Sastra Periode Jahiliyah (2 Abad SM – 13 SH)
Pada pembahasa lalu telah
dijelaskan pembagian sastra menjadi natsr dan syi’r. Di sini akan dijelaskan
sebagian contoh untuk jenis natsr (khutbah, wasiat, hikmah, dan matsal) dan
syi’r.
Khutbah
Khutbah Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani
Hani bin Qobishoh bin Hani bin
Mas’ud Asy-Syaibani adalah pemuka dari kaum Bani Syaiban dan terkenal sebagai
jajaran orang-orang yang pemberani dan fasih lisannya yang hidup di akhir masa
Jahiliyah. (Al-A’lam 8/68 oleh Az-Zirakli)
Di antara khutbah Hani yang
terkenal adalah:
«يَا مَعْشَرَ بَكْرٍ، هَالِكٌ مَعْذُوْرٌ خَيْرٌ
مِنْ نَاجٍ فَرُوْرٍ، إِنَّ الْحَذَرَ لَا يُنْجِى مِنَ الْقَدَرِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ
مِنْ أَسْبَابِ الظَّفَرِ، الْمَنِيَّةُ وَلَا الدَّنِيَّةُ، اسْتِقْبَالُ الْمَوْتِ
خَيْرٌ مِنِ اسْتِدْبَارِهِ، الطَّعْنُ فِي ثُغَرِ النُّحُوْرِ أَكْرَمُ مِنْهُ فِي
الأَعْجَازِ وَالظُّهُورِ. يَا آلَ بَكْرٍ، قَاتِلُوا فَمَا لِلْمَنَايَا مِنْ بُدٍّ»
“Wahai orang-orang kabilah
Bakar, mati karena uzur lebih baik daripada selamat karena lari. Sungguh takut
mati tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sungguh sabar termasuk sebab datangnya
pertolongan. Lebih baik kematian, bukan rendahan. Menyongsong kematian lebih
baik daripada membelakanginya. Ditusuk di dada lebih mulia daripada di
punggung. Wahai kabilah Bakar, berperanglah karena kematian adalah kepastian!”
(Al-Amali 1/169 oleh Ibnu Ali Al-Qoli)
Khutbah ini memiliki kisah,
yaitu ketika raja Persia meminta Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani untuk menerima
beberapa amanah yang ditinggalkan oleh An-Nu’man bin Al-Munzhir, salah satu
raja di Hiroh, Iraq, yang berada di bawah kekuasaan Persia. Hani menolaknya
sehingga terjadi peperangan antara Persia dengan kabilah Bakar yang merupakan
kabilah Hani di sebuah tempat yang dekat dengan Bashrah di Iraq yang bernama
Dzaqor. Peperangan ini dimenangkan oleh kabilah Bakar karena semangat juang
mereka yang membara mendengarkan khutbah dari tokoh mereka, Hani bin Qobishoh
di atas.
Penjelasan Khutbah Hani
Hani berkhutbah kepada kaumnya
memotifasi mereka untuk berperang dan menampakkan keberanian. Dia mengabarkan
kepada mereka bahwa kematian di medan
perang lebih mulia daripada lari dengan selamat. Rasa takut seseorang kepada
kematian tidak akan menyelamatkannya dari kematian. Pertolongan itu tidak akan
diperoleh kecuali dengan kesabaran. Seseorang berhadapan dengan musuhnya dari depan
lalu ditusuk olehnya adalah lebih baik daripada ditusuk dari belakang. Karena
ditusuk dari dari depan menunjukkan keberanian, sementara ditusuk dari belakang
menunjukkan ketakutan.
Kemudian Hani mengulang
panggilan kaumnya untuk berperang dan tidak perlu takut dari kematian, karena
kematian adalah sebuah kepastian. Siapa yang tidak mati hari ini di medan
perang, dia pasti kelak akan mati juga dengan sebab lainnya.
