Jihah (Arah) Bagi Alloh Apakah Ditetapkan Ataukah Tidak? Ibnu Taimiyyah Menjawab
Kami ingin
menjelaskan dengan judul ini: “Apakah jihah (arah) ditetapkan bagi Alloh
atau dinafikan dari-Nya?”
Penyelesaiannya
dalam hal ini adalah: Tidak benar menetapkan lafazh jihah pada Alloh,
baik dengan penafian maupun penetapan secara mutlak. Tetapi harus ada
perincian:
Jika yang
dimaksud dengannya adalah arah bawah (jihah sufli), maka ia
dinafikan dari Alloh, dan mustahil bagi-Nya.
Karena
Alloh wajib bagi-Nya ‘Uluw (ketinggian) mutlak, baik Dzat maupun Sifat.
Jika yang
dimaksud dengannya adalah arah atas (jihah ‘uluw) yang melingkupi-Nya,
maka ia juga dinafikan dari Alloh, dan mustahil bagi-Nya.
Sungguh
Alloh Maha Agung dan Maha Mulia untuk diliputi oleh sesuatu dari makhluk-Nya.
Bagaimana mungkin, padahal Kursi-Nya meliputi langit dan bumi?
وَالْأَرْضُ جَمِيعاً قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ
مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan bumi
seluruhnya berada dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat, dan langit digulung
dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka
sekutukan.” (QS. Az-Zumar: 67)
Dan jika
yang dimaksud dengannya adalah arah atas (jihah ‘uluw) yang layak dengan
keagungan dan kebesaran-Nya tanpa melingkupi-Nya, maka itu adalah kebenaran
yang ditetapkan bagi Alloh, dan wajib bagi-Nya.
Syaikh Abu
Muhammad Abdul Qodir al-Jailani (w. 561 H) berkata dalam kitabnya al-Ghunyah:
“Dia subhanahu berada di arah atas, di atas ‘Arsy, muhtawin ‘alal
mulki.”
Makna
perkataannya: “muhtawin ‘alal mulki” adalah: Meliputi kerajaan.
Jika
ditanyakan: Jika kalian menafikan bahwa ada sesuatu dari makhluk Alloh yang
melingkupi-Nya, maka apa jawaban atas apa yang Alloh tetapkan untuk diri-Nya
dalam Kitab-Nya, melalui lisan Nabi-Nya ﷺ, dan disepakati oleh kaum Muslimin bahwa Alloh berada di atas (fis
samaa’)?
Jawabannya:
Keberadaan Alloh di langit tidak menuntut bahwa langit melingkupi-Nya.
Siapa yang
mengatakan itu, maka ia sesat jika ia mengatakannya dari dirinya sendiri, dan
pendusta atau keliru jika ia menisbatkannya kepada orang lain.
Sungguh
setiap orang yang mengetahui keagungan Alloh dan ihathoh (meliputi)-Nya
terhadap segala sesuatu, dan bahwa bumi seluruhnya berada dalam genggaman-Nya
pada hari Kiamat, dan bahwa Dia melipat langit seperti melipat lembaran
catatan, maka tidak akan terlintas di benaknya bahwa sesuatu dari makhluk-Nya
dapat melingkupi-Nya subhanahu wa ta’ala.
Berdasarkan
ini, maka keberadaan-Nya di langit ditafsirkan dengan salah satu dari dua
makna:
[1] Bahwa
yang dimaksud dengan langit (as-samaa’) adalah ketinggian (al-’uluw).
Maka maknanya adalah: Sungguh Alloh berada di ketinggian; yaitu di arah atas (jihah
‘uluw).
Dan makna as-samaa’
sebagai al-‘uluw telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Alloh
berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
“Dia
menurunkan kepada kalian dari atas air hujan.” (QS. Al-Anfal: 11)
Yaitu: dari
ketinggian, bukan dari langit itu sendiri; karena hujan turun dari awan.
[2] Bahwa
kata “fi” (di) bermakna ‘ala (di atas). Maka maknanya adalah:
Sungguh Alloh di atas langit.
Dan kata “fi”
telah datang dalam Al-Qur’an dan yang lainnya dengan makna “‘ala” di
banyak tempat.
Alloh
berfirman:
فَسِيحُوا فِي الْأَرْضِ
“Maka
berjalanlah di atas bumi.” (QS. At-Taubah: 2). Yaitu: di atas
bumi (‘alal ardh).