Biografi Khodijah bintu Kuwailid - Mahmud Al Mishri

 

Siapakah Khodijah?

Beliau adalah Ummu Mu’minin (Ibu Kaum Mu’minin) dan Sayyidatu Nisaa’ Al-‘Aalamiin (pemimpin wanita di seluruh alam) pada zamannya. Beliau adalah Ummu Al-Qoosim (Ibu dari Al-Qoosim), putri dari Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushoy bin Kilaab Al-Qurosyiyyah Al-Asadiyyah. Beliau adalah ibu dari anak-anak Rosululloh , dan orang pertama yang beriman kepada beliau dan membenarkan beliau sebelum siapa pun.

Manqobah (keutamaan) beliau sangat banyak. Beliau termasuk wanita yang sempurna. Beliau adalah wanita yang cerdas, agung, sholihah, terjaga kehormatannya, dan mulia, dan termasuk ahli Jannah. Nabi memuji beliau, dan mengutamakan beliau di atas seluruh Ummahaatul Mu’minin (Ibu-ibu Kaum Mu’minin) lainnya, dan sangat mengagungkan beliau, sampai-sampai ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata: Aku tidak pernah cemburu kepada seorang wanita pun seperti aku cemburu kepada Khodijah, karena saking seringnya Rosululloh menyebut beliau.

Di antara kemuliaan beliau bagi Nabi , beliau tidak menikah dengan wanita lain sebelum Khodijah. Darinya beliau dianugerahi beberapa anak, dan beliau tidak pernah menikah lagi dengan wanita lain sampai Khodijah wafat, dan beliau merasakan kehilangan atas kepergiannya, karena Khodijah adalah sebaik-baik pendamping. Khodijah menafkahi beliau dari hartanya, dan beliau berdagang untuk Khodijah.

Az-Zubair bin Bakkaar (256 H) berkata: Khodijah dijuluki “Ath-Thoohiroh” (yang suci/terjaga) pada masa Jahiliyyah. Ibu beliau adalah Fathimah bintu Za’idah Al-‘Aamiriyyah.

Khodijah awalnya menikah dengan Abu Halah bin Zurooroh At-Tamimi, kemudian setelahnya dinikahi oleh ‘Atiq bin ‘A-idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum, lalu setelahnya dinikahi oleh Nabi , dan beliau menikahinya ketika beliau berusia 25 tahun, sementara Khodijah 15 tahun lebih tua dari beliau. Sungguh beliau dilahirkan di Ummul Quro (Makkah), dan itu terjadi kira-kira 15 tahun sebelum ‘Aamul Fiil (Tahun Gajah)

Perenungan

Inilah Khodijah, pemilik hati yang suci dan jiwa yang ridho, berhenti sejenak merenungi dirinya. Dia mengenang lembaran-lembaran masa lalu... Meskipun dia mencapai kesuksesan yang sangat besar —berkat karunia Alloh— dalam dunia perdagangan, sampai-sampai kafilah dagangnya ke Syam setara dengan kafilah Quroisy, namun dia tidak merasakan kebahagiaan sejati, karena hatinya membutuhkan bekal yang tanpanya hati tidak mungkin hidup—yaitu bekal keimanan yang kemudian dibawa oleh Al-Habiib . Begitu pula kehidupan pernikahannya telah terputus lebih dari sekali, padahal hatinya merindukan kehidupan pernikahan yang mulia, penuh pengorbanan, cinta, pengabdian, dan pemberian.

Dia pernah menikah dengan Abu Halah bin Zurooroh At-Tamimi, dan dia berusaha dengan segala yang dia miliki agar suaminya menjadi pemimpin di kaumnya, tetapi kematian memutus harapan itu, lalu suaminya meninggal dunia dan pergi meninggalkan dunia—setelah dia melahirkan Hind darinya. Kemudian setelah beberapa waktu, seorang laki-laki dari kalangan bangsawan Quroisy, yaitu ‘Atiq bin ‘A-idz bin ‘Abdillah Al-Makhzumi, melamarnya dan dia menikah dengannya, tetapi pernikahan ini tidak berlangsung lama. Maka Khodijah, sayyidah (pemimpin) wanita-wanita Quroisy, hidup tanpa suami, padahal dia adalah wanita yang didambakan oleh para bangsawan kaumnya... Namun, dia merasakan jauh di lubuk hatinya bahwa takdir ilahi menyimpan sesuatu yang agung untuknya, yang akan membuatnya melupakan kesusahan masa lalu dan mendatangkan kegembiraan serta kebahagiaan di hatinya.

Mimpi yang Menjulang ke Bintang Jauzaa’

Khodijah adalah wanita yang bersemangat tinggi, berperasaan halus, berwawasan luas, dan memiliki fitroh yang bersih. Saking sucinya, dia dikenal di antara teman-temannya dan wanita-wanita Quroisy dengan sebutan “Ath-Thoohiroh” —cukuplah sifat ini meninggikannya dan menempatkannya di puncak kemuliaan.

Khodijah sering mendengarkan cerita dari sepupunya, Waroqoh bin Naufal, tentang para Nabi dan agama. Seringkali mimpinya yang bersayap terbang di langit-langit kemuliaan dan keutamaan yang tidak mungkin dicapai oleh harapan orang-orang sezamannya, baik laki-laki maupun perempuan.

Pada suatu malam yang gelap gulita, Khodijah duduk di rumahnya setelah melakukan thowaaf (mengelilingi) Ka’bah berkali-kali. Kemudian dia pergi ke tempat tidurnya dengan wajah yang menunjukkan tanda-tanda keridhoan dan senyuman, tanpa ada pikiran apa pun yang terlintas saat itu, dan setelah berbaring dia pun terlelap dalam tidurnya.

Dalam tidurnya, dia melihat matahari yang sangat besar turun dari langit Makkah dan menetap di rumahnya. Cahayanya memenuhi setiap sudut rumah dengan cahaya dan keindahan, dan cahaya itu meluber dari rumahnya menyelimuti semua yang ada di sekelilingnya dengan sinar yang memukau jiwa, sebelum memukau mata dengan sinarnya yang terang.

Khodijah tersentak dari tidurnya, lalu mengedarkan pandangan di sekitarnya dengan keheranan, ternyata malam masih menyelimuti dunia dengan kegelapan, dan meliputi semua yang ada. Namun, cahaya yang menyilaukannya dalam mimpi itu masih bersinar di sanubarinya, berkilauan di lubuk hatinya.

Ketika malam meninggalkan dunia, Khodijah meninggalkan tempat tidurnya. Bersamaan dengan terbitnya matahari dan jernihnya alam di pagi buta, Ath-Thoohiroh Khodijah dalam perjalanan menuju rumah sepupunya, Waroqoh bin Naufal, barangkali dia akan menemukan tafsir untuk mimpi indahnya di malam yang lalu.

Khodijah menemui Waroqoh, dan dia mendapatinya sedang tekun membaca lembaran-lembaran kitab samawi yang sangat ia cintai, yang senantiasa dia baca setiap pagi dan sore. Begitu suara Khodijah menyentuh telinganya, dia menyambutnya dan berkata dengan heran: “Khodijah? Ath-Thoohiroh?”

Dia menjawab: “Ya, aku.”

Waroqoh berkata dengan keheranan: “Ada apa engkau datang jam segini?”

Khodijah duduk dan mulai menceritakan mimpinya kata demi kata, dan adegan demi adegan.

Waroqoh mendengarkan Khodijah dengan penuh perhatian, sampai-sampai dia lupa dengan lembaran kitab di tangannya, seakan-akan ada sesuatu yang mengingatkan perasaannya, dan membuatnya mengikuti cerita mimpi itu hingga selesai.

Begitu Khodijah selesai berbicara, wajah Waroqoh berseri-seri dengan kabar gembira, dan senyum keridhoan terukir di bibirnya. Kemudian dia berkata kepada Khodijah dengan tenang dan berwibawa: “Bergembiralah, wahai putri pamanku… Sekiranya Alloh membenarkan mimpimu, niscaya cahaya kenabian akan memasuki rumahmu, dan darinya akan meluber cahaya penutup para Nabi…”

Allohu Akbar... Apa yang didengar Khodijah? Apa yang dikatakan oleh sepupunya? Khodijah terdiam sejenak… Rasa merinding menjalari tubuhnya. Perasaan penuh harapan, kasih sayang, dan pengharapan bergejolak di dadanya.

Khodijah terus hidup di atas sayap-sayap harapan, dan aroma mimpi yang ia lihat, berharap mimpinya menjadi kenyataan, dan menjadi sumber kebaikan bagi umat manusia, dan sumber cahaya bagi dunia. Sungguh hati besarnya adalah mata air kebaikan, adapun akalnya, ia mampu mencerna setiap peristiwa di sekitarnya dengan cara yang sesuai dengan kehidupannya.

Ketika seorang pemimpin Quroisy melamarnya, Khodijah mengukurnya dengan timbangan mimpi yang ia lihat, dan tafsir yang ia dengar dari sepupunya, Syekh yang berwibawa, Waroqoh bin Naufal... Namun—hingga saat ini—sifat-sifat penutup para Nabi belum sesuai dengan orang-orang yang berbondong-bondong melamarnya dan ingin menikahinya. Maka dia menolak mereka dengan penolakan yang baik, dan memberitahu mereka bahwa dia tidak ingin menikah, karena dia merasakan perasaan samar bahwa takdir Ilahi menyimpan sesuatu yang luar biasa untuknya, meskipun dia tidak tahu apa itu, tetapi dia merasakan bahwa di dalamnya ada sesuatu yang akan mendatangkan ketenangan ke dalam hatinya.

Pernikahan yang Diberkahi

Ibnu Ishaaq berkata: Khodijah bintu Khuwailid adalah seorang wanita pedagang yang terhormat dan kaya raya. Dia menyewa orang-orang untuk membawa hartanya dan berdagang dengan sistem bagi hasil (mudhorobah) dengan imbalan tertentu. Quroisy adalah kaum pedagang. Ketika sampai kabar kepadanya tentang Rosululloh mengenai kejujuran bicaranya, amanahnya yang agung, dan kemuliaan akhlaknya, dia mengutus beliau, menawarkan agar beliau berangkat membawa hartanya ke Syam untuk berdagang, dan Khodijah akan memberinya upah yang lebih baik dari yang dia berikan kepada pedagang lainnya, bersama dengan budaknya yang bernama Maisaroh. Rosululloh menerima tawaran itu, dan berangkat membawa harta tersebut, bersama dengan budaknya Maisaroh, hingga tiba di Syam.

Rosululloh beristirahat di bawah naungan sebatang pohon, tidak jauh dari sebuah gubuk pendeta. Pendeta itu melihat kepada Maisaroh, lalu bertanya kepadanya: “Siapakah laki-laki yang beristirahat di bawah pohon ini?” Maisaroh menjawab: “Dia adalah seorang laki-laki dari Quroisy, dari penduduk Al-Harom (Makkah).” Pendeta itu berkata: “Tidaklah beristirahat di bawah pohon ini seorang pun, kecuali seorang Nabi.”

Kemudian Rosululloh menjual barang dagangan yang beliau bawa, dan membeli apa yang ingin beliau beli. Setelah itu, beliau kembali ke Makkah bersama Maisaroh, membawa harta Khodijah. Maisaroh—sebagaimana yang mereka yakini—jika hari sudah siang dan panas menyengat, dia melihat dua Malaikat menaungi beliau dari matahari, saat beliau sedang menunggangi untanya.

Ketika beliau tiba di Makkah membawa harta Khodijah, Khodijah menjual barang-barang yang dibawa, dan keuntungannya berlipat ganda atau hampir sama (dengan berlipat ganda). Maisaroh menceritakan kepadanya tentang perkataan pendeta tersebut, dan tentang apa yang ia lihat mengenai naungan Malaikat terhadap beliau. Khodijah adalah wanita yang tegas, terhormat, dan cerdas, di samping kemuliaan yang dikehendaki Alloh baginya.

Khodijah disibukkan oleh pembicaraan dan kenangan. Dia disibukkan oleh cerita Maisaroh tentang Muhammad, dan perkataan sepupunya Waroqoh: “Sungguh Muhammad adalah Nabi umat ini.” Mimpi yang ia lihat—mengenai matahari yang turun dari langit Makkah dan menetap di rumahnya—memenuhi pikirannya. Suara Waroqoh berulang di dalam hatinya: “Bergembiralah, wahai putri pamanku, sekiranya Alloh membenarkan mimpimu, niscaya cahaya kenabian akan memasuki rumahmu, dan darinya akan meluber cahaya penutup para Nabi.”

Khodijah beralih dari kenangan-kenangan yang membanjiri benaknya menuju kenyataan yang ia jalani. Dia merenung dan berpikir tentang Muhammad, ternyata Muhammad memenuhi benak pikirannya.

Bukti-bukti dan indikasi-indikasi terkumpul pada Khodijah bahwa Muhammad adalah Ar-Rohiiq (minuman penutup) yang dengan beliau para Nabi ditutup (penutup para Nabi). Dia pun berharap untuk menjadi istri beliau, tetapi bagaimana caranya untuk mencapai hal itu?!

Dia adalah wanita yang nasabnya mulia, hartanya melimpah, dan ia dikenal tegas dan berakal. Wanita seperti dia adalah dambaan para pemimpin Quroisy, andai saja wanita ini tidak meremehkan banyak laki-laki, karena mereka adalah pencari harta, bukan pencari jiwa. Mata mereka memandangnya dengan tujuan mendapatkan kekayaan darinya, meskipun pernikahan menjadi kedok bagi ketamakan ini!

Namun, ketika Khodijah mengenal Muhammad , dia menemukan jenis laki-laki yang berbeda. Dia menemukan seorang laki-laki yang tidak tertarik dan tidak didekati oleh kebutuhan. Barangkali ketika dia mengevaluasi orang lain dalam perdagangannya, dia menemukan kekikiran dan kecurangan. Adapun bersama Muhammad , dia melihat seorang laki-laki yang harga dirinya yang menjulang menempatkannya pada posisi kemuliaan dan kerelaan, sehingga beliau tidak melirik hartanya, tidak pula kecantikannya. Beliau telah menunaikan kewajiban beliau, kemudian pergi dengan hati yang ridho dan diridhoi. Dan Khodijah pun menemukan permata yang hilang.

Di tengah kebingungan dan kegelisahan itu, datanglah sahabatnya, Nafisah bintu Munabbih. Dia duduk bersamanya, bertukar pikiran dalam pembicaraan, hingga Nafisah berhasil menyingkap rahasia yang tersembunyi yang terpancar di wajah Khodijah dan dalam nada bicaranya.

Nafisah menenangkan kegelisahan Khodijah dan menenteramkan hatinya. Dia mengingatkannya bahwa Khodijah adalah wanita yang memiliki nasab, harta, dan kecantikan. Dia berdalih atas kebenaran perkataannya dengan banyaknya orang yang meminangnya dari kalangan para pemimpin laki-laki.

