro’ ber-tahannuts
(beribadah)—yaitu beribadah—selama malam-malam tertentu sebelum kembali kepada
keluarganya. Beliau membawa bekal untuk itu, kemudian kembali kepada Khodijah
untuk mengambil bekal lagi, hingga Kebenaran datang kepada beliau saat beliau
berada di gua Hiro’. Maka Malaikat datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau
bersabda: “Aku tidak bisa membaca.” Beliau bersabda: “Maka Malaikat itu
memelukku dan mendekapku
hingga aku merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku. Dia berkata: ‘Bacalah!’
Aku berkata: ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia memelukku dan mendekapku yang kedua kalinya hingga aku
merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku. Dia berkata: ‘Bacalah!’ Aku
berkata: ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia memelukku dan mendekapku yang ketiga kalinya hingga
aku merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku, lalu berkata:
اِقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ...
“Bacalah dengan (menyebut) nama Robb-mu yang menciptakan.
Dia menciptakan manusia dari segumpal darah...” dst.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)
Maka Rosululloh ﷺ
kembali dengan Wahyu itu dalam keadaan gemetar! Beliau masuk menemui Khodijah bintu
Khuwailid, lalu berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Maka mereka
menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau hilang. Kemudian beliau berkata kepada
Khodijah: “Wahai Khodijah, ada apa denganku?” Beliau menceritakan kabar itu:
kemudian beliau bersabda: “Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.”
Khodijah berkata kepadanya: “Sekali-kali tidak,
bergembiralah, demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh
engkau menyambung tali silaturrohmi, jujur dalam berbicara, menanggung beban
orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam
kesulitan yang menimpa karena kebenaran.”
Khodijah pun membawa beliau pergi hingga menemui Waroqoh bin
Naufal—yang merupakan sepupu Khodijah—dia adalah seorang laki-laki yang menjadi
Nashroni pada masa Jahiliyyah. Dia biasa menulis kitab ‘Ibrooni (Hebrew), dia
menulis dari Injil dengan bahasa ‘Ibrooni apa yang Alloh kehendaki untuk dia
tulis. Dia adalah orang tua yang buta. Khodijah berkata kepadanya: “Wahai
sepupuku, dengarkanlah dari keponakanmu!” Maka Waroqoh berkata kepadanya: “Wahai
keponakanku, apa yang engkau lihat?” Maka Rosululloh ﷺ menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Waroqoh
berkata kepadanya: “Ini adalah An-Namuus (Malaikat Jibril) yang pernah
diturunkan Alloh kepada Musa ‘alaihissalam. Duhai, andai saja aku masih
muda, andai saja aku masih hidup saat kaummu mengusirmu.” Maka Rosululloh ﷺ bersabda: “Apakah
mereka akan mengusirku?” Waroqoh berkata: “Ya! Tidak ada seorang pun yang
datang dengan membawa seperti yang engkau bawa, melainkan dia akan dimusuhi. jika aku mendapati harimu (kenabianmu)
dalam keadaan hidup, niscaya aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.”
Kemudian tidak lama setelah itu Waroqoh meninggal dunia, dan
Wahyu pun terhenti untuk sementara.
Seolah-olah empat puluh tahun yang lalu adalah satu hari,
dan Wahyu dimulai pada pagi hari yang baru!! Sungguh akal yang berputar, yang
mencari, yang bertanya, mulai mencium cahaya kebenaran.
dada yang
sesak, yang terbebani oleh pesimisme dan kebingungan, mulai merasakan kesejukan
keyakinan dan kelapangan harapan, dan perubahan yang tiba-tiba dan jauh
jangkauannya... Itulah kenabian.
Alangkah indahnya karunia yang datang ini, dan alangkah
agungnya urusan dan kesusahan yang akan dihadapi Muhammad di dalamnya! Oleh
karena itu, jiwa beliau segera kembali tenang. sikap istri beliau, Khodijah, terhadap beliau adalah salah
satu sikap paling mulia yang patut dipuji bagi seorang wanita di kalangan
orang-orang terdahulu maupun yang terakhir. Khodijah menenangkan beliau ketika
beliau gelisah, dan mengistirahatkan beliau ketika beliau lelah. Khodijah
mengingatkan beliau tentang keutamaan-keutamaan yang beliau miliki, seraya
menegaskan bahwa orang-orang baik seperti beliau tidak akan pernah dihinakan.
Dan Alloh, ketika Dia menciptakan seorang laki-laki dengan sifat-sifat mulia
yang luhur dan keutamaan-keutamaan yang baik, adalah agar Dia menjadikannya layak
untuk kemuliaan dan kebaikan-Nya.
Dengan pandangan yang matang dan hati yang sholih ini,
Khodijah layak mendapatkan salam dari As-Salaam (Alloh) dari atas tujuh lapis
langit, bahkan beliau mendapatkan kabar gembira berupa rumah di Jannah yang
terbuat dari qoshab (mutiara berongga), yang di dalamnya tidak ada
kegaduhan dan tidak ada keletihan.
Bersamaan dengan apa yang didengar oleh Ummu Mu’minin
Khodijah bahwa kaum Rosululloh ﷺ
akan memerangi dan mengusir beliau—dan dia tahu betul betapa keras dan kuatnya Quroisy...
Bersamaan dengan itu, dia memutuskan untuk menghadapi badai yang diperkirakan
akan datang, dan menerima demi Alloh untuk menanggung penderitaan dan
kesulitan, dan menerima tugas berat ini, yaitu berdiri menghadapi Quroisy. Ini
adalah contoh paling agung bagi kaum Mu’minat yang shodiqoh (jujur) untuk
meneladani Ummu Mu’minin dalam menanggung kesulitan dan penderitaan, demi
membantu suaminya Rosululloh ﷺ,
agar beliau—dengan karunia Alloh—dapat menyebarkan dakwah Islam di antara
kaumnya, kemudian di seluruh penjuru dunia, dan mendirikan Daulah Islam.
Perhentian yang Penuh Makna
Kita dapat berhenti pada perhentian yang penuh makna di
bawah naungan kalimat-kalimat yang segar itu... Kalimat-kalimat cahaya yang
diucapkan Khodijah, kalimat-kalimat kebenaran, ketegasan, dan keyakinan yang
membersihkan kedudukan beliau, seolah-olah dia ingin berkata:
“Wahai Abul Qoosim, wahai insan yang paling sempurna di
antara makhluk, engkau tidak akan ditimpa apa yang engkau khawatirkan menimpa
dirimu yang suci, yang tinggi, berupa kelemahan dalam memikul beban risalah
keabadian yang telah dimuliakan Alloh kepadamu.
Engkau tidak akan lemah, wahai Abul Qoosim, dalam
melaksanakan kewajiban menyampaikan perintah Ilahi, karena Alloh Ta’ala-lah
yang memilihmu untuk itu, dan mengkhususkanmu dengannya, dan Dia lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya.
Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim, diciptakan oleh Alloh
dengan sebaik-baik penciptaan di antara makhluk-Nya, maka Dia tidak akan
menghinakanmu selamanya, dan hati besarmu tidak akan bersedih karena terjadinya
sesuatu yang engkau takutkan dan khawatirkan menimpa dirimu, karena pada dirimu
terdapat sifat-sifat fitroh yang sempurna, akhlak terpuji, budi pekerti yang
diridhoi, perangai yang luhur, kemuliaan yang tertinggi, dan keagungan yang
termulia, yang menjamin kemenangan bagimu, merealisasikan keberuntungan,
kebaikan, dan kesuksesan. engkau
akan menunaikan risalahmu, dan nama baikmu akan abadi.”
di bawah
naungan kalimat pertama Khodijah, dia tidak berkata: “engkau menyambung tali silaturrohmi,” tetapi: “Engkau, wahai
Abul Qoosim, adalah orang yang menyambung tali silaturrohmi, engkau mendekatkan
yang jauh, mendekati yang terpisah, menghilangkan dendam, menanamkan keakraban
dan cinta kasih. silaturrohmi ini
adalah pokok dari pokok-pokok keluhuran akhlak yang merupakan sifat dasarmu.”
yang kedua
dari kalimat-kalimat itu: “Sungguh engkau jujur dalam berbicara.” Dia ingin
berkata: “Maka engkau adalah Ash-Shoodiq (yang jujur) yang dibenarkan, dan
Ash-Shoodiqul Amiin (yang jujur dan terpercaya). Kejujuran dalam berbicara
adalah watak bagimu. Jika engkau mengatakan sesuatu, maka segala yang ada di
sekitarmu akan berkata dan dunia akan berseru: ‘Engkau benar... wahai Abul
Qoosim, engkau benar.’ Kaummu—meskipun mereka sombong dan angkuh—menjulukimu ‘Al-Amiin’
di antara mereka. Mereka bersaksi atas diri mereka sendiri, seraya berkata: ‘Kami
tidak pernah menemukan kebohongan pada dirimu.’”
yang ketiga
dari kalimat-kalimat itu, dia berkata: “engkau
menanggung beban orang lain.”
