Cari Artikel

Mempersiapkan...

Firman Alloh Bukan Makhluk dan Penjelasannya Menurut Ibnu Taimiyyah

 

Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bahwa Alloh berbicara, dan firman-Nya adalah sifat hakiki yang ditetapkan bagi-Nya dengan cara yang layak bagi-Nya.

Dia subhanahu berbicara dengan huruf dan suara (harf wa shout), bagaimana Dia kehendaki, kapan pun Dia kehendaki. Maka, firman-Nya adalah sifat dzat ditinjau dari jenisnya, dan sifat fi’liyyah (perbuatan) ditinjau dari satuan-satuannya. Pendapat ini didukung oleh Al-Kitab dan Sunnah.

Di antara dalil Al-Kitab adalah firman Alloh:

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ

“Dan ketika Musa datang pada waktu yang Kami tentukan, dan Robb-nya berfirman kepadanya.” (QS. Al-A’rof: 143)

Dan firman Alloh:

إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ

“Ketika Alloh berfirman: ‘Wahai ‘Isa, sungguh Aku mewafatkanmu dan mengangkatmu kepada-Ku.’” (QS. Ali ‘Imron: 55)

Dan firman Alloh:

وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيّاً

“Dan Kami memanggilnya dari sisi gunung Thur yang sebelah kanan, dan Kami mendekatkannya untuk bermunajat.” (QS. Maryam: 52)

Dalam ayat yang pertama: penetapan bahwa firman itu berkaitan dengan kehendak-Nya, dan bahwa satuan-satuannya hadits (baru terjadi).

Dalam ayat yang kedua: dalil bahwa ia dengan huruf; karena perkataan yang diucapkan di dalamnya terdiri dari huruf-huruf.

Dalam ayat yang ketiga: dalil bahwa ia dengan suara; karena seruan (nida’) dan munajat tidak dapat dipahami kecuali dengan suara.

Di antara dalil Sunnah adalah sabda Nabi : “Alloh berfirman: ‘Wahai Adam!’ Maka Adam menjawab: ‘Labbayka wa sa’dayka.’ Lalu Dia memanggil dengan suara: ‘Sungguh Alloh memerintahkanmu untuk mengeluarkan utusan (ba’ts) ke Naar dari keturunanmu.’” (HR. Al-Bukhori no. 4741 dan Muslim no. 222)

Firman-Nya subhanahu adalah lafazh dan makna sekaligus, bukan hanya lafazh saja atau makna saja.

Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang firman Alloh. Adapun pendapat selain mereka, berikut ringkasannya dari “Mukhtashor ash-Showaiq al-Mursalah”:

1. Pendapat Karromiyyah (w. 255 H): Seperti pendapat Ahlus Sunnah, hanya saja mereka berkata: “Sungguh ia hadits (baru terjadi) setelah sebelumnya tidak ada”, untuk lari dari penetapan adanya hal-hal hadits (baru) yang tidak berawal.

2. Pendapat Kullabiyyah (w. 240 H): “Sungguh ia adalah makna yang melekat pada Dzat-Nya, yang selalu ada pada Dzat-Nya seperti melekatnya hidup dan ilmu, maka ia tidak berkaitan dengan kehendak-Nya.

Dan huruf-huruf serta suara-suara adalah hikayat (cerita) tentang firman-Nya, yang Alloh ciptakan untuk menunjukkan makna yang melekat pada Dzat-Nya, dan ia adalah empat makna: perintah, larangan, berita, dan pertanyaan.”

3. Pendapat Asya’iroh (w. 324 H): Seperti pendapat Kullabiyyah, hanya saja mereka berbeda dalam dua hal:

1) Dalam makna-makna firman: Kullabiyyah berkata: “Ia adalah empat makna.” Dan Asya’iroh berkata: “Ia adalah satu makna.”

Maka berita, pertanyaan, perintah, dan larangan, masing-masing adalah sama dengan yang lain, dan ia bukanlah jenis-jenis firman, melainkan sifat-sifat baginya.

Bahkan Taurot, Injil, dan Al-Qur’an masing-masing adalah sama dengan yang lain, tidak berbeda kecuali dalam ungkapan.”