Begitu Nafisah keluar dari sisi Khodijah, dia segera pergi menemui Nabi , dan berbicara kepada beliau agar beliau menikahi Ath-Thoohiroh Khodijah. Nafisah berkata: “Wahai Muhammad, apakah yang menghalangimu untuk menikah?” Maka beliau menjawab: “Aku tidak memiliki sesuatu untuk menikah.”

Nafisah berkata: “Jika engkau dicukupi dan diajak kepada harta, kecantikan, kehormatan, dan kesepadanan, apakah engkau akan menyambutnya?” Maka beliau menjawab sambil bertanya: “Siapa?”

Nafisah segera menjawab: “Khodijah bintu Khuwailid.”

Maka beliau bersabda: “Jika dia menyetujui, maka aku menerima.”

Nafisah pun segera pergi untuk menyampaikan kabar gembira itu kepada Khodijah. Nabi memberitahu paman-paman beliau tentang keinginan beliau untuk menikah dengan Khodijah. Maka Abu Tholib, Hamzah, dan yang lainnya pergi menemui paman Khodijah, ‘Amr bin Asad, untuk meminang putri saudaranya itu, dan mereka menyerahkan mahar.

Dalam majelis yang indah itu, Abu Tholib berdiri untuk menyampaikan khutbah pernikahan. Abu Al-‘Abbas Al-Mubarrid (286 H) dan yang lainnya menyebutkan bahwa Abu Tholib menyampaikan khutbah pernikahan sebagai berikut:

“Segala puji bagi Alloh yang telah menjadikan kami dari keturunan Ibrohim, dan keturunan Ismaa’il, dan dari inti Ma’ad, serta unsur Mudhor. menjadikan kami penjaga Baitulloh, dan pengurus tanah Harom-Nya. menjadikan bagi kami rumah yang diagungkan (Ka’bah), dan tanah harom yang aman, serta menjadikan kami penguasa atas manusia. Kemudian, anak saudaraku ini, Muhammad bin ‘Abdillah, tidaklah ditimbang dengan seorang laki-laki pun melainkan dia akan melebihi laki-laki itu dalam kebaikan dan keutamaan, kehormatan dan akal, kemuliaan dan keagungan. Maka jika ada kekurangan dalam harta—karena harta itu hanyalah bayangan yang akan sirna, urusan yang akan berlalu, dan pinjaman yang akan kembali —dan Muhammad adalah orang yang telah kalian ketahui kekerabatannya. dia telah meminang Khodijah bintu Khuwailid, serta memberikan mahar baginya yang segera maupun yang ditangguhkan dari hartaku 20 ekor unta betina muda. Dalam riwayat lain: dia memberikan mahar 12 uqiyah emas dan satu nasy (setengah uqiyah).” Kemudian Abu Tholib berkata: “Demi Alloh, setelah ini dia sungguh memiliki berita yang agung dan kedudukan yang mulia.” Maka dinikahkanlah Khodijah.

Setelah akad selesai, disembelihlah hewan-hewan sembelihan, dan dibagikan kepada fakir miskin. Rumah Khodijah pun dibuka untuk keluarga dan kerabat.

Ath-Thoohiroh Khodijah berusia 40 tahun pada usia puncak keibuan. Adapun Muhammad , beliau berada pada usia puncak pemuda, 25 tahun.

Dalam pernikahan yang diberkahi ini, Ath-Thoohiroh Khodijah adalah istri yang setia dalam cintanya, dan ibu yang pengasih dalam kelembutan dan kasih sayangnya.

Kecerdasan dan Kematangan Akalnya

Tidak ada yang lebih menunjukkan kecerdasan, kepandaian, dan kematangan akal Khodijah selain fakta bahwa dia memilih Nabi sebagai suami meskipun beliau saat itu miskin, sementara dia kaya dan berlimpah harta. Padahal orang-orang kaya dan bangsawan dari kaumnya mendambakannya, tetapi dia menolak. Itu semua karena dengan kecerdasan dan akalnya yang matang, dia mengetahui bahwa kesempurnaan kejantanan, kemuliaan akhlak, dan kelurusan watak adalah hal yang jauh di atas kekayaan materi dan kemewahan yang fana.

Dia sedang mencari jenis kekayaan dan kemakmuran yang lain!

Yaitu kekayaan jiwa, kemakmuran hati nurani, dan kelembutan akhlak! di mana dia bisa menemukan semua itu dengan cara yang paling sempurna selain pada diri Muhammad ?

Meskipun sebagian penulis berpendapat bahwa yang mendorongnya untuk menikah dengan Nabi adalah apa yang diceritakan kepadanya tentang kepandaian beliau dalam berdagang, baik membeli maupun menjual, dan sifat-sifat yang beliau miliki dalam perdagangan seperti kejujuran dan amanah, dan lain-lain.

Maka kami katakan: Meskipun itu adalah salah satu alasan nyata yang menarik hati wanita pada seorang laki-laki—terutama bagi wanita berharta seperti Khodijah yang membutuhkan orang untuk berdagang dengan hartanya.

Namun kami katakan: Barangkali itu adalah salah satu alasan yang tampak yang digunakan Khodijah untuk membenarkan pernikahannya dengan Muhammad , padahal beliau lebih muda lima belas tahun darinya—beliau berusia dua puluh lima tahun, sementara dia berusia empat puluh tahun.

Terlebih lagi, beliau minim harta, dan tidak memiliki kedudukan tinggi di mata kaumnya. Namun, dia menemukan kejujuran, amanah, kepandaiannya dalam berdagang, dan kemuliaan nasabnya sebagai alasan untuk membenarkan pernikahannya di hadapan kaumnya.

Namun, kami telah mencari alasan yang sesungguhnya mengapa wanita ini menikah dengan Muhammad pada usia empat puluh tahun—yaitu pada usia matang akal dan kedewasaannya, karena dia bukan gadis yang labil, bukan pula wanita tua yang pikun. Alasan yang sesungguhnya adalah pencariannya terhadap kejantanan yang sempurna... Kejantanan dalam segala maknanya: akhlak, kemuliaan, keberanian, pengorbanan, dan keluhuran sifat.

Muhammad tidak akan menerima pernikahan Khodijah sekalipun dia memiliki seluruh harta di muka bumi, dan sekalipun dia adalah wanita tercantik di dunia, andai saja beliau tidak melihat kematangan akalnya dan kepandaiannya pada diri Khodijah, serta apa yang disaksikan oleh kaumnya tentang keluhuran sifatnya, perbuatan-perbuatan baiknya, kesucian kehormatannya, kebersihan hatinya, dan kemuliaan garis keturunannya.

Oleh karena itu, keinginan Khodijah sejalan dengan keinginan Muhammad untuk menikahinya.

perkiraan Muhammad terhadap Khodijah terbukti benar, karena dia adalah sebaik-baik istri, dan sebaik-baik sandaran. Sungguh kematangan akal dan kecerdasannya mengantarkannya untuk beriman kepada apa yang dibawa oleh Muhammad , dan mengikuti beliau dalam segala perbuatan keimanan dan urusan ketaatan... Suatu hari beliau kembali ke rumah Khodijah, setelah Malaikat Jibril mengajarkan kepadanya cara Sholat. Beliau memberitahunya tentang hal itu, maka Khodijah berkata: “Tunjukkan kepadaku bagaimana caramu melihat (Jibril)!” Maksudnya, ajari aku bagaimana Jibril mengajarimu Sholat. Maka beliau menunjukkan dan mengajarkan kepadanya. Khodijah berwudhu sebagaimana beliau berwudhu, kemudian Sholat bersama beliau dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rosululloh.” (Al-Ishobah, Ibnu Hajar, 4/274)

Inilah Ash-Shoodiqul Amiin (Yang Jujur dan Terpercaya)

Sungguh Ibu kita Khodijah rodhiyallahu ‘anha tahu betul akhlak Nabi , dan dia mendengar tentang kemuliaan dan keutamaan beliau yang memenuhi hati dengan kebahagiaan dan kegembiraan... Bahkan dia tahu kedudukan beliau di antara kaumnya yang menjuluki beliau Ash-Shoodiqul Amiin (yang jujur dan terpercaya). Kaumnya meminta pertolongan beliau untuk menyelesaikan masalah paling sulit yang terjadi di antara mereka.

Inilah suku-suku Quroisy yang berkumpul untuk membangun kembali Ka’bah Al-Musyarrofah, karena Ka’bah hampir roboh. Ada yang mengatakan karena kebakaran yang menimpanya, dan ada yang mengatakan karena banjir besar. Hal itu terjadi lima tahun sebelum diutusnya Nabi menurut pendapat yang kuat. Quroisy tidak punya pilihan selain membangunnya kembali.

Hadits-hadits shohih mengisyaratkan hal itu... Al-Bukhori meriwayatkan dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha bahwa Rosululloh bersabda kepadanya:

أَلَمْ تَرَى أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ

“Tidakkah engkau perhatikan bahwa kaummu ketika membangun Ka’bah, mereka hanya mencukupkan diri pada pondasi-pondasi Ibrohim (yakni Hijr Ismail yang merupakan bagian Ka’bah tidak ikut direnovasi karena keterbatasan biaya).”

Aku berkata: “Wahai Rosululloh, tidakkah engkau mengembalikannya pada pondasi-pondasi Ibrohim?”

Beliau bersabda: “Andai saja bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya aku akan melakukannya.”

‘Abdullah bin ‘Umar berkata: “Sungguh ‘Aisyah mendengar ini dari Rosululloh , dan menurutku Rosululloh tidak meninggalkan Istilaam (menyentuh) dua rukun yang berada di sisi Al-Hijr (Hajar Ismaa’il), melainkan karena Baitulloh belum sempurna di atas pondasi Ibrohim.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 1583 dan Muslim no. 1333)

Quroisy kekurangan nafkah (dana) yang baik, karena mereka mensyaratkan atas diri mereka sendiri agar tidak ada yang dimasukkan dalam pembangunannya kecuali nafkah yang baik, tidak ada mahar pelacur, tidak ada hasil jual beli riba, dan tidak ada harta kezholiman.

Ibnu Ishaaq berkata: Kemudian suku-suku Quroisy mengumpulkan batu untuk pembangunannya, setiap suku mengumpulkan sendiri-sendiri. Kemudian mereka membangunnya, hingga pembangunan mencapai tempat Al-Rukun (Hajar Aswad). Mereka pun berselisih tentangnya, setiap suku ingin meletakkannya di tempatnya tanpa melibatkan suku lain, hingga mereka saling berdebat, berselisih, dan bersiap untuk berperang. Maka Bani ‘Abdud Daar membawa bejana penuh darah, lalu mereka dan Bani ‘Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bersumpah untuk mati, dan mereka memasukkan tangan mereka ke dalam darah di bejana itu, sehingga mereka dijuluki “Penjilat Darah”. Quroisy bertahan dalam keadaan itu selama empat atau lima malam, kemudian mereka berkumpul di Masjid dan saling bermusyawarah, dan saling memberi nasihat.

Mereka berkata: “Wahai orang-orang Quroisy, jadikanlah orang pertama yang masuk dari pintu Masjid ini untuk memutuskan perkara di antara kalian mengenai apa yang kalian perselisihkan.” Maka mereka pun setuju. Ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Rosululloh . Ketika mereka melihat beliau, mereka berkata: “Ini Al-Amin (yang terpercaya), kami ridho, ini Muhammad.” Ketika beliau sampai kepada mereka dan mereka menceritakan masalahnya, beliau bersabda: “Bawakan kepadaku sehelai kain.” Maka dibawakanlah kain itu. Beliau mengambil Al-Rukun (Hajar Aswad) dan meletakkannya di atas kain itu dengan tangan beliau. Kemudian beliau bersabda: “Hendaklah setiap suku memegang ujung kain ini, lalu angkatlah bersama-sama.” Maka mereka pun melakukannya. Hingga ketika mereka sampai pada tempatnya, beliau meletakkannya dengan tangan beliau, kemudian membangun di atasnya.

Kebahagiaan Meliputi Rumah yang Paling Agung

Kebahagiaan meliputi rumah Khodijah. Ath-Thoohiroh Khodijah menemukan pada diri Muhammad Al-Amin sebaik-baik suami. Beliau adalah orang yang sangat lembut dalam pergaulan, kasih sayangnya melimpah, meliputi setiap manusia, setiap makhluk hidup, dan segala sesuatu. Akhlak Muhammad bersumber dari fitrohnya dengan sifat-sifat yang harmonis dan sempurna. Kesabaran beliau seperti keberaniannya, dan keberaniannya seperti kedermawanannya, dan kedermawanannya seperti kearifannya, dan kearifannya seperti kasih sayangnya, dan kasih sayangnya seperti kemuliaan akhlaknya. Keutamaan beliau sangat banyak.

Bahkan, karena kesetiaan beliau, beliau tidak pernah melupakan seorang wanita agung—yaitu ibu setelah ibu beliau—Ummu Aiman. Beliau membawanya serta ketika pindah ke rumah pernikahan, dan memuliakannya serta melimpahinya dengan kelembutan. Hati beliau yang besar melimpah dengan kelembutan yang menyentuh hati anak-anak Khodijah. Hind, putra Khodijah, tinggal bersama ibunya setelah pernikahannya dengan Muhammad. Dia adalah anak angkat Nabi yang sangat bahagia tumbuh dan dibesarkan di bawah asuhan orang yang paling jujur bicaranya, paling setia janjinya, paling lembut perangainya, dan paling mulia pergaulannya.

Cinta Muhammad juga melingkupi Zaid bin Haaritsah, pemuda yang dibeli oleh Hakim bin Hizaam dari pasar ‘Ukaazh, dan dihadiahkan kepada bibinya Khodijah. Muhammad sangat menyayangi Zaid, dan Zaid pun mencintai Muhammad dengan cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Khodijah menyadari cinta kebapakan ini, lalu menghadiahkan Zaid kepada suaminya, maka beliau membebaskannya. Beliau tidak hanya mengembalikan kebebasannya yang terenggut, tetapi juga memuliakannya dengan menyandarkan nasabnya kepada diri beliau, sehingga Zaid dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Khodijah mencintai suaminya Muhammad dengan cinta yang menguasai seluruh perasaannya. Cinta seorang istri kepada suami yang mulia, yang padanya terwujud keluhuran akhlak dan kemuliaan sifat. Dari hari ke hari, selama hidup bersama, dia semakin yakin bahwa laki-laki yang ia pilih itu adalah orang yang paling tepat di muka bumi untuk mengemban risalah-Nya, dan membangkitkan ummat-Nya.

Khodijah senantiasa menyiapkan segala sebab kebahagiaan dan segala macam kenikmatan untuk Rosululloh . Jika beliau memberi isyarat, dia segera menyambutnya dengan jiwa yang gembira, hati yang ridho, dan tangan yang dermawan. Dia tidak pernah pelit dengan hartanya, dan dia juga murah hati dengan perasaannya, kasih sayangnya, dan hartanya. Bahkan, dia tidak pelit dengan cintanya kepada orang yang dicintai suaminya, dan dia memuliakan orang yang beliau cintai dengan pemuliaan yang mengisi jiwa dengan keridhoan dan kebahagiaan.