“Engkau menanggung beban orang lain, beban orang lemah yang
dilemahkan oleh hari-hari dan malam-malam. Jiwamu yang mulia, dan hatimu yang
penyayang, tidak rela melihat orang lemah yang punggungnya terbebani oleh
kehidupan. Engkau berbuat baik kepadanya dengan kebaikan yang menghidupkan
jiwanya dan membangkitkan harapannya.”
sifat keempat
dari kalimat-kalimat yang indah itu adalah perkataannya: “engkau memberi orang yang tidak punya.”
“Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim, memberi orang yang tidak
punya dengan kedermawanan dan pengorbananmu. Sungguh Alloh telah menciptakanmu
di atas kemuliaan kedermawanan. Maka engkau adalah orang yang paling dermawan,
bahkan engkau lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang bertiup.”
Imam Adz-Dzahabiy (748 H) berkata dalam kitab beliau, Al-Mawaahib
Al-Ladunniyyah bil Minahil Muhammadiyyah: “Sungguh kedermawanan Nabi ﷺ adalah seluruhnya
karena Alloh, dan untuk mencari keridhoan-Nya. Kadang-kadang beliau memberikan
harta kepada fakir miskin atau orang yang membutuhkan, dan kadang-kadang beliau
membelanjakannya di jalan Alloh, dan kadang-kadang beliau menggunakannya untuk
melunakkan hati orang yang dengannya Islam menjadi kuat. Beliau mendahulukan
orang lain di atas diri beliau dan anak-anak beliau. Beliau memberi dengan
pemberian yang tidak mampu dilakukan oleh raja-raja seperti Kisro dan Qoisor,
tetapi beliau hidup dengan kehidupan orang fakir. Beliau bahkan melewati satu
bulan dan dua bulan tanpa ada api yang menyala di rumah beliau, dan terkadang
beliau mengikat batu di perut beliau yang mulia karena kelaparan.” (Al-Mawaahib
Al-Ladunniyyah, 2/372)
yang kelima
dari naungan kalimat Khodijah adalah perkataannya: “engkau memuliakan tamu.”
Khodijah ingin berkata: “Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim,
tidak akan dihinakan Alloh selamanya, karena memuliakan tamu adalah salah satu
keutamaan insani yang paling agung. Di dalamnya terdapat dampak yang besar
dalam menarik hati dan menawan jiwa, terutama di lingkungan tempat Muhammad
dibangkitkan, yang miskin akan kebutuhan hidup dan sarana kehidupan, karena
adanya gurun, gunung, lembah, dan padang pasir.”
yang keenam
dari kalimat Ummu Mu’minin Khodijah adalah perkataannya: “engkau membantu dalam kesulitan.”
Seolah-olah Ummu Mu’minin Khodijah ingin berkata: “Wahai
Abul Qoosim, sesungguhnya salah satu sifatmu yang paling khas adalah engkau
membantu dalam kesulitan yang menimpa karena kebenaran. Itu adalah fitroh yang
Alloh ciptakan padamu, dan watak yang Dia tanamkan padamu. Membantu dalam
kesulitan adalah keutamaan dari segala keutamaan, dan kemuliaan dari segala
kemuliaan. Ia adalah sumber dari segala kebaikan, dan ia adalah sifat terpuji
dari kebaikan dan kebajikan.”
Tentang sikap mulia Khodijah ini, bintu Asy-Syaathi’
(Fathimah bintu Asy-Syaathi’ atau ‘Aisyah ‘Abdurrohmaan) berkata:
“Adakah wanita lain selain dia yang bisa menyediakan suasana
yang mendukung untuk perenungan (Nabi), dan mengorbankan dirinya sendiri dengan
pengorbanan yang langka—yaitu apa yang disiapkan Nabi untuk menerima risalah
langit?
Adakah istri selain dia yang bisa menyambut dakwah beliau
yang bersejarah dari gua Hiro’ dengan kelembutan yang meluap, kasih sayang yang
melimpah, dan keimanan yang kokoh seperti yang dia lakukan, tanpa sedikit pun
keraguan tentang kejujuran beliau, dan keyakinan yang tidak pernah hilang bahwa
Alloh tidak akan pernah menghinakan beliau?
Adakah kemampuan pada seorang wanita selain Khodijah—yang
kaya, makmur, dan dimanjakan—untuk merelakan dengan ikhlas semua kenyamanan dan
kemewahan yang ia kenal agar dapat berdiri di samping beliau pada saat-saat paling
sulit, dan membantu beliau menanggung berbagai macam penderitaan dan berbagai
bentuk kezholiman di jalan yang dia yakini sebagai kebenaran?
Tidak... Hanya dialah satu-satunya yang diberi karunia oleh
Alloh untuk mengisi kehidupan laki-laki yang dijanjikan kenabian, dan dia
adalah orang pertama yang masuk Islam, dan Alloh menjadikannya tempat
berlindung, ketenangan, dan menteri bagi Rosul-Nya.” (Nisaa’ Ahlil Bait,
hlm. 237)
Hati Pertama yang Bergetar dengan Islam
Sungguh Islam telah mengangkat kedudukan wanita melebihi apa
yang diimpikan oleh khayalan dan harapan mereka. Alloh menurunkan ayat-ayat
dari Adz-Dzikrul Hakiim (Al-Qur’an) yang cahayanya menyilaukan mata mereka,
hujahnya menguasai jiwa mereka, balaghoh (keindahan bahasanya) dan alirannya
yang baik menyentuh hati mereka. Mereka mendengarkan tentang bagaimana Alloh
menggambarkan rohmat, kekuasaan, Naar (Neraka), dan Jannah (Surga), dan apa
yang Dia sediakan bagi para wanita shobiroh (yang bersabar) dan wanita muhsinah
(yang berbuat baik) berupa pahala yang melimpah dan kedudukan yang tinggi.
Semua itu membangkitkan perasaan mereka, melimpahi jiwa mereka, dan menerangi
mata hati mereka. Maka pantaslah cinta kepada Islam itu menembus hati mereka,
mengalir dalam darah mereka, dan bersemayam di tulang rusuk mereka.
Demikianlah keadaan wanita-wanita Arob. Sesungguhnya hati
pertama yang bergetar dengan Islam, dan bersinar dengan cahayanya, adalah hati
seorang wanita dari kalangan mereka, yaitu pemimpin wanita di seluruh alam pada
zamannya: Ummu Al-Qoosim Khodijah bintu Khuwailid.
Imam ‘Izzud Diin Ibnu Al-Atsir (630 H) berkata: “Khodijah
adalah makhluk Alloh pertama yang masuk Islam, berdasarkan ijma’ kaum Muslimin.”
(Asadul Ghoobah, 7/78)
Wanita itu bukanlah wanita biasa. Sungguh dia dikaruniai
keagungan kearifan, pandangan yang jauh ke depan, di samping kesucian nasab dan
kecerdasan hati, yang sulit ditemukan pada kebanyakan laki-laki. Dia tidak
menerima agama ini karena mengikuti orang lain, tidak pula karena basa-basi.
Sebaliknya, dia menerimanya karena terkesan dengannya dan merindukannya.
Rumah Tangga yang Diberkahi
Demikianlah Khodijah adalah orang pertama yang masuk Islam,
begitu pula putri-putri beliau... Bahkan setiap orang yang ada di rumah tangga
yang diberkahi ini termasuk orang-orang yang bersegera masuk Islam—seperti ‘Ali
bin Abi Thoolib dan Zaid bin Haaritsah.
Rumah tangga ini adalah sebaik-baik rumah tangga di seluruh
alam semesta... Dari rumah ini lahirlah Khodijah—pemimpin wanita di seluruh
alam —dan dari rumah ini lahirlah putrinya Fathimah—pemimpin
wanita ahli Jannah —dan sebelum semua itu, di rumah inilah Wahyu turun kepada
Al-Habiib Muhammad ﷺ,
dan pemimpin orang-orang terdahulu dan terakhir hidup di dalamnya.