2) Kullabiyyah berkata: “Huruf-huruf dan suara-suara adalah hikayat (cerita) tentang firman Alloh.” Adapun Asya’iroh berkata: “Ia adalah ‘ibaroh (ungkapan) tentang firman Alloh.”

4. Pendapat Salimiyyah (w. 370 H): “Sungguh ia adalah sifat yang melekat pada Dzat-Nya yang selalu ada pada Dzat-Nya seperti melekatnya hidup dan ilmu, maka ia tidak berkaitan dengan kehendak-Nya.

Ia adalah huruf-huruf dan suara-suara yang berdampingan yang satu tidak mendahului yang lain.

Maka, huruf ba, sin, dan mim dalam basmalah –misalnya– setiap hurufnya berdampingan dengan yang lain pada waktu yang sama, dan meskipun demikian, ia tidak pernah hilang dan akan selalu ada.”

5. Pendapat Jahmiyyah dan Mu’tazilah: “Sungguh ia adalah makhluk dari makhluk-makhluk dan bukan sifat-sifat Alloh.”

Kemudian, sebagian Jahmiyyah terang-terangan menolak firman dari Alloh, dan sebagian mereka mengakuinya, tetapi berkata: “Sungguh ia adalah makhluk.”

6. Pendapat Filosof Muta’akhirin, pengikut Aristoteles (w. 322 SM): “Sungguh ia adalah limpahan (faydh) dari Akal Aktif (al-‘Aqlul Fa’aal) kepada jiwa-jiwa yang utama dan suci sesuai dengan kesiapan dan penerimaannya, sehingga mewajibkan bagi jiwa itu gambaran-gambaran (tashowwurot) dan pembenaran-pembenaran (tashdiiqoot) sesuai dengan apa yang diterimanya.

Gambaran-gambaran dan pembenaran-pembenaran yang terbayangkan ini menguat hingga menggambarkan sesuatu yang ma’qul (dapat dipahami akal) sebagai rupa-rupa bercahaya yang mengajaknya bicara dengan perkataan yang didengar oleh telinga.”

7. Pendapat Ittihadiyyah (yang mengatakan kesatuan wujud): “Setiap perkataan dalam wujud ini adalah firman Alloh.”

Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang dari mereka:

Dan setiap perkataan dalam wujud adalah firman-Nya,

Sama saja bagi kita yang berbentuk prosa maupun yang berbentuk syair.

Semua pendapat ini menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh Al-Kitab, Sunnah, dan Akal, dan siapa yang dianugerahi Alloh ilmu dan hikmah, ia akan memahaminya.

Al-Qur’an adalah Firman Alloh

Fashl (Subbagian)

Madz-hab Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah: Al-Qur’an adalah firman Alloh yang diturunkan, bukan makhluk, dari-Nya ia bermula dan kepada-Nya ia akan kembali.

Dia berbicara dengannya secara hakiki, dan memberikannya kepada Jibril (Malaikat Jibril), lalu ia menurunkannya ke atas hati Muhammad .

Pendapat ini didukung oleh Al-Kitab dan Sunnah.

Di antara dalil Al-Kitab adalah firman Alloh:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ

“Dan jika seseorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia sampai ia mendengar firman Alloh.” (QS. At-Taubah: 6)

Yang dimaksud adalah Al-Qur’an.

Dan firman Alloh:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Ini adalah Kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal (ulul albab) mengambil pelajaran.” (QS. Shod: 29)

Dan firman Alloh:

نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

“Ruhul Amin (Jibril) menurunkannya, ke atas hatimu agar kamu termasuk orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arob yang jelas.” (QS. Asy-Syu’aro: 193-195)

Di antara dalil Sunnah adalah sabda Nabi –saat beliau menawarkan diri kepada orang banyak di tempat wukuf–: “Tidakkah ada seseorang yang mau membawaku kepada kaumnya untuk aku sampaikan firman Robb-ku? Sungguh kaum Quroisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Robb-ku ‘azza wa jalla.” (HR. Abu Dawud no. 4734)

