Cari Artikel

Mempersiapkan...

Biografi Sebagian Guru-Guru Imam Al-Bukhari

 

Jumlah guru imam Al-Bukhari mencapai 1.080 orang, dan semuanya pakar hadits dan berpaham Ahlus Sunnah.

Adapun guru yang dimasukkan di kitabnya As-Shahih mencapai 300 orang. Berikut biografinya berdasarkan jumlah hadits yang mereka riwayatkan di kitab As-Shahih.

Di dalam buku ini akan disebut beberapa istilah: muhaddits, hafizh, hujjah, imam, amirul mukminin fil hadits yang dinukil dari perkataan Adz-Dzahabi di kitabnya Siyar Alamin Nubala yang dinukil dalam buku ini.

1.      Muhaddits adalah orang yang mendalami hadits dari sisi riwayah (hafalan) dan diroyah (makna).

2.      Hafizh adalah muhaddits yang hafal 100.000 hadits, matan beserta sanadnya.

3.      Hujjah adalah hafizh yang hafal 300.000 hadits, matan beserta sanadnya.

4.      Imam adalah rujukan para hujjah jika ada khilaf.

5.      Amirul Mukminin fil Hadits artinya pemimpin para ahli hadits.

Tingkatan Pertama: Meriwayatkan 200 Hadits Lebih

Musaddad (W. 228 H)

Musaddad bin Musarhad bin Musarbil Al-Asadi Abul Hasan Al-Bashri. Ada yang berpendapat, nama aslinya Abdul Malik bin Abdul Aziz, sementara Musaddad adalah julukan.

Dia adalah seorang imam, hafizh, dan hujjah. Lahir sekitar 150 H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan lahirnya Imam Asy-Syafii.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Hammad bin Zaid, Abu Awanah, Ibnu Uyainah, Fudhail bin Iyadh, Yahya Al-Qoth-thon, dan Waki.

Muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Zur’ah, Abu Hatim.[1]

Jumlah hadits yang diriwayatkannya sebanyak 392 hadits.

Abu Zur’ah Ar-Rozi meriwayatkan ucapan Imam Ahmad: “Musaddad tsiqoh.”

Dia orang pertama yang menyusun kitab Al-Musnad di Bashroh. Ibnu Nashiruddin berkata: “Dia seorang hafizh, hujjah, dan imam para penyusun kitab yang kokoh. Dia pernah berkirim surat kepada Imam Ahmad bin Hanbal bertanya tentang fitnah aliran sesat yang menimpah masyarakat di daerahnya dari paham Qodariyah, Rofidhoh, Muktazilah, Al-Quran makhluk, dan Murjiah lalu dijawab dalam sebuah risalah sekitar 4 lembar.[2]

Abdullah bin Yusuf (W. 218 H)

Abdullah bin Yusuf At-Tannisi Abu Muhammad Al-Mishri.

Jumlah hadits yang diriwayatkannya dalam kitab Shahih Al-Bukhari sebanyak 320 hadits dan 4 mutabaah.

Ia seorang imam dan hafizh. Orang yang paling terpercaya meriwayatkan Al-Muwatho Malik.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Malik bin Anas dan Al-Laits bin Sa’ad. Sementara muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Yahya bin Main, dan Abu Hatim.

Yahya bin Main berkata: “Orang paling kokoh meriwayatkan Al-Muwatho adalah Abdullah bin Yusuf dan Al-Qo’nabi.” Dia juga berkata: “Tidak tersisa di kolong bumi orang yang lebih kokoh dalam meriwayatkan Al-Muwatho melebihi dirinya.”

Imam Al-Bukhari berkata: “Dia orang paling kokoh (dalam meriwayatkan) di antara orang-orang Syam.”[3]

Qutaibah (W. 240 H)

Qutaibah bin Sa’id bin Jamil Al-Baghlani Ats-Tsaqofi Abu Roja Al-Himshi.

Hadits yang diriwayatkannya dalam As-Shahih sebanyak 320 hadits dan 8 mutabaah.

Dia adalah Syaikhul Islam, Al-Muhaddits, Imam yang banyak mengadakan rihlah (perjalanan) menuntut ilmu. Dilahirkan pada tahun 149 H.

