Cari Artikel

Mempersiapkan...

Sastra Periode Jahiliyah (2 Abad SM – 13 SH)

 

Pada pembahasa lalu telah dijelaskan pembagian sastra menjadi natsr dan syi’r. Di sini akan dijelaskan sebagian contoh untuk jenis natsr (khutbah, wasiat, hikmah, dan matsal) dan syi’r.

Khutbah

Khutbah Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani

Hani bin Qobishoh bin Hani bin Mas’ud Asy-Syaibani adalah pemuka dari kaum Bani Syaiban dan terkenal sebagai jajaran orang-orang yang pemberani dan fasih lisannya yang hidup di akhir masa Jahiliyah. (Al-A’lam 8/68 oleh Az-Zirakli)

Di antara khutbah Hani yang terkenal adalah:

«يَا مَعْشَرَ بَكْرٍ، هَالِكٌ مَعْذُوْرٌ خَيْرٌ مِنْ نَاجٍ فَرُوْرٍ، إِنَّ الْحَذَرَ لَا يُنْجِى مِنَ الْقَدَرِ، وَإِنَّ الصَّبْرَ مِنْ أَسْبَابِ الظَّفَرِ، الْمَنِيَّةُ وَلَا الدَّنِيَّةُ، اسْتِقْبَالُ الْمَوْتِ خَيْرٌ مِنِ اسْتِدْبَارِهِ، الطَّعْنُ فِي ثُغَرِ النُّحُوْرِ أَكْرَمُ مِنْهُ فِي الأَعْجَازِ وَالظُّهُورِ. يَا آلَ بَكْرٍ، قَاتِلُوا فَمَا لِلْمَنَايَا مِنْ بُدٍّ»

“Wahai orang-orang kabilah Bakar, mati karena uzur lebih baik daripada selamat karena lari. Sungguh takut mati tidak akan menyelamatkan dari takdir. Sungguh sabar termasuk sebab datangnya pertolongan. Lebih baik kematian, bukan rendahan. Menyongsong kematian lebih baik daripada membelakanginya. Ditusuk di dada lebih mulia daripada di punggung. Wahai kabilah Bakar, berperanglah karena kematian adalah kepastian!” (Al-Amali 1/169 oleh Ibnu Ali Al-Qoli)

Khutbah ini memiliki kisah, yaitu ketika raja Persia meminta Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani untuk menerima beberapa amanah yang ditinggalkan oleh An-Nu’man bin Al-Munzhir, salah satu raja di Hiroh, Iraq, yang berada di bawah kekuasaan Persia. Hani menolaknya sehingga terjadi peperangan antara Persia dengan kabilah Bakar yang merupakan kabilah Hani di sebuah tempat yang dekat dengan Bashrah di Iraq yang bernama Dzaqor. Peperangan ini dimenangkan oleh kabilah Bakar karena semangat juang mereka yang membara mendengarkan khutbah dari tokoh mereka, Hani bin Qobishoh di atas.

Penjelasan Khutbah Hani

Hani berkhutbah kepada kaumnya memotifasi mereka untuk berperang dan menampakkan keberanian. Dia mengabarkan kepada mereka bahwa kematian di  medan perang lebih mulia daripada lari dengan selamat. Rasa takut seseorang kepada kematian tidak akan menyelamatkannya dari kematian. Pertolongan itu tidak akan diperoleh kecuali dengan kesabaran. Seseorang berhadapan dengan musuhnya dari depan lalu ditusuk olehnya adalah lebih baik daripada ditusuk dari belakang. Karena ditusuk dari dari depan menunjukkan keberanian, sementara ditusuk dari belakang menunjukkan ketakutan.

Kemudian Hani mengulang panggilan kaumnya untuk berperang dan tidak perlu takut dari kematian, karena kematian adalah sebuah kepastian. Siapa yang tidak mati hari ini di medan perang, dia pasti kelak akan mati juga dengan sebab lainnya.