Pemilik Hati yang Penyayang

Dalam sebuah pertemuan yang dipenuhi cahaya Robbani, Muhammad berbicara dengan Khodijah. Suara beliau yang indah menyentuh relung hatinya, dan kearifan yang memancar dari bibir beliau membanjiri jiwanya dengan kebahagiaan yang melimpah, yang mengangkatnya di atas keberadaan materi, dan membuatnya hidup di cakrawala cahaya.

Pada saat-saat itu, datanglah budak Khodijah dan berkata: “Wahai majikanku, sungguh Halimah bintu ‘Abdillah bin Al-Haarits As-Sa’diyyah ingin masuk.” Ketika Rosululloh mendengar nama Halimah As-Sa’diyyah, hati beliau yang mulia bergetar karena kasih sayang. Kenangan-kenangan manis, lembut, hangat, dan penuh kasih sayang pun memenuhi pikiran beliau. Beliau teringat padang Bani Sa’ad dan saat beliau disusui di sana. Itu adalah saat yang dipenuhi dengan perasaan lembut, saat yang menghidupkan—secepat kedipan mata atau bahkan lebih cepat—hari-hari masa kecil beliau, dan hari-hari pertumbuhan beliau di pangkuan Halimah dan dalam pelukannya.

Khodijah berdiri untuk mempersilakan Halimah masuk. Rosululloh sering menceritakan tentangnya dengan cerita yang penuh cinta, kasih sayang, kehangatan, dan kemuliaan. Ketika pandangan beliau yang mulia tertuju padanya, Khodijah mendengar suara beliau yang lembut memanggil dengan penuh kerinduan dan kasih sayang: “Ibuku, Ibuku!”

Khodijah melihat kepada Rosululloh , dan mendapati beliau telah menghamparkan selendang beliau untuk Halimah, dan mengusapkan tangan beliau padanya dengan kasih sayang yang meluap. Wajah beliau memancarkan kebahagiaan yang melimpah, dan mata beliau bersinar dengan kegembiraan yang meluap, seolah-olah beliau sedang memeluk ibu beliau, Aaminah bintu Wahb, yang dibangkitkan dari kuburnya.

Di tengah pertemuan hangat antara Rosululloh dan Halimah, beliau bertanya tentang keadaannya. Halimah pun mengeluhkan kerasnya hidup dan kekeringan yang menimpa pedalaman Bani Sa’ad. Kemudian dia mengeluhkan kesulitan hidup dan kepahitan kemiskinan. Maka beliau pun melimpahinya dengan kedermawanan beliau.

Setelah itu, Nabi menceritakan kepada istrinya Khodijah—dengan jelas terlihat rasa haru—tentang kesulitan yang menimpa ibu susu beliau, Halimah, dan kesulitan yang melanda kaumnya. Maka kekayaan hati Khodijah meluap dengan kasih sayang dan rohmat. Dia pun memberikan kepada Halimah, dengan hati yang lapang, empat puluh ekor kambing, dan menghadiahkan seekor unta yang membawa air, serta membekalinya dengan apa yang dia butuhkan untuk kembali ke pedalamannya. Khodijah selalu siap sedia untuk berderma dengan seluruh hartanya, demi menyenangkan suaminya Muhammad . Maka beliau berterima kasih atas kemurahan hatinya, kemudian beliau pergi untuk memberikan kepada ibu susu beliau apa yang telah diberikan oleh Khodijah.

Di Taman Keturunan yang Diberkahi

Demikianlah rumah tangga yang diberkahi ini dibangun di atas cinta, kasih sayang, dan cinta kasih. Khodijah tidak pernah menyia-nyiakan upaya apa pun untuk mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan ke hati Al-Habiib... Suatu hari, Nabi kembali ke rumah, dan istri beliau yang penuh kasih sayang itu membawa kabar gembira yang agung. Dia memberitahu beliau bahwa dia sedang hamil. Maka hati Al-Habiib bergetar gembira dengan kabar gembira yang berharga itu.

Khodijah berada di puncak kegembiraan dan kebahagiaan, karena dia merasa, bahkan yakin, bahwa suaminya akan memiliki kedudukan yang agung. Dia berharap Alloh akan memberinya anak darinya. datanglah saat-saat bahagia ketika Khodijah melahirkan anak pertama bagi Al-Habiib , yaitu Al-Qoosim—yang dengan namanya Al-Habiib biasa berkunyah. Kemudian diikuti oleh keturunan yang diberkahi setelah itu. Dia melahirkan Zainab, Ummu Kultsum, dan Fathimah (semuanya sebelum kenabian). Kemudian dia melahirkan ‘Abdullah (setelah kenabian), yang dijuluki Ath-Thoyyib dan Ath-Thoohir.

Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhuma menyebutkan anak-anak Rosululloh dari Ath-Thoohiroh Al-Waluud (yang banyak melahirkan) Khodijah.

Dia berkata: Khodijah melahirkan untuk Rosululloh dua anak laki-laki dan empat anak perempuan: Al-Qoosim, ‘Abdullah, Fathimah, Ummu Kultsum, Zainab, dan Ruqoyyah (Dalaa-ilun Nubuwwah, Al-Baihaqiy, 2/70). Adapun Ibrohim, beliau berasal dari Maariyah Al-Qibthiyyah. Semua anak laki-laki beliau meninggal saat masih kecil. Adapun anak perempuan beliau, semuanya sempat mengalami Islam, lalu masuk Islam dan berhijroh. Ruqoyyah dan Ummu Kultsum menikah dengan ‘Utsman bin ‘Affaan. Zainab adalah istri dari Abul ‘Aash bin Ar-Robii’ bin ‘Abd Syams. Dan Fathimah adalah istri dari ‘Ali bin Abi Thoolib rodhiyallahu ‘anhum ajma’iin.

Semua anak perempuan beliau meninggal dunia pada masa hidup Nabi , kecuali putri beliau, Fathimah, yang wafat enam bulan setelah wafat beliau.

Nabi memandang keluarga beliau yang diberkahi dengan dada yang lapang. Sungguh mereka semua hidup dalam kehidupan yang tenang, indah, sangat bersih, dan bahagia.

Khodijah adalah istri yang ideal yang tahu bagaimana cara membahagiakan suaminya. Setiap kali masa pernikahan beliau dengan Al-Habiib semakin lama, beliau semakin bertambah cinta kepada beliau dan kagum pada beliau. Beliau adalah orang yang ahli ibadah dan zuhud yang hatinya dan anggota badannya terpaut pada Alloh. Dari rumah tangga yang diberkahi ini, lahirlah Fathimah yang kemudian menjadi pemimpin wanita ahli Jannah, dan ibu dari Al-Hasan dan Al-Husain, pemimpin pemuda ahli Jannah, dan istri dari salah seorang yang sepuluh orang yang dijamin masuk Jannah... Sungguh betapa diberkahinya rumah tangga ini yang menebar keberkahan dan aroma keimanan ke seluruh alam.

Kedermawanan dan Pengorbanan

Sungguh Khodijah rodhiyallahu ‘anha berada di puncak kedermawanan dan kemurahan hati. Beliau mencintai semua yang dicintai suaminya, dan mengorbankan semua yang beliau miliki demi membahagiakan suaminya . Ketika Al-Habiib mengasuh sepupu beliau, ‘Ali bin Abi Thoolib, ‘Ali mendapatkan hati yang penuh kasih sayang dan ibu yang penuh kelembutan pada diri Ath-Thoohiroh Ar-Rohiimah (yang suci lagi penyayang) Khodijah.

Hal itu membuatnya merasa seperti bersama ibu yang melahirkannya. Khodijah berbuat baik kepadanya dengan kebaikan yang maksimal.

Begitu pula ketika Khodijah merasakan bahwa Al-Habiib mencintai maula beliau, Zaid bin Haaritsah, dia menghadiahkannya kepada beliau. Dengan itu, kedudukan Khodijah semakin tinggi di hati Nabi .

“Aku sekali-kali tidak akan memilih orang lain di atas beliau”

Sungguh Khodijah melihat sikap Zaid yang mencintai Al-Habiib yang tidak tertandingi oleh dunia dan segala kenikmatannya yang fana.

Zaid keluar bersama ibunya saat masih kecil untuk mengunjungi kaumnya, lalu pasukan berkuda menyerang mereka, dan membawa Zaid serta menjualnya di pasar ‘Ukaazh. Hakim bin Hizaam membelinya untuk bibinya Khodijah seharga empat ratus dirham. Ayahnya terus mencarinya di timur dan barat bumi, hingga hatinya hancur karena kesedihan atas kehilangannya. Ayahnya meluapkan kerinduannya dalam bentuk syair sedih yang membuat hati hancur, dia berkata:

بَكَيْتُ عَلَى زَيْدٍ وَلَمْ أَدْرِ مَا فَعَلْ أَحَيٌّ فَيُرْجَى أَمْ أَتَى دُونَهُ الْأَجَلُ؟

فَوَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَإِنِّي لَسَائِلٌ أَغَالَكَ بَعْدِي السَّهْلُ أَمْ غَالَكَ الْجَبَلُ

تُذَكِّرُنِيهِ الشَّمْسُ عِنْدَ طُلُوعِهَا وَتَعْرِضُ ذِكْرَاهُ إِذَا غَرَبَهَا أَفَلَ

سَأَعْمَلُ نَصَّ الْعِيسِ فِي الْأَرْضِ جَاهِدًا وَلَا أَسْأَمُ التَّطْوَافَ أَوْ تَسْأَمَ الْإِبِلُ

حَيَاتِي، أَوْ تَأْتِي عَلَيَّ مَنِيَّتِي فَكُلُّ امْرِئٍ فَانٍ وَإِنْ غَرَّهُ الْأَمَلُ

Aku menangisi Zaid dan aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, apakah dia hidup sehingga masih bisa diharapkan, ataukah ajal telah mendahuluinya?

Demi Alloh, aku tidak tahu dan aku terus bertanya, apakah padang datar yang menyembunyikanmu dariku, ataukah gunung?

Matahari mengingatkanku padanya saat terbit, dan kenangannya muncul saat ia terbenam

Aku akan memacu unta-unta di muka bumi dengan sungguh-sungguh, dan aku tidak akan jemu berkeliling sampai unta-unta pun jemu

Selama hidupku, atau sampai kematianku menjemputku, karena setiap orang akan binasa, meskipun harapan menipunya

Pada salah satu musim Haji, serombongan orang dari kaum Zaid menuju Baitul Harom. Ketika mereka sedang thoowaaf di Baitul ‘Atiiq (Ka’bah), tiba-tiba mereka berhadapan muka dengan Zaid. Mereka mengenalinya dan dia pun mengenali mereka. Mereka bertanya kepadanya dan dia bertanya kepada mereka. Ketika mereka selesai menunaikan ibadah Haji dan kembali ke negeri mereka, mereka memberitahu Haaritsah (ayah Zaid) tentang apa yang mereka lihat, dan menceritakan apa yang mereka dengar.”

Maka Haaritsah segera menyiapkan untanya, dan membawa harta untuk menebus buah hatinya, cahaya matanya. Dia ditemani oleh saudaranya, Ka’ab, dan keduanya segera berangkat menuju Makkah.

Mereka bertanya tentang Nabi , dan dikatakan: “Beliau ada di Masjid.” Maka keduanya masuk menemui beliau, dan berkata: “Wahai putra Haasyim, wahai putra pemimpin kaumnya, kalian adalah penduduk dan tetangga Tanah Harom Alloh. Kalian membebaskan tawanan, dan memberi makan orang yang tertawan. Kami datang kepadamu karena putra kami yang ada padamu. Berilah kami karunia dan berbuat baiklah kepada kami dalam penebusannya, sungguh kami akan memberikan penebusan yang berlipat ganda.”

Beliau bersabda: “Mengapa tidak memilih yang lain?”

Mereka bertanya: “Apa itu?”

Beliau bersabda: “Panggillah dia, lalu suruh dia memilih. Jika dia memilih kalian, maka dia milik kalian tanpa tebusan. jika dia memilihku, maka demi Alloh, aku tidak akan memilih orang lain di atas orang yang telah memilihku.”

Mereka berkata: “Sungguh engkau telah memberikan kepada kami lebih dari setengahnya, dan engkau telah berbuat baik.”

Maka beliau memanggilnya, dan bersabda: “Apakah engkau mengenali mereka?”

Dia menjawab: “Ya, ini ayahku dan ini pamanku.”

Beliau bersabda: “Aku adalah orang yang telah engkau kenal, dan engkau telah melihat kecintaanku padamu. Maka pilihlah aku, atau pilihlah keduanya.”

Maka Zaid berkata: “Aku sekali-kali tidak akan memilih orang lain di atas engkau. Engkau bagiku seperti ayah dan paman.”

Maka keduanya berkata: “Celaka engkau, wahai Zaid! Apakah engkau memilih perbudakan di atas kebebasan, di atas ayahmu, pamanmu, dan keluargamu?”

Dia menjawab: “Ya. Sungguh aku telah melihat sesuatu dari laki-laki ini, yang membuatku sekali-kali tidak akan memilih orang lain di atasnya selamanya.”

Ketika Rosululloh melihat hal itu, beliau membawanya ke dekat Ka’bah, dan bersabda: “Wahai orang-orang yang hadir, saksikanlah bahwa Zaid adalah putraku, dia mewarisi aku dan aku mewarisi dia...”

Ketika ayah dan paman Zaid melihat hal itu, hati mereka menjadi tenang dan mereka pun kembali. Zaid dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad, hingga Alloh mendatangkan Islam. Rosululloh menikahkan dia dengan Zainab bintu Jahsy. Ketika Zaid menceraikannya, Nabi menikahinya. Maka orang-orang munafiq membicarakan hal itu dan berkata: “Dia menikahi istri putranya.” Maka turunlah ayat:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ

“Muhammad itu bukanlah ayah dari seorang laki-laki di antara kalian...” (QS. Al-Ahzab: 40)

Dan Alloh berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَابِهِمْ

“Panggillah mereka dengan (memakai) nama ayah-ayah mereka...” (QS. Al-Ahzab: 5)

Maka sejak hari itu dia dipanggil Zaid bin Haaritsah.

Pemimpin Orang-Orang Terdahulu dan Terakhir

Sungguh Nabi telah mengumpulkan dalam masa pertumbuhan beliau sebaik-baik keistimewaan yang ada pada lapisan manusia. Beliau adalah contoh luhur dari pemikiran yang benar, pandangan yang tepat. Beliau mendapatkan bagian yang berlimpah dari kecerdasan yang baik, pemikiran yang orisinil, ketepatan cara dan tujuan. Beliau menggunakan diamnya yang panjang untuk perenungan yang mendalam, terus memikirkan, dan mencari kebenaran. Dengan akal beliau yang subur dan fitroh beliau yang bersih, beliau menelaah lembaran-lembaran kehidupan, urusan manusia, dan keadaan masyarakat. Maka beliau membenci khurafat (takhayul) dan menjauh darinya. Kemudian beliau bergaul dengan manusia dengan pemahaman yang jelas tentang urusan beliau dan urusan mereka. Jika beliau menemukan kebaikan, beliau ikut serta di dalamnya, jika tidak, beliau kembali ke pengasingan beliau yang sunyi. Beliau tidak minum khomr (minuman keras), tidak makan dari apa yang disembelih di atas nushub (batu persembahan untuk berhala), tidak menghadiri perayaan berhala, tidak pula pesta. Bahkan sejak awal pertumbuhan beliau, beliau sangat membenci tuhan-tuhan palsu itu, sampai-sampai beliau tidak sabar mendengar sumpah atas nama Lata dan ‘Uzza.