Dari rumah ini “lahirlah” ‘Ali bin Abi Thoolib—salah seorang
dari sepuluh orang yang dijamin masuk Jannah —dan dari rumah ini “lahirlah”
Zaid bin Haaritsah—yang mana Alloh Ta’ala tidak pernah menyebut nama
Shohabat lain dalam Kitab-Nya selain beliau —maka Alloh berfirman:
فَلَمَّا
قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan engkau dengan dia.” (QS. Al-Ahzab:
37)
Al-Muhibb Ath-Thobariy (694 H) menyebutkan bahwa rumah
Khodijah adalah tempat paling utama di Makkah setelah Masjidil Harom...
Barangkali itu karena lamanya Nabi ﷺ
tinggal di sana dan turunnya Wahyu kepada beliau di dalamnya.
Imam Al-Faasiy (832 H) menyebutkan bahwa di antara
rumah-rumah yang diberkahi di Makkah adalah rumah Khodijah bintu Khuwailid Ummu
Mu’minin rodhiyallahu ‘anha. Di rumah ini lahirlah Fathimah, pemimpin
wanita di seluruh alam, dan saudara-saudarinya. Beliau juga menyebutkan bahwa
Nabi Al-Karim menikah dengan Khodijah di dalamnya, dan Khodijah wafat di sana.
Nabi Al-Karim ﷺ
terus tinggal di sana hingga beliau hijroh ke Madinah Al-Munawwaroh. Kemudian ‘Aqil
bin Abi Thoolib mengambilnya, lalu Mu’awiyah bin Abi Sufyaan rodhiyallahu ‘anhu
membelinya saat dia menjadi kholiifah (pemimpin), lalu dia menjadikannya Masjid
untuk Sholat di dalamnya.
Di Naungan Al-Habiib
Khodijah terus mendampingi Al-Habiib ﷺ selama kurang lebih
seperempat abad. Dia mengambil manfaat langsung dari petunjuk, kepemimpinan,
akhlak, ilmu, dan kasih sayang beliau. Khodijah berada dalam kebahagiaan yang
melimpah yang pena saya tidak mampu menggambarkannya. Bahkan kata-kata pun akan
merasa malu dan segan di hadapannya.
Beliau Sholat bersama Nabi ﷺ, yaitu Sholat yang pada saat itu hanya dua roka’at di pagi
hari, dan dua roka’at di sore hari. Itu sebelum diwajibkannya Sholat lima waktu
pada malam Isroo’ (Perjalanan Malam)
Dari ‘Urwah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha,
dia berkata: Sholat pertama kali diwajibkan dua roka’at, lalu ia dua roka’at
ditetapkan untuk Sholat dalam safar (perjalanan), dan disempurnakan (4 roka’at)
untuk Sholat saat mukim (tidak bepergian). (Muttafaqun ‘alaihi: HR.
Al-Bukhori no. 1090 dan Muslim no. 685)
Itu karena Khodijah wafat sebelum diwajibkannya Sholat
wajib. Dari Jaabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu: Rosululloh ﷺ ditanya tentang
Khodijah, bahwa dia wafat sebelum turunnya kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum?
Beliau bersabda: “Aku melihatnya di sungai di antara sungai-sungai Jannah, di
dalam rumah yang terbuat dari qoshob (mutiara berongga), yang di
dalamnya tidak ada kegaduhan dan tidak ada keletihan.”
beliau ditanya
tentang Abu Thoolib: “Apakah dia mendapatkan manfaat?” Beliau bersabda: “Aku mengeluarkannya
dari Naar (Neraka) menuju tempat yang dangkal.” (HR. Ath-Thobaroniy dalam
Al-Ausath dan Al-Kabiir dengan ringkasan, dan para rowinya adalah rowi yang
shohih selain Mujaalid bin Sa’iid yang telah dianggap tsiqot (terpercaya),
khususnya dalam Hadits-Hadits Jaabir. Al-Haytsamiy berkata dalam Al-Majma’,
9/152)
Dari ‘Afiif Al-Kindiy, dia berkata: Al-‘Abbaas bin ‘Abdul
Muththolib adalah temanku, dan dia biasa bolak-balik ke Yaman untuk membeli dan
menjual wewangian pada musim Haji. Suatu saat, ketika aku berada di sisi Al-‘Abbaas
di Mina, datanglah seorang laki-laki yang sudah baligh—dia sudah kuat
badannya—lalu berwudhu dan menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian dia berdiri
Sholat. Lalu keluarlah seorang wanita, lalu berwudhu, kemudian berdiri Sholat.
Kemudian keluar seorang anak laki-laki yang hampir baligh, lalu berwudhu,
kemudian berdiri di sampingnya Sholat. Maka aku berkata: “Celaka engkau wahai ‘Abbaas,
agama apa ini?”
‘Abbaas berkata: “Ini adalah agama Muhammad bin ‘Abdillah,
keponakanku. Dia mengklaim bahwa Alloh telah mengutusnya sebagai Rosul. ini keponakanku ‘Ali bin Abi Thoolib
telah mengikutinya dalam agamanya. ini
istrinya Khodijah telah mengikutinya dalam agamanya.”
‘Afiif berkata setelah dia masuk Islam dan keimanannya
kokoh: “Duhai, andai saja aku adalah yang keempat!” (Uyuunul Atsar, 1/116;
As-Siroh Al-Halabiyyah, 1/436)
Makkah Meledak dengan Perasaan Marah
Nabi ﷺ
mulai menyeru kaumnya dan kerabat beliau kepada Islam dan Tauhid.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Ketika ayat ini diturunkan:
وَأَنذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
“berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aroo’: 214).
Rosululloh ﷺ menyeru Quroisy, maka
mereka berkumpul, lalu beliau menyeru secara umum dan khusus. Beliau bersabda: “Wahai
Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkanlah diri kalian dari Naar (Neraka)... wahai
Bani Murroh bin Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abd
Syams, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abd Manaaf,
selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani Haasyim, selamatkanlah diri
kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abdul Muththolib, selamatkanlah diri kalian
dari Naar... wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari Naar... Sungguh aku
tidak memiliki kekuasaan apa pun dari Alloh untuk kalian, selain bahwa kalian
memiliki hubungan kerabat yang akan aku sambung dengan penyambungan yang baik.”
(Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 2753 dan Muslim no. 204)
Di sini, orang-orang musyrik memutuskan untuk tidak
menyia-nyiakan upaya sedikit pun dalam memerangi Islam, menyakiti orang-orang
yang masuk ke dalamnya, dan menimpakan kepada mereka berbagai macam penyiksaan
dan penderitaan. Sejak Rosululloh ﷺ
terang-terangan menyerukan dakwah kepada Alloh, dan menyatakan kepada kaumnya
kesesatan dari apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Makkah meledak
dengan perasaan marah, dan selama sepuluh tahun mereka menganggap kaum Muslimin
sebagai pembangkang yang memberontak. Maka bumi pun berguncang dari bawah kaki
mereka, dan mereka menghalalkan darah, harta, dan kehormatan mereka di Tanah
Harom yang aman. Kedudukan mereka menjadi menanggung kezholiman dan menghadapi
ancaman.
Kebencian yang menyala ini disertai dengan perang ejekan dan
penghinaan, yang tujuannya adalah melemahkan kaum Muslimin dan merendahkan
kekuatan moral mereka.
Kesabaran dan Penghitungan Pahala
Khodijah rodhiyallahu ‘anha melihat apa yang dialami
oleh Al-Habiib ﷺ
berupa gangguan dan ejekan. Maka dia menghibur beliau, menguatkan beliau,
meringankan beban beliau, dan meremehkan urusan orang-orang di mata beliau.
Dengan demikian, dia menjadi contoh agung dan unik bagi setiap Muslimah—yang
suaminya adalah dai kepada Alloh Ta’ala—untuk meringankan beban beliau
dari cobaan-cobaan yang membuat orang yang arif pun bingung.
Di antara cobaan-cobaan yang Khodijah alami bersama
peristiwanya... adalah gangguan yang ditimpakan oleh orang-orang musyrik kepada
Al-Habiib.