Buah Pikir dan Kekhususan Khutbah

Khutbah Hani di atas mengandung buah pikir yang sangat penting yaitu motifasi sabar dalam berperang dan tidak takut mati, dan juga mengandung beberapa buah pikir lainnya yang menguatkan kandungan di atas yaitu:

  1. Mati di medan perang lebih mulia daripada hidup terhina diusir musuh terusir dari kampung halaman, sebagaimana dalam ucapan: “mati karena uzur lebih baik daripada selamat karena lari,”dan “Lebih baik mati daripada rendahan.”
  2. Takut mati tidak akan menyelamatkan seseorang dari takdir Allah, sebagaimana ucapannya: “Sungguh takut mati tidak akan menyelamatkan dari takdir.”
  3. Pertolongan itu tidak bisa terwujud kecuali dengan kesabaran, sebagaimana ucapannya: “Sungguh sabar termasuk sebab datangnya pertolongan.”
  4. Menemui musuh dari depan lebih baik daripada membelakanginya dengan berlari, meski sama-sama terbunuh. Ini sebagaimana ucapannya: “Menyongsong kematian lebih baik daripada membelakanginya. Ditusuk di dada lebih mulia daripada di punggung.”
  5. Kematian adalah kepastian, sebagaiamana ucapannya: “berperanglah karena kematian adalah kepastian.”

Dalam khutbah ini kita juga mendapati keistimewaan khusus yang mewakili khutbah Jahiliyah yaitu:

  1. Singkatnya ungkapan
  2. Cocoknya setiap kalimat atau kebanyakannya dengan satu huruf akhir.
  3. Kesesuaian buah pikir pengkhutbah dengan temanya.
  4. Khutbah mengandung banyak nasihat dan hikmah.

Wasiat

Wasiat Dzul Isba’ kepada Anaknya Usaid

Dzul Isba’ Al-Adwani bernama asli Hurtsan bin Al-Harits. Ia lebih dikenal dengan nama Dzul Isba’ karena seekor ular menggigit jari-jari kakinya (isba’) hingga terputus. Versi lain mengatakan, karena jari-jarinya lebih dari sewajarnya. Di termasuk penyair Arab yang terkenal di masa Jahiliyah, pemilik lisan yang fasih, hikmah, dan pendapat. Dia seorang hakim di zamannya. Dia hidup lama dan meninggal sekitar tahun 22 SH (sebelum Hijriyah) bertepatan tahun 600 SM (sebelum Masehi). (Al-A’lam 2/172 oleh Az-Zirakli secara ringkas)

Di antara wasiatnya yang terkenal adalah:

«أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يُحِبُّوكَ، وَتَوَاضَعْ لَهُمْ يَرْفَعُوكَ، وَابْسُطْ لَهُمْ وَجْهَكَ يُطِيْعُوكَ، وَلَا تَسْتَأْثِرْ عَلَيْهِمْ بِشَيْءٍ يُسَوِّدُوكَ، وَأَكْرِمْ صِغَارَهُمْ كَمَا تُكْرِمُ كِبَارَهُمْ يُكْرِمْكَ كِبَارُهُمْ وَيَكْبُرْ عَلَى مَوَدَّتِكَ صِغَارُهُمْ، وَاسْمَحْ بِمَالِكَ، وَأَعْزِزْ جَارَكَ، وَأَعِنْ مَنْ اسْتَعَانَ بِكَ، وَأَكْرِمْ ضَيْفَكَ، وَأَسْرِعِ النَّهْضَةَ فِي الصَّرِيْخِ فَإِنَّ لَكَ أَجْلاً لَا يَعْدُوكَ، وَصُنْ وَجْهَكَ عَنْ مَسْئَلَةِ أَحَدٍ شَيْئاً، فَبِذَلِكَ يَتِمُّ سُؤْدَدُكَ»

