Hukum Air yang Bercampur dengan Sesuatu yang Suci
Jika air bercampur dengan zat suci, seperti daun-daun pohon, sabun, usynan[1], sidr (daun bidara), atau bahan-bahan suci lainnya, dan campuran itu tidak menguasainya, maka pendapat yang shohih adalah air itu tetap suci (thohur). Sah untuk bersuci dengannya dari hadats dan najis. Dalilnya karena Alloh ﷻ berfirman:
وَإِنْ
كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
“Jika kalian
sakit atau sedang dalam perjalanan, atau siapa di antara kalian kembali dari
tempat buang hajat, atau kalian menyentuh wanita (senggama), kemudian kalian tidak
mendapat air, maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); sapulah muka
kalian dan tangan kalian dengan debu itu.” (QS. An-Nisa': 43)
Lafazh al-maa' (air) dalam ayat ini berbentuk nakiroh (umum) dalam konteks
penafian (ketidakadaan), sehingga mencakup semua air. Tidak ada bedanya antara
air murni dan air campuran.
Dan sabda Rosululloh ﷺ kepada para wanita yang memandikan janazah putri beliau:
اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا
أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ
كَافُورًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ
“Mandikanlah ia tiga kali (guyuran merata dari ujung rambut
kepala sampai ujung kaki), atau lima kali, atau lebih dari itu jika kalian
anggap perlu, dengan air dan sidr (daun bidara), dan jadikanlah di akhir
mandian itu kapur barus, atau sedikit kapur barus.” (Muttafaq Alaih: HR.
Al-Bukhori no. 1253, 1258, 1259, dan lainnya, serta Muslim no. 939)
[1]
Ia kata Arob yang diserap,
sejenis asam yang digunakan untuk mencuci tangan, disebut dalam bahasa Arob: Hurdh.
Ada juga yang menyebutnya dengan memecah huruf Alif (i).