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud rodhiyallahu ‘anhu: Nabi ﷺ sedang Sholat di
dekat Ka’bah, sementara Abu Jahl dan beberapa temannya sedang duduk. Tiba-tiba
sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Siapakah di antara kalian
yang akan mengambil plasenta unta Bani Fulaan lalu meletakkannya di atas
punggung Muhammad ketika dia sujud?” Maka orang yang paling celaka dari kaum
itu bangkit lalu mengambilnya. Dia menunggu hingga Nabi ﷺ sujud, lalu
meletakkannya di atas punggung beliau, di antara kedua bahu beliau. aku melihat, tetapi aku tidak bisa
berbuat apa-apa, andai saja aku memiliki kekuatan untuk mencegah. ‘Abdullah
berkata: “Maka mereka tertawa terbahak-bahak dan saling menunjuk satu sama
lain. Rosululloh ﷺ
sedang sujud dan tidak mengangkat kepala beliau, hingga Fathimah rodhiyallahu
‘anha datang lalu membuangnya dari punggung beliau.” Rosululloh ﷺ mengangkat kepala
beliau, kemudian bersabda: “Ya Alloh, hukumlah Quroisy,” tiga kali. Mereka
merasa takut ketika beliau mendoakan keburukan atas mereka. Beliau bersabda: “mereka yakin bahwa doa di negeri itu
akan dikabulkan.” Kemudian beliau menyebutkan nama: “Ya Alloh, hukumlah Abu
Jahl, dan hukumlah ‘Utbah bin Robii’ah, dan Syaibah bin Robii’ah, dan Al-Waliid
bin ‘Utbah, dan Umayyah bin Kholaf, dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith.” beliau menyebutkan nama ketujuh, tetapi
rowi tidak menghafalnya. ‘Abdullah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sungguh aku melihat orang-orang yang disebut Rosululloh ﷺ terbunuh di Qoliib,
sumur Badar.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 240 dan Muslim no.
1794)
Dan Muslim meriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: Abu Jahl berkata: “Apakah Muhammad menempelkan wajahnya ke tanah
di hadapan kalian?” Maka dikatakan: “Ya!” Maka dia berkata: “Demi Lata dan ‘Uzza,
jika aku melihat dia melakukannya, sungguh aku akan menginjak lehernya, atau
menempelkan wajahnya di tanah.” Abu Huroiroh berkata: “Maka dia mendatangi
Rosululloh ﷺ yang sedang Sholat,
dia bermaksud menginjak leher beliau. Maka tiba-tiba dia mundur ke belakang dan
menangkis dengan kedua tangannya.” Dikatakan kepadanya: “Ada apa denganmu,
wahai Abul Hakam?” Dia berkata: “Sungguh antara aku dan dia ada parit api,
ketakutan, dan sayap-sayap.” Maka Rosululloh ﷺ bersabda:
لَوْ دَنَا
مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا
“Andai saja dia mendekatiku, niscaya Malaikat akan
menyambarnya anggota demi anggota.” (Shohih, HR. Muslim no. 2797)
Dari ‘Urwah bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Amr bin Al-‘Aash rodhiyallahu ‘anhuma:
“Ceritakanlah kepadaku tentang perkara paling berat yang dilakukan orang-orang
musyrik kepada Nabi ﷺ.”
Dia berkata: “Saat Nabi ﷺ
sedang Sholat di sisi Ka’bah, tiba-tiba ‘Uqbah bin Abi Mu’ith datang lalu
meletakkan kainnya di leher beliau, dan mencekik beliau dengan cekikan yang
sangat kuat. Maka Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu datang, lalu memegang
bahunya dan mendorongnya dari Nabi ﷺ,
dan berkata:
أَتَقْتُلُونَ
رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ
‘Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena dia
berkata: Robb-ku adalah Alloh?’” (QS. Ghoofir: 28) (Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3856)
Begitu pula para Shohabat Nabi ﷺ mengalami berbagai macam gangguan dan cobaan yang paling berat.
Dari Khobbaab bin Al-Arott rodhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Aku mendatangi Nabi ﷺ
saat beliau sedang bersandar di selendang beliau, di bawah naungan Ka’bah. Kami
telah merasakan penderitaan yang berat dari orang-orang musyrik, maka aku
berkata: “Wahai Rosululloh, tidakkah engkau berdoa kepada Alloh?” Maka beliau
duduk, dan wajah beliau memerah, lalu bersabda: “Sungguh orang-orang sebelum
kalian, ada yang disisir dengan sisir besi hingga mengenai tulang mereka, tanpa
ada daging atau urat di bawahnya, tetapi hal itu tidak memalingkan mereka dari
agama mereka. ada yang diletakkan
gergaji di belahan kepalanya lalu dibelah menjadi dua, tetapi hal itu tidak
memalingkan mereka dari agama mereka. Sungguh Alloh akan menyempurnakan urusan
ini, hingga seorang penunggang kuda berjalan dari Shohro’ ke Hadhromaut tanpa
takut kepada siapa pun kecuali Alloh.” (Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3852 dan
Ahmad no. 109/5)
Ibnu Al-Qoyyim (751 H) rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Tujuannya
adalah bahwa Alloh ﷻ
telah menetapkan dengan hikmah-Nya bahwa Dia pasti akan menguji jiwa-jiwa dan
mencobanya, sehingga dengan ujian itu terbedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, dan siapa yang layak untuk muwaalah (kecintaan) dan kemuliaan-Nya,
dan siapa yang tidak layak. agar
Dia membersihkan jiwa-jiwa yang layak untuk-Nya dan memurnikannya dengan kiir
(alat penempa) ujian, seperti emas yang tidak akan bersih dan murni dari
campurannya kecuali dengan ujian. Karena pada dasarnya jiwa itu jahil dan
zholim. telah melekat padanya
keburukan dari kejahilan dan kezholiman, yang keluarnya memerlukan proses
penempaan dan pemurnian. Jika keburukan itu keluar di dunia ini, maka itu baik,
tetapi jika tidak, maka itu akan keluar di tungku Naar Jahanam. Jika seorang
hamba telah disucikan dan dibersihkan, dia akan diizinkan masuk Jannah.”
(Zaadul Ma’aad, 3/18)
Dr. Musthofa As-Sibaa’iy berkata: “Sesungguhnya keteguhan
kaum Mu’minin pada aqidah mereka, setelah orang-orang jahat dan sesat menimpakan
berbagai macam adzab dan penindasan kepada mereka, adalah bukti kebenaran iman
mereka, ketulusan mereka dalam keyakinan mereka, dan keluhuran jiwa serta ruh
mereka. Sehingga mereka menganggap ketenangan hati nurani, ketenteraman jiwa
dan akal yang mereka miliki, dan harapan mereka akan keridhoan Alloh ﷻ
jauh lebih agung daripada penderitaan dan kezholiman yang menimpa tubuh mereka.”
(As-Siroh An-Nabawiyyah Duruus wa ‘Ibar, hlm. 49)
Awan Kesedihan... dan Hijroh ke Habasyah
Ketika gangguan orang-orang musyrik terhadap kaum muwahhidiin
(yang mengesakan Alloh) semakin meningkat hari demi hari, Nabi ﷺ mengizinkan para
Shohabat beliau untuk hijroh ke Habasyah (Ethiopia).
Sungguh awal mula penindasan terjadi pada pertengahan atau
akhir tahun keempat kenabian. Awalnya lemah, kemudian terus meningkat hari demi
hari, dan bulan demi bulan, hingga menjadi parah dan memuncak pada pertengahan
tahun kelima. Hingga tinggal di Makkah menjadi sulit bagi mereka, dan memaksa
mereka untuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari adzab yang pedih
ini.
Pada saat yang sulit dan gelap ini, turunlah Surat Al-Kahf,
sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang
musyrik kepada Nabi ﷺ.
Namun, surat itu memuat tiga kisah yang di dalamnya terdapat isyarat-isyarat
yang mendalam dari Alloh Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Kisah Ash-haabul Kahfi (Penghuni Gua) mengarahkan kepada hijroh dari
pusat-pusat kekufuran dan permusuhan ketika ada kekhawatiran akan fitnah
terhadap agama, dengan bertawakkal kepada Alloh:
وَإِذِ
اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ
لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِ، وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا
“apabila
kalian telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain
Alloh, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Robb kalian akan
melimpahkan sebagian rohmat-Nya kepada kalian dan menyediakan bagi kalian
sesuatu yang berguna bagi urusan kalian.” (QS. Al-Kahf: 16)
kisah Khidhr
dan Musa menunjukkan bahwa keadaan tidak selalu berjalan dan menghasilkan
sesuai dengan yang terlihat. Bahkan, terkadang keadaannya berlawanan sama
sekali dengan yang terlihat. Di dalamnya terdapat isyarat halus bahwa
peperangan melawan kaum Muslimin akan berbalik sama sekali, dan para tiran
musyrik ini—jika mereka tidak beriman—akan dibinasakan di hadapan kaum Muslimin
yang lemah dan tertindas ini.
kisah Dzul
Qornain menunjukkan bahwa bumi adalah milik Alloh, Dia mewariskannya kepada
siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. sungguh keberuntungan itu hanya ada di jalan keimanan, bukan
kekufuran. sungguh Alloh akan
terus membangkitkan dari hamba-hamba-Nya—dari waktu ke waktu—orang yang akan
menyelamatkan orang-orang lemah dari Ya’juj dan Ma’juj zaman itu. yang paling berhak mewarisi bumi adalah
hamba-hamba Alloh yang sholih.