Dan sabda Nabi kepada Al-Baro’ bin ‘Azib rodhiyallahu ‘anhu: “Jika kamu hendak tidur, maka katakanlah: ‘Allohumma aslamtu nafsii ilayka, wa wajjahtu wajhii ilayka, wa fawwadh-tu amrii ilayka, wa alja’tu zhohrii ilayka, roghbatan wa roh-batan ilayka. Laa malja’a wa laa manja minka illaa ilayka. Aamantu bi Kitaabikal-ladzii anzalta, wa bi Nabiyyikal-ladzii arsalta.” (Ya Alloh, aku menyerahkan diriku kepada-Mu, aku menghadapkan wajahku kepada-Mu, aku menyerahkan urusanku kepada-Mu, aku menyandarkan punggungku kepada-Mu, karena roghbah (berharap) dan rohbah (takut) kepada-Mu. Tiada tempat berlindung dan tiada tempat menyelamatkan diri dari-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan, dan kepada Nabi-Mu yang Engkau utus).” (HR. Al-Bukhori no. 247 dan Muslim no. 2710)

Amr bin Dinar (w. 126 H) berkata: “Aku telah mendapati orang-orang sejak tujuh puluh tahun lalu, mereka berkata: ‘Alloh adalah Al-Kholiq (Pencipta) dan selain-Nya adalah makhluk, kecuali Al-Qur’an, karena ia adalah firman Alloh, bukan makhluk, dari-Nya ia bermula dan kepada-Nya ia akan kembali.” (Lihat: As-Sunan al-Kubro, Al-Baihaqi, 10/43, 205)

Makna perkataan mereka: “Dari-Nya ia bermula”; adalah Alloh berbicara dengannya sebagai permulaan.

Dan di dalamnya terdapat bantahan terhadap kaum Jahmiyyah yang berkata: “Dia menciptakannya di selain Dzat-Nya.”

Adapun perkataan mereka: “Dan kepada-Nya ia akan kembali”; mengandung dua kemungkinan makna:

1) Sifat firman dengan Al-Qur’an kembali kepada-Nya, maksudnya: tidak ada seorang pun yang disifati berbicara dengannya selain Alloh.

Karena Dia-lah yang berbicara dengannya, dan firman adalah sifat bagi yang berbicara.

2) Ia akan diangkat kepada Alloh sebagaimana yang terdapat dalam sebagian atsar bahwa ia akan dihilangkan dari mushaf (lembaran Al-Qur’an) dan dada.

Dan itu hanya terjadi –wallahu a’lam– ketika manusia berpaling sepenuhnya dari mengamalkan Al-Qur’an, maka ia diangkat dari mereka sebagai pemuliaan baginya. Wallahul musta’an.

Lafazh dan yang Dilafazhkan (Al-Lafzh wal Malfuzh)

Fashl (Subbagian)

Pembahasan dalam bab ini berkaitan dengan Al-Qur’an; telah disebutkan bahwa Al-Qur’an adalah firman Alloh yang bukan makhluk.

Tetapi, apakah pelafazhan (al-lafzh) Al-Qur’an itu boleh kita katakan: makhluk, atau bukan makhluk, atau wajib diam?

Jawabannya: Mengatakan secara mutlak dalam hal ini, baik dengan penafian maupun penetapan, tidak benar.

Adapun jika dirinci, dikatakan: Jika yang dimaksud dengan al-lafzh (pelafazhan) adalah perbuatan hamba, maka ia adalah makhluk, karena hamba dan perbuatannya adalah makhluk.

Dan jika yang dimaksud dengan al-lafzh (yang dilafazhkan) adalah Al-Qur’an itu sendiri, maka ia adalah firman Alloh yang bukan makhluk, karena firman Alloh adalah sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya bukan makhluk.

Perincian ini diisyaratkan oleh perkataan Imam Ahmad rohimahulloh (w. 241 H): “Siapa yang mengatakan: ‘Pelafazhanku terhadap Al-Qur’an adalah makhluk’ dengan maksud Al-Qur’an itu sendiri, maka ia adalah Jahmi.”

Perkataan beliau: “Dengan maksud Al-Qur’an itu sendiri”; menunjukkan bahwa jika yang dimaksud adalah selain Al-Qur’an, yaitu pelafazhan yang merupakan perbuatan manusia, maka ia bukan Jahmi.

Wallahu a’lam.


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url