Tidak diragukan bahwa takdir melindungi beliau.

Al-Bukhori meriwayatkan dari Jaabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika Ka’bah sedang dibangun, Nabi dan ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhu pergi memindahkan batu. Maka ‘Abbaas berkata kepada Nabi: “Jadikan sarungmu di atas lehermu, agar melindungimu dari batu.” Maka beliau jatuh ke tanah, dan mata beliau memandang ke langit, lalu beliau siuman. Beliau bersabda: “Sarungku, sarungku.” Maka beliau mengikatkan sarungnya. Dalam riwayat lain: Maka setelah itu aurat beliau tidak pernah terlihat lagi.

Nabi sangat unggul di antara kaumnya dengan sifat-sifat yang baik dan akhlak yang mulia. Beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, paling baik perangainya, paling kuat pembelaannya terhadap tetangga, paling agung kearifannya, paling jujur bicaranya, paling lembut perangainya, paling menjaga kehormatannya, paling dermawan kebaikannya, paling benar perbuatannya, paling setia janjinya, dan paling menjaga amanahnya, hingga kaumnya menjuluki beliau “Al-Amiin”, karena terkumpulnya pada diri beliau keadaan-keadaan sholihah dan sifat-sifat terpuji. Beliau seperti yang dikatakan oleh Ummu Mu’minin Khodijah: “Beliau menanggung beban orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam kesulitan yang menimpa karena kebenaran.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 4 dan Muslim no. 160)

Dari Sini Dimulai

Muhammad meninggalkan Makkah setiap tahun untuk menghabiskan bulan Romadhon di gua Hiro’. Itu adalah gua yang berjarak beberapa mil dari kota yang ramai itu, di puncak gunung yang menghadap ke Makkah, tempat di mana kegaduhan manusia dan pembicaraan sia-sia mereka terputus, dan ketenangan total dimulai di puncak yang sunyi dan menjulang itu. Muhammad membawa bekal untuk malam-malam yang panjang, kemudian mengasingkan diri dari alam, mengarahkan hati beliau yang rindu kepada Robb semesta alam... Di gua yang agung dan tersembunyi itu, jiwa yang besar memandang dari ketinggiannya kepada fitnah, kesengsaraan, penindasan, dan kehancuran yang melanda dunia, kemudian merasakan kesedihan dan kebingungan, karena beliau tidak tahu jalan keluar, tidak pula obatnya!!

Di gua yang terpencil ini, mata yang tajam dan menghitung meninjau warisan para pemberi petunjuk terdahulu dari para Rosul Alloh, lalu mendapatinya seperti tambang yang gelap, yang darinya logam mulia tidak dapat diekstrak kecuali setelah upaya yang melelahkan, dan kadang-kadang debu bercampur dengan emas murni, sehingga tidak ada manusia yang dapat memisahkannya.

Di gua Hiro’, Muhammad beribadah, membersihkan hati beliau, menyucikan jiwa beliau, dan mendekat kepada Kebenaran dengan sekuat tenaga. Beliau menjauh dari kebatilan sekuat kemampuan beliau, hingga mencapai tingkat kebersihan tinggi yang dengannya cahaya ghoib memantul pada lembaran hati beliau yang jernih. Maka beliau tidak melihat mimpi kecuali mimpi itu datang seperti terangnya fajar.

Di gua ini, Muhammad terhubung dengan Al-Mala’ Al-A’laa (Kumpulan Malaikat Tertinggi)

Sebelumnya, perut gurun pernah menyaksikan saudara Muhammad Musa ‘alaihissalam—keluar dari Mesir dalam keadaan ketakutan, melintasi padang pasir, mencari keamanan, ketenangan, dan petunjuk untuk dirinya dan kaumnya. Tiba-tiba di tepi Lembah yang diberkahi, terlihat api yang menghibur. Ketika beliau menuju ke sana, tiba-tiba terdengar seruan suci yang memenuhi pendengaran beliau dan menyentuh perasaan beliau:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَوٰةَ لِذِكْرِي

“Sungguh Aku ini adalah Alloh, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah Sholat untuk mengingat Aku.” (QS. Thooha: 14)

Satu percikan dari api itu melintasi zaman, untuk menyala lagi di sudut-sudut gua yang menaungi seorang laki-laki yang sedang bertawassu’ (menyendiri untuk beribadah) dan bersuci —menjauhkan tubuh dan jiwanya dari kekejian dan keburukan Jahiliyyah. Namun, percikan itu bukanlah api yang menarik perhatian, melainkan cahaya yang terbentang di hadapan Wahyu yang diberkahi, yang bersinar di hati yang menderita dengan ilham, petunjuk, penguatan, dan perhatian. Tiba-tiba Muhammad mendengarkan dengan keheranan dan kekaguman suara Malaikat yang berkata kepada beliau: “Bacalah!” (QS. Al-’Alaq: 1). Maka beliau menjawab sambil bertanya: “Aku tidak bisa membaca.” Permintaan dan jawaban itu terulang, kemudian mengalirlah ayat-ayat pertama dari Al-Qur’anul ‘Aziz:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ * اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ * عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Robb-mu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robb-mulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qolam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

Itu adalah Saat yang Paling Agung yang Pernah Dialami Alam Semesta

Dikatakan tentang saat abadi ketika Wahyu turun—untuk pertama kalinya—kepada Rosululloh :

“Aku berhenti di sini di hadapan peristiwa ini yang sering kita baca dalam kitab-kitab Siroh dan kitab-kitab Tafsir, kemudian kita berlalu begitu saja, atau kita berlama-lama sedikit di sana lalu melampauinya!

Ini adalah peristiwa besar. Sangat besar. Besar tanpa batas. betapa pun kita berusaha saat ini untuk melingkupi kebesarannya, banyak sisinya akan tetap di luar bayangan kita!

Itu adalah peristiwa besar karena hakikatnya. besar karena maknanya. besar karena dampaknya pada kehidupan seluruh umat manusia... saat di mana peristiwa ini terjadi dianggap—tanpa melebih-lebihkan—sebagai saat paling agung yang pernah dialami bumi ini dalam sejarahnya yang panjang.

Apa hakikat dari peristiwa yang terjadi pada saat ini?

Hakikatnya adalah bahwa Alloh , Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuat, Maha Sombong, Pemilik seluruh Kerajaan, telah bermurah hati dalam Keagungan-Nya—lalu memperhatikan makhluk ini yang disebut manusia, yang berdiam di salah satu sudut alam yang nyaris tidak terlihat bernama bumi. Dan Dia memuliakan makhluk ini dengan memilih salah satu dari mereka untuk menjadi tempat bertemunya Cahaya Ilahi-Nya, tempat penyimpanan hikmah-Nya, dan tempat turunnya Kalimat-kalimat-Nya.

ini adalah hakikat yang sangat besar tanpa batas. Sisi-sisi keagungannya akan terungkap ketika manusia membayangkan—sesuai kemampuannya—hakikat uluhiyyah (ketuhanan) yang mutlak, azali, dan kekal. di bawah bayangan itu, dia membayangkan hakikat ‘ubudiyyah (perhambaan) yang terbatas, baru, dan fana. Kemudian dia merasakan dampak dari perhatian Robbani ini terhadap makhluk insani ini; dan dia merasakan manisnya perasaan ini. dia menerimanya dengan kekhusyu’an, syukur, kegembiraan, dan doa... dia membayangkan Kalimat-kalimat Alloh, yang bergaung di seluruh penjuru alam semesta, turun kepada manusia ini di sudut terpencil dari sudut-sudut keberadaan yang kecil!

Apa makna dari peristiwa ini?

Maknanya—di sisi Alloh adalah bahwa Dia adalah Pemilik Karunia yang Luas, Rohmat yang Melimpah, Maha Mulia, Maha Mencintai, Maha Pemberi Karunia. Dia melimpahkan pemberian dan rohmat-Nya tanpa sebab dan alasan, selain bahwa limpahan dan pemberian itu adalah sebagian dari sifat-sifat Dzat-Nya yang Mulia.

maknanya—di sisi manusia—adalah bahwa Alloh telah memuliakannya dengan kemuliaan yang tidak terbayangkan, dan dia tidak mampu mensyukurinya. ini saja tidak cukup disyukuri olehnya, meskipun dia menghabiskan umurnya dalam keadaan ruku’ dan sujud... Itu, bahwa Alloh mengingatnya, memperhatikannya, menghubungkannya dengan-Nya, dan memilih dari jenisnya seorang Rosul yang Dia wahyukan Kalimat-kalimat-Nya kepadanya. bumi... tempat tinggalnya... menjadi tempat turunnya Kalimat-kalimat ini yang bergaung di seluruh penjuru alam semesta dengan kekhusyu’an dan doa. Adapun dampak dari peristiwa dahsyat ini pada seluruh kehidupan umat manusia, telah dimulai sejak saat pertama. Ia dimulai dengan mengubah alur sejarah, sejak ia mulai mengubah alur kesadaran manusia... Sejak arah yang dituju manusia telah ditetapkan, dan dari mana dia menerima pandangan, nilai, dan timbangan... Arah itu bukanlah bumi, bukan pula hawa nafsu... Melainkan langit dan Wahyu Ilahi. sejak saat ini, penduduk bumi yang di dalam jiwanya telah menetap hakikat ini... hidup dalam naungan dan pemeliharaan Alloh yang langsung dan nyata. Mereka hidup dengan memandang langsung kepada Alloh dalam setiap urusan mereka, baik besar maupun kecil. Mereka merasa dan bergerak di bawah pengawasan mata Alloh.

Berdiri Menghadapi Badai

Dari ‘Aisyah Ummu Mu’minin rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Awal mula Rosululloh menerima Wahyu adalah mimpi yang sholih (benar) dalam tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali mimpi itu datang seperti terangnya fajar. Kemudian beliau menyukai bersepi-sepi, maka beliau bersepi di gua Hiro’ ber-tahannuts (beribadah)—yaitu beribadah—selama malam-malam tertentu sebelum kembali kepada keluarganya. Beliau membawa bekal untuk itu, kemudian kembali kepada Khodijah untuk mengambil bekal lagi, hingga Kebenaran datang kepada beliau saat beliau berada di gua Hiro’. Maka Malaikat datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau bersabda: “Aku tidak bisa membaca.” Beliau bersabda: “Maka Malaikat itu memelukku dan mendekapku hingga aku merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku. Dia berkata: ‘Bacalah!’ Aku berkata: ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia memelukku dan mendekapku yang kedua kalinya hingga aku merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku. Dia berkata: ‘Bacalah!’ Aku berkata: ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia memelukku dan mendekapku yang ketiga kalinya hingga aku merasa sangat lelah, kemudian melepaskanku, lalu berkata:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ * خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ...

“Bacalah dengan (menyebut) nama Robb-mu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah...” dst.” (QS. Al-’Alaq: 1-5)

Maka Rosululloh kembali dengan Wahyu itu dalam keadaan gemetar! Beliau masuk menemui Khodijah bintu Khuwailid, lalu berkata: “Selimutilah aku, selimutilah aku!” Maka mereka menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau hilang. Kemudian beliau berkata kepada Khodijah: “Wahai Khodijah, ada apa denganku?” Beliau menceritakan kabar itu: kemudian beliau bersabda: “Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.”

Khodijah berkata kepadanya: “Sekali-kali tidak, bergembiralah, demi Alloh, Alloh tidak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau menyambung tali silaturrohmi, jujur dalam berbicara, menanggung beban orang lain, memberi orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan membantu dalam kesulitan yang menimpa karena kebenaran.”

Khodijah pun membawa beliau pergi hingga menemui Waroqoh bin Naufal—yang merupakan sepupu Khodijah—dia adalah seorang laki-laki yang menjadi Nashroni pada masa Jahiliyyah. Dia biasa menulis kitab ‘Ibrooni (Hebrew), dia menulis dari Injil dengan bahasa ‘Ibrooni apa yang Alloh kehendaki untuk dia tulis. Dia adalah orang tua yang buta. Khodijah berkata kepadanya: “Wahai sepupuku, dengarkanlah dari keponakanmu!” Maka Waroqoh berkata kepadanya: “Wahai keponakanku, apa yang engkau lihat?” Maka Rosululloh menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Waroqoh berkata kepadanya: “Ini adalah An-Namuus (Malaikat Jibril) yang pernah diturunkan Alloh kepada Musa ‘alaihissalam. Duhai, andai saja aku masih muda, andai saja aku masih hidup saat kaummu mengusirmu.” Maka Rosululloh bersabda: “Apakah mereka akan mengusirku?” Waroqoh berkata: “Ya! Tidak ada seorang pun yang datang dengan membawa seperti yang engkau bawa, melainkan dia akan dimusuhi. jika aku mendapati harimu (kenabianmu) dalam keadaan hidup, niscaya aku akan menolongmu dengan pertolongan yang kuat.”

Kemudian tidak lama setelah itu Waroqoh meninggal dunia, dan Wahyu pun terhenti untuk sementara.

Seolah-olah empat puluh tahun yang lalu adalah satu hari, dan Wahyu dimulai pada pagi hari yang baru!! Sungguh akal yang berputar, yang mencari, yang bertanya, mulai mencium cahaya kebenaran.

dada yang sesak, yang terbebani oleh pesimisme dan kebingungan, mulai merasakan kesejukan keyakinan dan kelapangan harapan, dan perubahan yang tiba-tiba dan jauh jangkauannya... Itulah kenabian.

Alangkah indahnya karunia yang datang ini, dan alangkah agungnya urusan dan kesusahan yang akan dihadapi Muhammad di dalamnya! Oleh karena itu, jiwa beliau segera kembali tenang. sikap istri beliau, Khodijah, terhadap beliau adalah salah satu sikap paling mulia yang patut dipuji bagi seorang wanita di kalangan orang-orang terdahulu maupun yang terakhir. Khodijah menenangkan beliau ketika beliau gelisah, dan mengistirahatkan beliau ketika beliau lelah. Khodijah mengingatkan beliau tentang keutamaan-keutamaan yang beliau miliki, seraya menegaskan bahwa orang-orang baik seperti beliau tidak akan pernah dihinakan. Dan Alloh, ketika Dia menciptakan seorang laki-laki dengan sifat-sifat mulia yang luhur dan keutamaan-keutamaan yang baik, adalah agar Dia menjadikannya layak untuk kemuliaan dan kebaikan-Nya.