“Lembutlah kamu kepada kaummu maka mereka akan mencintaimu. Tawadhulah kamu kepada mereka niscaya mereka mengangkatmu, hamparkan wajahmu kepada mereka niscaya mereka mentaatimu, janganlah kamu lebih mendahulukan dirinya atas mereka terhadap apapun niscaya mereka mentuakanmu, muliakan yang lebih muda sebagaimana kamu memulian yang lebih tua niscaya yang lebih tua memuliakanmu dan yang lebih mudah bertambah cintanya kepadamu, berikanlah hartamu, bantulah tetanggamu, tolonglah setiap yang meminta bantuan kepadamu, muliakan tetanggamu, cepatlah bangun di saat sulit karena hal itu menjadikanmu mulia yang akan selalu mereka ingat, dan jagalah wajahmu dari meminta apapun kepada siapapun. Semua itu akan menyempurnakan kemulianmu.” (At-Tadzkiroh Al-Hamduniyyah hal. 2/10 oleh Abul Ma’ali Al-Badhdadi dan Al-Aghoni 3/98-99 oleh Abul Faroj Al-Ashfahani)

Wasiat ini disampaikannya kepada anaknya yang bernama Usaid saat ia mau meninggal dengan harapan agar anaknya kelak menjadi tokoh di tengah masyarakat sebagaimana bapaknya, dan memiliki banyak keutamaan.

Penjelasan Wasiat Dzul Isba’

Dzul Isba’ mewasiatkan anaknya untuk bermuamalah kepada kaumnya dengan lemah lembut agar mereka mencintainya dan rindu berintraksi dengannya, dan tidak sombong kepada mereka sehingga mereka menghormatinya.

Juga menampakkan wajah senang saat bertemu mereka agar mereka mentaatinya disaat diperintah.

Juga untuk tidak mengutamakan dirinya dari sesuatu tanpa memperbolehkannya kepada orang lain karena hal itu akan menjadikan mereka lari dan tidak mau mentuakannya lagi.

Juga untuk menghormati yang tua sehingga mereka akan memuliakannya, dan menghormati yang muda sehingga mereka bertambah cintanya kepadanya.

Juga untuk dengan senang hati mengeluarkan harta dan tidak bakhil terutama untuk keperluan menolong yang kekusahan, membantu tetangga, yang meminta bantuan langsung, dan juga untuk memuliakan tamu. Juga untuk menjaga diri dari meminta-minta kepada siapapun.

Semua hal itu adalah akhlak mulia dan sifat-sifat yang utama yang menjadikan pemiliknya menempati posisi tinggi di tengah kaumnya dan menjadi pemuka mereka.

Buah Pikir dan Kekhususan Wasiat

Di antara buah pikir dari wasiat ini adalah mendorong untuk memiliki sifat-sifat mulia seperti lembut, tawadhu, murah senyum, tidak egois, memuliakan yang tua, mencintai yang muda, ringan tangan, memuliakan tamu dan orang lain, serta menjaga diri dari meminta-minta.

Di antara keistimewaan khusus wasiat ini adalah:

  1. Menggunakan keberagaam konteks, kadang menggunakan perintah dan kadang menggunakan larangan.
  2. Menggunakan perumpamaan seperti ungkapannya: “hamparkan wajahmu” yang merupakan kiasan untuk murah senyum.
  3. Ringkasnya kalimat-kalimatnya dengan menjaga keseimbangan makna yang mendalam.
  4. Sajak yang sama di akhir kata yaitu berakhiran huruf kaf.

Hikmah

1. (آفَةُ الرَّأْيِ الهَوَى)

Artinya: “Yang merusak akal adalah hawa nafsu.”

Maknanya: seseorang yang mengikuti hawa nafsu maka pendapat dan kecerdasannya tertutup sehingga dia berbicara, berprilaku, dan memutuskan bukan dengan kebenaran yang dia ketahui, karena sudah dikuasai oleh hawa nafsu.

2. (مَصَارِعُ الرِّجَالَ تَحْتَ بُرُوقِ الطَّمْعِ)

Artinya: “Kematian seseorang itu berada di bawah kilatan ketamakan.”
Maknanya: seseorang yang memiliki sifat tamak sebenarnya ia berada di dalam ketidakbahagiaan, kegelisahan, dan ketakutan yang hampir-hampir saja membunuhnya. Manusia hampir saja mati gara-gara berlebihan mencintai harta dan kedudukan.

3. (آخِرُ الدَّوَاءِ الكَيُّ)

Artinya: “Akhir obat adalah kay.”