Al-Hafizh Ibnu Adi mengatakan nama aslinya Yahya bin Sa’id, sementara Qutaibah adalah julukannya. Sementara Al-Hafizh Ibnu Mandah mengatakan nama aslinya Ali bin Sa’id.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Malik bin Anas, Al-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Abu Awanah, Ibnul Mubarok, Fudhoil bin Iyadh, dan Waki.

Di antara muridnya adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Al-Humaidi, Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Ali Al-Madini, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibrohim Al-Harbi, dan Musa bin Harun.

Abu Hatim Ar-Rozi berkata: “Aku pernah menghadiri majlisnya lalu Ahmad datang menanyakan beberapa hadits lalu dijawab olehnya riwayatnya. Lalu Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Namir mendatanginya di Kufah di malam hari, dan saat itu aku turut hadir. Keduanya bersamaku terus-menerus bersoal jawab kepadanya hingga Subuh.”

Ahmad bin Muhammad bin Ziyad Al-Karmini berkata: Qutaibah berkata kepadaku: “Warna merah yang kau lihat di kitabku adalah tanda dari Ahmad bin Hanbal, sementara warna hijah adalah tanda dari Yahya bin Main.”

Abdullah bin Ahmad bin Syabbuyah berkata: Aku mendengar Qutaibah bin Sa’id berkata: “Semula aku belajar ilmu kalam lalu aku bermimpi melihat sebuah wadah menggantung dari atas langit. Orang-orang berusaha meraihnya tetapi tidak berhasil. Lalu aku maju dan berhasil meraihnya. Kuperhatikan isinya ternyata jarak antara timur ke barat. Ketika pagi harinya, kuceritakan mimpiku itu kepada ahli takbir mimpi lalu ia berkata: Wahai anakku, ambil hadits. Ilmu kalam tidak mampu mencapai timur dan barat, tetapi yang mampu mencapainya adalah atsar (hadits).’ Akhirnya kuputuskan meninggalkan kalam dan mengambil atsar.”

Ahmad bin Jarir berkata: Qutaibah berkata kepadaku: Ayahku berkata kepadaku: “Aku melihat Rasulullah SAW dalam mimpi memegang lembaran di tangannya. Kutanya: Wahai Rasulullah, lembaran apa itu? Beliau menjawab: ‘Berisi nama-nama ulama.’ Kutanya: ‘Bolehkah aku melihatnya, agar kucek nama putraku apa ada.’ Lalu kulihat isinya dan ternyata ada nama anakku.”

Sebab terusirnya Qutaibah dari negerinya Balkhi dan menetap di Baghlan adalah ia pernah menghadiri majlisnya Malik bin Anas (di Madinah) lalu datang seorang bernama Ibrohim bin Yusuf Al-Balkhi untuk mendengar hadits. Qutaibah melihatnya lalu berkata kepada Malik: “Dia Murjiah.” Akhirnya Malik mengusirnya dari majlisnya. Dengan sebab itu, Ibrohim ―yang memiliki pengaruh kuat di negerinya Balkhi― memusuhi Qutaibah dan berhasil mengusinya.

Ali Al-Madini (W. 234 H)

Ali bin Abdullah bin Ja’far bin Najih Al-Madini Abul Hasan Al-Bashri.

Jumlah hadits yang diriwayatkannya dalam Shahih Bukhari sebanyak 300 hadits dan 8 mutabaah.

Ia adalah guru utama Imam Al-Bukhari hingga berkata: “Aku tidak pernah merasa minder di depan siapapun kecuali di depan Ali Al-Madini.” Sementara gurunya sendiri, Abdurrahman Al-Mahdi, berkata: “Ali Al-Madini adalah orang yang paling berilmu terhadap hadits Rasulullah SAW.”

Ia seorang imam, hafizh, bahkan pimpinan para ahli hadits di zamannya. Ayahnya seorang ahli hadits terkenal tetapi lemah periwayatannya.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Hammad bin Zaid, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Said Al-Qoth-thon, dan lainnya hingga menjadi pakar hadits dan cacatnya. Karyanya mencapai 200 kitab.

Di antara muridnya yang terkenal adalah Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Hatim, Abu Ya’la Al-Maushili, Abul Qosim Al-Baghowi.

Abu Hatim Ar-Rozi berkata: “Ali Al-Madini tanda bagi manusia dalam ilmu hadits dan cacatnya.”

Imam Ahmad bin Hanbal tidak menyebut langsung namanya, tetapi kun-yahnya (Abul Hasan) karena sangat menghormatinya.