Kemudian turunlah Surat Az-Zumar yang mengisyaratkan tentang
Hijroh, dan menyatakan bahwa bumi Alloh itu tidaklah sempit:
لِلَّذِينَ
أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةُ إِنَّمَا يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini ada
kebaikan. bumi Alloh itu luas.
Sungguh, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dan Rosululloh ﷺ
telah mengetahui bahwa Ashomah An-Najaasyi, raja Habasyah, adalah raja yang
adil yang di sisinya tidak ada yang dizholimi. Maka beliau memerintahkan kaum
Muslimin untuk hijroh ke Habasyah untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah.
Pada bulan Rojab tahun kelima kenabian, berhijrohlah
rombongan pertama dari para Shohabat ke Habasyah. Rombongan itu terdiri dari
dua belas laki-laki dan empat wanita. Pemimpin mereka adalah ‘Utsman bin ‘Affaan,
dan bersamanya As-Sayyidah Ruqoyyah bintu Rosulillah ﷺ. Nabi ﷺ
bersabda tentang keduanya: “Sungguh keduanya adalah keluarga pertama yang
berhijroh di jalan Alloh setelah Ibrohim dan Luuth ‘alaihimas salaam.” (Rohmah
lil ‘Aalamiin, 1/61)
Dan Ibu kita Khodijah berdiri bersama Rosululloh ﷺ untuk mengantar putri
beliau, Ruqoyyah, dan suaminya, ‘Utsman, dengan air mata menetes di pipinya...
Namun, Khodijah bersabar dan menghitung pahala, karena dia berharap dari lubuk
hatinya yang paling dalam untuk mengorbankan segalanya demi menolong agama yang
agung ini, betapa pun harganya. Segala sesuatu menjadi ringan selama dalam
rangka mencari keridhoan Alloh.
Lembaran Kezholiman dan Pemboikotan Umum
Imam Muhammad bin Yuusuf Ash-Shoohiliy Asy-Syaamiy berkata: “Al-Aswad,
Az-Zuhriy, Muusa bin ‘Uqbah, dan Ibnu Ishaaq berkata: Ketika Quroisy melihat
para Shohabat Rosululloh ﷺ
telah menetap di negeri di mana mereka mendapatkan keamanan dan ketenangan. bahwa An-Najaasyi telah melindungi
orang-orang yang berlindung kepadanya dari mereka. bahwa ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu telah masuk Islam, dan
dia adalah laki-laki yang teguh pendiriannya, tidak ada yang berani melampaui
batas di belakangnya. Para Shohabat Rosululloh ﷺ menjadi kuat dengan adanya dia dan Hamzah, hingga mereka
menjadi berharga di mata Quroisy. Dia dan Hamzah bersama Rosululloh ﷺ dan para Shohabat
beliau. Dan Islam mulai tersebar di kalangan suku-suku.
Maka mereka membulatkan tekad dan sepakat untuk membunuh
Rosululloh ﷺ. Mereka berkata: “Dia
telah merusak anak-anak dan istri-istri kita.” Mereka berkata kepada kabilah Muhammad
ﷺ:
“Ambillah dari kami diyah (tebusan) yang berlipat ganda, dan biarkanlah
seorang laki-laki dari selain Quroisy membunuhnya, dan kalian akan
beristirahat.”
Kaum beliau, Bani Haasyim, menolak hal itu, dan Bani ‘Abdul
Muththolib bin ‘Abd Manaaf mendukung mereka.
Ketika Quroisy mengetahui bahwa Rosululloh ﷺ telah dilindungi oleh
kaum beliau, maka orang-orang musyrik Quroisy bersepakat untuk memusuhi mereka
dan mengusir mereka dari Makkah ke Shi’b (lembah). Mereka bersepakat dan
bermusyawarah untuk menulis sebuah lembaran (perjanjian) di mana mereka
berjanji untuk tidak menikah dengan Bani Haasyim dan Bani Al-Muththolib, dan
tidak menikahkan anak mereka dengan mereka. Tidak menjual apa pun kepada
mereka, tidak membeli apa pun dari mereka, tidak menerima perdamaian dari
mereka, dan tidak merasa kasihan kepada mereka hingga mereka menyerahkan
Rosululloh ﷺ untuk dibunuh.
Ketika mereka berkumpul untuk itu, mereka menulis lembaran
tersebut. Kemudian mereka berjanji dan bersumpah atas hal itu, lalu menggantung
lembaran itu di dalam Ka’bah sebagai penguat janji mereka. Mereka memutus jalur
pasar dari mereka. Mereka tidak meninggalkan makanan, lauk pauk, atau jual beli
kecuali mereka segera membelinya agar tidak sampai kepada mereka.
Ketika Quroisy melakukan hal itu, Bani Haasyim dan Bani
Al-Muththolib pun mengasingkan diri ke tempat Abu Thoolib, dan masuk bersamanya
ke lembah beliau, baik yang beriman maupun yang kaafir. Yang beriman karena
agamanya, dan yang kaafir karena fanatisme kesukuan. Hanya Abu Lahab yang
keluar dari Bani Haasyim untuk bergabung dengan Quroisy, dan mendukung mereka.
Pengepungan semakin ketat, dan pasokan makanan serta bahan
baku terputus dari mereka. Orang-orang musyrik tidak membiarkan makanan masuk
ke Makkah, dan tidak ada jual beli kecuali mereka segera membelinya. Hingga
kaum Muslimin mengalami penderitaan yang amat sangat, dan terpaksa memakan
daun-daunan dan kulit. Sampai-sampai terdengar dari balik lembah suara tangisan
wanita dan anak-anak mereka karena kelaparan. Tidak ada yang sampai kepada
mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak keluar dari lembah untuk
membeli kebutuhan kecuali pada bulan-bulan harom. Mereka membeli dari kafilah
yang datang ke Makkah dari luar, tetapi penduduk Makkah menaikkan harga barang
kepada mereka hingga mereka tidak mampu membeli.
Terkadang Hakim bin Hizaam membawa gandum kepada bibinya
Khodijah. Suatu kali dia dihadang oleh Abu Jahl, dan dicegah untuk
melanjutkannya. Maka Abu Al-Bukhthuriy ikut campur di antara
keduanya, dan membiarkan Hakim membawa gandum itu kepada bibinya.
Abu Thoolib mengkhawatirkan Rosululloh ﷺ. Jika orang-orang
telah tidur, dia memerintahkan Rosululloh ﷺ untuk berbaring di tempat tidur beliau, agar dilihat oleh orang
yang ingin membunuh beliau. Jika orang-orang telah tidur, dia memerintahkan
salah satu putranya, atau saudaranya, atau sepupunya, untuk berbaring di tempat
tidur Rosululloh ﷺ,
dan beliau diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Rosululloh ﷺ
dan kaum Muslimin keluar pada hari-hari musim Haji, lalu bertemu dengan
orang-orang, dan menyeru mereka kepada Islam.
Ibnu Katsir (774 H) berkata: “Kemudian beberapa orang dari Quroisy
berusaha untuk membatalkan lembaran kezholiman itu. Orang yang paling gigih
dalam urusan itu adalah Hisyaam bin ‘Amr bin Robii’ah bin Al-Haarits bin Habiib
bin Judzaimah bin Malik bin Hisl bin ‘Aamir bin Lu’ay. Dia mendatangi Muth’im
bin ‘Adiy dan sekelompok orang dari Quroisy, lalu mereka menyambut seruannya.