Maknanya: Kay adalah pengobatan dengan besi panas yang biasa dikenal oleh orang Arab. Pengobatan ini tergolong menyakitkan karena besi dicoskan ke luka korban. Kaidah ini bermakna hendaknya seseorang untuk menyelesaikan masalah dengan solusi paling mudah dan ringan, jangan langsung dengan solusi yang membahayakan dan sukar. Menggunakan solusi yang suka adalah di akhir percobaan, setelah solusi lainnya belum menyelesaikan.

Matsal

Di antara contoh matsal adalah:

Pedang Telah Mendahului Celaan

Maknanya: pedang telah mendahului celaan sehingga celaan tidak lagi berguna dan bermanfaat.

Kisahnya: salah seorang Arab mengutus anaknya untuk mencari unta yang hilang. Maka si anak pergi ke padang pasir sambil membawa pedangnya. Ayahnya menunggunya lama tetapi tidak kunjung pulang. Pada suatu hari, sang ayah pergi bersama seorang lelaki. Saat melewati sebuah tempat lelaki tersebut berkata, “Di tempat ini aku pernah bertemu seorang pemuda dengan sifatnya demikian dan demikian lalu aku membunuhnya dan mengambil pedangnya.” Si ayah merenungkan ucapan lelaki tersebut dan mulai sadar bahwa yang dibunuh itu rupanya anaknya dan lelaki ini adalah pembunuhnya. Si ayah berkata, “Coba aku lihat mana pedangnya?” Lalu diberikanlah pedang tersebut dan rupanya itu adalah pedang anaknya. Si ayah pun membunuh lelaki tersebut. Lalu manusia mencelanya, “Kenapa kamu membunuh lelaki itu di bulan Haram?” Dia berkata, “Pedang sudah mendahului celaan.” Lalu ibarat ini menjadi matsal di tengah manusia. (Al-Amtsal, hal. 62, oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam)

Penggunaan: celaan ini digunakan untuk seseorang yang mencela suatu perkara yang sudah terlanjur terjadi. Dalam pribahasa kita, mirip dengan ungkapan: “Nasih sudah menjadi bubur.”

Di Musim Panas Kamu Menyia-nyiakan Susu

Maknanya: seorang lelaki berkata kepada mantan istrinya, “Sudah berlalu musim panas saat kamu masih di sisiku dan mendapatkan susu, adapaun hari ini tidak ada lagi susu bagimu.”

Kisahnya: lelaki tua menikahi gadis cantik di musim panas. Lelaki itu kaya memiliki banyak onta dan kambing yang bersusu banyak yang diminum olehnya dan istrinya. Namun, istrinya tidak lagi menyukai lelaki tua itu dan meminta cerai. Lalu si lelaki tua itu menceraikannya lalu perempuan itu dinikahi seorang pemuda miskin yang tidak memiliki onta dan tidak pula kambing. Pada suatu hari di musim panas, lewatlah seorang onta milik mantan suaminya yang pertama, lalu si wanita meminta susunya, tetapi si lelaki menolaknya dan berkata kepadanya: “Di musim panas kamu telah menyia-nyiakan susu.” Kemudian ungkapan ini menjadi matsal di tengah manusia. (Al-Amtsal hal. 247 oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam)

Pengguaan: matsal ini digunakan untuk seseorang yang mendapatkan perkara baik lalu meninggalkannya  lalu ia menginginkannya lagi tetapi tidak diberi.

Di Juhainah Ada Kabar Meyakinkan

Maknanya: kabar yang meyakinkan ada di Juhainah.

Kisahnya: dua orang melakukan safar dimana satu dari keduanya bernama Hushain dari kabilah Kilab dan yang kedua bernama Al-Akhnas dari kabilah Juhainah. Di tengah perjalangan mereka istirahat untuk menghilangkan penat. Al-Akhnas rupanya terbangun dan membunuh saudaranya, Hushain, dan mengambil hartanya. Ketika Al-Akhnas kembali dan tiba di tujuan, dia mendengar saudari Hushain bertanya kepada manusia tentang saudaranya, lalu Al-Akhnas berkata, “Dia bertanya tentang Hushain kepada setiap kafilah yang tiba, padahal di Juhainah ada kabar yang meyakinkan.” Lalu ucapan ini menjadi matsal. (Al-Amtsal hal. 201 karya Abu Ubaid bin Sallam)

Penggunaan: digunakan untuk seseorang yang tahu duduk perkara yang meyakinkan, yang tidak diketahui oleh orang lain.

