Tips Cerdas Menyambut Idul Fithri
Idul Fithri atau Id Al-Fithri, berasal dari dua kata yaitu Īd (عيد) yang artinya kembali dan berulang dan Al-Fithri (الفطر) yang artinya berbuka. Sehingga arti Idul Fithri adalah kembali makan dan minum yang sebelumnya diharomkan selama berpuasa Romadhon. Dikatakan berulang, karena Idul Fithri berulang tiap tahun. Adapun dimaknai kembali suci, perlu ditinjau ulang.
Pada Idul Fithri,
diharomkan berpuasa, sebagaimana dalam hadits:
Dari Abu Ubaid maula Ibnu
Az-har Rohimahullah, ia berkata: aku menghadiri hari raya bersama
Umar bin Al-Khoth-thob Rodhiyallahu ‘Anhu, lalu ia berkata: “Dua hari
yang Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa padanya,
yaitu hari kalian berbuka dari puasa kalian (Idul Fithri) dan hari lain yang
kalian makan daging kurban kalian (Idul Adha).” (HR. Al-Bukhori no. 1990 dan
Muslim no. 1124)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu
‘Anhu, ia berkata: “Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
berpuasa di hari Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Al-Bukhori no. 1991)
Di antara hikmahnya, agar
Muslimin merasakan karunia Allah berupa makanan dan minuman, sebagai balasan
puasa mereka di dunia sebelum di Akhirat.
Apa kiat menyambut Idul
Fithri, agar ketika sudah memasukinya, hati terasa bahagia dan tenang?
1. Sudah tuntas
menyelesaikan puasa penuh selama Romadhon, kecuali karena udzur syar’i seperti
haidh, sakit, atau safar. Maka, selama Romadhon usahakan berjuang puasa penuh.
2. Menghatamkan Qur’an
minimal satu kali. Jika belum khatam, biasanya hati gelisah ketika memasuki
Idul Fithri. Maka, mumpung masih ada waktu, segera kejar ketertinggalan.
3. Rutin melaksanakan
Tarowih sebulan penuh, kecuali udzur syar’i. Biasanya jika terluput satu saja
dari Tarowih, hati akan gelisah, dan kegelisahan ini bertambah ketika memasuki
malam takbiran. Maka dari sekarang kuatkan tekad.
4. Ketika memasuki malam
takbiran, baca doa awal bulan, yaitu:
«اللّٰهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ
وَالْإِسْلَامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ»
“Ya Allah, masukkanlah
kami ke bulan baru ini dengan rasa aman dan iman, selamat dan Islam. Penciptaku
dan Penciptamu (wahai bulan) adalah Allah.” (Shohih: HR. Ahmad no. 1397)
5. Segera menunaikan
zakat Fithri.
Dari Ibnu Abbas Rodhiyallahu ‘Anhuma,
dia berkata, “Rosulullah Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithri untuk membersihkan orang yang
berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan rofats (ucapan pengantar jimak),
sebagai pemberian makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya
sebelum sholat
Id
maka ia zakat yang diterima, dan barangsiapa menunaikannya setelah sholat Id
maka dia manjadi sedekah biasa.” (Hasan: HR Abu Dawud no.
1609)
Zakat diwajibkan kepada setiap Muslim baik laki-laki atau perempuan, orang
merdeka atau budak, anak kecil atau orang dewasa.
Dari Ibnu Umar Rodhiyallahu ‘Anhu,
dia berkata, “Rosulullah Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam mewajibkan Zakat Fithri satu sho’ kurma atau satu sho’
gandum atas hamba dan orang merdeka, lelaki dan perempuan, anak kecil dan
dewasa dari kaum Muslimin.” (HR. Al-Bukhori no. 1503)
Kadar zakat adalah satu sho’, yaitu empat mud. Satu mud
adalah satu cakupan kedua tangan lelaki dewasa berperawakan sedang dalam
keadaan jari-jemari tidak menggenggam dan tidak pula melebar.
Untuk ukuran beras, satu sho’ sekitar 2,5 kg dan jika mengeluarkan 3
kg maka ini lebih baik untuk berhati-hati.
