Fiqih Prioritas dalam Beramal
Amal yang paling agung
dalam Islam, setelah mengucapkan syahadat adalah sholat, dan sholat tidak akan
tercapai dengan baik kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, kita katakan bahwa
ilmu adalah amal terbaik dalam Islam setelah mengerjakan kewajiban.
Imam Ahmad bin Hanbal Rohimahullah
berkata: “Tidak ada apapun yang menandingi ilmmu, jika benar niatnya (dalam
menuntut ilmu).” (Syarah Riyadhus Sholihin, 4/568, Utsaimin)
Imam Asy-Syafi’i Rohimahullah
berkata: “Menuntut ilmu lebih utama dari sholat-sholat sunnah.” Dalam riwayat
lain: “... dari ibadah-ibadah sunnah.” (Hilyatul Auliya, Abu Nuaim)
Rosulullah Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Abu Dzar Rodhiyallahu ‘Anhu: “Wahai
Abu Dzar, kamu berangkat pagi hari untuk belajar satu ayat dari
Kitabullah, lebih baik daripada kamu sholat 100 rokaat. Sungguh kamu berangkat
pagi hari untuk belajar sebuah bab dari ilmu, diamalkan ataupun tidak,
lebih baik daripada kamu sholat 1.000 rokaat.” (Hasan: HR. Ibnu
Majah no. 219)
Terutama sekali ilmu
Tauhid, karena ia menentukan Surga dan Neraka seseorang.
Allah berfirman: “Jika
mereka berbuat syirik maka terhapus semua amal yang pernah mereka lakukan.”
(QS. Al-An’am: 88)
Allah berfirman: “Siapa
yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah mengharomkan Surga atasnya, dan
tempat kembalinya adalah Neraka, serta tidak ada penolong bagi orang-orang
musyrik.” (QS. Al-Maidah: 72)
Lalu amal apa yang lebih
utama setelah ilmu dan mengerjakan kewajiban? Ibnu Taimiyah Rohimahullah
pernah ditanya tentang hal ini lalu beliau menjawab:
Adapun pertanyaanmu tentang amal terbaik setelah amal fardhu, ia
berbeda-beda sesuai perbedaan orangnya: sesuai kemampuannya dan sesuai
waktunya, sehingga jawabannya tidak menyeluruh untuk semua orang, tidak berlaku
untuk setiap orang.
Akan tetapi, seakan kesepakan para ulama bahwa senantiasa berdzikir
adalah amal terbaik yang seseorang menyibukkan diri dengannya. Yang menunjukan
hal itu adalah hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu yang diriwayatkan
Muslim:
“Orang-orang yang menyendiri menang.” Orang-orang bertanya: “Siapa orang-orang yang menyendiri itu wahai
Rosulullah?” Jawab beliau: “Orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah,
baik laki maupun perempuan.”
Begitu juga hadits Abu Dawud dari Abu Darda Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa
Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Maukah kalian kuberitahu amal terbaik kalian, amal tersuci di sisi Raja
kalian, amal tertinggi dalam derajat kalian, serta lebih baik bagi kalian
daripada bersedekah emas dan perak, dan lebih baik bagi kalian dari bertemu
musuh yang kalian tebas lehernya dan mereka menebas leher kalian?” Mereka menjawab: “Mau.” Sabda beliau: “Berdzikir
kepada Allah.”
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang hal itu sangat banyak. Paling
tidak seseorang merutinkan dzikir shohih dari Nabi Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam, seperti
dzikir-dzikir mu’aqqot (yang sudah ditentukan waktunya): dzikir pagi dan
sore, ketika hendak tidur, ketika bangun tidur, dan dzikir bakda sholat fardhu.
Begitu pula merutinkan dzikir-dzikir muqoyyad (terikat dengan
aktifitas) seperti dzikir/doa ketika hendak makan, minum, berpakaian, jima
(senggama); masuk rumah, Masjid, toilet, dan keluar darinya; ketika hujan dan
guntur, dan lain-lain. Banyak kitab yang disusun tentangnya dengan nama Amalul
Yaum wal Lailah (amal sehari semalam).
Begitu juga merutinkan dzikir-dzikir mutlaq (tanpa terikat waktu), dan
dzikir paling utama adalah لا إله إلا الله. Pada kondisi tertentu lebih utama membaca:
سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ،
وَاَللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ
“Mahasuci Allah. Segala puji bagi Allah. Allah Mahabesar. Tidak ada daya
dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.”