Rosululloh ﷺ memberitahu kaum
beliau bahwa Alloh telah mengirimkan sejenis rayap kepada lembaran itu, lalu
rayap itu memakan semua yang ada di dalamnya kecuali lafazh BismiKal-laahumma
(Dengan nama-Mu, ya Alloh)
Maka benarlah apa yang beliau katakan. Kemudian Bani Haasyim
dan Bani Al-Muththolib kembali ke Makkah, dan perdamaian tercapai meskipun Abu
Jahl ‘Amr bin Hisyaam menolaknya.” (Al-Fushuul fii Ikhtishoor Siirotir
Rosuul, Ibnu Katsir, hlm. 90-91)
Ath-Thoohiroh Ibu kita Khodijah—semoga Alloh meridhoinya—tetap
berada di belakang Rosululloh ﷺ,
menguatkan beliau, dan ikut serta dalam menanggung penderitaan dari kaumnya
dengan jiwa yang ridho, sabar, dan menghitung pahala. Hingga Alloh Ta’ala
menetapkan keputusan-Nya dalam pemboikotan yang zholim dan pahit ini, yang
menjadi pedang terhunus di leher orang-orang Mu’min yang terkepung yang beriman
kepada risalah Muhammad.
Pengepungan berakhir, dan Ath-Thoohiroh Khodijah Ummu Mu’minin
keluar dari pengepungan dengan memenangkan buah kesabarannya. Dia melanjutkan hidupnya
bersama Rosululloh ﷺ
sebagai istri yang setia, bernaung di bawah keteduhan kesetiaan, kejujuran
iman, dan kesabaran yang baik. dengan
keteguhan kaum Muslimin menghadapi kesulitan yang mengerikan ini, Alloh
menjadikan mereka sebagai pemilik kedudukan yang tinggi di Akhiroh, dan
menjadikan mereka pemimpin di muka bumi di dunia. itulah balasan bagi orang-orang yang bersabar, dan pahala
bagi orang-orang yang bersyukur.
Dan Alloh membalas mereka di Jannah Al-Khuld (Surga yang
kekal) atas kesabaran mereka, dan itu adalah sebaik-baik balasan.
Alloh ﷻ Mengucapkan Salam Kepada Khodijah
Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Jibril
datang kepada Nabi ﷺ
saat Khodijah berada di sisi beliau, lalu berkata: “Sungguh Alloh mengucapkan
salam kepada Khodijah.” Maka Khodijah berkata: “Sungguh Alloh adalah As-Salaam
(Maha Pemberi Keselamatan), dan atas Jibril keselamatan, dan atas engkau
keselamatan dan rohmatullohi wa barokaatuh.” (HR. An-Nasaa-iy dalam
Fadhoil
Ash-Shohaabah no. 254, dan sanadnya hasan)
Duhai, betapa faqih dan cerdasnya ibu kita. Dia telah
mempelajari semua adab, dan menjalaninya di rumah Nabi ﷺ yang Alloh kumpulkan
untuk beliau semua keutamaan, manqobah, dan kemuliaan. Maka Alloh
berfirman:
وَإِنَّكَ
لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“sungguh engkau
benar-benar berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qolam: 4)
Balasan Sesuai dengan Perbuatan
Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Jibril datang kepada Nabi ﷺ
lalu berkata: “Wahai Rosululloh, ini Khodijah telah datang, bersamanya wadah
berisi lauk, atau makanan, atau minuman. Maka jika dia datang kepadamu,
ucapkanlah salam kepadanya dari Robb-nya dan dariku. berilah dia kabar gembira berupa rumah di Jannah yang terbuat
dari Qoshob (mutiara berongga), tidak ada suara gaduh di dalamnya, dan tidak
ada keletihan.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 3820 dan Muslim no.
2432)
Maka marilah kita ketahui mengapa kabar gembira itu berupa
rumah dari Qoshob? mengapa Qoshob secara khusus?
Ibnu Hajar (852 H) berkata: Qoshob dengan fathah huruf qof. Ibnu At-Tiin
berkata: Maksudnya adalah mutiara berongga yang luas seperti istana yang
tinggi. Aku katakan: Dalam riwayat Ath-Thobaroniy di Al-Ausath dari
jalur lain dari Ibnu Abi Aufa: Maksudnya adalah mutiara Qoshab. di Al-Kabiir dari Hadits Abu Huroiroh:
Rumah dari mutiara berongga. asalnya
ada pada Muslim. di Al-Ausath
dari Hadits Fathimah, dia berkata: Aku berkata: “Wahai Rosululloh, di mana
Ibuku Khodijah?” Beliau bersabda: “Di dalam rumah dari Qoshob.” Aku berkata: “Apakah dari Qoshob ini?” Beliau bersabda: “Tidak,
dari Qoshob yang
tersusun dari Durr (mutiara), Lu’lu’ (permata), dan Yaaquut (batu mulia).”
As-Suhailiy berkata: “Poin penting dalam sabda beliau: ‘dari
Qoshob,’ dan beliau tidak mengatakan: ‘dari Lu’lu’,’ adalah bahwa lafazh Qoshob
ada kesesuaian karena Khodijah telah memenangkan qosbuss sabq (memimpin
dalam perlombaan) dengan bersegera masuk Islam tanpa didahului oleh orang lain.
Oleh karena itu, kesesuaian ini terdapat dalam semua lafazh Hadits ini.”
pada Qoshob ada kesesuaian lain dari
sisi kesamaan sebagian besar ruas-ruasnya. Demikian pula Khodijah memiliki
kesamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain, karena dia sangat bersemangat
untuk mendapatkan keridhoan beliau dengan segala cara yang mungkin, dan tidak
pernah mengeluarkan ucapan yang membuat beliau marah sama sekali, sebagaimana
yang terjadi pada istri-istri beliau yang lain.
Adapun sabda beliau: “berupa rumah,” Abu Bakar Al-Iskaaf
berkata dalam Fawaa-idul Akhbaar: “Maksudnya adalah rumah tambahan di
atas apa yang Alloh sediakan untuknya berupa pahala amalnya. Oleh karena itu
beliau bersabda: ‘tidak ada keletihan di dalamnya,’ yaitu dia tidak merasa
letih karenanya.”
As-Suhailiy berkata: “Penyebutan rumah memiliki makna yang
halus, karena dia adalah pemilik rumah dalam Islam yang menyendiri dengannya.
Pada hari pertama Nabi ﷺ
diutus, tidak ada rumah Islam di muka bumi kecuali rumahnya. ini adalah keutamaan yang tidak
dimiliki oleh orang lain.”
“balasan dari
perbuatan sering disebutkan dengan lafazh yang sama (meskipun lebih mulia),
oleh karena itu Hadits ini datang dengan lafazh ‘rumah’ bukan lafazh ‘istana’.”
Al-Manaawiy berkata: “Rumah adalah ungkapan untuk istana,
dan penyebutan keseluruhan dengan nama sebagian diketahui dalam bahasa mereka.”
balasan yang
sesuai dengan perbuatan tampak pada sabda Rosul: “tidak ada suara gaduh di
dalamnya, dan tidak ada keletihan,”. Ash-Shokhob (suara gaduh) adalah teriakan
dan perselisihan dengan meninggikan suara, dan An-Nashob (keletihan) adalah
kelelahan.
As-Suhailiy berkata: “Kesesuaian penafian dua sifat
ini—yaitu perselisihan dan keletihan—adalah karena ketika Nabi menyeru kepada
Islam, Khodijah menyambutnya dengan sukarela. Dia tidak menunjukkan suara
gaduh, tidak pula perselisihan, tidak pula keletihan dalam hal itu. Bahkan, dia
menghilangkan segala keletihan dari beliau, menghibur beliau dari segala
kesepian, dan meringankan setiap kesulitan bagi beliau. Maka pantaslah tempat
tinggal yang dikabarkan kepadanya oleh Robb-nya memiliki sifat yang berlawanan
dengan perbuatannya.” (Fathul Bari, 7/172; Faidhul Qodiir, Al-Munaawiy)
Tahun Kesedihan
Kaum Muslimin keluar dari lembah (Shi’b) untuk melanjutkan
aktivitas lama mereka setelah Islam berada di Makkah selama kurang lebih
sepuluh tahun yang penuh dengan peristiwa besar. begitu kaum Muslimin bernapas lega dari kesulitan yang mereka
alami, tiba-tiba Rosululloh ﷺ
ditimpa kematian istri beliau, Khodijah, kemudian kematian paman beliau, Abu
Thoolib. Artinya, beliau ditimpa musibah dalam kehidupan pribadi dan umum
beliau secara bersamaan...
Khodijah adalah nikmat Alloh yang agung bagi Muhammad ﷺ —dia
membantu beliau di saat-saat paling genting, menolong beliau dalam menyampaikan
risalah-Nya, dan berbagi beban penderitaan yang pahit bersama beliau. Dia
menghibur beliau dengan diri dan hartanya. Sungguh engkau akan merasakan betapa
besarnya nikmat ini ketika engkau mengetahui bahwa di antara istri-istri para
Nabi, ada yang mengkhianati risalah dan mengkufuri suami mereka, dan bersekutu
dengan orang-orang musyrik dari kaum mereka, menjadi musuh Alloh dan Rosul-Nya.