Ibnu Uyainah termasuk guru Ibnul Madini yang juga meriwayatkan hadits darinya. Ia berkata: “Aku tidak suka membuka majlis untuk kalian. Andai bukan karena ada Ibnul Madini, aku tak mau membuka majlis.”

Kholaf bin Al-Walid Al-Jauhari berkata: Ibnu Uyainah suatu hari keluar menemui kami dan saat itu ada Ali Al-Madini lalu ia berkata: “Andai bukan karena Ali, aku tidak akan menemui kalian (untuk membuka majlis hadits).”

Sahl bin Zanjalah berkata: “Kami pernah di sisi Ibnu Uyainah bersama para tokoh pemuka ahli hadits lalu ia berkata: ‘Siapakah laki-laki yang empat haditsnya kuriwayatkan, yang mendapatkannya dari Sahabat langsung?’ (Semua pemuka ahli hadits diam), tiba-tiba Ali Al-Madini menjawab: ‘Ziyad bin Ilaqoh?’ Jawabnya: ‘Benar.’”

Abu Qudamah As-Sarokhsi berkata: Aku mendengar Ali berkata: “Aku bermimpi melihat bintang Suroyyan tergantung lalu berhasil kuraih.” Allah membenarkan mimpinya. Dia mencapai ilmu hadits yang tidak mampu diraih siapapun.

Abdurrahman bin Abi Abbad Al-Qolzumi berkata: Suatu hari aku bersama Ali berjalan bareng lalu ia berkata: ‘Aku bermimpi malam ini seakan tanganku memanjang lalu kuraih bintang-bintang.’ Lalu kami pergi kepada ahli takbir mimpi dan berkata: ‘Kamu akan meraih ilmu. Maka lihat saja nanti.’ Sebagian sahabat kami berkata: ‘Bagaimana jika kamu belajar fiqih saja,’ seakan yang mereka kehendaki adalah belajar kalam. Lalu ia menjawab: ‘Jika aku menyibukkan dirinya kepada ilmu tersebut, tentulah ilmu yang ada padaku ini akan lenyap.’”

Imam Abu Abdirrahman An-Nasai berkata: “Seakan Allah menciptakan Ali Ibnul Madini hanya untuk ilmu hadits ini.”

Imam Al-Bukhari berkata:

مَا اسْتَصغَرْتُ نَفْسِي عِنْدَ أَحَدٍ، إِلاَّ عِنْدَ عَلِيِّ بنِ المَدِيْنِيِّ

“Aku tidak merasa minder di depan siapapun kecuali di depan Ali Ibnul Madini.”

Abu Yahya Muhammad bin Abdurrahim berkata: “Ketika tiba di Baghdad, Ali membuka halaqoh. Lalu berdatangan Ibnu Main, Ahmad bin Hanbal, Al-Muaithi, dan bersama manusia lainnya melakukan diskusi ilmu. Apabila mereka berselisih pendapat, Ali yang jadi penengahnya.”

Ibnu Main berkata: “Ali Ibnul Madini jika bertemu kami menampakkan Sunnah, tetapi jika kembali ke Bashroh menampakkan Tasyayyu.”

Makna Tasyayyu adalah memperbanyak riwayat tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini dikarenakan orang-orang Bashroh yang merendahkan Ali.

Di antara mutiara ucapan Ali Ibnul Madini adalah:

التَّفَقُّةُ فِي مَعَانِي الحَدِيْثِ: نِصْفُ العِلْمِ، وَمَعْرِفَةُ الرِّجَالِ: نِصْفُ العِلْمِ

“Mendalami makna hadits adalah separuh ilmu, dan mempelajari perawi adalah separuh ilmu lainnya.”

Ibnul Madini berkata: “Aku meninggalkan 200.000 haditsku yang kuhafal. 30.000 di antaranya riwayat Abbad bin Shuhaib.” Maksudnya, hadits-hadits yang bermasalah dalam sanadnya ia tinggalkan, terutama dari Abbad bin Shuhaib seorang penyeru paham Qodariyah.

Pernah ditanyakan kepada Al-Bukhari: Apa keinginan Anda? Jawabnya: Aku mendatangi Iroq sementara Ali Ibnul Madini masih hidup sehingga aku menghadiri majlisnya.

