Biografi Sebagian Guru-Guru Imam Al-Bukhari
Jumlah guru imam Al-Bukhari
mencapai 1.080 orang, dan semuanya pakar hadits dan berpaham Ahlus Sunnah.
Adapun guru yang dimasukkan di
kitabnya As-Shahih mencapai 300 orang. Berikut biografinya berdasarkan jumlah
hadits yang mereka riwayatkan di kitab As-Shahih.
Di dalam buku ini akan disebut
beberapa istilah: muhaddits, hafizh, hujjah, imam, amirul mukminin fil hadits
yang dinukil dari perkataan Adz-Dzahabi di kitabnya Siyar Alamin Nubala yang
dinukil dalam buku ini.
1.
Muhaddits adalah orang yang
mendalami hadits dari sisi riwayah (hafalan) dan diroyah (makna).
2.
Hafizh adalah muhaddits
yang hafal 100.000 hadits, matan beserta sanadnya.
3.
Hujjah adalah hafizh yang
hafal 300.000 hadits, matan beserta sanadnya.
4.
Imam adalah rujukan para
hujjah jika ada khilaf.
5.
Amirul Mukminin fil Hadits
artinya pemimpin para ahli hadits.
Tingkatan Pertama: Meriwayatkan 200 Hadits Lebih
Musaddad (W. 228 H)
Musaddad bin
Musarhad bin Musarbil Al-Asadi Abul Hasan Al-Bashri. Ada yang berpendapat, nama
aslinya Abdul Malik bin Abdul Aziz, sementara Musaddad adalah julukan.
Dia adalah seorang
imam, hafizh, dan hujjah. Lahir sekitar 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan
lahirnya Imam Asy-Syafii.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Hammad bin Zaid, Abu Awanah, Ibnu Uyainah, Fudhail bin
Iyadh, Yahya Al-Qoth-thon, dan Waki.
Muridnya yang
terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Zur’ah, Abu
Hatim.[1]
Jumlah hadits yang
diriwayatkannya sebanyak 392 hadits.
Abu Zur’ah Ar-Rozi meriwayatkan
ucapan Imam Ahmad: “Musaddad tsiqoh.”
Dia orang pertama
yang menyusun kitab Al-Musnad di Bashroh. Ibnu Nashiruddin berkata: “Dia
seorang hafizh, hujjah, dan imam para penyusun kitab yang kokoh. Dia pernah
berkirim surat kepada Imam Ahmad bin Hanbal bertanya tentang fitnah aliran
sesat yang menimpah masyarakat di daerahnya dari paham Qodariyah, Rofidhoh,
Muktazilah, Al-Quran makhluk, dan Murjiah lalu dijawab dalam sebuah risalah
sekitar 4 lembar.[2]
Abdullah bin Yusuf (W. 218 H)
Abdullah bin Yusuf
At-Tannisi Abu Muhammad Al-Mishri.
Jumlah hadits yang
diriwayatkannya dalam kitab Shahih Al-Bukhari sebanyak 320 hadits dan 4
mutabaah.
Ia seorang imam dan
hafizh. Orang yang paling terpercaya meriwayatkan Al-Muwatho Malik.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Malik bin Anas dan Al-Laits bin Sa’ad. Sementara muridnya
yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Yahya bin
Main, dan Abu Hatim.
Yahya bin Main
berkata: “Orang paling kokoh meriwayatkan Al-Muwatho adalah Abdullah bin Yusuf
dan Al-Qo’nabi.” Dia juga berkata: “Tidak tersisa di kolong bumi orang yang
lebih kokoh dalam meriwayatkan Al-Muwatho melebihi dirinya.”
Imam Al-Bukhari
berkata: “Dia orang paling kokoh (dalam meriwayatkan) di antara orang-orang
Syam.”[3]
Qutaibah (W. 240 H)
Qutaibah bin Sa’id
bin Jamil Al-Baghlani Ats-Tsaqofi Abu Roja Al-Himshi.
Hadits yang
diriwayatkannya dalam As-Shahih sebanyak 320 hadits dan 8 mutabaah.
Dia adalah Syaikhul
Islam, Al-Muhaddits, Imam yang banyak mengadakan rihlah (perjalanan) menuntut
ilmu. Dilahirkan pada tahun 149 H.
Al-Hafizh Ibnu Adi
mengatakan nama aslinya Yahya bin Sa’id, sementara Qutaibah adalah julukannya.