Lalu perlu diketahui bahwa segala ucapan lisan dan keyakinan hati yang
mendekatkan kepada Allah berupa belajar ilmu syar’i, mengajarkannya, amar
ma’ruf dan nahi munkar, termasuk berdzikir kepada Allah.
Oleh karena itu, orang yang menyibukkan dirinya dengan menuntut ilmu yang
bermanfaat setelah menunaikan kewajiban-kewajiban, atau duduk bermajlis fiqih
dan mengajarkan fiqih yang dinamakan Allah dan Rosul-Nya fiqih, maka ini juga
termasuk dzikir terbaik kepada Allah.
Atas dasar di atas, jika kamu merenungkan maka kamu tidak akan mendapati
banyak perselisihan dari para ulama terdahulu tentang amal terbaik.
Jika seseorang memiliki
masalah yang rumit, hendaknya ia melakukan istikhoroh, karena orang yang
melakukan istikhoroh tidak akan menyesal. Maka perbanyaklah melakukannya dan
berdoa, karena doa adalah kunci segala kebaikan, dan jangan tergesa-gesa
mengucapkan: “Aku sudah berdoa tetapi belum dikabulkan.” Hendaknya seseorang
memilih waktu utama dalam berdoa, seperti akhir malam, bakda sholat fardhu,
saat adzan, saat hujan turun, dan semisalnya. (Selesai dalam Wasiat Sughro)
Menjauhi
Larangan
Penjelasan Ibnu Taimiyah
di atas lebih kepada amalan yang mudah dikerjakan setiap orang, baik orang
sehat maupun sakit, orang muda maupun lansia.
Adapun dari tinjaun lain,
amal yang utama setelah menunaikan ilmu dan kewajiban adalah: menjauhi larangan, melebihi
perhatiannya dari ibadah sunnah.
Orang yang buruk
akhlaknya, meskipun rajin sholat sunnah dan puasa sunnah, maka ia diancam akan
masuk Neraka, karena dosa menyakiti orang lain lebih berat di timbangan dari
ibadahnya. Hal ini berdasarkan riwayat berikut dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu
‘Anhu, ia berkata:
Ditanyakan
kepada Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Si fulanah gemar sholat
malam dan puasa di siang hari tetapi lisannya suka menyakiti tetangganya.” Nabi
bersabda, “Dia tidak punya kebaikan, dia di Neraka.” Lalu ditanyakan
lagi, “Ada pula wanita yang sholat lima waktu dan puasa Ramadhan dan sedekah
ala kadarnya karena tidak memiliki apa-apa, tetapi ia tidak menyakiti
siapapun.” Beliau bersabda, “Dia di Surga.” (Shohih: HR. Al-Hakim no. 7304)
Ibadah
Sosial
Yang
dimaksud ibadah sosial di sini adalah ibadah yang bernilai manfaat tidak hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain. Misalkan itikaf dibanding
dengan sedekah mengajarkan ilmu, mana yang lebih utama? Tentu mengajarkan ilmu,
karena manfaat itikaf hanya untuk diri sendiri, sementara manfaat ilmu adalah untuk
dirinya dan orang lain.
Ketentuan
ini dibangun dari sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Aku berjalan bersama saudaraku untuk hajatnya
lebih aku sukai daripada aku itikaf di Masjid ini sebulan, yakni Masjid Nabawi.” (Hasan: HR.
Ath-Thobroni no. 13646)
Dari
Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘Anhu, Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
“Orang
yang merawat dan menyantuni janda dan orang miskin, bagaikan mujahid fi
sabilillah atau bagaikan orang yang rajin sholat malam dan puasa di siang
hari.” (Muttafaqun Alaih)
Ibadah
Sunnah
Kini
yang tersisa adalah amalan-amalan sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, itikaf di Masjid,
Tahajud, Dhuha, dan semisalnya.
Ibadah-ibadah
sunnah akan melengkapi apa yang kurang dari kewajiban yang tidak sempurna. Ia
juga menjadi sebab datangnya cinta Allah, sebagaimana dalam hadits wali.
Akan
tetapi hendaknya seseorang menyeimbangkan ibadah sunnahnya dengan akhlak mulia,
karena orang yang buruk akhlaknya, sering menyakiti orang lain dengan lisan dan
perbuatannya, maka ibadah sunnahnya tidak akan cukup untuk memberatkan
timbangan kebaikannya pada hari Kiamat kelak.
Semoga
kita termasuk orang yang memperhatikan fiqih prioritas dalam beramal, dan
memudahkan kita dalam beramal terbaik kepada Allah Azza wa Jalla. Amin.[]