Abu Ubaid Al-Ajurri berkarta: Ditanyakan kepada Abu Dawud: Siapakah yang lebih berilmu, Ahmad bin Hanbal atau Ali Ibnul Madini? Jawabnya: Ali lebih berilmu tentang perselisihan hadits melebihi Ahmad.

Abdul Mukmin An-Nasafi berkata: Aku bertanya kepada Shalih bin Muhammad: Apakah Yahya bin Main hafal? Jawabnya: Tidak, dia hanya memahami. Kutanyakan lagi: Kalau Ali? Jawabnya: Dia menghafal dan memahami.

Abu Dawud berkata: “Ali Ibnu Madini lebih utama dari 10.000 orang semacam Asy-Syadzakuni.”

Abu Ubaid berkata: “Puncak ilmu adalah pada empat orang: Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah yang tercepat hafalannya, Ahmad bin Hanbal yang paling faqih, Ali Ibnul Madini yang paling berilmu, dan Yahya bin Main yang paling banyak mencatat.”

Al-Farhayani berkata: “Yang paling mengetahui ilmu cacat hadits di zamannya adalah Ali.”

Ahmad bin Yusuf Al-Bujari berkata: “Aku pernah melihat Ali menselonjorkan kakinya, sementara di sisi kananya ada Ahmad bin Hanbal dan sisi kirinya ada Yahya bin Main. Ali mendiktekan kepada keduanya.”[4]

Abul Yaman (W. 222 H)

Al-Hakam bi Nafi’ Al-Bahroni Abul Yaman Al-Himshi. Meriwayatkan 277 hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan 2 mutabaah.

Ia seorang hafizh, imam, dan hujjah yang lahir pada tahun 138 H.

Di antara gurunya adalah Syuaib bin Abi Hamzah dan Ismail bin Ayyasy. Ia pernah bertemu Malik bin Anas tetapi tidak sempat mendengar haditsnya, dan ia menyesal setelah itu.

Di antara muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Main, Abu Hatim, Abu Muhammad Ad-Darimi, Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam.

Abu Hatim berkata: “Abul Yaman dinamai sekretaris Ismail bin Ayyasy sebagaimana Abul Shalih dinamai sekretaris Al-Laits. Dia tsiqoh, nabil, dan jujur.”

Abul Yaman adalah orang alim di zamannya hingga didahulukan oleh Al-Makmun untuk menjadi hakim di Himsh.[5]

Abul Yaman berkata: Ahmad bin Hanbal berkata kepadaku: Bagaimana Anda mendapatkan kitab-kitab dari Syuaib bin Abi Hamzah? Jawabku: Sebagian kuterima dari aku membaca kepadanya, sebagian dibacakannya kepadaku, sebagian ijazah, dan sebagian munawalah (penyerahan kitab sebagai hadiah). Ahmad berkata: (Dalam meriwayatkan nanti) katakan bahwa Syuaib mengabarkan kepadaku.[6]

Yakni, pakai akhbarona (mengabarkan kepada kami) yang mewakili ijazah dan munawalah, bukan haddatsana (menceritakan kepada kami) yang mewakili mendengar langsung.

Musa bin Ismail (W. 223 H)

Musa bin Ismail At-Tabudzaki Al-Minqori Abu Salamah Al-Bashri. Meriwayatkan 260 hadits dalam Shahih Bukhari dan 8 mutabaah.

Dia seorang hafizh, imam, hujjah, bahkan syaikhul Islam.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Syu’bah yang hanya meriwayatkan darinya satu hadits, Hammad bin Salamah, Ibnul Mubarok, Hammad bin Zaid satu hadits.

Sementara di antara muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Dawud, Yahya bin Main, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Abu Bakar Ibnu Abi Ashim.

Abbas berkata: “Aku menghitung hadits yang kutulis darinya bersama Ibnu Main mencapai 35.000 hadits.”

Abu Hatim berkata, dari Yahya, ia berkata: “Dia orang cerdas, dan Al-Hajjaj bin Minhal adalah lelaki shalih, sementara Abu Salamah (Musa bin Ismail) lebih hebat darinya.”

Abi Hatim berkata: “Ia dijuluki At-Tabudzaki karena membeli sebuah rumah di Tabudzaki. Oleh karena itu, ia dinasabkan kepadanya.”

Ibnu Hibban berkata: “Dia termasuk orang-orang bertakwa.”