Buah Pikir dan
Kekhususan Khutbah
Khutbah Hani di atas
mengandung buah pikir yang sangat penting yaitu motifasi sabar dalam berperang
dan tidak takut mati, dan juga mengandung beberapa buah pikir lainnya yang
menguatkan kandungan di atas yaitu:
- Mati di medan perang lebih mulia daripada hidup
terhina diusir musuh terusir dari kampung halaman, sebagaimana dalam
ucapan: “mati karena uzur lebih baik daripada selamat karena lari,”dan
“Lebih baik mati daripada rendahan.”
- Takut mati tidak akan menyelamatkan seseorang dari
takdir Allah, sebagaimana ucapannya: “Sungguh takut mati tidak akan
menyelamatkan dari takdir.”
- Pertolongan itu tidak bisa terwujud kecuali dengan
kesabaran, sebagaimana ucapannya: “Sungguh sabar termasuk sebab datangnya
pertolongan.”
- Menemui musuh dari depan lebih baik daripada
membelakanginya dengan berlari, meski sama-sama terbunuh. Ini sebagaimana
ucapannya: “Menyongsong kematian lebih baik daripada membelakanginya.
Ditusuk di dada lebih mulia daripada di punggung.”
- Kematian adalah kepastian, sebagaiamana ucapannya:
“berperanglah karena kematian adalah kepastian.”
Dalam khutbah ini kita juga
mendapati keistimewaan khusus yang mewakili khutbah Jahiliyah yaitu:
- Singkatnya ungkapan
- Cocoknya setiap kalimat atau kebanyakannya dengan
satu huruf akhir.
- Kesesuaian buah pikir pengkhutbah dengan temanya.
- Khutbah mengandung banyak nasihat dan hikmah.
Wasiat
Wasiat Dzul Isba’ kepada Anaknya Usaid
Dzul Isba’ Al-Adwani bernama
asli Hurtsan bin Al-Harits. Ia lebih dikenal dengan nama Dzul Isba’ karena
seekor ular menggigit jari-jari kakinya (isba’) hingga terputus. Versi lain
mengatakan, karena jari-jarinya lebih dari sewajarnya. Di termasuk penyair Arab
yang terkenal di masa Jahiliyah, pemilik lisan yang fasih, hikmah, dan
pendapat. Dia seorang hakim di zamannya. Dia hidup lama dan meninggal sekitar
tahun 22 SH (sebelum Hijriyah) bertepatan tahun 600 SM (sebelum Masehi).
(Al-A’lam 2/172 oleh Az-Zirakli secara ringkas)
Di antara wasiatnya yang
terkenal adalah:
«أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يُحِبُّوكَ، وَتَوَاضَعْ
لَهُمْ يَرْفَعُوكَ، وَابْسُطْ لَهُمْ وَجْهَكَ يُطِيْعُوكَ، وَلَا تَسْتَأْثِرْ عَلَيْهِمْ
بِشَيْءٍ يُسَوِّدُوكَ، وَأَكْرِمْ صِغَارَهُمْ كَمَا تُكْرِمُ كِبَارَهُمْ يُكْرِمْكَ
كِبَارُهُمْ وَيَكْبُرْ عَلَى مَوَدَّتِكَ صِغَارُهُمْ، وَاسْمَحْ بِمَالِكَ، وَأَعْزِزْ
جَارَكَ، وَأَعِنْ مَنْ اسْتَعَانَ بِكَ، وَأَكْرِمْ ضَيْفَكَ، وَأَسْرِعِ النَّهْضَةَ
فِي الصَّرِيْخِ فَإِنَّ لَكَ أَجْلاً لَا يَعْدُوكَ، وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْئَلَةِ
أَحَدٍ شَيْئاً، فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدَدُكَ»
“Lembutlah kamu kepada kaummu
maka mereka akan mencintaimu. Tawadhulah kamu kepada mereka niscaya mereka
mengangkatmu, hamparkan wajahmu kepada mereka niscaya mereka mentaatimu,
janganlah kamu lebih mendahulukan dirinya atas mereka terhadap apapun niscaya
mereka mentuakanmu, muliakan yang lebih muda sebagaimana kamu memulian yang
lebih tua niscaya yang lebih tua memuliakanmu dan yang lebih mudah bertambah
cintanya kepadamu, berikanlah hartamu, bantulah tetanggamu, tolonglah setiap
yang meminta bantuan kepadamu, muliakan tetanggamu, cepatlah bangun di saat
sulit karena hal itu menjadikanmu mulia yang akan selalu mereka ingat, dan
jagalah wajahmu dari meminta apapun kepada siapapun. Semua itu akan
menyempurnakan kemulianmu.” (At-Tadzkiroh Al-Hamduniyyah hal. 2/10 oleh Abul
Ma’ali Al-Badhdadi dan Al-Aghoni 3/98-99 oleh Abul Faroj Al-Ashfahani)
Wasiat ini disampaikannya
kepada anaknya yang bernama Usaid saat ia mau meninggal dengan harapan agar
anaknya kelak menjadi tokoh di tengah masyarakat sebagaimana bapaknya, dan
memiliki banyak keutamaan.
