Cari Artikel

Mempersiapkan...

Hukum Asal Pernikahan Apakah Poligami?

 

Ulama berselisih pendapat, apakah asal pernikahan monogami (beristri satu) atau poligami (beristri berbilang).

1. Pendapat Poligami

Sebagian ulama perpendapat, hukum asal pernikahan adalah poligami, yaitu beristri lebih dari satu. Mereka juga berselisih pendapat apakah asalnya empat atau dua? Yang kuat adalah asalnya empat, bagi yang mampu dan tidak zolim.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya: “Apakah hukum asal di dalam pernikahan itu poligami ataukah monogami?” Beliau menjawab:

“Hukum asal pernikahan adalah poligami (menikah lebih dari satu istri) bagi laki-laki yang mampu dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim, karena mengandung banyak maslahat di dalam memelihara kehormatan lelaki dan wanita-wanita yang dinikahi, serta sebagai bentuk berbuat baik kepada mereka, dan memperbanyak keturunan yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak, dan semakin banyak pula orang yang menyembah Allah . Dalil poligami itu adalah firman Allah :

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى? وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ? فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ? ذَ?لِكَ أَدْنَى? أَلَّا تَعُولُوا

“Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[1]

Rasulullah ? pun menikahi lebih dari satu istri, dan Allah berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu tauladan (contoh) yang baik bagimu.”[2]

Rasulullah ? pun bersabda setelah ada beberapa orang Sahabat yang mengatakan : “Aku akan selalu shalat malam dan tidak akan tidur.” Yang satu lagi berkata : “Aku akan terus berpuasa dan tidak akan berbuka.” Yang satu lagi berkata: “Aku tidak akan menikahi wanita (agar fokus beribadah).”

Tatkala ucapan mereka sampai kepada Nabi ?, beliau langsung berkhutbah di hadapan para Sahabatnya, seraya memuji kepada Allah kemudian beliau bersabda:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Kaliankah tadi yang mengatakan begini dan begitu ?! Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepadaNya. Sekalipun begitu, aku puasa dan aku juga berbuka (tidak berpuasa), aku shalat malam tapi akupun tidur, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak suka kepada sunnahku ini, maka ia bukan dari (umat)ku.”[3]

Ini adalah ungkapan luar biasa dari ? mencakup satu istri dan lebih. Wabillahittaufiq.”[4]

2. Pendapat Monogami

Yang berpendapat monogami (satu istri) beralasan karena dalam surat An-Nisa di atas disyaratkan poligami harus adil, dan ini perkara yang amat sulit, baik adil dalam nafkah dan bermalam, sehingga hukum asal pernikahan adalah monogami.

Syaikh Mustofa Al-Adawi berkata: “Saya katakan, pendapat yg menyatakan bahwa penentuan hukum asal (nikah) itu poligami dg dalil :’Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak mampu adil maka cukup satu,’ adalah penentuan hukum yang keliru dan tidak benar.”[5]

Mana di antara pendapat tersebut yang kuat? Sebenarnya ucapan mereka bisa digabungkan, yaitu hukum asal menikah adalah poligami seperti yang difatwakan Syaikh Bin Baz dengan syarat (1) mampu secara finansial dan biologi, dan (2) tidak khawatir berbuat zolim. Adapun yang tidak terpenuhi dua syarat tersebut tentu tidak boleh poligami.

Kemudian, di antara tujuan utama poligami adalah meredam syahwat lelaki yang tidak cukup dengan satu istri. Bagaimana jika syahwatnya sudah teredam dengan satu istri, sementara  dia terpenuhi dua syarat di atas, apakah ia tetap dianjurkan berpoligami? Para ulama berbeda pendapat.

1. Pendapat Tetap Berpoligami

Alasan pendapat ini, karena kebutuhan manusia tidak hanya meredam syahwat, tetapi memperbanyak anak, menafkahi wanita, dan membantu mereka tanpa ada yang merawatnya. Dengan menikahi wanita-wanita maka mereka terhindar dari kesendirian dalam mencari nafkah dan bisa menyalurkan biologisnya secara halal.

2. Pendapat Cukup Monogami

Alasan pendapat ini karena lebih maslahat bagi lelaki dari sisi ia terhindar dari kekhawatiran tidak adil, lebih mudah mengatur  keluarga, jauh dari cekcok keluarga, lebih mudah untuk mengajar dan belajar serta beribadah. Pendapat ini dipilih oleh sejumlah ulama, di antaranya:

Al-Mardawi Al-Hanbali berkata: “Disunnahkan juga untuk tidak menambah lebih dari satu istri, apabila yg satu ini sudah bisa menjaga kehormatan, menurut pendapat madzhab  yang terkuat.”