Suatu ketika Yahya bin Main setelah menulis banyak hadits dari Musa bin Ismail, ia berkata: “Aku ingin menyampaikan kepada Anda suatu hal, mohon tidak marah.” Jawabnya: “Sampaikan saja.” Yahya berkata: Yaitu hadits Hamam, dari Tsabit, dari Anas, dari Abu Bakar tentang gua, yang tidak ada seorang pun dari sahabatmu yang meriwayatkannya kecuali Affan dan Hibban. Aku tidak mendapatkannya di awal kitabmu, tetapi ada di sampul belakangnya. Jawabnya: “Lantas apa maumu?” Yahya berkata: Maukah Anda bersumpah kepadaku bahwa Anda benar mendengarnya dari Hammam? Dia berkata: “Kamu katanya sudah menulis 20.000 hadits dariku, jika kamu merasa aku jujur dalam menyampaikan hadits-hadits tersebut, maka tidak layak kamu mendustakannya hanya karena satu hadits. Namun, jika kamu merasa aku bohon di sisimu, maka tidak layak kamu membenarkanku dan tidak perlu menulis dariku, dan buang saja catatanmu itu. Barroh bintu Abi Ashim (istriku) kucerai tiga kali jika benar aku tidak mendengar dari Hammam. Demi Allah, aku tidak akan berbicara denganmu selamanya.”[7]

Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad berkata: Aku mendengar Abu Salamah berkata: “Aku menulis dari sekitar 1.000 guru.”[8]

Ismail bin Abi Uwais (W. 226 H)

Ismail bin Abdillah bin Abi Uwais Al-Uwaisi Abu Abdillah Al-Madani. Meriwayatkan 221 hadits dan 8 mutabaah dalam Shahih Al-Bukhari.

Dia adalah imam, hafizh, shoduq yang pernah belajar Al-Quran dan tajwidnya kepada Nafi dan menjadi muridnya yang terakhir wafat.

Di antara gurunya yang terkenal adalah pamannya ―Malik bin Anas― dan Nafi maula Ibnu Umar.

Di antara muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Abu Muhammad Ad-Darimi.

Dia adalah orang alim di zamannya terutama di Madinah. Orang-orang memperbincangkan kelemahan hafalannya. Lalu dibela oleh Al-Bukhari dan Muslim hingga dimasukkan ke kitab shahih mereka hingga hilang keraguan tentangnya setelah itu.

Namanya pernah disinggung di sisi Ahmad bin Hanbal lalu ia menilalinya kokoh hafalannya seraya memujinya: “Ia telah bersikap sangat terpuji dalam peristiwa mihnah (fitnah Al-Quran makhluk).”

Muhammad bin Wadhoh berkata: Ismail bin Uwais berkata kepadaku: “Hari ini tidak ada yang belajar qiroah kepada Nafi di Madinah selain diriku.”[9]

Abdullah bin Muhammad bin Jafar (W. 229 H)

Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Jafar bin Al-Yaman Al-Ju’fi Abu Ja’far Al-Bukhari Al-Musnadi. Dia dijuluki Al-Musnad karena gemar mengumpulkan kitab-kitab musnad (kitab hadits yang menghimpun riwayat berdasarkan nama Sahabat yang meriwayatkannya). Dia meriwayatkan 200 hadits dalam Shahih Al-Bukhari.

Dia adalah seorang imam, hafizh, mujawwid, pemuka di masanya bersama Muhammad bin Salam.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin Iyadh, Abdurrazzaq, dan Yahya bin Main.

Di antara muridnya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Hatim Ar-Razi.

Al-Bukhari berkata: Al-Hasan bin Syujak berkata kepadaku: “Bagaimana bisa kamu kehilangan sebuah hadits, sementara kamu berada di gudangnya?” Maksud gudang adalah Al-Musnadi.

Al-Musnadi wafat pada bulan Dzulqodah tahun 229 H di usia 90 tahunan.

Ahmad bin Sayyar berkata: Abu Jafar pergi dari negerinya mencari hadits di belahan penjuru bumi hingga dijuluki Al-Musnadi. Dia dikenal sebagai ahli ibadah dan jujur, ahli sunnah wal jamaah dan kekokohan hafalannya. Aku pernah menjumpainya di Wasith, rupanya dia orangnya tampan, rambut kepala dan jenggotnya putih, lalu kembali ke Bukhori (Uzbekistan) lalu meninggal di sana.