Penjelasan Wasiat Dzul Isba’
Dzul Isba’ mewasiatkan anaknya
untuk bermuamalah kepada kaumnya dengan lemah lembut agar mereka mencintainya
dan rindu berintraksi dengannya, dan tidak sombong kepada mereka sehingga
mereka menghormatinya.
Juga menampakkan wajah senang
saat bertemu mereka agar mereka mentaatinya disaat diperintah.
Juga untuk tidak mengutamakan
dirinya dari sesuatu tanpa memperbolehkannya kepada orang lain karena hal itu
akan menjadikan mereka lari dan tidak mau mentuakannya lagi.
Juga untuk menghormati yang
tua sehingga mereka akan memuliakannya, dan menghormati yang muda sehingga
mereka bertambah cintanya kepadanya.
Juga untuk dengan senang hati
mengeluarkan harta dan tidak bakhil terutama untuk keperluan menolong yang
kekusahan, membantu tetangga, yang meminta bantuan langsung, dan juga untuk
memuliakan tamu. Juga untuk menjaga diri dari meminta-minta kepada siapapun.
Semua hal itu adalah akhlak
mulia dan sifat-sifat yang utama yang menjadikan pemiliknya menempati posisi
tinggi di tengah kaumnya dan menjadi pemuka mereka.
Buah Pikir dan Kekhususan Wasiat
Di antara buah pikir dari
wasiat ini adalah mendorong untuk memiliki sifat-sifat mulia seperti lembut,
tawadhu, murah senyum, tidak egois, memuliakan yang tua, mencintai yang muda,
ringan tangan, memuliakan tamu dan orang lain, serta menjaga diri dari
meminta-minta.
Di antara keistimewaan khusus
wasiat ini adalah:
- Menggunakan keberagaam konteks, kadang menggunakan
perintah dan kadang menggunakan larangan.
- Menggunakan perumpamaan seperti ungkapannya:
“hamparkan wajahmu” yang merupakan kiasan untuk murah senyum.
- Ringkasnya kalimat-kalimatnya dengan menjaga
keseimbangan makna yang mendalam.
- Sajak yang sama di akhir kata yaitu berakhiran huruf
kaf.
Hikmah
1. (آفَةُ الرَّأْيِ الهَوَى)
Artinya: “Yang merusak akal
adalah hawa nafsu.”
Maknanya: seseorang yang
mengikuti hawa nafsu maka pendapat dan kecerdasannya tertutup sehingga dia
berbicara, berprilaku, dan memutuskan bukan dengan kebenaran yang dia ketahui,
karena sudah dikuasai oleh hawa nafsu.
2. (مَصَارِعُ الرِّجَالَ تَحْتَ بُرُوقِ الطَّمْعِ)
Artinya: “Kematian seseorang
itu berada di bawah kilatan ketamakan.”
Maknanya: seseorang yang memiliki sifat tamak sebenarnya ia berada di dalam
ketidakbahagiaan, kegelisahan, dan ketakutan yang hampir-hampir saja
membunuhnya. Manusia hampir saja mati gara-gara berlebihan mencintai harta dan
kedudukan.
3. (آخِرُ الدَّوَاءِ الكَيُّ)
Artinya: “Akhir obat adalah
kay.”
