Ikhlas dalam Beraqidah dan Urgensi Kalimat Ikhlas
Ikhlas dalam Beraqidah
Ikhlas secara bahasa
bermakna murni atau menumpahkan. Dikatakan murni jika tidak ada campuran sama
sekali. Jika bercampur dengan lainnya meski hanya satu persen, maka ia tidak
lagi disebut murni. Allah berfirman:
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ
لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا
سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Pada binatang ternak
terdapat pelajaran berharga bagi kalian. Kami memberi minum kalian susu murni
yang berasal dari perutnya, antara kotoran dan darah, yang sangat lezat bagi
peminumnya.”[1]
Laban kholis artinya susu
ikhlas (murni), dan ia disebut susu yang layak minum jika selamat dari kotoran
dan darah. Andai ia tercampur darah dan kotoran meski satu tetes tentu tidak
layak untuk diminum. Begitu pula ibadah, jika ia tidak ikhlas maka tidak diterima
Allah. Allah berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ
الدِّينَ (2) أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
agama hanya kepadaNya. Ketahuilah, hanya milik Allah agama yang ikhlas.”[2]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka hanya diperintah
menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama kepadaNya, dengan hanif
(tidak condong kepada kesyirikan sedikitpun), dan menegakkan shalat, menunaikan
zakat, dan itulah agama yang lurus.”[3]
Ikhlas juga bermakna
menumpahkan, seperti ungkapan aku mengikhlaskan air di gelas ini kepada wadah,
maknanya apa yang di dalam gelas ditumpahkan semuanya ke wadah hingga tak
bersisa.
Ikhlas dengan makna umum
adalah sinonim Tauhid, Aqidah, Iman, Itiqod, dan Ushuluddin.
Ikhlas dengan makna
khusus adalah lawan riya dan sum’ah, sebagaimana Tauhid lawan syirik.
Maka ikhlas mengandung
dua konsekuensi:
1.
Memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata.
2.
Menjauhi yang membatalkan kemurnian ibadah, yaitu syirik, baik syirik besar
maupun syirik kecil.
Kalimat Ikhlas
Kalimat ikhlas adalah (لا اله إلا الله) yang artinya (لا معبود بحق إلا الله) Tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
Karena kalimat ini, Allah
menciptakan manusia dan jin. Lewat kalimat ini, mereka dipisahkan menjadi
Mukmin dan kafir. Lewat kalimat ini, diciptakannya Surga dan Neraka.
Kalimat ini adalah
permulaan dakwah seluruh para Nabi dan Rosul, dari Adam hingga Muhammad. Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ
أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ
هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ
“Sungguh Kami mengutus
pada setiap umat seorang Rosul yang menyerukan: ‘Sembahlah hanya Allah, dan
jauhilah thoghut (segala yang disembah selain Allah).’ Maka sebagian mereka
Allah beri hidayah dan sebagian lainnya memilih kesesatan.”[4]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ
مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Kami mengutus seorang
Rasul sebelummu hanya mewahyukan kepadanya: ‘Tidak ada yang berhak disembah
selainKu maka sembahlah Aku.’”[5]
Ketika Nabi SAW mengirim
Muadz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah maka bahan dakwah yang pertama kali diperintahkan
Muadz untuk menyerukannya adalah Tauhid. Beliau bersabda:
«إِنَّكَ تَقْدَمُ
عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ
اللَّهِ، فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ
خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ، فَإِذَا فَعَلُوا، فَأَخْبِرْهُمْ
أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ،
فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا، فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ»
“Kamu akan mendatangi
kaum ahli kitab. Dakwah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah
menyembah Allah, dan jika sudah mengenal Allah, kabarkan kepada mereka bahwa
Allah mewajibkan mereka shalat lima waktu sehari-semalam. Jika mereka telah
melakukannya maka kabarkan mereka bahwa Allah mewajibkan zakat yang diambil
dari orang kaya mereka lalu disalurkan kepada orang miskin dari mereka. Jika
mereka mentaatimu, maka ambillah zakat mereka dan hati-hati jangan mengambil
harta terbaik mereka (sebagai zakat).”[6]
Maka, Muslim manapun
wajib memulai belajarnya dari Tauhid, mengikhlaskan ibadah hanya kepadaNya
serta menjauhi syirik, bukan memulai dari fiqih shalat, fiqih puasa, fiqih
haji, tidak pula matematika dan biologi. Begitu pula yang pertama didakwahkan
oleh dai dan mubaligh adalah Tauhid dan fokus membina umat kepadanya, bukan
mendahului dengan politik, akhlak, fiqih muamalat (bisnis) dan semisalnya.
