Wajibnya Mentaati Pemerintah Meskipun Zholim
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah Rodhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:
Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang
menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang. Kami (para Sahabat)
bertanya, “Wahai Rosulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang
yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap
bertaqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, terutama tetap mendengar dan ta’at
walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Dawud
dan At-Tirmidzi)
Budak tidak termasuk
kandidat yang dipilih sebagai penguasa. Akan tetapi hadits ini menyebutkan
kepemimpinan pada budak, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan diambil dengan cara
kudeta. Jika ia berhasil menjadi pemimpin dan diakui oleh kaum Muslimin maka
wajib mentaatinya, meskipun ia zholim.
Mentaati
Pemimpin dalam Kebajikan
Ta’at kepada pemimpin
adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di
antaranya Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang
beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rosul (Nya), dan ulil amri (pemimpin)
di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4]: 59)
Dalam ayat ini, Allah
menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada
Allah dan Rosul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan
lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’)
dari ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat
kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.
Makna zhohir (tekstual)
dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun
mereka bermaksiat kepada Allah. Hal ini didukung oleh hadits Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dari Hudzaifah bin Al-Yaman, bahwa Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Nanti setelah aku akan
ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak pula
melaksanakan Sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka
orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad
manusia.”
Aku berkata, “Wahai Rosulullah,
apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, “Dengarlah
dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan merampas
hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847)
Padahal memukul punggung
dan merampas harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at —tanpa ragu
lagi— termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya
tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rob-mu.”
Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib
menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rob-nya.
Tidak Boleh Taat
dalam Maksiat
Adapun jika mereka
memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk
mendengar dan mentaati mereka. Karena Rob pemimpin dan Rob kita (rakyat) adalah
satu yaitu Allah Ta’ala. Oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila
mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan
ta’at.
Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak ada kewajiban
ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhori no. 7257)
Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,
“Seorang Muslim wajib
mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak
diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka
tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhori no. 7144)
Bersabar Terhadap
Pemimpin yang Zholim
Ibnu Abil ‘Izz Rohimahullah
mengatakan,
“Hukum mentaati pemimpin
adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar
dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari
kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka
dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala
tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang
ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal
perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu,
hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istighfar dan taubat serta berusaha
mengoreksi amalan kita.
Perhatikanlah firman
Allah Ta’ala berikut,
“Musibah apa saja yang
menimpa kamu, disebabkan oleh dosa-dosamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian
besar (dari dosamu).” (QS. Asy-Syura [42] : 30)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
“Demikianlah, Kami
jadikan orang-orang yang zholim untuk sesama mereka, disebabkan dosa-dosa
mereka sendiri.” (QS. Al An’am [6]: 129)
Apabila rakyat menginginkan
terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan
kezholiman.” (Syarh Aqidah Ath-Thohawiyah, hal. 381)
Semakin Baik
Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rohimahullah
mengatakan,
“Di antara hikmah Allah Ta’ala
dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah
sama dengan perbuatan rakyatnya, seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan
penguasa tersebut. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka.
Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat
berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak
tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan
terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan
memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan
enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat merampas hak orang-orang
lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya
serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil
dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka
dengan paksaan.
Dengan demikian setiap
amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkan
hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat
sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa
terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak,
maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah
Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah,
Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu
pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang
sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu.
Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah
Allah Ta’ala.” (Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)
Pada masa pemerintahan
‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallahu ‘Anhu ada seseorang yang bertanya
kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan
fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Abu Bakar dan Umar tidak?
Ali menjawab, “Karena
pada zaman mereka yang menjadi rakyatnya adalah aku dan Sahabat lainnya.
Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”
Hendaklah Mendoakan
Pemimpin
Hendaknya kita selalu
mendo’akan pemimpin dan bukan mencelanya. Karena do’a kebaikan kita kepada
mereka merupakan sebab mereka menjadi baik sehingga kita juga akan ikut baik.
Ingatlah pula bahwa do’a seseorang kepada saudaranya dalam keadaan saudaranya
tidak mengetahuinya adalah salah satu do’a yang terkabulkan.
Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Do’a seorang Muslim kepada
saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab
(terkabulkan). Di sisinya ada Malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya
kepada saudaranya). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, Malaikat tersebut
berkata: ‘Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no.
2733)
Sampai-sampai sebagian
salaf mengatakan:
“Seandainya aku
mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajab, niscaya akan aku manfaatkan
untuk mendo’akan pemimpin.”
Allahu a’lam.[]