Maknanya: Kay adalah
pengobatan dengan besi panas yang biasa dikenal oleh orang Arab. Pengobatan ini
tergolong menyakitkan karena besi dicoskan ke luka korban. Kaidah ini bermakna
hendaknya seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan solusi paling mudah dan
ringan, jangan langsung dengan solusi yang membahayakan dan sukar. Menggunakan
solusi yang suka adalah di akhir percobaan, setelah solusi lainnya belum
menyelesaikan.
Matsal
Di antara contoh matsal
adalah:
Pedang Telah Mendahului Celaan
Maknanya: pedang telah
mendahului celaan sehingga celaan tidak lagi berguna dan bermanfaat.
Kisahnya: salah seorang Arab
mengutus anaknya untuk mencari unta yang hilang. Maka si anak pergi ke padang
pasir sambil membawa pedangnya. Ayahnya menunggunya lama tetapi tidak kunjung
pulang. Pada suatu hari, sang ayah pergi bersama seorang lelaki. Saat melewati
sebuah tempat lelaki tersebut berkata, “Di tempat ini aku pernah bertemu
seorang pemuda dengan sifatnya demikian dan demikian lalu aku membunuhnya dan
mengambil pedangnya.” Si ayah merenungkan ucapan lelaki tersebut dan mulai
sadar bahwa yang dibunuh itu rupanya anaknya dan lelaki ini adalah pembunuhnya.
Si ayah berkata, “Coba aku lihat mana pedangnya?” Lalu diberikanlah pedang tersebut
dan rupanya itu adalah pedang anaknya. Si ayah pun membunuh lelaki tersebut.
Lalu manusia mencelanya, “Kenapa kamu membunuh lelaki itu di bulan Haram?” Dia
berkata, “Pedang sudah mendahului celaan.” Lalu ibarat ini menjadi matsal di
tengah manusia. (Al-Amtsal, hal. 62, oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam)
Penggunaan: celaan ini
digunakan untuk seseorang yang mencela suatu perkara yang sudah terlanjur
terjadi. Dalam pribahasa kita, mirip dengan ungkapan: “Nasih sudah menjadi
bubur.”
Di Musim Panas Kamu Menyia-nyiakan
Susu
Maknanya: seorang lelaki
berkata kepada mantan istrinya, “Sudah berlalu musim panas saat kamu masih di
sisiku dan mendapatkan susu, adapaun hari ini tidak ada lagi susu bagimu.”
Kisahnya: lelaki tua menikahi
gadis cantik di musim panas. Lelaki itu kaya memiliki banyak onta dan kambing
yang bersusu banyak yang diminum olehnya dan istrinya. Namun, istrinya tidak
lagi menyukai lelaki tua itu dan meminta cerai. Lalu si lelaki tua itu
menceraikannya lalu perempuan itu dinikahi seorang pemuda miskin yang tidak
memiliki onta dan tidak pula kambing. Pada suatu hari di musim panas, lewatlah
seorang onta milik mantan suaminya yang pertama, lalu si wanita meminta
susunya, tetapi si lelaki menolaknya dan berkata kepadanya: “Di musim panas
kamu telah menyia-nyiakan susu.” Kemudian ungkapan ini menjadi matsal di tengah
manusia. (Al-Amtsal hal. 247 oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam)
Pengguaan: matsal ini
digunakan untuk seseorang yang mendapatkan perkara baik lalu
meninggalkannya lalu ia menginginkannya
lagi tetapi tidak diberi.
Di Juhainah Ada Kabar
Meyakinkan
Maknanya: kabar yang
meyakinkan ada di Juhainah.
Kisahnya: dua orang melakukan
safar dimana satu dari keduanya bernama Hushain dari kabilah Kilab dan yang
kedua bernama Al-Akhnas dari kabilah Juhainah. Di tengah perjalangan mereka
istirahat untuk menghilangkan penat. Al-Akhnas rupanya terbangun dan membunuh
saudaranya, Hushain, dan mengambil hartanya. Ketika Al-Akhnas kembali dan tiba
di tujuan, dia mendengar saudari Hushain bertanya kepada manusia tentang
saudaranya, lalu Al-Akhnas berkata, “Dia bertanya tentang Hushain kepada setiap
kafilah yang tiba, padahal di Juhainah ada kabar yang meyakinkan.” Lalu ucapan
ini menjadi matsal. (Al-Amtsal hal. 201 karya Abu Ubaid bin Sallam)
Penggunaan: digunakan untuk
seseorang yang tahu duduk perkara yang meyakinkan, yang tidak diketahui oleh
orang lain.