Sementara Al-Hafizh Ibnu Mandah mengatakan nama aslinya Ali bin Sa’id.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Malik bin Anas, Al-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Abu
Awanah, Ibnul Mubarok, Fudhoil bin Iyadh, dan Waki.
Di antara muridnya
adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah,
Al-Humaidi, Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Ali
Al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibrohim Al-Harbi, dan Musa bin Harun.
Abu Hatim Ar-Rozi
berkata: “Aku pernah menghadiri majlisnya lalu Ahmad datang menanyakan beberapa
hadits lalu dijawab olehnya riwayatnya. Lalu Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dan
Ibnu Namir mendatanginya di Kufah di malam hari, dan saat itu aku turut hadir.
Keduanya bersamaku terus-menerus bersoal jawab kepadanya hingga Subuh.”
Ahmad bin Muhammad
bin Ziyad Al-Karmini berkata: Qutaibah berkata kepadaku: “Warna merah yang kau
lihat di kitabku adalah tanda dari Ahmad bin Hanbal, sementara warna hijah
adalah tanda dari Yahya bin Main.”
Abdullah bin Ahmad
bin Syabbuyah berkata: Aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata: “Semula aku
belajar ilmu kalam lalu aku bermimpi melihat sebuah wadah menggantung dari atas
langit. Orang-orang berusaha meraihnya tetapi tidak berhasil. Lalu aku maju dan
berhasil meraihnya. Kuperhatikan isinya ternyata jarak antara timur ke barat.
Ketika pagi harinya, kuceritakan mimpiku itu kepada ahli takbir mimpi lalu ia
berkata: Wahai anakku, ambil hadits. Ilmu kalam tidak mampu mencapai timur dan
barat, tetapi yang mampu mencapainya adalah atsar (hadits).’ Akhirnya
kuputuskan meninggalkan kalam dan mengambil atsar.”
Ahmad bin Jarir
berkata: Qutaibah berkata kepadaku: Ayahku berkata kepadaku: “Aku melihat
Rasulullah SAW dalam mimpi memegang lembaran di tangannya. Kutanya: Wahai
Rasulullah, lembaran apa itu? Beliau menjawab: ‘Berisi nama-nama ulama.’
Kutanya: ‘Bolehkah aku melihatnya, agar kucek nama putraku apa ada.’ Lalu kulihat
isinya dan ternyata ada nama anakku.”
Sebab terusirnya
Qutaibah dari negerinya Balkhi dan menetap di Baghlan adalah ia pernah
menghadiri majlisnya Malik bin Anas (di Madinah) lalu datang seorang bernama
Ibrohim bin Yusuf Al-Balkhi untuk mendengar hadits. Qutaibah melihatnya lalu
berkata kepada Malik: “Dia Murjiah.” Akhirnya Malik mengusirnya dari majlisnya.
Dengan sebab itu, Ibrohim ―yang memiliki pengaruh kuat di negerinya Balkhi―
memusuhi Qutaibah dan berhasil mengusinya.
Ali Al-Madini (W. 234 H)
Ali bin Abdullah
bin Ja’far bin Najih Al-Madini Abul Hasan Al-Bashri.
Jumlah hadits yang
diriwayatkannya dalam Shahih Bukhari sebanyak 300 hadits dan 8 mutabaah.
Ia adalah guru
utama Imam Al-Bukhari hingga berkata: “Aku tidak pernah merasa minder di depan siapapun
kecuali di depan Ali Al-Madini.” Sementara gurunya sendiri, Abdurrahman
Al-Mahdi, berkata: “Ali Al-Madini adalah orang yang paling berilmu terhadap
hadits Rasulullah SAW.”
Ia seorang imam,
hafizh, bahkan pimpinan para ahli hadits di zamannya. Ayahnya seorang ahli
hadits terkenal tetapi lemah periwayatannya.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Hammad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Said
Al-Qoth-thon, dan lainnya hingga menjadi pakar hadits dan cacatnya. Karyanya
mencapai 200 kitab.
Di antara muridnya
yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Hatim, Abu Ya’la Al-Maushili, Abul Qosim
Al-Baghowi.
Abu Hatim Ar-Rozi
berkata: “Ali Al-Madini tanda bagi manusia dalam ilmu hadits dan cacatnya.”
Imam Ahmad bin
Hanbal tidak menyebut langsung namanya, tetapi kun-yahnya (Abul Hasan) karena
sangat menghormatinya.
