Ijma dalam Puasa dan Itikaf - Ibnul Mundzir (319 H)
123. Niat Puasa Setiap Malam
Romadhon
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَوَى
الصِّيَامَ كُلَّ لَيْلَةٍ مِنَ الصِّيَامِ شَهْرِ رَمَضَانَ، فَصَامَ: أَنَّ صَوْمَهُ
تَامٌّ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang
berniat Puasa setiap malam dari Puasa bulan Romadhon, lalu ia berpuasa:
puasanya sempurna.
124. Hukum Sahur
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ السَّحُورَ
مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ.
Mereka sepakat bahwa: Sahur
disunnahkan.
125. Muntah Tidak Sengaja Saat
Puasa
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا شَيْءَ
عَلَى الصَّائِمِ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ، وَانْفَرَدَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، فَقَالَ:
عَلَيْهِ، وَوَافَقَ فِي أُخْرَى.
Mereka sepakat bahwa: tidak batal Puasa seseorang jika muntah
mengalahkannya, sedang Al-Hasan Al-Bashri berpendapat sendiri, ia berkata: wajib
atasnya (mengqodho’), dan ia menyetujui di pendapat lain.
126. Muntah Sengaja Saat Puasa
وَأَجْمَعُوا عَلَى إِبْطَالِ صَوْمِ
مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا.
Mereka sepakat atas batalnya Puasa orang yang sengaja muntah.
127. Menelan Sisa Makanan dari
Gigi
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لَا شَيْءَ
عَلَى الصَّائِمِ فِيمَا يَزْدَرِدُهُ مِمَّا يَجْرِي مَعَ الرِّيقِ مِمَّا بَيْنَ
أَسْنَانِهِ، فِيمَا لَا يَقْدِرُ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْهُ.
Mereka sepakat bahwa: tidak membatalkan Puasa apa yang
ia telan dari apa yang mengalir bersama ludah di antara giginya, sementara ia tidak mampu mencegahnya.
128. Hukum Puasa Berturut-turut
yang Terputus Haidh
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ
إِذَا كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ، فَصَامَتْ بَعْضًا، ثُمَّ
حَاضَتْ أَنَّهَا تَبْنِي إِذَا طَهُرَتْ.
Mereka sepakat bahwa: jika wanita wajib
Puasa 2 bulan berturut-turut, lalu ia Puasa sebagian, kemudian ia haidh maka ia melanjutkan
(puasanya) jika ia telah suci.
129. Hukum Puasa Orang Tua Renta
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِلشَّيْخِ
الْكَبِيرِ، وَالْعَجُوزِ الْعَاجِزِينَ عَنِ الصَّوْمِ أَنْ يُفْطِرَا.
Mereka sepakat bahwa: bagi orang tua
yang lanjut usia, dan wanita tua yang tidak mampu Puasa boleh keduanya
tidak berpuasa.
130. Hukum Asal I’tikaf
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الِاعْتِكَافَ
لَا يَجِبُ عَلَى النَّاسِ فَرْضًا إِلَّا أَنْ يُوجِبَهُ الْمَرْءُ عَلَى نَفْسِهِ،
فَيَجِبُ عَلَيْهِ.
Mereka sepakat bahwa: i’tikaf tidak wajib
kecuali jika seseorang mewajibkannya (dengan nadzar) atas dirinya, maka ia wajib
atasnya.
131. Tempat I’tikaf
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الِاعْتِكَافَ
جَائِزٌ: فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ، وَمَسْجِدِ إِيلِيَا.
Mereka sepakat bahwa: i’tikaf boleh:
di Masjidil Harom, dan Masjid Rosul ﷺ, dan Masjidil Aqsho.
132. Keluar Masjid untuk Hajat
(Buang Air)
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لِلْمُعْتَكِفِ
أَنْ يَخْرُجَ عَنْ مُعْتَكَفِهِ لِلْغَائِطِ وَالْبَوْلِ.
Mereka sepakat bahwa: bagi orang
yang i’tikaf boleh ia keluar dari tempat i’tikafnya untuk buang air
besar dan buang air kecil.
133. Larangan Bermesraan Saat
I’tikaf
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُعْتَكِفَ
مَمْنُوعٌ مِنَ الْمُبَاشَرَةِ.
Merejak sepakat bahwa: orang yang
i’tikaf dilarang bermesraan (dengan istri).
134. Jima’ Membatalkan I’tikaf
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ جَامَعَ
امْرَأَتَهُ، وَهُوَ مُعْتَكِفٌ عَامِدًا لِذَلِكَ فِي فَرْجِهَا أَنَّهُ مُفْسِدٌ
لِاعْتِكَافِهِ.
Mereka sepakat bahwa: siapa yang
berjima’ dengan istrinya, sedang ia i’tikaf dan sengaja melakukannya di
kemaluan istrinya maka hal itu merusak i’tikafnya.