Adapun jenis makanan yang dijadikan zakat adalah gandum, kurma, keju,
anggur kering/zabib, dan makanan pokok yang umum dimakan oleh penduduk negerinya
seperti beras.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Rodhiyallahu
‘Anhu, dia berkata, “Kami mengeluarkan zakat pada hari Idul Fithri di zaman
Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam
berupa satu sho’ makanan.” Abu Sa’id berkata, “Makanan kami adalah
gandum, anggur kering, keju, dan kurma.” (Shohih:
HR. Al-Bukhori no. 1510)
Adapun menunaikan zakat dengan uang, terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama membolehkan dan ini madzhab Hanafiyah. Pendapat kedua tidak membolehkan
dan ini madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Pendapat yang lebih
hati-hati adalah pendapat kedua, karena pada zaman Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah ada dirham dan dinar dan
memungkinkan untuk zakat dengan uang, tetapi Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Sohabatnya tidak
melakukannya. Adapun yang memilih uang dengan anggapan bahwa orang miskin tidak
memiliki biaya untuk membeli lauknya, maka sebagian ulama membolehkan.
6. Sholat Idul Fithri
Sholat Idul Fithri
hukumnya sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat ditekankan (Matan
Abi Syuja). Adapula yang berpendapat wajib tiap individu.
Hendaknya ia mandi
terlebih dahulu, memakaian pakaian terbaiknya dan disukai yang putih, memakai
parfum, memotong kuku dan rambut, jalan kaki dan bertakbir, menunaikan zakat
sebelum sholat, berangkat dan pulang lewat jangan yang berbeda, sholat dengan
khusyu dan mendengarkan khutbah sampai selesai.
7. Setelah Idul Fithri
“Maka istiqomalahlah (tetaplah) kamu pada jalan yang
benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Hud [11]: 112)
Karena pentingnya hal ini, istiqomah
menjadi wasiat Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kepada seseorang yang meminta nasihat. Diriwayatkan dari
Abu ‘Amr Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqofi Rodhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata:
“Wahai Rosulullah! Katakanlah
kepadaku dalam Islam sebuah ucapan yang tidak aku tanyakan lagi kepada selain
Anda!” Beliau menjawab,
«قُلْ
آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ»
“Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah!’ Kemudian istiqomahlah.’” (HR. Muslim no. 38)
Orang-orang zaman dulu
memperhatikan keberlangsungan dan keberlanjutan amal ketaatan mereka, karena di
samping hal tersebut merupakan bentuk mengupayakan istiqomah juga sebuah tanda
amal sebelumnya diterima Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Ada ungkapan yang dijadikan
barometer oleh orang-orang sholih untuk diri-diri mereka:
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ
جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya
dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim VII/583)
Untuk itu, bentuk istiqomah dan
tanda diterimanya ibadah Romadhon adalah istiqomah melakukan ketaatan Romadhon
di bulan-bulan berikutnya, minimal kita mengiringi Romadhon dengan puasa 6 hari
di bulan Syawwal dan kembali berpuasa Romadhon di bulan berikutnya.
Ibnu Rojab Al-Hambali Rohimahullah berkata, “Kembali lagi
melakukan puasa setelah puasa Romadhon, itu tanda diterimanya amalan puasa Romadhon.
Karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Allah akan memberi taufik untuk melakukan
amalan sholih setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Balasan dari kebaikan adalah kebaikan
selanjutnya.’ Oleh karena itu, siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti
dengan kebaikan selanjutnya, maka itu tanda amalan kebaikan yang pertama
diterima. Sedangkan yang melakukan kebaikan lantas setelahnya mengerjakan kejelekan maka itu tanda tertolaknya kebaikan
tersebut dan tanda tidak diterimanya.” (Lathōiful Ma’ārif, hlm. 388)
Maka, setelah Romadhon, ikutilah
dengan puasa 6 hari Syawwal. Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ
سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
“Siapa yang telah
berpuasa Romadhon kemudian dia mengirinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawwal maka dia seperti orang yang berpuasa
selama satu tahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Semoga kita termasuk orang yang
menyambut Idul Fithri dengan gembira dan pahala. Amin. Allahu a’lam.[]