Ibnu Uyainah
termasuk guru Ibnul Madini yang juga meriwayatkan hadits darinya. Ia berkata:
“Aku tidak suka membuka majlis untuk kalian. Andai bukan karena ada Ibnul
Madini, aku tak mau membuka majlis.”
Kholaf bin Al-Walid
Al-Jauhari berkata: Ibnu Uyainah suatu hari keluar menemui kami dan saat itu
ada Ali Al-Madini lalu ia berkata: “Andai bukan karena Ali, aku tidak akan
menemui kalian (untuk membuka majlis hadits).”
Sahl bin Zanjalah
berkata: “Kami pernah di sisi Ibnu Uyainah bersama para tokoh pemuka ahli
hadits lalu ia berkata: ‘Siapakah laki-laki yang empat haditsnya kuriwayatkan,
yang mendapatkannya dari Sahabat langsung?’ (Semua pemuka ahli hadits diam),
tiba-tiba Ali Al-Madini menjawab: ‘Ziyad bin Ilaqoh?’ Jawabnya: ‘Benar.’”
Abu Qudamah
As-Sarokhsi berkata: Aku mendengar Ali berkata: “Aku bermimpi melihat bintang
Suroyyan tergantung lalu berhasil kuraih.” Allah membenarkan mimpinya. Dia
mencapai ilmu hadits yang tidak mampu diraih siapapun.
Abdurrahman bin Abi
Abbad Al-Qolzumi berkata: Suatu hari aku bersama Ali berjalan bareng lalu ia
berkata: ‘Aku bermimpi malam ini seakan tanganku memanjang lalu kuraih
bintang-bintang.’ Lalu kami pergi kepada ahli takbir mimpi dan berkata: ‘Kamu
akan meraih ilmu. Maka lihat saja nanti.’ Sebagian sahabat kami berkata:
‘Bagaimana jika kamu belajar fiqih saja,’ seakan yang mereka kehendaki adalah
belajar kalam. Lalu ia menjawab: ‘Jika aku menyibukkan dirinya kepada ilmu
tersebut, tentulah ilmu yang ada padaku ini akan lenyap.’”
Imam Abu
Abdirrahman An-Nasai berkata: “Seakan Allah menciptakan Ali Ibnul Madini hanya
untuk ilmu hadits ini.”
Imam Al-Bukhari
berkata:
مَا اسْتَصغَرْتُ نَفْسِي عِنْدَ أَحَدٍ،
إِلاَّ عِنْدَ عَلِيِّ بنِ المَدِيْنِيِّ
“Aku tidak merasa
minder di depan siapapun kecuali di depan Ali Ibnul Madini.”
Abu Yahya Muhammad
bin Abdurrahim berkata: “Ketika tiba di Baghdad, Ali membuka halaqoh. Lalu
berdatangan Ibnu Main, Ahmad bin Hanbal, Al-Muaithi, dan bersama manusia
lainnya melakukan diskusi ilmu. Apabila mereka berselisih pendapat, Ali yang
jadi penengahnya.”
Ibnu Main berkata:
“Ali Ibnul Madini jika bertemu kami menampakkan Sunnah, tetapi jika kembali ke
Bashroh menampakkan Tasyayyu.”
Makna Tasyayyu
adalah memperbanyak riwayat tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini
dikarenakan orang-orang Bashroh yang merendahkan Ali.
Di antara mutiara
ucapan Ali Ibnul Madini adalah:
التَّفَقُّةُ فِي مَعَانِي الحَدِيْثِ:
نِصْفُ العِلْمِ، وَمَعْرِفَةُ الرِّجَالِ: نِصْفُ العِلْمِ
“Mendalami makna
hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari perawi adalah separuh ilmu
lainnya.”
Ibnul Madini
berkata: “Aku meninggalkan 200.000 haditsku yang kuhafal. 30.000 di antaranya
riwayat Abbad bin Shuhaib.” Maksudnya, hadits-hadits yang bermasalah dalam
sanadnya ia tinggalkan, terutama dari Abbad bin Shuhaib seorang penyeru paham
Qodariyah.
Pernah ditanyakan
kepada Al-Bukhari: Apa keinginan Anda? Jawabnya: Aku mendatangi Iroq sementara
Ali Ibnul Madini masih hidup sehingga aku menghadiri majlisnya.