Dengan pandangan yang matang dan hati yang sholih ini, Khodijah layak mendapatkan salam dari As-Salaam (Alloh) dari atas tujuh lapis langit, bahkan beliau mendapatkan kabar gembira berupa rumah di Jannah yang terbuat dari qoshab (mutiara berongga), yang di dalamnya tidak ada kegaduhan dan tidak ada keletihan.

Bersamaan dengan apa yang didengar oleh Ummu Mu’minin Khodijah bahwa kaum Rosululloh akan memerangi dan mengusir beliau—dan dia tahu betul betapa keras dan kuatnya Quroisy... Bersamaan dengan itu, dia memutuskan untuk menghadapi badai yang diperkirakan akan datang, dan menerima demi Alloh untuk menanggung penderitaan dan kesulitan, dan menerima tugas berat ini, yaitu berdiri menghadapi Quroisy. Ini adalah contoh paling agung bagi kaum Mu’minat yang shodiqoh (jujur) untuk meneladani Ummu Mu’minin dalam menanggung kesulitan dan penderitaan, demi membantu suaminya Rosululloh , agar beliau—dengan karunia Alloh—dapat menyebarkan dakwah Islam di antara kaumnya, kemudian di seluruh penjuru dunia, dan mendirikan Daulah Islam.

Perhentian yang Penuh Makna

Kita dapat berhenti pada perhentian yang penuh makna di bawah naungan kalimat-kalimat yang segar itu... Kalimat-kalimat cahaya yang diucapkan Khodijah, kalimat-kalimat kebenaran, ketegasan, dan keyakinan yang membersihkan kedudukan beliau, seolah-olah dia ingin berkata:

“Wahai Abul Qoosim, wahai insan yang paling sempurna di antara makhluk, engkau tidak akan ditimpa apa yang engkau khawatirkan menimpa dirimu yang suci, yang tinggi, berupa kelemahan dalam memikul beban risalah keabadian yang telah dimuliakan Alloh kepadamu.

Engkau tidak akan lemah, wahai Abul Qoosim, dalam melaksanakan kewajiban menyampaikan perintah Ilahi, karena Alloh Ta’ala-lah yang memilihmu untuk itu, dan mengkhususkanmu dengannya, dan Dia lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya.

Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim, diciptakan oleh Alloh dengan sebaik-baik penciptaan di antara makhluk-Nya, maka Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, dan hati besarmu tidak akan bersedih karena terjadinya sesuatu yang engkau takutkan dan khawatirkan menimpa dirimu, karena pada dirimu terdapat sifat-sifat fitroh yang sempurna, akhlak terpuji, budi pekerti yang diridhoi, perangai yang luhur, kemuliaan yang tertinggi, dan keagungan yang termulia, yang menjamin kemenangan bagimu, merealisasikan keberuntungan, kebaikan, dan kesuksesan. engkau akan menunaikan risalahmu, dan nama baikmu akan abadi.”

di bawah naungan kalimat pertama Khodijah, dia tidak berkata: “engkau menyambung tali silaturrohmi,” tetapi: “Engkau, wahai Abul Qoosim, adalah orang yang menyambung tali silaturrohmi, engkau mendekatkan yang jauh, mendekati yang terpisah, menghilangkan dendam, menanamkan keakraban dan cinta kasih. silaturrohmi ini adalah pokok dari pokok-pokok keluhuran akhlak yang merupakan sifat dasarmu.”

yang kedua dari kalimat-kalimat itu: “Sungguh engkau jujur dalam berbicara.” Dia ingin berkata: “Maka engkau adalah Ash-Shoodiq (yang jujur) yang dibenarkan, dan Ash-Shoodiqul Amiin (yang jujur dan terpercaya). Kejujuran dalam berbicara adalah watak bagimu. Jika engkau mengatakan sesuatu, maka segala yang ada di sekitarmu akan berkata dan dunia akan berseru: ‘Engkau benar... wahai Abul Qoosim, engkau benar.’ Kaummu—meskipun mereka sombong dan angkuh—menjulukimu ‘Al-Amiin’ di antara mereka. Mereka bersaksi atas diri mereka sendiri, seraya berkata: ‘Kami tidak pernah menemukan kebohongan pada dirimu.’”

yang ketiga dari kalimat-kalimat itu, dia berkata: “engkau menanggung beban orang lain.”

“Engkau menanggung beban orang lain, beban orang lemah yang dilemahkan oleh hari-hari dan malam-malam. Jiwamu yang mulia, dan hatimu yang penyayang, tidak rela melihat orang lemah yang punggungnya terbebani oleh kehidupan. Engkau berbuat baik kepadanya dengan kebaikan yang menghidupkan jiwanya dan membangkitkan harapannya.”

sifat keempat dari kalimat-kalimat yang indah itu adalah perkataannya: “engkau memberi orang yang tidak punya.”

“Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim, memberi orang yang tidak punya dengan kedermawanan dan pengorbananmu. Sungguh Alloh telah menciptakanmu di atas kemuliaan kedermawanan. Maka engkau adalah orang yang paling dermawan, bahkan engkau lebih dermawan dengan kebaikan daripada angin yang bertiup.”

Imam Adz-Dzahabiy (748 H) berkata dalam kitab beliau, Al-Mawaahib Al-Ladunniyyah bil Minahil Muhammadiyyah: “Sungguh kedermawanan Nabi adalah seluruhnya karena Alloh, dan untuk mencari keridhoan-Nya. Kadang-kadang beliau memberikan harta kepada fakir miskin atau orang yang membutuhkan, dan kadang-kadang beliau membelanjakannya di jalan Alloh, dan kadang-kadang beliau menggunakannya untuk melunakkan hati orang yang dengannya Islam menjadi kuat. Beliau mendahulukan orang lain di atas diri beliau dan anak-anak beliau. Beliau memberi dengan pemberian yang tidak mampu dilakukan oleh raja-raja seperti Kisro dan Qoisor, tetapi beliau hidup dengan kehidupan orang fakir. Beliau bahkan melewati satu bulan dan dua bulan tanpa ada api yang menyala di rumah beliau, dan terkadang beliau mengikat batu di perut beliau yang mulia karena kelaparan.” (Al-Mawaahib Al-Ladunniyyah, 2/372)

yang kelima dari naungan kalimat Khodijah adalah perkataannya: “engkau memuliakan tamu.”

Khodijah ingin berkata: “Sungguh engkau, wahai Abul Qoosim, tidak akan dihinakan Alloh selamanya, karena memuliakan tamu adalah salah satu keutamaan insani yang paling agung. Di dalamnya terdapat dampak yang besar dalam menarik hati dan menawan jiwa, terutama di lingkungan tempat Muhammad dibangkitkan, yang miskin akan kebutuhan hidup dan sarana kehidupan, karena adanya gurun, gunung, lembah, dan padang pasir.”

yang keenam dari kalimat Ummu Mu’minin Khodijah adalah perkataannya: “engkau membantu dalam kesulitan.”

Seolah-olah Ummu Mu’minin Khodijah ingin berkata: “Wahai Abul Qoosim, sesungguhnya salah satu sifatmu yang paling khas adalah engkau membantu dalam kesulitan yang menimpa karena kebenaran. Itu adalah fitroh yang Alloh ciptakan padamu, dan watak yang Dia tanamkan padamu. Membantu dalam kesulitan adalah keutamaan dari segala keutamaan, dan kemuliaan dari segala kemuliaan. Ia adalah sumber dari segala kebaikan, dan ia adalah sifat terpuji dari kebaikan dan kebajikan.”

Tentang sikap mulia Khodijah ini, bintu Asy-Syaathi’ (Fathimah bintu Asy-Syaathi’ atau ‘Aisyah ‘Abdurrohmaan) berkata:

“Adakah wanita lain selain dia yang bisa menyediakan suasana yang mendukung untuk perenungan (Nabi), dan mengorbankan dirinya sendiri dengan pengorbanan yang langka—yaitu apa yang disiapkan Nabi untuk menerima risalah langit?

Adakah istri selain dia yang bisa menyambut dakwah beliau yang bersejarah dari gua Hiro’ dengan kelembutan yang meluap, kasih sayang yang melimpah, dan keimanan yang kokoh seperti yang dia lakukan, tanpa sedikit pun keraguan tentang kejujuran beliau, dan keyakinan yang tidak pernah hilang bahwa Alloh tidak akan pernah menghinakan beliau?

Adakah kemampuan pada seorang wanita selain Khodijah—yang kaya, makmur, dan dimanjakan—untuk merelakan dengan ikhlas semua kenyamanan dan kemewahan yang ia kenal agar dapat berdiri di samping beliau pada saat-saat paling sulit, dan membantu beliau menanggung berbagai macam penderitaan dan berbagai bentuk kezholiman di jalan yang dia yakini sebagai kebenaran?

Tidak... Hanya dialah satu-satunya yang diberi karunia oleh Alloh untuk mengisi kehidupan laki-laki yang dijanjikan kenabian, dan dia adalah orang pertama yang masuk Islam, dan Alloh menjadikannya tempat berlindung, ketenangan, dan menteri bagi Rosul-Nya.” (Nisaa’ Ahlil Bait, hlm. 237)

Hati Pertama yang Bergetar dengan Islam

Sungguh Islam telah mengangkat kedudukan wanita melebihi apa yang diimpikan oleh khayalan dan harapan mereka. Alloh menurunkan ayat-ayat dari Adz-Dzikrul Hakiim (Al-Qur’an) yang cahayanya menyilaukan mata mereka, hujahnya menguasai jiwa mereka, balaghoh (keindahan bahasanya) dan alirannya yang baik menyentuh hati mereka. Mereka mendengarkan tentang bagaimana Alloh menggambarkan rohmat, kekuasaan, Naar (Neraka), dan Jannah (Surga), dan apa yang Dia sediakan bagi para wanita shobiroh (yang bersabar) dan wanita muhsinah (yang berbuat baik) berupa pahala yang melimpah dan kedudukan yang tinggi. Semua itu membangkitkan perasaan mereka, melimpahi jiwa mereka, dan menerangi mata hati mereka. Maka pantaslah cinta kepada Islam itu menembus hati mereka, mengalir dalam darah mereka, dan bersemayam di tulang rusuk mereka.

Demikianlah keadaan wanita-wanita Arob. Sesungguhnya hati pertama yang bergetar dengan Islam, dan bersinar dengan cahayanya, adalah hati seorang wanita dari kalangan mereka, yaitu pemimpin wanita di seluruh alam pada zamannya: Ummu Al-Qoosim Khodijah bintu Khuwailid.

Imam ‘Izzud Diin Ibnu Al-Atsir (630 H) berkata: “Khodijah adalah makhluk Alloh pertama yang masuk Islam, berdasarkan ijma’ kaum Muslimin.” (Asadul Ghoobah, 7/78)

Wanita itu bukanlah wanita biasa. Sungguh dia dikaruniai keagungan kearifan, pandangan yang jauh ke depan, di samping kesucian nasab dan kecerdasan hati, yang sulit ditemukan pada kebanyakan laki-laki. Dia tidak menerima agama ini karena mengikuti orang lain, tidak pula karena basa-basi. Sebaliknya, dia menerimanya karena terkesan dengannya dan merindukannya.

Rumah Tangga yang Diberkahi

Demikianlah Khodijah adalah orang pertama yang masuk Islam, begitu pula putri-putri beliau... Bahkan setiap orang yang ada di rumah tangga yang diberkahi ini termasuk orang-orang yang bersegera masuk Islam—seperti ‘Ali bin Abi Thoolib dan Zaid bin Haaritsah.

Rumah tangga ini adalah sebaik-baik rumah tangga di seluruh alam semesta... Dari rumah ini lahirlah Khodijah—pemimpin wanita di seluruh alam —dan dari rumah ini lahirlah putrinya Fathimahpemimpin wanita ahli Jannah —dan sebelum semua itu, di rumah inilah Wahyu turun kepada Al-Habiib Muhammad , dan pemimpin orang-orang terdahulu dan terakhir hidup di dalamnya.

Dari rumah ini “lahirlah” ‘Ali bin Abi Thoolib—salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk Jannah —dan dari rumah ini “lahirlah” Zaid bin Haaritsah—yang mana Alloh Ta’ala tidak pernah menyebut nama Shohabat lain dalam Kitab-Nya selain beliau —maka Alloh berfirman:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan engkau dengan dia.” (QS. Al-Ahzab: 37)

Al-Muhibb Ath-Thobariy (694 H) menyebutkan bahwa rumah Khodijah adalah tempat paling utama di Makkah setelah Masjidil Harom... Barangkali itu karena lamanya Nabi tinggal di sana dan turunnya Wahyu kepada beliau di dalamnya.

Imam Al-Faasiy (832 H) menyebutkan bahwa di antara rumah-rumah yang diberkahi di Makkah adalah rumah Khodijah bintu Khuwailid Ummu Mu’minin rodhiyallahu ‘anha. Di rumah ini lahirlah Fathimah, pemimpin wanita di seluruh alam, dan saudara-saudarinya. Beliau juga menyebutkan bahwa Nabi Al-Karim menikah dengan Khodijah di dalamnya, dan Khodijah wafat di sana. Nabi Al-Karim terus tinggal di sana hingga beliau hijroh ke Madinah Al-Munawwaroh. Kemudian ‘Aqil bin Abi Thoolib mengambilnya, lalu Mu’awiyah bin Abi Sufyaan rodhiyallahu ‘anhu membelinya saat dia menjadi kholiifah (pemimpin), lalu dia menjadikannya Masjid untuk Sholat di dalamnya.

Di Naungan Al-Habiib

Khodijah terus mendampingi Al-Habiib selama kurang lebih seperempat abad. Dia mengambil manfaat langsung dari petunjuk, kepemimpinan, akhlak, ilmu, dan kasih sayang beliau. Khodijah berada dalam kebahagiaan yang melimpah yang pena saya tidak mampu menggambarkannya. Bahkan kata-kata pun akan merasa malu dan segan di hadapannya.