Syair
Di antara syair yang terkenal
adalah syair Zuhair bin Abi Sulma di dalam mu’allaqat. Yaitu:
سَئِمْتُ تَكَالِيْفَ الْحَيَاةِ وَمَنْ يَعِشْ ... ثَمَانِيْنَ
حَوْلاً لاَ أَبَا لَكَ يَسْأَمِ
وَأَعْلَمُ مَا فِي الْيَوْمِ وَالْأَمْسِ قَبْلَهُ ... وَلَكِنَّنِي
عَنْ عِلْمِ مَا فِي غَدٍ عَمِ
وَمَنْ هَابَ أَسْبَابَ الْمَنَايَا يَنَلْنَهُ ... وَلَوْ
نَالَ أَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلَّمِ
وَمَنْ يَجْعَلِ الْمَعْرُوْفَ فِي غَيْرِ أَهْلِهِ ... يَعُدْ
حَمْدُهُ ذَمّاً عَلَيْهِ وَيَنْدَمِ
وَمَهْمَا تَكُنْ عِنْدَ امْرِئٍ مِنْ خَلِيْقَةِ ... وَلَوْ
خَالَهَا تَخْفَى عَلَى النَّاسِ تُعْلَمِ
لِأَنَّ لِسَانَ الْمَرْءِ مِفْتَاحُ قَلْبِهِ ... إِذَا
هُوَ أَبْدَى مَا يَقُوْلُ مِنَ الْفَمِ
لِسَانُ الْفَتَى نِصْفٌ وَنِصْفٌ فُؤَادُهُ ... فَلَمْ يَبْقَ
إِلَّا صُوْرَةُ اللَّحْمِ وَالدَّمِ
“Aku bosan dengan segala
kesusuhan hidup, begitu juga yang hidup delapan puluh tahun ‒semoga kamu tidak
punya ayah‒ juga bosan.
Aku tahu apa yang terjadi hari ini dan kemarin, tetapi
aku tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok.
Siapa yang takut dengan
sebab-sebab kematian niscaya kematian itu pasti menjumpainya, meskipun dia
memperoleh tangga menuju langit.
Siapa yang menempatkan
kebaikan bukan kepada ahlinya, maka ia akan pulang dalam keadaan tercela dan
menyesal.
Bagaimanapun perangai yang
dimiliki seseorang, meskipun ia berusaha menutupinya dari manusia, pasti akan
diketahui.
Karena lisan manusia adalah
kunci hatinya, bahkan ia akan menampakkan apa yang diucapkan mulutnya.
Lisan pemuda adalah separuh
dan separuhnya lagi adalah hatinya. Tidak lagi tersisa setelah itu kecuali
hanya daging dan darah.” (Jamharah Asya’aril Arab 1/296-300, Abu Zaid
Al-Qurosyi)
Terjadi peperangan yang hebat
antara dua kabilah yaitu Abs dan Dzubyan disebabkan lomba pacuan kuda. Perang
ini berlangsung selama 40 tahun. Kemudian beberapa orang yang ditokohkan dari
mereka berusaha mengadakan perdamaian antara dua kabilah tersebut dengan
menanggung semua ganti rugi untuk setiap orang yang terbunuh dari dua kabilah
tersebut. Seorang penyair bernama Zuhair Abi Sulma sangat terkesan dengan
perbuatan baik ini lalu ia mensenandungkan bait syair memuji Harom bin Sinan
dan Al-Haris bin Auf[1] yang
mengadakan perdamaian ini dan memperingatkan manusia dari peperangan yang hanya
menghasilkan kerugian dan ia mengajak kepada perdamaian, serta menutup
senandungnya dengan beberapa nasihat dan kebijaksanaan. Di antara nasihatnya
adalah bait syair di atas.