Syair

Di antara syair yang terkenal adalah syair Zuhair bin Abi Sulma di dalam mu’allaqat. Yaitu:

سَئِمْتُ تَكَالِيْفَ الْحَيَاةِ وَمَنْ يَعِشْ ... ثَمَانِيْنَ حَوْلاً لاَ أَبَا لَكَ يَسْأَمِ

وَأَعْلَمُ مَا فِي الْيَوْمِ وَالْأَمْسِ قَبْلَهُ ... وَلَكِنَّنِي عَنْ عِلْمِ مَا فِي غَدٍ عَمِ

وَمَنْ هَابَ أَسْبَابَ الْمَنَايَا يَنَلْنَهُ ... وَلَوْ نَالَ أَسْبَابَ السَّمَاءِ بِسُلَّمِ

وَمَنْ يَجْعَلِ الْمَعْرُوْفَ فِي غَيْرِ أَهْلِهِ ... يَعُدْ حَمْدُهُ ذَمّاً عَلَيْهِ وَيَنْدَمِ

وَمَهْمَا تَكُنْ عِنْدَ امْرِئٍ مِنْ خَلِيْقَةِ ... وَلَوْ خَالَهَا تَخْفَى عَلَى النَّاسِ تُعْلَمِ

لِأَنَّ لِسَانَ الْمَرْءِ مِفْتَاحُ قَلْبِهِ ... إِذَا هُوَ أَبْدَى مَا يَقُوْلُ مِنَ الْفَمِ

لِسَانُ الْفَتَى نِصْفٌ وَنِصْفٌ فُؤَادُهُ ... فَلَمْ يَبْقَ إِلَّا صُوْرَةُ اللَّحْمِ وَالدَّمِ

“Aku bosan dengan segala kesusuhan hidup, begitu juga yang hidup delapan puluh tahun ­‒semoga kamu tidak punya ayah‒ juga bosan.

Aku tahu  apa yang terjadi hari ini dan kemarin, tetapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok.

Siapa yang takut dengan sebab-sebab kematian niscaya kematian itu pasti menjumpainya, meskipun dia memperoleh tangga menuju langit.

Siapa yang menempatkan kebaikan bukan kepada ahlinya, maka ia akan pulang dalam keadaan tercela dan menyesal.

Bagaimanapun perangai yang dimiliki seseorang, meskipun ia berusaha menutupinya dari manusia, pasti akan diketahui.

Karena lisan manusia adalah kunci hatinya, bahkan ia akan menampakkan apa yang diucapkan mulutnya.

Lisan pemuda adalah separuh dan separuhnya lagi adalah hatinya. Tidak lagi tersisa setelah itu kecuali hanya daging dan darah.” (Jamharah Asya’aril Arab 1/296-300, Abu Zaid Al-Qurosyi)

Terjadi peperangan yang hebat antara dua kabilah yaitu Abs dan Dzubyan disebabkan lomba pacuan kuda. Perang ini berlangsung selama 40 tahun. Kemudian beberapa orang yang ditokohkan dari mereka berusaha mengadakan perdamaian antara dua kabilah tersebut dengan menanggung semua ganti rugi untuk setiap orang yang terbunuh dari dua kabilah tersebut. Seorang penyair bernama Zuhair Abi Sulma sangat terkesan dengan perbuatan baik ini lalu ia mensenandungkan bait syair memuji Harom bin Sinan dan Al-Haris bin Auf[1] yang mengadakan perdamaian ini dan memperingatkan manusia dari peperangan yang hanya menghasilkan kerugian dan ia mengajak kepada perdamaian, serta menutup senandungnya dengan beberapa nasihat dan kebijaksanaan. Di antara nasihatnya adalah bait syair di atas.