Alloh ﷻ
berfirman:
ضَرَبَ
اللهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ
عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Alloh membuat perumpamaan bagi orang-orang kaafir, yaitu
istri Nuh dan istri Luuth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang sholih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada
kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun
dari (adzab) Alloh; dan dikatakan (kepada kedua istri itu): ‘Masuklah ke Naar
(Neraka) bersama orang-orang yang masuk.’” (QS. At-Tahriim: 10)
Adapun Khodijah, dia adalah Shodiqotun Nisaa’ (wanita yang
paling jujur). Dia melindungi suaminya ketika beliau gelisah. Dia adalah angin
sejuk kedamaian dan kebaikan. Dia membasuh dahi beliau yang berkeringat karena
dampak Wahyu. Dia tinggal bersama beliau selama seperempat abad. Sebelum
kenabian, dia menghormati perenungan beliau, pengasingan beliau, dan akhlak
beliau. Setelah kenabian, dia menanggung tipu daya musuh, penderitaan
pengepungan, dan kesulitan dakwah. Dia wafat ketika Rosululloh ﷺ berusia lima puluh
tahun, dan dia telah melewati enam puluh lima tahun. Beliau menjaga kesetiaan
pada kenangan beliau sepanjang hidup beliau.
Beginilah Kesetiaan
Nabi ﷺ
sangat sedih atas wafatnya Khodijah dengan kesedihan yang mendalam. Sungguh
Khodijah adalah sebaik-baik istri yang sabar dan setia. Dia membantu beliau
sepanjang hidup beliau, dan mengorbankan segala yang berharga dan bernilai demi
menolong agama ini. Nabi ﷺ
tidak pernah bisa melupakan beliau selamanya. Beliau senantiasa menunjukkan
kesetiaan kepada beliau yang pena tidak mampu menggambarkannya. Beliau selalu
memuji beliau, dan menyukai orang yang mencintai beliau. Bahkan beliau senang
melihat atau mendengar orang yang mengingatkan beliau pada Khodijah dan
hari-hari beliau yang penuh aroma kebaikan dan keberkahan.
Sungguh Al-Habiib ﷺ
memuji beliau dan bersabda:
كَمَلَ
مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا آسِيَةُ امْرَأَةُ
فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَإِنَّ فَضْلَ
عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Banyak laki-laki yang sempurna, dan tidak ada wanita yang
sempurna kecuali Aasiyah istri Fir’aun, Maryam bintu ‘Imron—dan Khodijah bintu Khuwailid
—dan keutamaan ‘Aisyah atas wanita-wanita lain seperti keutamaan Tsariid (roti
campur daging kuah) di atas makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR.
Al-Bukhori no. 3411 dan Muslim no. 2431)
Salah seorang ulama terkemuka mengomentari Hadits ini dengan
komentar yang indah: “Di antara kesamaan yang indah yang mengumpulkan ketiganya
dalam satu rangkaian adalah bahwa setiap dari mereka mengasuh seorang Nabi yang
diutus, dan memperbaiki pergaulan dengannya serta beriman kepadanya. Aasiyah rodhiyallahu
‘anha mendidik Musa, berbuat baik kepadanya, dan membenarkannya ketika
diutus. Maryam rodhiyallahu ‘anha mengasuh ‘Iisa, mendidiknya, dan
membenarkannya ketika diutus. Dan Khodijah rodhiyallahu ‘anha mencintai
Nabi, menghibur beliau dengan diri dan hartanya, memperbaiki pergaulan
dengannya, dan dia adalah orang pertama yang membenarkan beliau ketika Wahyu
turun kepada beliau.”
Nabi ﷺ
tidak pernah menikahi wanita lain sebelum Khodijah. Bahkan beliau tidak menikah
lagi dengan wanita lain hingga Khodijah wafat.
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Nabi ﷺ tidak menikah lagi
dengan wanita lain setelah Khodijah hingga Khodijah wafat. (Shohih, HR.
Muslim no. 2436)
Beliau menghabiskan hari-hari terbaik dalam hidup beliau
bersama Khodijah dalam cinta kasih, rohmat, cinta, ketaatan kepada Alloh, dan
dakwah kepada agama Alloh. Hari-hari setelah wafatnya Khodijah tidak menambah
apa pun selain cinta dan kesetiaan beliau kepada Khodijah. Beliau selalu memuji
beliau, dan menyukai orang yang mencintai beliau, bahkan beliau senang melihat
atau mendengar orang yang mengingatkan beliau pada Khodijah dan hari-hari
beliau yang penuh aroma kebaikan dan keberkahan.
Dari Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata: Aku
mendengar ‘Abdullah bin Ja’far dari ‘Ali bin Abi Thoolib rodhiyallahu ‘anhu
dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
خَيْرُ
نِسَائِهَا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ
“Sebaik-baik wanita di zamannya adalah Maryam bintu ‘Imron,
dan sebaik-baik wanita di zamannya adalah Khodijah.” (Muttafaqun ‘alaihi:
HR. Al-Bukhori no. 3432 dan Muslim no. 2430)
Dari Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rosululloh ﷺ membuat empat garis
di tanah, lalu bersabda: “Tahukah kalian apa ini?” Mereka menjawab: “Alloh dan
Rosul-Nya lebih mengetahui.” Rosululloh ﷺ bersabda:
أَفْضَلُ
نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ
وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ
“Wanita-wanita terbaik ahli Jannah adalah Khodijah bintu Khuwailid,
Fathimah bintu Muhammad, Aasiyah bintu Muzaahim istri Fir’aun, dan Maryam bintu
‘Imron—semoga Alloh meridhoi mereka semua—” (HR. Ahmad, 1/293, dan
Ath-Thobaroniy no. 11928, dan sanadnya shohih)
Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu, Rosululloh ﷺ bersabda:
حَسْبُكَ
مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ
وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ
“Cukuplah bagimu wanita-wanita di seluruh alam adalah Maryam
bintu ‘Imron, Khodijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Aasiyah
istri Fir’aun.” (HR. At-Tirmidzi no. 3878, dan Ahmad, 3/135, dan Al-Haakim,
3/157, dan sanadnya shohih)
Dari Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Rosululloh ﷺ bersabda: “Pemimpin
wanita ahli Jannah setelah Maryam bintu ‘Imron adalah Fathimah, Khodijah, dan
Aasiyah istri Fir’aun.” (HR. Ath-Thobaroniy dalam Al-Kabiir no. 12179, dan
sanadnya hasan)
Di antara bukti-bukti yang menakjubkan atas kesetiaan beliau
ﷺ kepada Ath-Thoohiroh
Khodijah, adalah apa yang terjadi pada Perang Badar Al-Kubraa. Yaitu ketika
Abul ‘Aash bin Ar-Robii’ (menantu Rosul, suami putri beliau Zainab, putri dari
istri beliau yang setia lagi mulia, Khodijah) ditawan. Maka Zainab yang setia mengirimkan
tebusan untuk suaminya Abul ‘Aash; di antara tebusan itu terdapat kalung yang
dulunya dihadiahkan oleh ibunya yang dermawan, Khodijah, pada malam pernikahan
Zainab. Ketika Rosululloh ﷺ
melihatnya, beliau merasa sangat kasihan, dan teringat pada istri beliau yang
diberkahi lagi setia, Khodijah. Beliau bersabda kepada para Shohabat beliau: “Jika
kalian berpendapat untuk melepaskan tawanannya dan mengembalikan kalungnya,
maka lakukanlah.”
Maka para Shohabat beliau yang mulia—semoga Alloh
meridhoi mereka—segera memenuhi permintaan Nabi Al-Karim, yang digerakkan
oleh perasaan kenangan terhadap Ash-Shodiqoh (wanita yang sangat jujur) yang
setia lagi suci—semoga Alloh meridhoinya—Khodijah Ummu Mu’minin. Maka
bagi Alloh, wanita yang suci lagi dermawan ini, Ibu kita Khodijah, memiliki
hutang yang besar di leher setiap Muslim dan Muslimah.
Manqobah yang Agung
Imam Ibnu Katsir (774 H) menyebutkan beberapa hal yang
pertama kali terjadi pada Ath-Thoohiroh Khodijah, beliau berkata:
Yang pertama kali dinikahi oleh Rosululloh ﷺ adalah Khodijah.