Ibnu Khathib As-Salamiyah berkata : “Mayoritas ulama madzhab Hanbali menyunnahkan untuk tidak menambah lebih dari satu.”[6]

Al-Hijâwî berkata: “Disunnahkan untuk tidak menambah lebih dari satu apabila dengan yang satu itu sudah menyebabkan terjaganya kehormatan, karena di dalam hal ini bisa menghindarkan keharaman seperti yang difirmankan Allah:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ

“Kalian takkan bisa selamanya berbuat adil diantara wanita, walaupun sangat kalian menginginkannya.”[7]

Nabi ? bersabda :

«مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ»

“Barangsiapa yg memiliki dua isteri namun ia condong ke salah satunya saja, maka ia akan datang di hari Kiamat dalam keadaan tubuhnya doyong miring.”[8]

Imam Syafi’i berkata: “Saya lebih senang bagi seseorang mencukupkan dengan satu istri, walaupun lebih dari satu dibolehkan, berdasarkan firman Allâh Ta’âlâ: “Namun jika kamu khawatir tidak mampu berbuat adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.” Ibnu Dawud membantah Asy-Syafi’i dan mengatakan: “Bagaimana bisa dikatakan mencukupkan dengan yg satu itu lebih utama, padahal Nabi ? sendiri mengumpulkan banyak isteri, dan beliau tidaklah melakukan sesuatu melainkan itu lebih utama. Karena Nabi sendiri mengatakan:

تَنَاكَحُوا تَكْثُرُوا

“Menikahlah maka kalian akan banyak keturunannya.”[9]

Sanggahan Ibnu Dawud ini juga disanggah: “Adapun selain Nabi ?, maka yang lebih utama bagi dirinya adalah mencukupkan dengan satu saja, dengan alasan khawatir tidak mampu berbuat adil. Adapun Nabî ?, adalah orang yg dapat menjaga (keadilan). Adapun sabda beliau ? : “Menikahlah  maka kalian akan banyak (keturunannya), maka ini hanyalah anjuran untuk menikah bukan untuk poligami.”[10]

Syaikh Utsaimin merangkum pendapat ini dengan mengatakan: “Sejumlah ulama berpendapat disunnahkannya mencukupkan dengan satu isteri saja. Mereka berargumentasi bahwa satu isteri itu lebih selamat dari perbuatan zhalim. Karena, apabila ia menikah dengan dua atau lebih wanita, maka dikhawatirkan ia tidak mampu berbuat adil terhadap isteri-istrinya. Dan yg seperti ini lebih bisa mencegah terjadinya perpecahan keluarga, karena apabila ia memiliki istri lebih dari satu, maka keluarganya akan berantakan, anaknya yang satu di isteri ini, yang satu di isteri itu, sehingga seringkali menimbulkan ketidakharmonisan diantara mereka, sebagaimana yang bisa disaksikan di sebagian keadaan.

Selain itu juga isteri satu itu lebih bisa dipenuhi kewajiban nafkahnya dan kewajiban lainnya. Lebih ringan juga bagi seseorang di dalam menjaga keadilan, karena menjaga keadilan itu perkara besar. Perlu sikap berhati-hati. Dan inilah pendapat yang paling populer dari madzhab ulama. Karena itulah kami berpendapat bahwa mencukupkan diri dengan satu isteri itu lebih selamat.

Akan tetapi, apabila seseorang melihat bahwa dirinya tidak cukup dengan satu isteri saja dan tidak bisa menjaga kehormatannya, maka kami perintahkan dia untuk menikah dengan dua, tiga, atau empat wanita, sehingga ia memperoleh ketenangan, dapat menundukkan pandangan, dan mendapatkan ketentraman jiwa.”[11]



[1] QS.An-Nisa [4] : 3.

[2] QS. Al-Ahzab [33]: 21.

[3] HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401. Makna bukan termasuk umatku:yakni bukan Muslim jika ia meninggalkannya karena membenci syariat, adapun jika meninggalkannya tanpa membencinya maka ia telah melakukan dosa besar.

[4] Majalah Al-Balagh, edisi 1015, tanggal 19 Robiul Awal 1410 H, Fatwa Ibnu Baz.

[5] http://mostafaaladwy.com/play-7655.html.

[6] Al-Inshâf, VIII/16.

[7] QS. An-Nisa [4]: 129.

[8] Kisyâful Qinâ XI/148, dan hadits diriwayatkan Abu Dawud no. 2133 dengan sanad shahih.

[9] HR. Abdurrazzaq no. 10391 dalam Mushannafnya.

[10] Al-Bayân fî Madzhab Al-Imâm asy-Syâfi’i, XI/189.

[11] Syarhul Mumti‘, XII/12.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url