Zuhair bin Abi Sulma berasal dari kabilah Muzainah dari Mudhar. Dia tumbuh dalam perawatan pamannya dari jalur ibu yang bernama Basyamah bin Al-Ghadir yang merupakan ahli syair dan ahli hikmah. Setelah pamannya meninggal, pengasuhannya diambil alih oleh ayah tirinya bernama Aus bin Hujar yang juga seorang penyair terkenal sehingga Zuhair meriwayatkan syair-syairnya.

Zuhair termasuk penyair yang produktif dan menaruh perhatian besar dalam syair-syairnya dengan jeli dalam menelitinya kembali dan mengulang-ngulang. Dia tidak membaur ke masyarakat kecuali setelah berlalu setahun, sehingga syair-syairnya dinamakan qoshidah hauliyah (senandung tahunan).

Zuhair usianya panjang dan meninggal sebelum kenabian Rasulullah SAW.

Penjelasan Per Bait

Bait Pertama: “Aku benci hidup karena banyaknya kesulitan dan kesulitan hidup. Aku sudah mulai bosan dan begitu juga orang-orang yang sudah berumur delapan puluh tahun.”

Komentarku: Zuhair bin Abi Sulma hidup di zaman sebelum datang cahaya dan keindahan Islam, oleh karena itu dia merasa dunia begitu sempit, tetapi siapa yang mengenal Islam dengan baik niscaya dia mengetahui bahwa hidup di dunia ini dijalani dengan ketengan dan keceriaan wajah karena semua bencana dan musibah menjadi ringan karena semua itu menggugurkan dosa dan mengangkat derajat di Surga.

Bai Kedua: “Setiap manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi esok hari. Ia hanya menyaksikan kehidupannya di hari kemarin dan hari ini yang sudah berlalu dan dijalaninya. Hanya Allah yang tahu apa yang di akhir, tengah dan akhir. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman [31]: 34)

Baik Ketiga: “Kematikan pasti menyusul setiap orang meskipun orang tersebut benci dan melarikan diri, meski menjauhi medan perang dan berdiam di sebuah benteng yang kokoh. Jika ia lolos dari satu sebab kematian, maka ia tidak akan lolos dari sebab kematian berikutnya.”

أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa [4]: 78)

Bait Keempat: “Siapa yang berbuat baik kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya maka ia akan dicela dan menyesal. Seperti bersedekah kepada orang kaya, perampok, dan pencuri.”

Bait Kelima: “Tabiat manusia yang berupa kebaikan atau keburukan, pasti akan diketahui oleh manusia bagaimana pun ia menyembunyikannya. Sebab anggota tubuh lainnya akan menerjemahkan isi hatinya.”

Bait Keenam: “Sebab lisan akan menyingkap ada yang ada di dalam hati, begitu juga mimik bibir akan memperjelas isi hati. Saat itulah manusia mengetahui watak aslinya.”

Bait Ketujuh: “Harga manusia itu hanya di hati dan lisannya. Hati untuk berfikir dan berakal sementara lisan untuk menerjemahkan isi hati. Jika dua ini baik maka manusia menjadi berharga, jika tidak maka tidak, meski indah perawakan fisiknya. Sebab selain hati dan lisan hanyalah daging dan darah yang tidak begitu penting.”

Pemikiran dan Keistimewaan

Di antara pemikiran dalam syair ini adalah kedalaman sastra Zuhair di mana dia berusaha keras memberikan kebaikan kepada kaumnya dengan menyebutkan perkara-perkara penting dalam bahasa ringkas dan maknya yang dalam, yaitu tentang perkara ghaib, takdir kematian, dan cara menyalurkan kebaikan.

Adapun keistimewaan syair ini, di antaranya adalah:

  1. Lafazhnya yang ringkas
  2. Maknanya yang dalam.
  3. Penggunaan qofiyah.
  4. Penggunaan tasybih. Seperti menyerupakan lisan sebagai kunci, karena fungsinya membuka isi hati. Ini penyerupaan yang tepat dan menjadikan pendengarnya memahami dengan baik.

 



[1] Hidup panjang dan mendapati cahaya Islam dan masuk Islam. (Al-A’lam 2/157, Az-Zirakli)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url