Cari Artikel

Mempersiapkan...

Menggabungkan Nash-Nash ‘Uluw Alloh dengan Dzat-Nya dan Ma’iyyah-Nya Menurut Ibnu Taimiyyah

 

Sebelum kita menyebutkan penggabungan antara keduanya, kami ingin mengajukan kaidah yang bermanfaat yang diisyaratkan oleh Penulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dalam kitabnya “al-‘Aql wan Naql” (43, 44), yang ringkasannya:

Jika dikatakan ada pertentangan (ta’aarudh) antara dua dalil, maka ia ada tiga kemungkinan: keduanya qoth’i (pasti), keduanya zhonni (spekulatif), atau salah satunya qoth’i dan yang lain zhonni.

Berikut penjelasan tiga bagian itu:

1. Dua dalil Qoth’i: Yaitu yang akal memastikan ketetapan maknanya. Pertentangan antara keduanya mustahil.

Karena mengatakan bolehnya pertentangan antara keduanya menuntut dua hal: wajibnya hilangnya salah satunya yang itu mustahil; karena yang qoth’i wajib ditetapkan.

Atau tetapnya keduanya bersamaan dengan pertentangan yang itu juga mustahil; karena itu adalah penggabungan dua hal yang bertentangan.

Jika ada yang menyangka adanya pertentangan antara keduanya, maka: entah keduanya tidak qoth’i, atau tidak ada pertentangan di antara keduanya, di mana salah satunya dipahami dengan satu sisi, dan yang kedua dengan sisi lain.

Dan tidak termasuk dalam hal ini nash-nash Al-Kitab dan Sunnah yang qoth’i yang ditetapkan adanya nasakh (penghapusan hukum); karena dalil yang mansukh (dihapus) sudah tidak berlaku, maka tidak ada yang bertentangan dengan yang menghapus.

2. Dua dalil Zhonni: Baik dari sisi petunjuknya (dalalah) maupun dari sisi ketetapannya (tsubut). Maka dicari penguat (tarjih) di antara keduanya, kemudian yang lebih kuat (roojih) didahulukan.

3. Satu Qoth’i dan satu Zhonni: Maka yang qoth’i didahulukan berdasarkan kesepakatan orang-orang yang berakal; karena keyakinan tidak dapat ditolak dengan sangkaan.

Jika hal ini telah jelas, maka kami katakan: Tidak diragukan bahwa nash-nash telah datang dengan menetapkan ‘Uluw Alloh dengan Dzat-Nya di atas makhluk-Nya dan bahwa Dia bersama mereka, dan keduanya qoth’i dalam hal ketetapan dan petunjuknya.

Alloh telah menggabungkan keduanya dalam firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Dia istawa (bersemayam) di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kalian di mana pun kalian berada. Dan Alloh Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Hadiid: 4)

Dalam ayat ini Alloh menetapkan Istiwa’-Nya di atas ‘Arsy yang merupakan makhluk paling tinggi, dan menetapkan bahwa Dia bersama kita, dan tidak ada pertentangan di antara keduanya.

Karena penggabungan keduanya mungkin.

Penjelasan kemungkinannya dari beberapa sisi:

1. Nash-nash telah menggabungkan keduanya, maka mustahil penggabungan keduanya adalah mustahil.

Karena nash-nash tidak menunjukkan pada hal yang mustahil, dan siapa yang menyangka nash-nash menunjukannya, maka ia telah keliru. Hendaklah ia meninjau ulang berkali-kali, memohon pertolongan kepada Alloh, meminta petunjuk dan taufiq dari-Nya, serta mengerahkan seluruh usahanya untuk mencapai kebenaran.

Jika kebenaran telah jelas baginya, hendaklah ia memuji Alloh. Jika tidak, hendaklah ia menyerahkan urusan tersebut kepada Yang Maha Tahu, dan berkata: ‘Kami beriman kepada-Nya, semuanya dari sisi Robb kami. Mahasuci Engkau, tiada ilmu bagi kami kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami, sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.

2. Tidak ada pertentangan antara makna ‘Uluw dan Ma’iyyah; karena ma’iyyah tidak menuntut percampuran dan hulul (menempati) di tempat –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya–.

Sesuatu bisa jadi tinggi dengan dzatnya, dan ma’iyyah disandarkan kepadanya. Seperti dikatakan: “Kami terus berjalan dan bulan bersama kami”, padahal bulan berada di langit, dan ini tidak dianggap sebagai kontradiksi, baik secara lafazh maupun makna.

Sungguh orang yang diajak bicara mengerti makna ma’iyyah di sini, dan bahwa tuntutannya tidak mungkin bahwa bulan berada di bumi.

Jika penggabungan ‘Uluw dan Ma’iyyah dibolehkan pada makhluk, maka pada Kholiq (Pencipta) lebih utama.

3. Seandainya pun ada pertentangan antara makna ‘Uluw dan Ma’iyyah pada makhluk, hal itu tidak harus berlaku pada Kholiq.

Karena Alloh tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dalam semua sifat-Nya, maka ma’iyyah-Nya bersama makhluk tidak menuntut bahwa Dia bercampur dengan mereka atau menempati tempat mereka, karena wajibnya ‘Uluw-Nya dengan Dzat-Nya.

Dan karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang melingkupi-Nya, bahkan Dia lah yang meliputi segala sesuatu.

Dengan cara-cara yang serupa ini, kita dapat menggabungkan antara ketetapan ‘Uluw Alloh dengan Dzat-Nya dan keberadaan-Nya di hadapan wajah orang yang Sholat. Maka dikatakan: Penggabungan keduanya dari beberapa sisi:

1. Nash-nash telah menggabungkan keduanya, dan nash-nash tidak datang dengan hal yang mustahil.

2. Tidak ada pertentangan antara makna ‘Uluw dan Muqobalah (berhadapan). Sesuatu bisa jadi tinggi, dan dia berhadapan, karena berhadapan tidak menuntut sejajar.

Tidakkah kamu melihat seseorang memandang matahari saat terbit, lalu dia berkata: “Ia ada di hadapan wajahku”, padahal matahari berada di langit, dan ini tidak dianggap sebagai kontradiksi, baik secara lafazh maupun makna.

Jika hal ini dibolehkan pada makhluk, maka pada Kholiq lebih utama.

3. Seandainya pun ada pertentangan antara makna ‘Uluw dan Muqobalah pada makhluk, hal itu tidak harus berlaku pada Kholiq.

Karena Alloh tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dalam semua sifat-Nya, maka keberadaan-Nya di hadapan wajah orang yang Sholat tidak menuntut bahwa Dia berada di tempat atau tembok yang dia hadapi saat Sholat, karena wajibnya ‘Uluw-Nya dengan Dzat-Nya.

Dan karena tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang melingkupi-Nya, bahkan Dia lah yang meliputi segala sesuatu subhanahu wa ta’ala.


 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url