Beliau Sholat bersama Nabi , yaitu Sholat yang pada saat itu hanya dua roka’at di pagi hari, dan dua roka’at di sore hari. Itu sebelum diwajibkannya Sholat lima waktu pada malam Isroo’ (Perjalanan Malam)

Dari ‘Urwah bin Az-Zubair dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Sholat pertama kali diwajibkan dua roka’at, lalu ia dua roka’at ditetapkan untuk Sholat dalam safar (perjalanan), dan disempurnakan (4 roka’at) untuk Sholat saat mukim (tidak bepergian). (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 1090 dan Muslim no. 685)

Itu karena Khodijah wafat sebelum diwajibkannya Sholat wajib. Dari Jaabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu: Rosululloh ditanya tentang Khodijah, bahwa dia wafat sebelum turunnya kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum? Beliau bersabda: “Aku melihatnya di sungai di antara sungai-sungai Jannah, di dalam rumah yang terbuat dari qoshob (mutiara berongga), yang di dalamnya tidak ada kegaduhan dan tidak ada keletihan.”

beliau ditanya tentang Abu Thoolib: “Apakah dia mendapatkan manfaat?” Beliau bersabda: “Aku mengeluarkannya dari Naar (Neraka) menuju tempat yang dangkal.” (HR. Ath-Thobaroniy dalam Al-Ausath dan Al-Kabiir dengan ringkasan, dan para rowinya adalah rowi yang shohih selain Mujaalid bin Sa’iid yang telah dianggap tsiqot (terpercaya), khususnya dalam Hadits-Hadits Jaabir. Al-Haytsamiy berkata dalam Al-Majma’, 9/152)

Dari ‘Afiif Al-Kindiy, dia berkata: Al-‘Abbaas bin ‘Abdul Muththolib adalah temanku, dan dia biasa bolak-balik ke Yaman untuk membeli dan menjual wewangian pada musim Haji. Suatu saat, ketika aku berada di sisi Al-‘Abbaas di Mina, datanglah seorang laki-laki yang sudah baligh—dia sudah kuat badannya—lalu berwudhu dan menyempurnakan wudhu’nya. Kemudian dia berdiri Sholat. Lalu keluarlah seorang wanita, lalu berwudhu, kemudian berdiri Sholat. Kemudian keluar seorang anak laki-laki yang hampir baligh, lalu berwudhu, kemudian berdiri di sampingnya Sholat. Maka aku berkata: “Celaka engkau wahai ‘Abbaas, agama apa ini?”

‘Abbaas berkata: “Ini adalah agama Muhammad bin ‘Abdillah, keponakanku. Dia mengklaim bahwa Alloh telah mengutusnya sebagai Rosul. ini keponakanku ‘Ali bin Abi Thoolib telah mengikutinya dalam agamanya. ini istrinya Khodijah telah mengikutinya dalam agamanya.”

‘Afiif berkata setelah dia masuk Islam dan keimanannya kokoh: “Duhai, andai saja aku adalah yang keempat!” (Uyuunul Atsar, 1/116; As-Siroh Al-Halabiyyah, 1/436)

Makkah Meledak dengan Perasaan Marah

Nabi mulai menyeru kaumnya dan kerabat beliau kepada Islam dan Tauhid.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika ayat ini diturunkan:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ

berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aroo’: 214). Rosululloh menyeru Quroisy, maka mereka berkumpul, lalu beliau menyeru secara umum dan khusus. Beliau bersabda: “Wahai Bani Ka’ab bin Lu’ay, selamatkanlah diri kalian dari Naar (Neraka)... wahai Bani Murroh bin Ka’ab, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abd Syams, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abd Manaaf, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani Haasyim, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Bani ‘Abdul Muththolib, selamatkanlah diri kalian dari Naar... wahai Fathimah, selamatkanlah dirimu dari Naar... Sungguh aku tidak memiliki kekuasaan apa pun dari Alloh untuk kalian, selain bahwa kalian memiliki hubungan kerabat yang akan aku sambung dengan penyambungan yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 2753 dan Muslim no. 204)

Di sini, orang-orang musyrik memutuskan untuk tidak menyia-nyiakan upaya sedikit pun dalam memerangi Islam, menyakiti orang-orang yang masuk ke dalamnya, dan menimpakan kepada mereka berbagai macam penyiksaan dan penderitaan. Sejak Rosululloh terang-terangan menyerukan dakwah kepada Alloh, dan menyatakan kepada kaumnya kesesatan dari apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Makkah meledak dengan perasaan marah, dan selama sepuluh tahun mereka menganggap kaum Muslimin sebagai pembangkang yang memberontak. Maka bumi pun berguncang dari bawah kaki mereka, dan mereka menghalalkan darah, harta, dan kehormatan mereka di Tanah Harom yang aman. Kedudukan mereka menjadi menanggung kezholiman dan menghadapi ancaman.

Kebencian yang menyala ini disertai dengan perang ejekan dan penghinaan, yang tujuannya adalah melemahkan kaum Muslimin dan merendahkan kekuatan moral mereka.

Kesabaran dan Penghitungan Pahala

Khodijah rodhiyallahu ‘anha melihat apa yang dialami oleh Al-Habiib berupa gangguan dan ejekan. Maka dia menghibur beliau, menguatkan beliau, meringankan beban beliau, dan meremehkan urusan orang-orang di mata beliau. Dengan demikian, dia menjadi contoh agung dan unik bagi setiap Muslimah—yang suaminya adalah dai kepada Alloh Ta’ala—untuk meringankan beban beliau dari cobaan-cobaan yang membuat orang yang arif pun bingung.

Di antara cobaan-cobaan yang Khodijah alami bersama peristiwanya... adalah gangguan yang ditimpakan oleh orang-orang musyrik kepada Al-Habiib.

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud rodhiyallahu ‘anhu: Nabi sedang Sholat di dekat Ka’bah, sementara Abu Jahl dan beberapa temannya sedang duduk. Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Siapakah di antara kalian yang akan mengambil plasenta unta Bani Fulaan lalu meletakkannya di atas punggung Muhammad ketika dia sujud?” Maka orang yang paling celaka dari kaum itu bangkit lalu mengambilnya. Dia menunggu hingga Nabi sujud, lalu meletakkannya di atas punggung beliau, di antara kedua bahu beliau. aku melihat, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, andai saja aku memiliki kekuatan untuk mencegah. ‘Abdullah berkata: “Maka mereka tertawa terbahak-bahak dan saling menunjuk satu sama lain. Rosululloh sedang sujud dan tidak mengangkat kepala beliau, hingga Fathimah rodhiyallahu ‘anha datang lalu membuangnya dari punggung beliau.” Rosululloh mengangkat kepala beliau, kemudian bersabda: “Ya Alloh, hukumlah Quroisy,” tiga kali. Mereka merasa takut ketika beliau mendoakan keburukan atas mereka. Beliau bersabda: “mereka yakin bahwa doa di negeri itu akan dikabulkan.” Kemudian beliau menyebutkan nama: “Ya Alloh, hukumlah Abu Jahl, dan hukumlah ‘Utbah bin Robii’ah, dan Syaibah bin Robii’ah, dan Al-Waliid bin ‘Utbah, dan Umayyah bin Kholaf, dan ‘Uqbah bin Abi Mu’ith.” beliau menyebutkan nama ketujuh, tetapi rowi tidak menghafalnya. ‘Abdullah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh aku melihat orang-orang yang disebut Rosululloh terbunuh di Qoliib, sumur Badar.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 240 dan Muslim no. 1794)

Dan Muslim meriwayatkan dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Abu Jahl berkata: “Apakah Muhammad menempelkan wajahnya ke tanah di hadapan kalian?” Maka dikatakan: “Ya!” Maka dia berkata: “Demi Lata dan ‘Uzza, jika aku melihat dia melakukannya, sungguh aku akan menginjak lehernya, atau menempelkan wajahnya di tanah.” Abu Huroiroh berkata: “Maka dia mendatangi Rosululloh yang sedang Sholat, dia bermaksud menginjak leher beliau. Maka tiba-tiba dia mundur ke belakang dan menangkis dengan kedua tangannya.” Dikatakan kepadanya: “Ada apa denganmu, wahai Abul Hakam?” Dia berkata: “Sungguh antara aku dan dia ada parit api, ketakutan, dan sayap-sayap.” Maka Rosululloh bersabda:

لَوْ دَنَا مِنِّي لَاخْتَطَفَتْهُ الْمَلَائِكَةُ عُضْوًا عُضْوًا

“Andai saja dia mendekatiku, niscaya Malaikat akan menyambarnya anggota demi anggota.” (Shohih, HR. Muslim no. 2797)

Dari ‘Urwah bin Az-Zubair rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu ‘Amr bin Al-‘Aash rodhiyallahu ‘anhuma: “Ceritakanlah kepadaku tentang perkara paling berat yang dilakukan orang-orang musyrik kepada Nabi .” Dia berkata: “Saat Nabi sedang Sholat di sisi Ka’bah, tiba-tiba ‘Uqbah bin Abi Mu’ith datang lalu meletakkan kainnya di leher beliau, dan mencekik beliau dengan cekikan yang sangat kuat. Maka Abu Bakar rodhiyallahu ‘anhu datang, lalu memegang bahunya dan mendorongnya dari Nabi , dan berkata:

أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ

‘Apakah kalian akan membunuh seorang laki-laki karena dia berkata: Robb-ku adalah Alloh?’ (QS. Ghoofir: 28) (Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3856)

Begitu pula para Shohabat Nabi mengalami berbagai macam gangguan dan cobaan yang paling berat.

Dari Khobbaab bin Al-Arott rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendatangi Nabi saat beliau sedang bersandar di selendang beliau, di bawah naungan Ka’bah. Kami telah merasakan penderitaan yang berat dari orang-orang musyrik, maka aku berkata: “Wahai Rosululloh, tidakkah engkau berdoa kepada Alloh?” Maka beliau duduk, dan wajah beliau memerah, lalu bersabda: “Sungguh orang-orang sebelum kalian, ada yang disisir dengan sisir besi hingga mengenai tulang mereka, tanpa ada daging atau urat di bawahnya, tetapi hal itu tidak memalingkan mereka dari agama mereka. ada yang diletakkan gergaji di belahan kepalanya lalu dibelah menjadi dua, tetapi hal itu tidak memalingkan mereka dari agama mereka. Sungguh Alloh akan menyempurnakan urusan ini, hingga seorang penunggang kuda berjalan dari Shohro’ ke Hadhromaut tanpa takut kepada siapa pun kecuali Alloh.” (Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3852 dan Ahmad no. 109/5)

Ibnu Al-Qoyyim (751 H) rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Tujuannya adalah bahwa Alloh telah menetapkan dengan hikmah-Nya bahwa Dia pasti akan menguji jiwa-jiwa dan mencobanya, sehingga dengan ujian itu terbedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan siapa yang layak untuk muwaalah (kecintaan) dan kemuliaan-Nya, dan siapa yang tidak layak. agar Dia membersihkan jiwa-jiwa yang layak untuk-Nya dan memurnikannya dengan kiir (alat penempa) ujian, seperti emas yang tidak akan bersih dan murni dari campurannya kecuali dengan ujian. Karena pada dasarnya jiwa itu jahil dan zholim. telah melekat padanya keburukan dari kejahilan dan kezholiman, yang keluarnya memerlukan proses penempaan dan pemurnian. Jika keburukan itu keluar di dunia ini, maka itu baik, tetapi jika tidak, maka itu akan keluar di tungku Naar Jahanam. Jika seorang hamba telah disucikan dan dibersihkan, dia akan diizinkan masuk Jannah.” (Zaadul Ma’aad, 3/18)

Dr. Musthofa As-Sibaa’iy berkata: “Sesungguhnya keteguhan kaum Mu’minin pada aqidah mereka, setelah orang-orang jahat dan sesat menimpakan berbagai macam adzab dan penindasan kepada mereka, adalah bukti kebenaran iman mereka, ketulusan mereka dalam keyakinan mereka, dan keluhuran jiwa serta ruh mereka. Sehingga mereka menganggap ketenangan hati nurani, ketenteraman jiwa dan akal yang mereka miliki, dan harapan mereka akan keridhoan Alloh jauh lebih agung daripada penderitaan dan kezholiman yang menimpa tubuh mereka.” (As-Siroh An-Nabawiyyah Duruus wa ‘Ibar, hlm. 49)

Awan Kesedihan... dan Hijroh ke Habasyah

Ketika gangguan orang-orang musyrik terhadap kaum muwahhidiin (yang mengesakan Alloh) semakin meningkat hari demi hari, Nabi mengizinkan para Shohabat beliau untuk hijroh ke Habasyah (Ethiopia).

Sungguh awal mula penindasan terjadi pada pertengahan atau akhir tahun keempat kenabian. Awalnya lemah, kemudian terus meningkat hari demi hari, dan bulan demi bulan, hingga menjadi parah dan memuncak pada pertengahan tahun kelima. Hingga tinggal di Makkah menjadi sulit bagi mereka, dan memaksa mereka untuk memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari adzab yang pedih ini.

Pada saat yang sulit dan gelap ini, turunlah Surat Al-Kahf, sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang musyrik kepada Nabi . Namun, surat itu memuat tiga kisah yang di dalamnya terdapat isyarat-isyarat yang mendalam dari Alloh Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Kisah Ash-haabul Kahfi (Penghuni Gua) mengarahkan kepada hijroh dari pusat-pusat kekufuran dan permusuhan ketika ada kekhawatiran akan fitnah terhadap agama, dengan bertawakkal kepada Alloh:

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنشُرْ لَكُمْ رَبُّكُم مِّن رَّحْمَتِهِ، وَيُهَيِّئْ لَكُم مِّنْ أَمْرِكُم مِّرْفَقًا

apabila kalian telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Alloh, maka carilah tempat berlindung ke gua itu, niscaya Robb kalian akan melimpahkan sebagian rohmat-Nya kepada kalian dan menyediakan bagi kalian sesuatu yang berguna bagi urusan kalian.” (QS. Al-Kahf: 16)

kisah Khidhr dan Musa menunjukkan bahwa keadaan tidak selalu berjalan dan menghasilkan sesuai dengan yang terlihat. Bahkan, terkadang keadaannya berlawanan sama sekali dengan yang terlihat. Di dalamnya terdapat isyarat halus bahwa peperangan melawan kaum Muslimin akan berbalik sama sekali, dan para tiran musyrik ini—jika mereka tidak beriman—akan dibinasakan di hadapan kaum Muslimin yang lemah dan tertindas ini.

kisah Dzul Qornain menunjukkan bahwa bumi adalah milik Alloh, Dia mewariskannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. sungguh keberuntungan itu hanya ada di jalan keimanan, bukan kekufuran. sungguh Alloh akan terus membangkitkan dari hamba-hamba-Nya—dari waktu ke waktu—orang yang akan menyelamatkan orang-orang lemah dari Ya’juj dan Ma’juj zaman itu. yang paling berhak mewarisi bumi adalah hamba-hamba Alloh yang sholih.

Kemudian turunlah Surat Az-Zumar yang mengisyaratkan tentang Hijroh, dan menyatakan bahwa bumi Alloh itu tidaklah sempit:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةُ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini ada kebaikan. bumi Alloh itu luas. Sungguh, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

Dan Rosululloh telah mengetahui bahwa Ashomah An-Najaasyi, raja Habasyah, adalah raja yang adil yang di sisinya tidak ada yang dizholimi. Maka beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk hijroh ke Habasyah untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah.

Pada bulan Rojab tahun kelima kenabian, berhijrohlah rombongan pertama dari para Shohabat ke Habasyah. Rombongan itu terdiri dari dua belas laki-laki dan empat wanita. Pemimpin mereka adalah ‘Utsman bin ‘Affaan, dan bersamanya As-Sayyidah Ruqoyyah bintu Rosulillah . Nabi bersabda tentang keduanya: “Sungguh keduanya adalah keluarga pertama yang berhijroh di jalan Alloh setelah Ibrohim dan Luuth ‘alaihimas salaam.” (Rohmah lil ‘Aalamiin, 1/61)

Dan Ibu kita Khodijah berdiri bersama Rosululloh untuk mengantar putri beliau, Ruqoyyah, dan suaminya, ‘Utsman, dengan air mata menetes di pipinya... Namun, Khodijah bersabar dan menghitung pahala, karena dia berharap dari lubuk hatinya yang paling dalam untuk mengorbankan segalanya demi menolong agama yang agung ini, betapa pun harganya. Segala sesuatu menjadi ringan selama dalam rangka mencari keridhoan Alloh.