Abu Ubaid Al-Ajurri
berkarta: Ditanyakan kepada Abu Dawud: Siapakah yang lebih berilmu, Ahmad bin
Hanbal atau Ali Ibnul Madini? Jawabnya: Ali lebih berilmu tentang perselisihan
hadits melebihi Ahmad.
Abdul Mukmin
An-Nasafi berkata: Aku bertanya kepada Shalih bin Muhammad: Apakah Yahya bin
Main hafal? Jawabnya: Tidak, dia hanya memahami. Kutanyakan lagi: Kalau Ali?
Jawabnya: Dia menghafal dan memahami.
Abu Dawud berkata:
“Ali Ibnu Madini lebih utama dari 10.000 orang semacam Asy-Syadzakuni.”
Abu Ubaid berkata:
“Puncak ilmu adalah pada empat orang: Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah yang tercepat
hafalannya, Ahmad bin Hanbal yang paling faqih, Ali Ibnul Madini yang paling
berilmu, dan Yahya bin Main yang paling banyak mencatat.”
Al-Farhayani
berkata: “Yang paling mengetahui ilmu cacat hadits di zamannya adalah Ali.”
Ahmad bin Yusuf
Al-Bujari berkata: “Aku pernah melihat Ali menselonjorkan kakinya, sementara di
sisi kananya ada Ahmad bin Hanbal dan sisi kirinya ada Yahya bin Main. Ali
mendiktekan kepada keduanya.”[4]
Abul Yaman (W. 222 H)
Al-Hakam bi Nafi’
Al-Bahroni Abul Yaman Al-Himshi. Meriwayatkan 277 hadits dalam Shahih
Al-Bukhari dan 2 mutabaah.
Ia seorang hafizh, imam,
dan hujjah yang lahir pada tahun 138 H.
Di antara gurunya
adalah Syuaib bin Abi Hamzah dan Ismail bin Ayyasy. Ia pernah bertemu Malik bin
Anas tetapi tidak sempat mendengar haditsnya, dan ia menyesal setelah itu.
Di antara muridnya
yang terkenal adalah Al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Abu Hatim,
Abu Muhammad Ad-Darimi, Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam.
Abu Hatim berkata:
“Abul Yaman dinamai sekretaris Ismail bin Ayyasy sebagaimana Abul Shalih
dinamai sekretaris Al-Laits. Dia tsiqoh, nabil, dan jujur.”
Abul Yaman adalah
orang alim di zamannya hingga didahulukan oleh Al-Makmun untuk menjadi hakim di
Himsh.[5]
Abul Yaman berkata:
Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku: Bagaimana Anda mendapatkan kitab-kitab dari
Syuaib bin Abi Hamzah? Jawabku: Sebagian kuterima dari aku membaca kepadanya,
sebagian dibacakannya kepadaku, sebagian ijazah, dan sebagian munawalah
(penyerahan kitab sebagai hadiah). Ahmad berkata: (Dalam meriwayatkan nanti)
katakan bahwa Syuaib mengabarkan kepadaku.[6]
Yakni, pakai akhbarona
(mengabarkan kepada kami) yang mewakili ijazah dan munawalah, bukan haddatsana
(menceritakan kepada kami) yang mewakili mendengar langsung.
Musa bin Ismail (W. 223 H)
Musa bin Ismail
At-Tabudzaki Al-Minqori Abu Salamah Al-Bashri. Meriwayatkan 260 hadits dalam
Shahih Bukhari dan 8 mutabaah.
Dia seorang hafizh,
imam, hujjah, bahkan syaikhul Islam.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Syu’bah yang hanya meriwayatkan darinya satu hadits,
Hammad bin Salamah, Ibnul Mubarok, Hammad bin Zaid satu hadits.
Sementara di antara
muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, Yahya bin Main, Abu
Zur’ah, Abu Hatim, Abu Bakar Ibnu Abi Ashim.
Abbas berkata: “Aku
menghitung hadits yang kutulis darinya bersama Ibnu Main mencapai 35.000
hadits.”
Abu Hatim berkata,
dari Yahya, ia berkata: “Dia orang cerdas, dan Al-Hajjaj bin Minhal adalah
lelaki shalih, sementara Abu Salamah (Musa bin Ismail) lebih hebat darinya.”
Abi Hatim berkata:
“Ia dijuluki At-Tabudzaki karena membeli sebuah rumah di Tabudzaki. Oleh karena
itu, ia dinasabkan kepadanya.”
Ibnu Hibban
berkata: “Dia termasuk orang-orang bertakwa.”