Yang pertama kali beriman kepada beliau—menurut pendapat
yang shohih—adalah Khodijah (Al-Fushuul, hlm. 243)
Di antara yang pertama kali terjadi pada Ath-Thoohiroh
Khodijah adalah:
Yang pertama kali Sholat bersama Rosululloh ﷺ.
Yang pertama kali dianugerahi anak dari beliau.
Yang pertama kali diberi kabar gembira masuk Jannah dari
istri-istri beliau.
Yang pertama kali diucapkan salam oleh Robb-nya.
Yang pertama kali masuk Islam dari kalangan kaum Mu’minat.
Yang pertama kali wafat dari istri-istri Nabi ﷺ.
Kuburan pertama yang Nabi Al-Karim ﷺ turun ke dalamnya di Makkah adalah kuburan beliau.
Imam Az-Zuhriy (124 H) berkata: “Khodijah rodhiyallahu ‘anha
adalah orang pertama yang beriman kepada Alloh... Rosululloh ﷺ menerima risalah
Robb-nya dan kembali ke rumahnya. Beliau tidak melewati pohon, tidak pula batu,
melainkan memberi salam kepada beliau. Ketika beliau masuk menemui Khodijah,
beliau bersabda: ‘Bagaimana menurutmu tentang orang yang selama ini aku ceritakan
aku lihat dalam tidur, sungguh dia adalah Jibril, dia menampakkan diri
kepadaku, Robb-ku mengutusnya kepadaku.’ Beliau memberitahunya tentang Wahyu,
maka Khodijah berkata: ‘Bergembiralah, demi Alloh, Alloh tidak akan melakukan
kepadamu kecuali kebaikan. Maka terimalah apa yang datang kepadamu dari Alloh,
sungguh itu adalah kebenaran.’” (Taarikhul Islaam, Adz-Dzahabiy, 1/128)
Kecemburuan ‘Aisyah Terhadap Khodijah
Setelah Khodijah wafat, Rosululloh ﷺ menikahi Saudah bintu Zam’ah, kemudian beliau menikahi ‘Aisyah rodhiyallahu
‘anha. Maka Ibu kita ‘Aisyah merasakan sedikit kecemburuan karena seringnya
Nabi ﷺ memuji Khodijah dan
menyebut-nyebut beliau. Itu semua karena saking cintanya Ibu kita ‘Aisyah
kepada Rosululloh ﷺ.
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Aku
tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi ﷺ kecuali kepada Khodijah, padahal aku tidak pernah bertemu
dengannya.”
Dia berkata: “Dan Rosululloh ﷺ, jika beliau menyembelih kambing, beliau bersabda: ‘Kirimkanlah
kepada teman-teman Khodijah.’”
‘Aisyah berkata: “Maka suatu hari aku membuat beliau marah,
lalu aku berkata: ‘Khodijah!’ Maka Rosululloh ﷺ bersabda: ‘Sungguh aku dianugerahi cintanya.’” (Muttafaqun ‘alaihi:
HR. Muslim no. 2435 dan Al-Bukhori no. 5229)
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Haalah bintu
Khuwailid, saudari Khodijah, meminta izin untuk menemui Rosululloh ﷺ. Maka beliau
mengenali cara meminta izin Khodijah, lalu beliau merasa gembira karenanya.
Beliau bersabda: “Ya Alloh, Haalah bintu Khuwailid.” Maka aku cemburu, lalu aku
berkata: “Apa yang engkau ingat dari seorang nenek tua di antara nenek-nenek
tua Quroisy, yang gusinya merah (ompong) yang telah meninggal dunia? Sungguh
Alloh telah menggantikanmu dengan yang lebih baik darinya.” (Shohih, HR.
Muslim no. 2437)
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Aku
tidak pernah cemburu kepada istri Nabi ﷺ seperti kecemburuanku kepada Khodijah, dia meninggal dunia
sebelum beliau menikahiku. Itu karena aku sering mendengar beliau menyebutnya,
dan Alloh memerintahkan beliau untuk memberi kabar gembira kepadanya berupa
rumah dari Qoshob. sungguh beliau menyembelih kambing,
lalu menghadiahkannya kepada teman-teman Khodijah secukupnya.” (Muttafaqun ‘alaihi:
HR. Al-Bukhori no. 3816 dan Muslim no. 2435)
Dalam riwayat Al-Bukhori... “terkadang beliau menyembelih kambing, kemudian
memotong-motongnya, lalu mengirimkannya kepada teman-teman Khodijah. Maka aku
berkata kepada beliau: ‘Seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain selain
Khodijah?’ Maka beliau bersabda: ‘Sungguh dia adalah begini dan begitu, dan
darinya aku mendapatkan anak.’”
(Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3818)
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rosululloh
ﷺ, jika beliau menyebut
Khodijah, beliau memuji dan menyempurnakan pujian.” Dia berkata: “Maka suatu
hari aku cemburu, lalu aku berkata: ‘Betapa seringnya engkau menyebut nenek tua
yang gusinya merah (ompong), sungguh Alloh telah menggantikanmu dengan yang
lebih baik darinya?’ Maka Rosululloh ﷺ
bersabda: ‘Alloh menggantikan aku dengan yang lebih baik darinya?! Sungguh dia beriman
kepadaku ketika orang-orang mengkufuriku, dan dia membenarkan aku ketika
orang-orang mendustakanku, dan dia menghiburku dengan hartanya ketika
orang-orang mengharomkan (tidak memberi) aku, dan Alloh menganugerahkan anak
kepadaku darinya, dan mengharomkan aku mendapatkan anak dari wanita lain.’”
(HR. Ahmad, dan sanadnya hasan)
Dari ‘Abdullah Al-Bahiy, dia berkata: ‘Aisyah berkata: “Rosululloh
ﷺ, jika beliau menyebut
Khodijah, beliau tidak pernah bosan memuji dan memohonkan ampunan untuknya.
Suatu hari beliau menyebutnya, maka kecemburuan menguasai aku, lalu aku
berkata: ‘Sungguh Alloh telah menggantikanmu dengan yang lebih tua darinya
(yang sudah tua).’ ‘Aisyah berkata: Maka aku melihat beliau marah dengan
kemarahan yang membuatku menyesal. Aku berkata dalam hati: ‘Ya Alloh, jika
Engkau menghilangkan kemarahan Rosul-Mu dariku, aku tidak akan lagi menyebutnya
dengan keburukan.’ Ketika Nabi ﷺ
melihat apa yang aku rasakan, beliau bersabda: ‘Apa yang engkau katakan? Demi
Alloh, sungguh dia beriman kepadaku ketika orang-orang mendustakan aku, dan dia
melindungiku ketika orang-orang menolak aku, dan aku dianugerahi anak darinya,
dan kalian diharomkan mendapatkannya dariku.’ ‘Aisyah berkata: Maka beliau
datang dan pergi kepadaku selama satu bulan.”
Imam Adz-Dzahabiy berkata: “Aku katakan: ini adalah sesuatu yang paling
menakjubkan. Dia
cemburu kepada seorang wanita tua yang wafat sebelum Nabi ﷺ menikah dengan ‘Aisyah
untuk waktu yang cukup lama. Kemudian Alloh melindunginya dari kecemburuan
terhadap beberapa wanita lain yang menjadi istri Nabi ﷺ. Ini adalah kelembutan Alloh kepadanya dan kepada Nabi, agar
hidup mereka tidak keruh. barangkali
kecemburuan itu diringankan darinya karena cinta Nabi kepadanya dan
kecenderungan beliau kepadanya. Semoga Alloh meridhoi dia dan menjadikannya
ridho.”
Kelembutan
Di rumah ‘Aisyah terdapat kemuliaan lain bagi Ath-Thoohiroh
Khodijah. Suatu hari, seorang wanita tua dari kalangan teman-teman
Ath-Thoohiroh Khodijah datang menemui Nabi ﷺ. Maka beliau menyambutnya dengan baik, memuliakannya, dan
menghamparkan selendang beliau untuknya, lalu mendudukkannya di atasnya. Beliau
terus bertanya tentang keadaannya dan apa yang terjadi padanya. ‘Aisyah berkata
ketika wanita itu keluar: “Wahai Rosululloh, engkau menyambut wanita hitam ini
dengan sambutan seperti ini!” Maka beliau bersabda: “Sungguh dia pernah datang
menemui Khodijah, dan sesungguhnya husnul ‘ahd (menjaga janji atau
persahabatan yang baik) termasuk keimanan.” (HR. Ahmad, dan Al-Arnaa’uuth
berkata: Rowinya terpercaya)