Zuhair bin Abi Sulma berasal
dari kabilah Muzainah dari Mudhar. Dia tumbuh dalam perawatan pamannya dari
jalur ibu yang bernama Basyamah bin Al-Ghadir yang merupakan ahli syair dan
ahli hikmah. Setelah pamannya meninggal, pengasuhannya diambil alih oleh ayah
tirinya bernama Aus bin Hujar yang juga seorang penyair terkenal sehingga
Zuhair meriwayatkan syair-syairnya.
Zuhair termasuk penyair yang
produktif dan menaruh perhatian besar dalam syair-syairnya dengan jeli dalam
menelitinya kembali dan mengulang-ngulang. Dia tidak membaur ke masyarakat
kecuali setelah berlalu setahun, sehingga syair-syairnya dinamakan qoshidah
hauliyah (senandung tahunan).
Zuhair usianya panjang dan
meninggal sebelum kenabian Rasulullah SAW.
Penjelasan Per Bait
Bait Pertama: “Aku benci hidup
karena banyaknya kesulitan dan kesulitan hidup. Aku sudah mulai bosan dan
begitu juga orang-orang yang sudah berumur delapan puluh tahun.”
Komentarku: Zuhair bin Abi
Sulma hidup di zaman sebelum datang cahaya dan keindahan Islam, oleh karena itu
dia merasa dunia begitu sempit, tetapi siapa yang mengenal Islam dengan baik
niscaya dia mengetahui bahwa hidup di dunia ini dijalani dengan ketengan dan
keceriaan wajah karena semua bencana dan musibah menjadi ringan karena semua
itu menggugurkan dosa dan mengangkat derajat di Surga.
Bai Kedua: “Setiap manusia
tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari. Ia hanya menyaksikan
kehidupannya di hari kemarin dan hari ini yang sudah berlalu dan dijalaninya.
Hanya Allah yang tahu apa yang di akhir, tengah dan akhir. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ
غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya
Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah
Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada
seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya
besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman [31]: 34)
Baik Ketiga: “Kematikan pasti
menyusul setiap orang meskipun orang tersebut benci dan melarikan diri, meski
menjauhi medan perang dan berdiam di sebuah benteng yang kokoh. Jika ia lolos
dari satu sebab kematian, maka ia tidak akan lolos dari sebab kematian
berikutnya.”
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ
كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS.
An-Nisa [4]: 78)
Bait Keempat: “Siapa yang
berbuat baik kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya maka ia akan dicela
dan menyesal. Seperti bersedekah kepada orang kaya, perampok, dan pencuri.”
Bait Kelima: “Tabiat manusia
yang berupa kebaikan atau keburukan, pasti akan diketahui oleh manusia
bagaimana pun ia menyembunyikannya. Sebab anggota tubuh lainnya akan
menerjemahkan isi hatinya.”
Bait Keenam: “Sebab lisan akan
menyingkap ada yang ada di dalam hati, begitu juga mimik bibir akan memperjelas
isi hati. Saat itulah manusia mengetahui watak aslinya.”
Bait Ketujuh: “Harga manusia
itu hanya di hati dan lisannya. Hati untuk berfikir dan berakal sementara lisan
untuk menerjemahkan isi hati. Jika dua ini baik maka manusia menjadi berharga,
jika tidak maka tidak, meski indah perawakan fisiknya. Sebab selain hati dan
lisan hanyalah daging dan darah yang tidak begitu penting.”
Pemikiran dan Keistimewaan
Di antara pemikiran dalam
syair ini adalah kedalaman sastra Zuhair di mana dia berusaha keras memberikan
kebaikan kepada kaumnya dengan menyebutkan perkara-perkara penting dalam bahasa
ringkas dan maknya yang dalam, yaitu tentang perkara ghaib, takdir kematian,
dan cara menyalurkan kebaikan.
Adapun keistimewaan syair ini,
di antaranya adalah:
- Lafazhnya yang ringkas
- Maknanya yang dalam.
- Penggunaan qofiyah.
- Penggunaan tasybih. Seperti menyerupakan lisan
sebagai kunci, karena fungsinya membuka isi hati. Ini penyerupaan yang
tepat dan menjadikan pendengarnya memahami dengan baik.