Suatu ketika Yahya
bin Main setelah menulis banyak hadits dari Musa bin Ismail, ia berkata: “Aku
ingin menyampaikan kepada Anda suatu hal, mohon tidak marah.” Jawabnya:
“Sampaikan saja.” Yahya berkata: Yaitu hadits Hamam, dari Tsabit, dari Anas,
dari Abu Bakar tentang gua, yang tidak ada seorang pun dari sahabatmu yang
meriwayatkannya kecuali Affan dan Hibban. Aku tidak mendapatkannya di awal
kitabmu, tetapi ada di sampul belakangnya. Jawabnya: “Lantas apa maumu?” Yahya
berkata: Maukah Anda bersumpah kepadaku bahwa Anda benar mendengarnya dari
Hammam? Dia berkata: “Kamu katanya sudah menulis 20.000 hadits dariku, jika
kamu merasa aku jujur dalam menyampaikan hadits-hadits tersebut, maka tidak
layak kamu mendustakannya hanya karena satu hadits. Namun, jika kamu merasa aku
bohon di sisimu, maka tidak layak kamu membenarkanku dan tidak perlu menulis
dariku, dan buang saja catatanmu itu. Barroh bintu Abi Ashim (istriku) kucerai
tiga kali jika benar aku tidak mendengar dari Hammam. Demi Allah, aku tidak
akan berbicara denganmu selamanya.”[7]
Abu Ja’far Muhammad
bin Muhammad berkata: Aku mendengar Abu Salamah berkata: “Aku menulis dari
sekitar 1.000 guru.”[8]
Ismail bin Abi Uwais (W. 226 H)
Ismail bin Abdillah
bin Abi Uwais Al-Uwaisi Abu Abdillah Al-Madani. Meriwayatkan 221 hadits dan 8
mutabaah dalam Shahih Al-Bukhari.
Dia adalah imam,
hafizh, shoduq yang pernah belajar Al-Quran dan tajwidnya kepada Nafi dan
menjadi muridnya yang terakhir wafat.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah pamannya ―Malik bin Anas― dan Nafi maula Ibnu Umar.
Di antara muridnya
yang terkenal adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Abu Muhammad
Ad-Darimi.
Dia adalah orang
alim di zamannya terutama di Madinah. Orang-orang memperbincangkan kelemahan hafalannya.
Lalu dibela oleh Al-Bukhari dan Muslim hingga dimasukkan ke kitab shahih mereka
hingga hilang keraguan tentangnya setelah itu.
Namanya pernah
disinggung di sisi Ahmad bin Hanbal lalu ia menilalinya kokoh hafalannya seraya
memujinya: “Ia telah bersikap sangat terpuji dalam peristiwa mihnah (fitnah
Al-Quran makhluk).”
Muhammad bin Wadhoh
berkata: Ismail bin Uwais berkata kepadaku: “Hari ini tidak ada yang belajar
qiroah kepada Nafi di Madinah selain diriku.”[9]
Abdullah bin Muhammad bin Jafar (W. 229 H)
Abdullah bin
Muhammad bin Abdullah bin Jafar bin Al-Yaman Al-Ju’fi Abu Ja’far Al-Bukhari
Al-Musnadi. Dia dijuluki Al-Musnad karena gemar mengumpulkan kitab-kitab musnad
(kitab hadits yang menghimpun riwayat berdasarkan nama Sahabat yang meriwayatkannya).
Dia meriwayatkan 200 hadits dalam Shahih Al-Bukhari.
Dia adalah seorang
imam, hafizh, mujawwid, pemuka di masanya bersama Muhammad bin Salam.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, Abdurrazzaq, dan
Yahya bin Main.
Di antara muridnya
yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Hatim Ar-Razi.
Al-Bukhari berkata:
Al-Hasan bin Syujak berkata kepadaku: “Bagaimana bisa kamu kehilangan sebuah
hadits, sementara kamu berada di gudangnya?” Maksud gudang adalah Al-Musnadi.
Al-Musnadi wafat
pada bulan Dzulqodah tahun 229 H di usia 90 tahunan.
Ahmad bin Sayyar
berkata: Abu Jafar pergi dari negerinya mencari hadits di belahan penjuru bumi
hingga dijuluki Al-Musnadi. Dia dikenal sebagai ahli ibadah dan jujur, ahli
sunnah wal jamaah dan kekokohan hafalannya. Aku pernah menjumpainya di Wasith,
rupanya dia orangnya tampan, rambut kepala dan jenggotnya putih, lalu kembali
ke Bukhori (Uzbekistan) lalu meninggal di sana.