Abu Ja’far Al-Musnadi berkata: “Aku berpamitan kepada Fudhail bin Iyadh lalu kuminta wasiat. Ia berkata: ‘Jadilah ekor, jangan menjadi kepala.’”[10]

Tingkatan Ke-2: Meriwayatkan 100-200 Hadits

Jumlahnya ada 11, yaitu:

Adam bin Abi Iyas (W. 220 H)

Adam bin Abi Iyas Abul Hasan Al-Khurosai Al-Marudzi kemudian Al-Baghdadi kemudian Al-Asqolani, muhaddits Asqolan. Ayahnya bernama Nahiyah bin Syuaib, dan ada pula yang mengatakan: Abdurrahman.

Dia adalah imam, hafizh, qudwah, tokoh Syam yang dilahirkan pada tahun 132 H.

Dia rihlah menacari hadits ke Iraq, Mesir, Haromain, dan Syam.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Ibnu Abi Dziib, Mubarok bin Fudhalah, Syubah bin Hajjaj, A-Laits bin Sa’ad, Hammad bin Salamah, dan lain-lain.

Di antara gurunya yang terkenal adalah Al-Bukhari, Abu Hatim Ar-Razi.

Abu Hatim Ar-Razi berkata:

ثِقَةٌ، مَأْمُوْنٌ، مُتَعَبِّدٌ، مِنْ خَيَارِ عِبَادِ اللهِ

 “Dia tsiqoh, amanah, ahli ibadah, termasuk hamba Allah pilihan.”[11]

Imam Ahmad pernah menyinggungnya dan berkata: “Dia amat kokoh dalam meriwayatkan dari Syubah,” dan menurutnya ia termasuk salah satu dari enam yang sangat jeli dalam hadits.[12]

Abu Bakar Al-A’yan berkata: Aku mendatangi Adam Al-Asqolani lalu kukatakan kepadanya bahwa Abdullah bin Shalih sekretaris Al-Laits menyampaikan salam kepadamu. Jawabnya: “Jangan kau balas salamku kepadanya.” Kutanya: Kenapa? Jawabnya: “Karena ia berpendapat Al-Quran adalah makhluk.” Lalu kusampaikan kepada Ahmad bin Shalih uzurnya, lalu ia menampakkan penyesalan dan menyampaikan kepada manusia bahwa ia telah rujuk dari pemahaman tersebut.[13]

Disamping Adam bin Abi Iyas, guru Bukhori yang memiliki 100 – 200 hadits di kitab Shohihnya adalah:

1.      Yahya bin Bukair (W. 231 H)

2.      Bundar (W. 252 H)

3.      Abu Nu’aim (W. 218 H)

4.      Sulaiman bin Harb (W. 224 H)

5.      Al-Qo’nabi (W. 221 H)

6.      Muhammad bin Salam Al-Bikandi (W. 227 H)

7.      Hisyam bin Abdul Malik (W. 191 H)

8.      Abdan (W. 221 H)

9.      Muhammad bin Al-Mutsanna (W. 250 H)

10. Ishaq bin Rohawaih (W. 238 H)

Allahu a’lam.[]

 



[1] Lihat As-Siyar, 10/591, oleh Adz-Dzahabi.

[2] Al-A’lam, 7/215, oleh Az-Zirakli.

[3] As-Siyar, 10/358, oleh Adz-Dzahabi.

[4] Lihat As-Siyar, 11/41-48, oleh Adz-Dzahabi.

[5] As-Siyar, 10/319-321, oleh Adz-Dzahabi.

[6] Thobaqot Hanabilah, 1/149, oleh Ibnu Abi Ya’la.

[7] As-Siyar, 10/363, dan Tahdzibul Kamal, 1381.

[8] Ikmal Tahdzibil Kamal, 12/8, oleh Ibnu Qolij.

[9] Siyar, 10/391, oleh Adz-Dzahabi.

[10] Lihat As-Siyar, 10/658, oleh Adz-Dzahabi dan Rijal Shahih Al-Bukhari, 1/427, oleh Abu Nashr Al-Kalabadzi.

[11] Al-Jar’hu wa Ta’dil, 2/268, oleh Ibnu Abi Hatim.

[12] Tarikh Baghdad, 7/28.

[13] Tarikh Baghdad, 7/28.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url