Lembaran Kezholiman dan Pemboikotan Umum

Imam Muhammad bin Yuusuf Ash-Shoohiliy Asy-Syaamiy berkata: “Al-Aswad, Az-Zuhriy, Muusa bin ‘Uqbah, dan Ibnu Ishaaq berkata: Ketika Quroisy melihat para Shohabat Rosululloh telah menetap di negeri di mana mereka mendapatkan keamanan dan ketenangan. bahwa An-Najaasyi telah melindungi orang-orang yang berlindung kepadanya dari mereka. bahwa ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu telah masuk Islam, dan dia adalah laki-laki yang teguh pendiriannya, tidak ada yang berani melampaui batas di belakangnya. Para Shohabat Rosululloh menjadi kuat dengan adanya dia dan Hamzah, hingga mereka menjadi berharga di mata Quroisy. Dia dan Hamzah bersama Rosululloh dan para Shohabat beliau. Dan Islam mulai tersebar di kalangan suku-suku.

Maka mereka membulatkan tekad dan sepakat untuk membunuh Rosululloh . Mereka berkata: “Dia telah merusak anak-anak dan istri-istri kita.” Mereka berkata kepada kabilah Muhammad : “Ambillah dari kami diyah (tebusan) yang berlipat ganda, dan biarkanlah seorang laki-laki dari selain Quroisy membunuhnya, dan kalian akan beristirahat.”

Kaum beliau, Bani Haasyim, menolak hal itu, dan Bani ‘Abdul Muththolib bin ‘Abd Manaaf mendukung mereka.

Ketika Quroisy mengetahui bahwa Rosululloh telah dilindungi oleh kaum beliau, maka orang-orang musyrik Quroisy bersepakat untuk memusuhi mereka dan mengusir mereka dari Makkah ke Shi’b (lembah). Mereka bersepakat dan bermusyawarah untuk menulis sebuah lembaran (perjanjian) di mana mereka berjanji untuk tidak menikah dengan Bani Haasyim dan Bani Al-Muththolib, dan tidak menikahkan anak mereka dengan mereka. Tidak menjual apa pun kepada mereka, tidak membeli apa pun dari mereka, tidak menerima perdamaian dari mereka, dan tidak merasa kasihan kepada mereka hingga mereka menyerahkan Rosululloh untuk dibunuh.

Ketika mereka berkumpul untuk itu, mereka menulis lembaran tersebut. Kemudian mereka berjanji dan bersumpah atas hal itu, lalu menggantung lembaran itu di dalam Ka’bah sebagai penguat janji mereka. Mereka memutus jalur pasar dari mereka. Mereka tidak meninggalkan makanan, lauk pauk, atau jual beli kecuali mereka segera membelinya agar tidak sampai kepada mereka.

Ketika Quroisy melakukan hal itu, Bani Haasyim dan Bani Al-Muththolib pun mengasingkan diri ke tempat Abu Thoolib, dan masuk bersamanya ke lembah beliau, baik yang beriman maupun yang kaafir. Yang beriman karena agamanya, dan yang kaafir karena fanatisme kesukuan. Hanya Abu Lahab yang keluar dari Bani Haasyim untuk bergabung dengan Quroisy, dan mendukung mereka.

Pengepungan semakin ketat, dan pasokan makanan serta bahan baku terputus dari mereka. Orang-orang musyrik tidak membiarkan makanan masuk ke Makkah, dan tidak ada jual beli kecuali mereka segera membelinya. Hingga kaum Muslimin mengalami penderitaan yang amat sangat, dan terpaksa memakan daun-daunan dan kulit. Sampai-sampai terdengar dari balik lembah suara tangisan wanita dan anak-anak mereka karena kelaparan. Tidak ada yang sampai kepada mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi. Mereka tidak keluar dari lembah untuk membeli kebutuhan kecuali pada bulan-bulan harom. Mereka membeli dari kafilah yang datang ke Makkah dari luar, tetapi penduduk Makkah menaikkan harga barang kepada mereka hingga mereka tidak mampu membeli.

Terkadang Hakim bin Hizaam membawa gandum kepada bibinya Khodijah. Suatu kali dia dihadang oleh Abu Jahl, dan dicegah untuk melanjutkannya. Maka Abu Al-Bukhthuriy ikut campur di antara keduanya, dan membiarkan Hakim membawa gandum itu kepada bibinya.

Abu Thoolib mengkhawatirkan Rosululloh . Jika orang-orang telah tidur, dia memerintahkan Rosululloh untuk berbaring di tempat tidur beliau, agar dilihat oleh orang yang ingin membunuh beliau. Jika orang-orang telah tidur, dia memerintahkan salah satu putranya, atau saudaranya, atau sepupunya, untuk berbaring di tempat tidur Rosululloh , dan beliau diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.

Rosululloh dan kaum Muslimin keluar pada hari-hari musim Haji, lalu bertemu dengan orang-orang, dan menyeru mereka kepada Islam.

Ibnu Katsir (774 H) berkata: “Kemudian beberapa orang dari Quroisy berusaha untuk membatalkan lembaran kezholiman itu. Orang yang paling gigih dalam urusan itu adalah Hisyaam bin ‘Amr bin Robii’ah bin Al-Haarits bin Habiib bin Judzaimah bin Malik bin Hisl bin ‘Aamir bin Lu’ay. Dia mendatangi Muth’im bin ‘Adiy dan sekelompok orang dari Quroisy, lalu mereka menyambut seruannya. Rosululloh memberitahu kaum beliau bahwa Alloh telah mengirimkan sejenis rayap kepada lembaran itu, lalu rayap itu memakan semua yang ada di dalamnya kecuali lafazh BismiKal-laahumma (Dengan nama-Mu, ya Alloh)

Maka benarlah apa yang beliau katakan. Kemudian Bani Haasyim dan Bani Al-Muththolib kembali ke Makkah, dan perdamaian tercapai meskipun Abu Jahl ‘Amr bin Hisyaam menolaknya.” (Al-Fushuul fii Ikhtishoor Siirotir Rosuul, Ibnu Katsir, hlm. 90-91)

Ath-Thoohiroh Ibu kita Khodijah—semoga Alloh meridhoinya—tetap berada di belakang Rosululloh , menguatkan beliau, dan ikut serta dalam menanggung penderitaan dari kaumnya dengan jiwa yang ridho, sabar, dan menghitung pahala. Hingga Alloh Ta’ala menetapkan keputusan-Nya dalam pemboikotan yang zholim dan pahit ini, yang menjadi pedang terhunus di leher orang-orang Mu’min yang terkepung yang beriman kepada risalah Muhammad.

Pengepungan berakhir, dan Ath-Thoohiroh Khodijah Ummu Mu’minin keluar dari pengepungan dengan memenangkan buah kesabarannya. Dia melanjutkan hidupnya bersama Rosululloh sebagai istri yang setia, bernaung di bawah keteduhan kesetiaan, kejujuran iman, dan kesabaran yang baik. dengan keteguhan kaum Muslimin menghadapi kesulitan yang mengerikan ini, Alloh menjadikan mereka sebagai pemilik kedudukan yang tinggi di Akhiroh, dan menjadikan mereka pemimpin di muka bumi di dunia. itulah balasan bagi orang-orang yang bersabar, dan pahala bagi orang-orang yang bersyukur.

Dan Alloh membalas mereka di Jannah Al-Khuld (Surga yang kekal) atas kesabaran mereka, dan itu adalah sebaik-baik balasan.

Alloh Mengucapkan Salam Kepada Khodijah

Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Jibril datang kepada Nabi saat Khodijah berada di sisi beliau, lalu berkata: “Sungguh Alloh mengucapkan salam kepada Khodijah.” Maka Khodijah berkata: “Sungguh Alloh adalah As-Salaam (Maha Pemberi Keselamatan), dan atas Jibril keselamatan, dan atas engkau keselamatan dan rohmatullohi wa barokaatuh.” (HR. An-Nasaa-iy dalam Fadhoil Ash-Shohaabah no. 254, dan sanadnya hasan)

Duhai, betapa faqih dan cerdasnya ibu kita. Dia telah mempelajari semua adab, dan menjalaninya di rumah Nabi yang Alloh kumpulkan untuk beliau semua keutamaan, manqobah, dan kemuliaan. Maka Alloh berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

sungguh engkau benar-benar berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qolam: 4)

Balasan Sesuai dengan Perbuatan

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Jibril datang kepada Nabi lalu berkata: “Wahai Rosululloh, ini Khodijah telah datang, bersamanya wadah berisi lauk, atau makanan, atau minuman. Maka jika dia datang kepadamu, ucapkanlah salam kepadanya dari Robb-nya dan dariku. berilah dia kabar gembira berupa rumah di Jannah yang terbuat dari Qoshob (mutiara berongga), tidak ada suara gaduh di dalamnya, dan tidak ada keletihan.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 3820 dan Muslim no. 2432)

Maka marilah kita ketahui mengapa kabar gembira itu berupa rumah dari Qoshob? mengapa Qoshob secara khusus?

Ibnu Hajar (852 H) berkata: Qoshob dengan fathah huruf qof. Ibnu At-Tiin berkata: Maksudnya adalah mutiara berongga yang luas seperti istana yang tinggi. Aku katakan: Dalam riwayat Ath-Thobaroniy di Al-Ausath dari jalur lain dari Ibnu Abi Aufa: Maksudnya adalah mutiara Qoshab. di Al-Kabiir dari Hadits Abu Huroiroh: Rumah dari mutiara berongga. asalnya ada pada Muslim. di Al-Ausath dari Hadits Fathimah, dia berkata: Aku berkata: “Wahai Rosululloh, di mana Ibuku Khodijah?” Beliau bersabda: “Di dalam rumah dari Qoshob.” Aku berkata: “Apakah dari Qoshob ini?” Beliau bersabda: “Tidak, dari Qoshob yang tersusun dari Durr (mutiara), Lu’lu’ (permata), dan Yaaquut (batu mulia).”

As-Suhailiy berkata: “Poin penting dalam sabda beliau: ‘dari Qoshob,’ dan beliau tidak mengatakan: ‘dari Lu’lu’,’ adalah bahwa lafazh Qoshob ada kesesuaian karena Khodijah telah memenangkan qosbuss sabq (memimpin dalam perlombaan) dengan bersegera masuk Islam tanpa didahului oleh orang lain. Oleh karena itu, kesesuaian ini terdapat dalam semua lafazh Hadits ini.”

pada Qoshob ada kesesuaian lain dari sisi kesamaan sebagian besar ruas-ruasnya. Demikian pula Khodijah memiliki kesamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain, karena dia sangat bersemangat untuk mendapatkan keridhoan beliau dengan segala cara yang mungkin, dan tidak pernah mengeluarkan ucapan yang membuat beliau marah sama sekali, sebagaimana yang terjadi pada istri-istri beliau yang lain.

Adapun sabda beliau: “berupa rumah,” Abu Bakar Al-Iskaaf berkata dalam Fawaa-idul Akhbaar: “Maksudnya adalah rumah tambahan di atas apa yang Alloh sediakan untuknya berupa pahala amalnya. Oleh karena itu beliau bersabda: ‘tidak ada keletihan di dalamnya,’ yaitu dia tidak merasa letih karenanya.”

As-Suhailiy berkata: “Penyebutan rumah memiliki makna yang halus, karena dia adalah pemilik rumah dalam Islam yang menyendiri dengannya. Pada hari pertama Nabi diutus, tidak ada rumah Islam di muka bumi kecuali rumahnya. ini adalah keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

balasan dari perbuatan sering disebutkan dengan lafazh yang sama (meskipun lebih mulia), oleh karena itu Hadits ini datang dengan lafazh ‘rumah’ bukan lafazh ‘istana’.”

Al-Manaawiy berkata: “Rumah adalah ungkapan untuk istana, dan penyebutan keseluruhan dengan nama sebagian diketahui dalam bahasa mereka.”

balasan yang sesuai dengan perbuatan tampak pada sabda Rosul: “tidak ada suara gaduh di dalamnya, dan tidak ada keletihan,”. Ash-Shokhob (suara gaduh) adalah teriakan dan perselisihan dengan meninggikan suara, dan An-Nashob (keletihan) adalah kelelahan.

As-Suhailiy berkata: “Kesesuaian penafian dua sifat ini—yaitu perselisihan dan keletihan—adalah karena ketika Nabi menyeru kepada Islam, Khodijah menyambutnya dengan sukarela. Dia tidak menunjukkan suara gaduh, tidak pula perselisihan, tidak pula keletihan dalam hal itu. Bahkan, dia menghilangkan segala keletihan dari beliau, menghibur beliau dari segala kesepian, dan meringankan setiap kesulitan bagi beliau. Maka pantaslah tempat tinggal yang dikabarkan kepadanya oleh Robb-nya memiliki sifat yang berlawanan dengan perbuatannya.” (Fathul Bari, 7/172; Faidhul Qodiir, Al-Munaawiy)

Tahun Kesedihan

Kaum Muslimin keluar dari lembah (Shi’b) untuk melanjutkan aktivitas lama mereka setelah Islam berada di Makkah selama kurang lebih sepuluh tahun yang penuh dengan peristiwa besar. begitu kaum Muslimin bernapas lega dari kesulitan yang mereka alami, tiba-tiba Rosululloh ditimpa kematian istri beliau, Khodijah, kemudian kematian paman beliau, Abu Thoolib. Artinya, beliau ditimpa musibah dalam kehidupan pribadi dan umum beliau secara bersamaan...

Khodijah adalah nikmat Alloh yang agung bagi Muhammad —dia membantu beliau di saat-saat paling genting, menolong beliau dalam menyampaikan risalah-Nya, dan berbagi beban penderitaan yang pahit bersama beliau. Dia menghibur beliau dengan diri dan hartanya. Sungguh engkau akan merasakan betapa besarnya nikmat ini ketika engkau mengetahui bahwa di antara istri-istri para Nabi, ada yang mengkhianati risalah dan mengkufuri suami mereka, dan bersekutu dengan orang-orang musyrik dari kaum mereka, menjadi musuh Alloh dan Rosul-Nya.

Alloh berfirman:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِّلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Alloh membuat perumpamaan bagi orang-orang kaafir, yaitu istri Nuh dan istri Luuth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang sholih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat menolong mereka sedikit pun dari (adzab) Alloh; dan dikatakan (kepada kedua istri itu): ‘Masuklah ke Naar (Neraka) bersama orang-orang yang masuk.’” (QS. At-Tahriim: 10)

Adapun Khodijah, dia adalah Shodiqotun Nisaa’ (wanita yang paling jujur). Dia melindungi suaminya ketika beliau gelisah. Dia adalah angin sejuk kedamaian dan kebaikan. Dia membasuh dahi beliau yang berkeringat karena dampak Wahyu. Dia tinggal bersama beliau selama seperempat abad. Sebelum kenabian, dia menghormati perenungan beliau, pengasingan beliau, dan akhlak beliau. Setelah kenabian, dia menanggung tipu daya musuh, penderitaan pengepungan, dan kesulitan dakwah. Dia wafat ketika Rosululloh berusia lima puluh tahun, dan dia telah melewati enam puluh lima tahun. Beliau menjaga kesetiaan pada kenangan beliau sepanjang hidup beliau.