Para Nabi diutus
menghadapi kaum yang beraneka ragam penyimpangannya, ada kaum amoral seperti
kaum Luth, ada kaum zalim dalam perekonomian seperti kaum Syu’aib, dan ada pula
kaum yang menguasai parlemen seperti kaum Musa. Namun, semuanya diperintah
pertama kali mendakwahkan Tauhid, sebagaimana firman Allah:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا
قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Dan kepada penduduk
Madyan kami mengutus saudara mereka, Syuaib, yang menyerukan: ‘Wahai kaumku!
Sembahlah hanya Allah, dan tidak layak kalian memiliki sesembahan selainNya.’”[7]
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ
(160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ
أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ
“Kaum Luth mendustakan
semua Rosul. Ingatlah, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka:
‘Kenapa kalian tidak bertakwa? Sungguh aku adalah utusan yang terpercaya bagi
kalian. Bertakwalah kepada Allah dan taatlah kalian.’”[8]
Hal ini disebabkan, Allah
tidak menerima amal jika masih melakukan kesyirikan dan kekufuran, sebagaimana
firman Allah:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sungguh telah
diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelumnya: ‘Jika kamu berbuat syirik
maka semua amalmu terhapus, dan kamu benar-benar menjadi orang rugi.’”[9]
Allah menyebut 18
nama-nama para Nabi: Ibrohim, Ishaq, Ya’qub, Nuh, Dawud, Sulaiman, Ayub, Yusuf,
Musa, Harun, Zakariya, Yahya, Isa, Ilyas, Ismail, Alyasa’, Yunus, Luth, lalu
menutupnya dengan:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka
berbuat syirik, sungguh amal yang pernah mereka kerjakan terhapus.”[10]
Lalu di Akhirat, kekal di
Neraka selamanya, berapa pun amal shalih yang pernah dikerjakannya di dunia,
sebagaimana firman Allah lewat lisan Isa:
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ
اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Al-Masih (Isa) berkata:
‘Wahai Bani Isroil! Sembahlah hanya Allah Rabbku dan Rabb kalian. Sungguh siapa
yang menyekutukan Allah, maka Allah haramkan Surga atasnya dan tempat
kembalinya adalah Neraka, dan tidak ada penolong bagi orang-orang zalim.”[11]
Sebaliknya, siapa yang
bertauhid dan terbebas dari syirik, pasti masuk Surga, berapapun amalnya,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Abu Dzar RA:
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ: لاَ إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ، ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الجَنَّةَ " قُلْتُ:
وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: «وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ» قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى
وَإِنْ سَرَقَ؟ قَالَ: «وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ» قُلْتُ: وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ؟
قَالَ: «وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ عَلَى رَغْمِ أَنْفِ أَبِي ذَرٍّ»
“Siapapun dari hamba yang
mengucapkan Laa ilaaha illa Allah kemudian meninggal di atas kalimat itu, pasti
masuk Surga.” Aku bertanya: Meskipun ia berzina dan mencuri? Jawab beliau:
“Meskipun ia berzina dan mencuri.” Aku bertanya lagi: Meskipun ia berzina dan
mencuri? Jawab beliau: “Meskipun ia berzina dan mencuri.” Aku bertanya:
Meskipun ia berzina dan mencuri? Jawab beliau: “Meskipun ia berzina dan
mencuri, dan meskipun Abu Dzar keheranan sekali.”[12]
Diriwayatkan dari Muadz
bin Jabal, ia berkata: Aku dibonceng Nabi SAW di atas seekor keledai bernama
Ufair lalu beliau bersabda: “Wahai Muadz! Apakah kamu tahu hak Allah atas
hambaNya (yang harus ditunaikan), dan hak hamba atas Allah (yang akan diberikan
kepadanya)?” Kujawab: Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau bersabda:
«فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ
عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلاَ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ العِبَادِ
عَلَى اللَّهِ أَنْ لاَ يُعَذِّبَ مَنْ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا»
“Hak Allah atas hambaNya
adalah hanya menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, sementara
hak hamba atas Allah adalah Dia tidak akan menyiksa siapa yang tidak
menyekutukanNya dengan apapun.”[13]
Allahu a’lam.
[1] QS. An-Nahl [16]: 66.
[2] QS. Az-Zumar [39]: 2-3.
[3] QS. Al-Bayyinah [98]: 5.
[4] QS. An-Nahl [16]: 36.
[5] QS. Al-Anbiya [21]: 25.
[6] HR. Al-Bukhari no. 1458.
[7] QS. Al-A’rof [7]: 85.
[8] QS. Asy-Syu’aro [26]:
160-163.
[9] QS. Az-Zumar [39]: 65.
[10] QS. Al-An’am [6]: 88.
[11] QS. Al-Maidah [5]: 72.
[12] HR. Al-Bukhari no. 5827.
[13] HR. Al-Bukhari no. 2856
dan Muslim no. 30.