Abu Ja’far
Al-Musnadi berkata: “Aku berpamitan kepada Fudhail bin Iyadh lalu kuminta
wasiat. Ia berkata: ‘Jadilah ekor, jangan menjadi kepala.’”[10]
Tingkatan Ke-2: Meriwayatkan 100-200 Hadits
Jumlahnya ada 11, yaitu:
Adam bin Abi Iyas (W. 220 H)
Adam bin Abi Iyas
Abul Hasan Al-Khurosai Al-Marudzi kemudian Al-Baghdadi kemudian Al-Asqolani,
muhaddits Asqolan. Ayahnya bernama Nahiyah bin Syuaib, dan ada pula yang
mengatakan: Abdurrahman.
Dia adalah imam,
hafizh, qudwah, tokoh Syam yang dilahirkan pada tahun 132 H.
Dia rihlah menacari
hadits ke Iraq, Mesir, Haromain, dan Syam.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Ibnu Abi Dziib, Mubarok bin Fudhalah, Syubah bin Hajjaj,
A-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Salamah, dan lain-lain.
Di antara gurunya
yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Hatim Ar-Razi.
Abu Hatim Ar-Razi
berkata:
ثِقَةٌ، مَأْمُوْنٌ، مُتَعَبِّدٌ، مِنْ
خَيَارِ عِبَادِ اللهِ
“Dia tsiqoh, amanah, ahli ibadah, termasuk
hamba Allah pilihan.”[11]
Imam Ahmad pernah
menyinggungnya dan berkata: “Dia amat kokoh dalam meriwayatkan dari Syubah,”
dan menurutnya ia termasuk salah satu dari enam yang sangat jeli dalam hadits.[12]
Abu Bakar Al-A’yan
berkata: Aku mendatangi Adam Al-Asqolani lalu kukatakan kepadanya bahwa
Abdullah bin Shalih sekretaris Al-Laits menyampaikan salam kepadamu. Jawabnya:
“Jangan kau balas salamku kepadanya.” Kutanya: Kenapa? Jawabnya: “Karena ia
berpendapat Al-Quran adalah makhluk.” Lalu kusampaikan kepada Ahmad bin Shalih
uzurnya, lalu ia menampakkan penyesalan dan menyampaikan kepada manusia bahwa
ia telah rujuk dari pemahaman tersebut.[13]
Disamping Adam bin
Abi Iyas, guru Bukhori yang memiliki 100 – 200 hadits di kitab Shohihnya
adalah:
1.
Yahya bin Bukair (W. 231 H)
2.
Bundar (W. 252 H)
3.
Abu Nu’aim (W. 218 H)
4.
Sulaiman bin Harb (W. 224
H)
5.
Al-Qo’nabi (W. 221 H)
6.
Muhammad bin Salam
Al-Bikandi (W. 227 H)
7.
Hisyam bin Abdul Malik (W.
191 H)
8.
Abdan (W. 221 H)
9.
Muhammad bin Al-Mutsanna
(W. 250 H)
10. Ishaq bin Rohawaih (W. 238 H)
Allahu a’lam.[]
[1]
Lihat As-Siyar, 10/591, oleh Adz-Dzahabi.
[2]
Al-A’lam, 7/215, oleh Az-Zirakli.
[3]
As-Siyar, 10/358, oleh Adz-Dzahabi.
[4]
Lihat As-Siyar, 11/41-48, oleh Adz-Dzahabi.
[5]
As-Siyar, 10/319-321, oleh Adz-Dzahabi.
[6]
Thobaqot Hanabilah, 1/149, oleh Ibnu Abi Ya’la.
[7]
As-Siyar, 10/363, dan Tahdzibul Kamal, 1381.
[8]
Ikmal Tahdzibil Kamal, 12/8, oleh Ibnu Qolij.
[9]
Siyar, 10/391, oleh Adz-Dzahabi.
[10]
Lihat As-Siyar, 10/658, oleh Adz-Dzahabi dan Rijal Shahih Al-Bukhari,
1/427, oleh Abu Nashr Al-Kalabadzi.
[11]
Al-Jar’hu wa Ta’dil, 2/268, oleh Ibnu Abi Hatim.
[12]
Tarikh Baghdad, 7/28.
[13]
Tarikh Baghdad, 7/28.