Meninggalkan Perdebatan dan Perselisihan dalam Agama
Imam
Abul Hasan Al-Asy’ari berkata:
* وينكرون الجدال
والمراء في الدين، والخصومة في القدر، والمناظرة فيما يتناظر فيه أهل الجدل، ويتنازعون
فيه من دينهم بالتسليم للروايات الصحيحة والآثار التي رواها الثقات عدلا عن عدل حتى
ينتهي ذلك إلى رسول الله ﷺ، ولا يقولون كيف ولا لِمَ لأن ذلك
بدعة
(Ahli Sunnah) menolak perdebatan dan perselisihan dalam agama,
permusuhan dalam masalah takdir (Qodar), dan perbantahan dalam hal-hal yang
biasa diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para ahli debat (ahlul jadal)
dalam agama mereka. Sebaliknya, mereka berserah diri pada riwayat-riwayat yang
shohih dan atsar-atsar yang diriwayatkan oleh para perowi terpercaya, dari perowi
terpercaya lainnya, hingga sanadnya bersambung kepada Rosululloh ﷺ. Mereka tidak bertanya “bagaimana?” atau “mengapa?”, karena hal
tersebut adalah bid’ah.
Bahasa:
(الجدال):
permusuhan yang sengit.
(المراء):
perdebatan.
(عدلا):
orang yang menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan.
Penjelasan:
Hal ini ditegaskan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shobuni dalam ‘Aqidatus
Salaf Ash-habul Hadits, (hlm. 99), di mana beliau berkata, “Mereka menjauhi
perdebatan dalam agama dan perselisihan di dalamnya.” Juga oleh Al-Hafizh Abu Bakr
Al-Isma’ili dalam kitabnya I’tiqod A’immah Ahlil Hadits, (hlm. 71),
beliau berkata, “Mereka berpandangan untuk meninggalkan permusuhan dan
perdebatan mengenai Al-Qur’an dan selainnya, berdasarkan firman Alloh ‘Azza
wa Jalla:
﴿مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا﴾
‘Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Alloh kecuali
orang-orang kafir.’ (QS. Ghofir: 4)
Maksudnya, mereka memperdebatkannya untuk mendustakannya, wallohu
a’lam.”
Saya katakan: Apa yang disebutkan oleh Al-Isma’ili adalah
jenis perdebatan yang buruk dan terlarang. Adapun jika tujuan dari perdebatan
adalah untuk menegakkan kebenaran dan membatalkan kebatilan, maka ini termasuk
perdebatan yang baik (mujadalah hasanah), sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Alloh Ta’ala:
﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS.
An-Nahl: 125)
Telah datang dalil-dalil syar’i yang memerintahkan untuk
menahan diri dari (membahas secara mendalam) masalah takdir dan melarang untuk
terjun ke dalamnya. Di antaranya adalah sabda Nabi ﷺ:
«إذا ذُكر
أصحابي فأمسكوا، وإذا ذكرت النجوم فأمسكوا، وإذا ذكر القدر فأمسكوا»
“Jika para Shohabatku disebut, maka tahanlah diri kalian.
Jika bintang-bintang disebut, maka tahanlah diri kalian. Jika takdir (Qodar)
disebut, maka tahanlah diri kalian.” (HR. Ath-Thobroni dalam Al-Kabiir, 2/96, no. 1427). Penulis kitab Majma’ Az-Zawa’id (7/202) berkata: Di
dalam sanadnya terdapat Yazid bin Robi’ah, dan dia adalah perowi yang lemah)
Kesimpulan:
Ahli Sunnah melarang perdebatan dan perselisihan dalam agama
dan takdir, dan mereka berserah diri pada riwayat-riwayat yang shohih dari Nabi
ﷺ.
Diskusi:
S1: Bagaimana
sikap Ahli Sunnah dalam masalah perdebatan dalam agama?
S2: Apakah
boleh membahas secara mendalam masalah-masalah takdir?