Beginilah Kesetiaan

Nabi sangat sedih atas wafatnya Khodijah dengan kesedihan yang mendalam. Sungguh Khodijah adalah sebaik-baik istri yang sabar dan setia. Dia membantu beliau sepanjang hidup beliau, dan mengorbankan segala yang berharga dan bernilai demi menolong agama ini. Nabi tidak pernah bisa melupakan beliau selamanya. Beliau senantiasa menunjukkan kesetiaan kepada beliau yang pena tidak mampu menggambarkannya. Beliau selalu memuji beliau, dan menyukai orang yang mencintai beliau. Bahkan beliau senang melihat atau mendengar orang yang mengingatkan beliau pada Khodijah dan hari-hari beliau yang penuh aroma kebaikan dan keberkahan.

Sungguh Al-Habiib memuji beliau dan bersabda:

كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

“Banyak laki-laki yang sempurna, dan tidak ada wanita yang sempurna kecuali Aasiyah istri Fir’aun, Maryam bintu ‘Imron—dan Khodijah bintu Khuwailid —dan keutamaan ‘Aisyah atas wanita-wanita lain seperti keutamaan Tsariid (roti campur daging kuah) di atas makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 3411 dan Muslim no. 2431)

Salah seorang ulama terkemuka mengomentari Hadits ini dengan komentar yang indah: “Di antara kesamaan yang indah yang mengumpulkan ketiganya dalam satu rangkaian adalah bahwa setiap dari mereka mengasuh seorang Nabi yang diutus, dan memperbaiki pergaulan dengannya serta beriman kepadanya. Aasiyah rodhiyallahu ‘anha mendidik Musa, berbuat baik kepadanya, dan membenarkannya ketika diutus. Maryam rodhiyallahu ‘anha mengasuh ‘Iisa, mendidiknya, dan membenarkannya ketika diutus. Dan Khodijah rodhiyallahu ‘anha mencintai Nabi, menghibur beliau dengan diri dan hartanya, memperbaiki pergaulan dengannya, dan dia adalah orang pertama yang membenarkan beliau ketika Wahyu turun kepada beliau.”

Nabi tidak pernah menikahi wanita lain sebelum Khodijah. Bahkan beliau tidak menikah lagi dengan wanita lain hingga Khodijah wafat.

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Nabi tidak menikah lagi dengan wanita lain setelah Khodijah hingga Khodijah wafat. (Shohih, HR. Muslim no. 2436)

Beliau menghabiskan hari-hari terbaik dalam hidup beliau bersama Khodijah dalam cinta kasih, rohmat, cinta, ketaatan kepada Alloh, dan dakwah kepada agama Alloh. Hari-hari setelah wafatnya Khodijah tidak menambah apa pun selain cinta dan kesetiaan beliau kepada Khodijah. Beliau selalu memuji beliau, dan menyukai orang yang mencintai beliau, bahkan beliau senang melihat atau mendengar orang yang mengingatkan beliau pada Khodijah dan hari-hari beliau yang penuh aroma kebaikan dan keberkahan.

Dari Hisyaam bin ‘Urwah dari ayahnya, dia berkata: Aku mendengar ‘Abdullah bin Ja’far dari ‘Ali bin Abi Thoolib rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi , beliau bersabda:

خَيْرُ نِسَائِهَا مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَخَيْرُ نِسَائِهَا خَدِيجَةُ

“Sebaik-baik wanita di zamannya adalah Maryam bintu ‘Imron, dan sebaik-baik wanita di zamannya adalah Khodijah.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 3432 dan Muslim no. 2430)

Dari Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh membuat empat garis di tanah, lalu bersabda: “Tahukah kalian apa ini?” Mereka menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih mengetahui.” Rosululloh bersabda:

أَفْضَلُ نِسَاءِ أَهْلِ الْجَنَّةِ خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ بِنْتُ مُزَاحِمٍ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ وَمَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ

“Wanita-wanita terbaik ahli Jannah adalah Khodijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, Aasiyah bintu Muzaahim istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imron—semoga Alloh meridhoi mereka semua—” (HR. Ahmad, 1/293, dan Ath-Thobaroniy no. 11928, dan sanadnya shohih)

Dari Anas rodhiyallahu ‘anhu, Rosululloh bersabda:

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ الْعَالَمِينَ مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

“Cukuplah bagimu wanita-wanita di seluruh alam adalah Maryam bintu ‘Imron, Khodijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Aasiyah istri Fir’aun.” (HR. At-Tirmidzi no. 3878, dan Ahmad, 3/135, dan Al-Haakim, 3/157, dan sanadnya shohih)

Dari Ibnu ‘Abbaas rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh bersabda: “Pemimpin wanita ahli Jannah setelah Maryam bintu ‘Imron adalah Fathimah, Khodijah, dan Aasiyah istri Fir’aun.” (HR. Ath-Thobaroniy dalam Al-Kabiir no. 12179, dan sanadnya hasan)

Di antara bukti-bukti yang menakjubkan atas kesetiaan beliau kepada Ath-Thoohiroh Khodijah, adalah apa yang terjadi pada Perang Badar Al-Kubraa. Yaitu ketika Abul ‘Aash bin Ar-Robii’ (menantu Rosul, suami putri beliau Zainab, putri dari istri beliau yang setia lagi mulia, Khodijah) ditawan. Maka Zainab yang setia mengirimkan tebusan untuk suaminya Abul ‘Aash; di antara tebusan itu terdapat kalung yang dulunya dihadiahkan oleh ibunya yang dermawan, Khodijah, pada malam pernikahan Zainab. Ketika Rosululloh melihatnya, beliau merasa sangat kasihan, dan teringat pada istri beliau yang diberkahi lagi setia, Khodijah. Beliau bersabda kepada para Shohabat beliau: “Jika kalian berpendapat untuk melepaskan tawanannya dan mengembalikan kalungnya, maka lakukanlah.”

Maka para Shohabat beliau yang mulia—semoga Alloh meridhoi mereka—segera memenuhi permintaan Nabi Al-Karim, yang digerakkan oleh perasaan kenangan terhadap Ash-Shodiqoh (wanita yang sangat jujur) yang setia lagi suci—semoga Alloh meridhoinya—Khodijah Ummu Mu’minin. Maka bagi Alloh, wanita yang suci lagi dermawan ini, Ibu kita Khodijah, memiliki hutang yang besar di leher setiap Muslim dan Muslimah.

Manqobah yang Agung

Imam Ibnu Katsir (774 H) menyebutkan beberapa hal yang pertama kali terjadi pada Ath-Thoohiroh Khodijah, beliau berkata:

Yang pertama kali dinikahi oleh Rosululloh adalah Khodijah.

Yang pertama kali beriman kepada beliau—menurut pendapat yang shohih—adalah Khodijah (Al-Fushuul, hlm. 243)

Di antara yang pertama kali terjadi pada Ath-Thoohiroh Khodijah adalah:

Yang pertama kali Sholat bersama Rosululloh .

Yang pertama kali dianugerahi anak dari beliau.

Yang pertama kali diberi kabar gembira masuk Jannah dari istri-istri beliau.

Yang pertama kali diucapkan salam oleh Robb-nya.

Yang pertama kali masuk Islam dari kalangan kaum Mu’minat.

Yang pertama kali wafat dari istri-istri Nabi .

Kuburan pertama yang Nabi Al-Karim turun ke dalamnya di Makkah adalah kuburan beliau.

Imam Az-Zuhriy (124 H) berkata: “Khodijah rodhiyallahu ‘anha adalah orang pertama yang beriman kepada Alloh... Rosululloh menerima risalah Robb-nya dan kembali ke rumahnya. Beliau tidak melewati pohon, tidak pula batu, melainkan memberi salam kepada beliau. Ketika beliau masuk menemui Khodijah, beliau bersabda: ‘Bagaimana menurutmu tentang orang yang selama ini aku ceritakan aku lihat dalam tidur, sungguh dia adalah Jibril, dia menampakkan diri kepadaku, Robb-ku mengutusnya kepadaku.’ Beliau memberitahunya tentang Wahyu, maka Khodijah berkata: ‘Bergembiralah, demi Alloh, Alloh tidak akan melakukan kepadamu kecuali kebaikan. Maka terimalah apa yang datang kepadamu dari Alloh, sungguh itu adalah kebenaran.’ (Taarikhul Islaam, Adz-Dzahabiy, 1/128)

Kecemburuan ‘Aisyah Terhadap Khodijah

Setelah Khodijah wafat, Rosululloh menikahi Saudah bintu Zam’ah, kemudian beliau menikahi ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha. Maka Ibu kita ‘Aisyah merasakan sedikit kecemburuan karena seringnya Nabi memuji Khodijah dan menyebut-nyebut beliau. Itu semua karena saking cintanya Ibu kita ‘Aisyah kepada Rosululloh .

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi kecuali kepada Khodijah, padahal aku tidak pernah bertemu dengannya.”

Dia berkata: “Dan Rosululloh , jika beliau menyembelih kambing, beliau bersabda: ‘Kirimkanlah kepada teman-teman Khodijah.’”

‘Aisyah berkata: “Maka suatu hari aku membuat beliau marah, lalu aku berkata: ‘Khodijah!’ Maka Rosululloh bersabda: ‘Sungguh aku dianugerahi cintanya.’” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Muslim no. 2435 dan Al-Bukhori no. 5229)

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: Haalah bintu Khuwailid, saudari Khodijah, meminta izin untuk menemui Rosululloh . Maka beliau mengenali cara meminta izin Khodijah, lalu beliau merasa gembira karenanya. Beliau bersabda: “Ya Alloh, Haalah bintu Khuwailid.” Maka aku cemburu, lalu aku berkata: “Apa yang engkau ingat dari seorang nenek tua di antara nenek-nenek tua Quroisy, yang gusinya merah (ompong) yang telah meninggal dunia? Sungguh Alloh telah menggantikanmu dengan yang lebih baik darinya.” (Shohih, HR. Muslim no. 2437)

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Aku tidak pernah cemburu kepada istri Nabi seperti kecemburuanku kepada Khodijah, dia meninggal dunia sebelum beliau menikahiku. Itu karena aku sering mendengar beliau menyebutnya, dan Alloh memerintahkan beliau untuk memberi kabar gembira kepadanya berupa rumah dari Qoshob. sungguh beliau menyembelih kambing, lalu menghadiahkannya kepada teman-teman Khodijah secukupnya.” (Muttafaqun ‘alaihi: HR. Al-Bukhori no. 3816 dan Muslim no. 2435)

Dalam riwayat Al-Bukhori... “terkadang beliau menyembelih kambing, kemudian memotong-motongnya, lalu mengirimkannya kepada teman-teman Khodijah. Maka aku berkata kepada beliau: ‘Seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khodijah?’ Maka beliau bersabda: ‘Sungguh dia adalah begini dan begitu, dan darinya aku mendapatkan anak.’” (Shohih, HR. Al-Bukhori no. 3818)

Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Rosululloh , jika beliau menyebut Khodijah, beliau memuji dan menyempurnakan pujian.” Dia berkata: “Maka suatu hari aku cemburu, lalu aku berkata: ‘Betapa seringnya engkau menyebut nenek tua yang gusinya merah (ompong), sungguh Alloh telah menggantikanmu dengan yang lebih baik darinya?’ Maka Rosululloh bersabda: ‘Alloh menggantikan aku dengan yang lebih baik darinya?! Sungguh dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengkufuriku, dan dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia menghiburku dengan hartanya ketika orang-orang mengharomkan (tidak memberi) aku, dan Alloh menganugerahkan anak kepadaku darinya, dan mengharomkan aku mendapatkan anak dari wanita lain.’” (HR. Ahmad, dan sanadnya hasan)

Dari ‘Abdullah Al-Bahiy, dia berkata: ‘Aisyah berkata: “Rosululloh , jika beliau menyebut Khodijah, beliau tidak pernah bosan memuji dan memohonkan ampunan untuknya. Suatu hari beliau menyebutnya, maka kecemburuan menguasai aku, lalu aku berkata: ‘Sungguh Alloh telah menggantikanmu dengan yang lebih tua darinya (yang sudah tua).’ ‘Aisyah berkata: Maka aku melihat beliau marah dengan kemarahan yang membuatku menyesal. Aku berkata dalam hati: ‘Ya Alloh, jika Engkau menghilangkan kemarahan Rosul-Mu dariku, aku tidak akan lagi menyebutnya dengan keburukan.’ Ketika Nabi melihat apa yang aku rasakan, beliau bersabda: ‘Apa yang engkau katakan? Demi Alloh, sungguh dia beriman kepadaku ketika orang-orang mendustakan aku, dan dia melindungiku ketika orang-orang menolak aku, dan aku dianugerahi anak darinya, dan kalian diharomkan mendapatkannya dariku.’ ‘Aisyah berkata: Maka beliau datang dan pergi kepadaku selama satu bulan.”

Imam Adz-Dzahabiy berkata: “Aku katakan: ini adalah sesuatu yang paling menakjubkan. Dia cemburu kepada seorang wanita tua yang wafat sebelum Nabi menikah dengan ‘Aisyah untuk waktu yang cukup lama. Kemudian Alloh melindunginya dari kecemburuan terhadap beberapa wanita lain yang menjadi istri Nabi . Ini adalah kelembutan Alloh kepadanya dan kepada Nabi, agar hidup mereka tidak keruh. barangkali kecemburuan itu diringankan darinya karena cinta Nabi kepadanya dan kecenderungan beliau kepadanya. Semoga Alloh meridhoi dia dan menjadikannya ridho.”

Kelembutan

Di rumah ‘Aisyah terdapat kemuliaan lain bagi Ath-Thoohiroh Khodijah. Suatu hari, seorang wanita tua dari kalangan teman-teman Ath-Thoohiroh Khodijah datang menemui Nabi . Maka beliau menyambutnya dengan baik, memuliakannya, dan menghamparkan selendang beliau untuknya, lalu mendudukkannya di atasnya. Beliau terus bertanya tentang keadaannya dan apa yang terjadi padanya. ‘Aisyah berkata ketika wanita itu keluar: “Wahai Rosululloh, engkau menyambut wanita hitam ini dengan sambutan seperti ini!” Maka beliau bersabda: “Sungguh dia pernah datang menemui Khodijah, dan sesungguhnya husnul ‘ahd (menjaga janji atau persahabatan yang baik) termasuk keimanan.” (HR. Ahmad, dan Al-Arnaa’uuth berkata: Rowinya terpercaya)

 

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url